Terbongkar

1855 Words
Nayna berjalan dari lobi kantor menuju ruangan Aksa. Para karyawan yang mengenal Nayna menyapanya dengan ramah. Tak sedikit pula yang bergumam membicarakannya. “Anak bungsu pak Aydan, cantik ya.” “Iya.” “Pantas Oji rela cuti berhari-hari buat ngedeketin dia.” “Kok bisa?” “Konon katanya sih, pak Aksa sendiri yang ngasih dia akses.” “Gua denger kali,” ucap Nayna sembari pergi melewati mereka. Nayna marah dia benar-benar sudah kesal, dia akan meminta pertanggung jawaban Aksa atas semua kekacauan yang terjadi dalam hidupnya. Kini dia berdiri di depan pintu ruangan Aksa. Namun, pergerakannya terhenti saat dia mendengar Aksa sedang berbicara dengan seorang pria yang dia yakin itu adalah Oji. “Nayna udah tahu, kalau lu ngedeketin Nayna itu salah satu rencana gue.” Nayna mendengar Aksa yang berbicara. “Gua udah curiga, tiap Nayna jalan bareng gue, gue cuma dapat raganya, jiwanya? entah … Lu bantuin gue lagi deh, sampe bisa masuk ke dalam hatinya, abis itu gue usaha sendiri.” Aksa terdiam beberapa saat. “Nggak untuk saat ini, dia maksa buat gue buat bujuk Gibran bantuin dia nyelesein tugas akhirnya, sedangkan itu kan nggak mungkin.” “Tapi, dia belum tahu kondisi Gibran yang sebenarnya ‘kan?” “Belum, entah apa yang bakalan terjadi kalau dia tahu, ternyata Gibran nggak homo, dia hanya takut melihatnya, dan gue tuh nggak mau Nayna sedih gara-gara dia jadi bahan phobia si Gibran.” “Lagian aneh cewek secantik dia dijadiin bahan phobia. Orang kalau phobia liat kecoa paling banter kecoa mati, habis mati ya udah phobianya ilang. Masa dia seumur hidup mau menghindari Nayna terus.”  Nayna terkejut, dia menutup mulutnya yang hampir saja memekik. Jadi, selama ini bang Aksa nutupin rahasia sebesar itu dari gue? batinnya. Nayna menarik napas panjang, dia kemudian mendorong pintu kaca tebal yang tak transparan itu hingga terbuka lebar. Dua orang pria itu menoleh begitu pintu terbuka. Mereka berdua terkesiap saat melihat siapa yang datang. “Dek? lu di sini?” tanya Aksa gugup. Butiran air tibaa-tiba menetes dari sudut mata Nayna. Dia kemudian berjalan mendekati Aksa. “Kenapa bang Aksa nutupin ini semua?” suaranya terdengar bergetar. “Lu dengar semuanya?” Aksa berdiri mengimbangi Nayna. “Bang Aksa jahat. kalau aku dikasih tahu dari awal, mungkin saat itu nyawa kak Gibran nggak bakalan terancam. Apa bang Aksa sadar, secara tidak langsung bang Aksa hampir bunuh kak Gibran lewat perantara aku.” Dia menunjuk d*danya sendiri. “Astaga, nggak gitu, Dek.” Aksa mulai panik. Dia tidak menyangka setelah mendengar hal ini Nayna malah berpikir seperti itu. “Apa bang Aksa nggak mikir? Aku tuh udah gede, aku nggak bisa diatur bang Aksa terus tanpa alasan yang logis.” Nayna menarik napas lalu membuangnya perlahan agar dia bisa menstabilkan emosinya. Kemudian menelan ludahnya yang tercekat di tenggorokan. “Aku tuh butuh alasan.” Nayna menyeka air matanya. "Dek." Tangan Aksa mengambang di udara hendak menenangkan Nayna. Namun, Nayna segera berlari ke luar dari ruangan yang tiba-tiba terasa seperti neraka baginya. “Dek, gue bisa jelasin.” Aksa mengejar Nayna. Namun, dia dihentikan Oji. “Udah Men. Ya, mungkin lu emang ingin memberi yang terbaik buat Nayna dengan versi elu, tapi lu nggak sadar itu tidak sesuai dengan versinya dia.” Aksa tertunduk. “Dia bener, Men, dia udah gede, dia butuh ditanya maunya gimana, bukan disuruh begini disuruh begitu, tapi dia nggak pernah tahu alasan elu apa.” Aksa masih tertunduk lesu mendengarkan nasehat Oji. Dia tidak menyangka, semua berawal dari hal kecil dan sekarang menjadi sebesar ini. Dia menyesal tak memberi tahu Nayna sejak dulu. “Sekarang elu bisa biarin dia tenang dulu.” *** Nayna menjalankan si Jingga dengan pelan, tubuhnya lemas, bahkan untuk memutar setir saja terasa berat. Dia sedih karena orang yang selama ini dia anggap selalu terbuka dan tak pernah menutupi hal apapun darinya, orang yang paling dia kagumi dan hormati setelah ayahnya, orang yang paling dia cintai setelah kedua orang tuanya dengan tega menutupi kebenaran yang secara tidak langsung melibatkannya dalam bahaya besar, yaitu membahayakan nyawa seseorang yang sialnya itu sahabat kakaknya sendiri. Nayna berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar, seorang satpam keluar melalui pagar kecil. Nayna membuka jendela. “Pak, Dinda ada?” “Ada Non,” ucap Satpam sembari membungkuk ramah. “Boleh saya masuk?” “Iya Non.” Satpam dengan cekatan membuka gerbang mengizinkan Nayna dengan si Jingga masuk. “Makasih, Pak,” ucap Nayna usai keluar dari mobil. Nayna berjalan menaiki beberapa anak tangga rumah Dinda, pintu utama memang ada di atas, lantainya dibuat tinggi. Dia cukup sering datang ke rumah Dinda, baginya ini merupakan rumah keduanya. Nayna mengetuk pintu dengan sangat pelan hampir tak terdengar oleh yang punya rumah. “Nayna?” Seorang pria tiba-tiba berdiri dibelakangnya. “Om, Dinda nya ada?” “Ada, ayo masuk!” Ajak Tegar--Ayah Dinda--sembari membuka pintu rumahnya. “Assalamu’alaikum,” ucap Nayna pelan, bahkan terdengar seperti gumaman. “Wa’alaikum salam,” jawab Tegar yang berada di belakangnya, karena cuma dia yang mendengar ucapan salam Nayna. “Tante,” sapa Nayna yang melihat Anita--Ibu Dinda--sedang duduk menikmati acara televisi. “Nayna?” Dia mengernyit, karena Nayna yang biasa terlihat ceria, namun, sekarang terlihat sangat muram. “Aku mau ketemu Dinda.” “Ada di kamarnya, langsung ke kamarnya aja.” “Makasih, Tante.” Nayna berjalan gontai, memaksa kakinya untuk naik ke atas tangga. “Nay, mau tante bikinin s**u?” “Boleh Tante, pake jahe,” ucap Nayna tanpa menoleh ke arahnya. Anita menggelengkan kepala sambil tersenyum, Nayna sedang sedih saja merepotkan, apalagi kalau sedang bahagia. Nayna berdiri di depan pintu, mengetuknya berulang kali. Dinda membuka pintu, tiba-tiba tampang wajah Nayna membuatnya mengernyit, padahal tadi pagi gadis itu masih mengomel di telepon. Nayna yang sudah tidak bisa membendung lagi kesedihannya, langsung menghambur ke pelukan sahabatnya, dia menangis sangat keras hingga ayah dan ibu Dinda dapat mendengar suara tangisnya. Dinda mengajak Nayna untuk duduk ditepi ranjang, dia memberikan satu kotak tisu kepadanya. Gadis itu mulai meraung-raung. “Gue sedih, gue tuh benci sama bang Aksa,” keluhnya tiba-tiba. Dinda semakin mengerutkan dahi. “Lo tenang dulu deh, biar gue enak dengernya.” Pasalnya ucapan Nayna tak terdengar dengan baik di telinga Dinda. Suara ketukan di daun pintu mengalihkan perhatian Dinda. “Iya, Ma?” “s**u jahe buat si princes.”  “Iya makasih ma.” Dinda mengambil alih gelas yang dibawa ibunya. Anita langsung pergi sembari menutup pintu kamar anaknya. “Nay.” Dinda memberikan gelas itu pada Nayna. Nayna menenggaknya hingga tak bersisa, dan membuatnya tersedak merasakan pedas dan panas terbakar akibat serbuk jahe yang mengenai kerongkongannya. “Pelan-pelan.” Dinda mengangkat sebelah alisnya, dia heran dengan Nayna, s**u yang dia minum memang hangat, tapi, ini terlalu aneh, apa kalau diberi sate, Nayna akan memakannya langsung seratus tusuk? Dinda bergidik ngeri membayangkan perempuan berambut panjang yang ada di depannya menjadi titisan suzana. “Gue lupa, kalau tadi minta s**u jahe.” Nayna menjulurkan lidahnya, kepanasan. Dinda mendelik.  Nayna meletakkan gelas diatas meja dengan sedikit keras, “Astaga.” Dinda menggelengkan kepala sembari menahan gelas itu agar tidak jatuh. “Lo tahu nggak, apa yang bang Aksa sembunyiin dari gue?” Dinda menatap Nayna, dia lalu menggelengkan kepala pelan. “Gue benci tahu sama bang Aksa.” “Iya gua tahu, tadi, 'kan elu udah ngomong.” “Dia nyembunyiin rahasia gede dari gue.” "Nay, lu nggak lagi ngadain kuis, 'kan? Sumpah gue pusing nih denger omongan lo yang terlalu muter-muter kayak kincir angin.” Dinda mulai kesal dengan perkataan Nayna yang terlalu berbelit-belit. Nayna merengek. “Ternyata kak Gibran itu normal.” Dia kembali meraung-raung. “Oh, ya syukur ... lo harusnya seneng donk?” Dinda tak begitu terkejut dengan penuturan Nayna. Lagipula dia tidak begitu peduli mau Gibran itu apa dan bagaimana, yang jelas bukan urusan dia. “Tapi, dia phobia lihat gue.” Suara raungan Nayna semakin keras membuat Dinda menutup kedua telinganya. “Phobia? maksudnya gimana sih gue nggak ngerti?” teriak Dinda bersahutan dengan raungan Nayna. Nayna mengempas tubuhnya di kasur,  kemudian berbaring di ikuti Dinda. Dia kembali menangis, kali ini isakannya terdengar pilu. “Din, waktu itu kak Gibran sampe sakit berhari-hari gara-gara sebelumnya gue masuk ke ruangannya dan bikin dia kaget.” Nayna menarik napas lalu meletakan tisu di hidungnya dan membuang ingusnya. “Gue harus gimana, Din? gue udah dosa banget ya, gara-gara ulah gue kak Gibran hampir mati,” lirihnya. “Nay,” Kali ini kesedihan Nayna berhasil menular pada Dinda, dia memeluk sahabatnya. Emosi yang awalnya meluap-luap kini terdengar lirih dan pilu. “Gue pengen minta maaf, Din. Tapi dia phobia sama gue. Kenapa ya Din, kok ada penyakit seaneh itu?” Dinda menghela napas. “Nanti kita cari solusinya bareng-bareng ya, Nay.” Gadis tomboy itu kemudian bangkit. Dia lalu menarik tangan Nayna untuk bangun, “Sekarang, lu bangun.” “Lu ngusir gue, Din?” lirih Nayna seraya bangkit dan mengikuti sepupunya itu ke dekat meja belajar. Dinda membuka laptop, setelah memasukan pin dia menghubungkannya ke wifi, “Kita cari di internet, phobia apa yang dialami Gibran.” Nayna mengangguk dan menegakkan tubuhnya, dia kemudian merapikan rambut dan mencepolnya asal. Dinda mengetik sesuatu. “Phobia terhadap wanita.” Internet berputar sebelum akhirnya memunculkan info yang dibutuhkan oleh kedua gadis itu. Nayna mendengarkan apa yang sedang dibacakan Dinda dari internet. “TEMPO.CO, Jakarta - Venustraphobia juga dikenal sebagai Caligynephobia atau Calligyniaphobia, erat kaitannya dengan Gynephobia atau Gynophobia, yakni perasaan takut atau fobia terhadap wanita, tepatnya ketakutan pria pada wanita yang dianggap menarik atau cantik.” “Menarik atau cantik?” Dinda menatap Nayna aneh. “Itu, itu maksudnya Nay.” “Apa maksudnya?” “Jadi, dia takut sama elu karena menurutnya elu cantik dan menarik, coba kalau lu jelek.” “Yah kak Gibran bener. Gimana dong? Gue, 'kan udah terlanjur cantik.” Nayna mengucapkan kalimat tersebut dengan nada sedih yang dibuat-buat sehingga membuat Dinda bergidik jijik. “Masa gue harus jadi jelek dulu, biar kak Gibran mau ketemu gue?” Bibir Nayna menganjur ke depan. “Nah itu bener.” “Maksud lo apa?” Bibir Nayna masih mengerucut. “Besok aja deh, sekarang gue ngantuk. Lu mau pulang apa mau nginep?” “Pulang, Tapi pengen dianterin, gue males bawa si Jingga.” “Minta jemput bang Aksa aja.” “Ih ... kan gue lagi ngambek,” sergah Nayna. “Oh iya lupa.” “Udah ah gue pulang jalan kaki aja, besok lu anterin si Jingga.” “Heemmh …,” ucap Dinda yang sudah menutup matanya. “Gue pulang, makasih, ya.” Nayna mengecup pipi Dinda. Dinda suka, Nayna itu selalu bersikap manis, walaupun sifat manja Nayna terkadang menyusahkannya. Nayna menuruni anak tangga dengan sangat lambat, rasa sakit di dadanya membuatnya merasa lesu apalagi menangis dan meraung-raung menguras banyak energinya. “Om, Tante Nayna pulang.” Nayna mengecup pipi Anita--kakak dari ibunya, namun, dia melewati Tegar begitu saja. “Kok om nggak dicium?” ucap Tegar sambil menunjuk pipinya. “Nggak dibolehin sama mama.” Nayna meraih tangan Tegar, kemudian mengecupnya. Anita tertawa. Dia merasa Nayna tidak berubah padahal sudah sebesar itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD