“Nay, udah sampai.” Oji menghentikan motornya di depan kampus Nayna.
“Makasih kak Oji.” Nayna memberikan helmnya pada Oji.
“Nay,” panggil Oji pada Nayna yang sudah sedikit menjauh darinya.
Gadis berambut panjang itu kemudian menoleh, “Nanti kak Oji jemput, ya,” ucap Oji dengan tampang yang sengaja dibuat cool. Alih-alih terpesona Nayna malah ingin tertawa, “Nggak usah, nanti ngerepotin.” Nayna kembali melangkahkan kaki tanpa menunggu jawaban Oji.
Oji meninju, mengayun tangannya di udara, sembari tersenyum gemas, melihat Nayna dengan satu titik lesung pipit kecil dekat sudut bibirnya, membuat Oji ingin mencubit pipi Nayna. Senyum masih tergambar di wajah pria gondrong dengan kuncir yang tak pernah lepas dari kepala kecuali jika dia tidur.
***
Nayna berusaha membuang jauh-jauh nama Gibran di hatinya, tapi terlanjur terpatri begitu saja. Dia ingat betul betapa menyenangkan debaran jantung saat tatapannya dan tatapan Gibran beradu. Terbayang terus menerus olehnya saat terakhir tatapan matanya bersirobok dengan pria itu.
Hatinya makin tak karuan. Ingin rasanya dia berteriak memanggil namanya yang selalu terngiang di telinga.
“Kenapa Nay?” tanya Dinda, sembari menarik kursi, lalu mendaratkan b*kongnya. Akhir-akhir ini Nayna memang terlihat sering melamun.
“Gue dikejar deadline.” Nayna menghela napas. Bukan itu yang Nayna pikirkan sedari tadi.
“Ya gampang, tinggal di beresin aja.”
“Masalahnya gue pengen ada yang bantuin.”
“Siapa? Gibran?”
Nayna mengangguk lesu.
“Udah Nay, jangan terlalu berharap banyak, apalagi sama orang kayak Gibran.”
“Gue tuh jadi kayak punya harapan, gara-gara ucapan bang Aksa tempo hari.”
Dinda menghela napas.
“Nay, aku mau ngomong.” Seorang pria berdiri di sebelah tempat duduk Nayna.
“Ngomong aja,” ucap Nayna tanpa menoleh ke asal suara, karena dia tahu siapa pemilik suara bariton itu.
Dinda beranjak, saat pria itu menatapnya seolah menyuruhnya untuk pergi.
“Gue pergi dulu, Nay. Nanti kita lanjutin lagi.” Dinda menjauh dari dua anak manusia yang sedang menyimpan masalah yang belum selesai itu.
Dewa duduk didepan Nayna terhalang meja persegi empat. Nayna tak menatap pria itu, “Apa?” tanyanya dingin. Dia segera menggeser tangan untuk menghindari Dewa yang hendak memegang tangannya.
“Kamu apa kabar?”
“Baik.”
Pria berambut ikal itu menarik napas. “Nay, balikan yuk," ucap Dewa langsung.
Nayna menatap netra yang pernah memberinya rasa berbeda dihatinya. “Terus kenapa harus mutusin aku? Kalau pada akhirnya kamu minta balik?”
“Iya aku nyesel, Nay.”
“Sayangnya aku nggak.” Nayna beranjak lalu melangkahkan kaki.
Dewa mengikuti Nayna hingga tempat parkir, dia berdiri mematung menatap Nayna yang sedang dipakaikan helm oleh seorang pria, hal yang tidak pernah dia lakukan selama dua tahun bersama Nayna.
“Duluan,” ucap Nayna yang perlahan menjauh bersama pria dan kuda besi yang ditumpanginya.
Dewa mendengkus kesal, kenapa waktu itu dia memutuskan Nayna, hanya karena ucapan Aksa dan karena dia kesal dengan sifat manja Nayna yang justru itu malah membuatnya rindu dan sulit untuk melupakannya.
“Sakit kan, lo.” Dinda dan Agatha lewat begitu saja di depan Dewa.
***
Berakhirnya hubungan Nayna dan Dewa juga membuat Nayna sedih, hampir satu minggu dia menarik diri dari dunia luar. Perkenalannya dengan Gibran-lah yang membuat semangat dan gairahnya kembali.
“Nay, kak Oji punya dua tiket nonton,” ucap Oji setengah berteriak.
“Kak Oji emang nggak kerja?”
“Haahh?” pertanyaan Nayna hampir tak terdengar karena bisingnya suara kendaraan.
“Aku nanya, Kak Oji nggak kerja?” Teriaknya tepat di dekat telinga Oji yang tertutup helm.
“Nggak Nay.”
“Kenapa? Bang Aksa nggak marah?”
“Udah Izin dong.” Oji bekerja di perusahaan pers keluarga Nayna, tepatnya yang sekarang dikelola oleh Aksa, tentu Ayahnya masih memantau perkembangan perusahaan. Kini Oji berhenti di depan gedung mall. Dia menarik tangan Nayna dan mengajaknya untuk naik ke lantai atas.
Sepanjang Film I Still believe diputar Nayna tak berhenti menangis, dia tak menghiraukan Oji yang duduk disebelahnya yang sedang bergumam, “Emang sesedih itu ya, filmnya?”
Nayna terlihat gemetar napasnya berat, isaknya terdengar jelas ditelinga Oji. “Hey … Kak Oji salah ya, ngajak kamu nonton ini?”
Nayna menggeleng pelan, “Ternyata--” ucapan Nayna terpotong oleh isakan, “Jeremy camp sayang banget ya sama istrinya.” Nayna menyeka air matanya.
Oji melihat ke sekitar, semua penonton wanita menangis, membuatnya menggeleng pelan. Oji sendiri lebih menikmati keromantisan dari film tersebut, memang dia terharu tapi dia pikir dia tidak harus sampai menangis seperti para wanita itu.
Nayna terus saja menangis, dia membayangkan dirinya ada diposisi Melisa, lalu jika dia seperti itu, siapa yang akan berjuang untuknya, Dewa? Gibran? atau-- dia menggeleng pelan saat dia melihat Oji mengusap pipinya dengan tisu.
Sementara Oji membiarkan Nayna menangis, dia sibuk mengetik sesuatu di atas layar ponselnya, dia mengirim pesan pada Aksa.
Alfian Fauzi : Men, kayaknya gue salah pilih film, sepanjang film diputar Nayna nangis terus.
Pesan balasan datang dari Aksa.
Aksa P. W : Emang lu nonton film apa?
Alfian Fauzi : I still believe.
Aksa P. W : Lu nggak lihat trailernya?
Alfian Fauzi : Nggak, gue pikir komedi romantis.
Aksa mengirim stiker tertawa pada Oji.
“Kak Oji, ayo.” Nayna sudah tidak lagi duduk di tempatnya. Dia berdiri dekat pintu keluar.
Oji menyapu pandangannya, layar besar itu telah mati. “Udahan Nay, filmnya? Kak Oji pikir masih lama.” Dia berdiri lalu berjalan mengikuti Nayna.
Oji masih bisa mendengar sisa-sisa tangis dari napas Nayna. Dia jadi merasa tidak enak karena mengajak Nayna nonton film yang membuatnya bersedih.
Oji berlari ke stand es krim, kemudian secepat kilat dia kembali dengan dua buah es krim cone di tangannya.
“Jangan sedih lagi, besok-besok kak Oji ajak kamu nonton film Disney,” ucap Oji sembari memberikan satu es krim pada Nayna.
“Makasih.” Nayna meraih es krim tersebut.
***
Kening Nayna mengernyit di depan laptop. Dia sibuk mengetik, namun kemudian menghapusnya, berulang kali dia gagal membuat kalimat pendahuluan.
“Sayang, ada Oji di depan,” ucap Nova yang berdiri di depan pintu kamarnya.
“Mau apa?” Nayna mengernyit.
Nova mengangkat bahunya. “Mama nggak tahu, temuin dulu gih,” ucapnya, kemudian pergi.
Nayna melempar buku yang ada di depannya. Dia marah, kesal pada Oji, dia curiga Aksa yang menyuruh Oji untuk terus mendekatinya. “Bukannya kerja, malah ngajak maen mulu,” gerutu Nayna.
Dia berjalan cepat, bukan karena dia senang Oji datang, tapi bibirnya sudah gatal ingin memarahi pria pecicilan itu.
“Mau apa?” Sarkas Nayna.
“Judes amat.” Oji mengerucutkan bibirnya, mencari perhatian Nayna.
“Bukannya kerja, malah main ke sini mulu. Mau aku bilangin papa?!” Nayna berkacak pinggang. Suara nyaringnya membuat Nova segera turun dan mendekatinya.
Oji mengacak puncak kepala Nayna. Dia senang mendapat amukan dari Nayna, dia merasa gadis itu memperhatikannya.
“Ish ….” Nayna menepis tangan Oji. “Nggak sopan!”
“Kak Oji mau minta dianterin ke rumah sakit, Nay.”
Nayna menatapnya aneh. Dia melihat Oji tak tampak seperti orang sakit. Jangan-jangan itu hanya akal-akalan Oji saja untuk membujuk Nayna agar mau pergi dengannya.
“Udah sayang, anterin aja, kasihan.”
Nayna tidak suka ibunya ikut campur.
“Mama mah, aku kan lagi banyak tugas.”
“Bentar kok Nay nggak lama,” bujuk Oji.
Dengan kesal Nayna mengentakkan kaki dan berjalan keluar, dia tak ada niat mengganti baju. Hanya kaos oblong dan celana pendek.
“Kamu nggak mau ganti baju dulu?” tanya Oji.
“Nggak usah,” teriak Nayna.
“Oji pamit ya tente.” Oji mengecup punggung tangan Nova. Dia malah semakin gemas dengan tingkah Nayna yang menurutnya cara marah Nayna sangat lucu.
***
Nayna mengingat semua kejadian yang menimpanya beberapa hari lalu, juga kedekatannya dengan Oji, Nayna merasa kejadian-kejadian tersebut terstruktur dan terencana dengan baik. Dia semakin kesal saat Oji membohonginya dan ternyata pria gondrong itu tidak sakit.
“Mulai dari kejadian saat jogging, yang secara tiba-tiba bang Aksa ngilang gitu aja, terus munculah kak Oji dari antah berantah. Abis itu ban mobil gue kempes di pagi buta, udah jelas-jelas malem sebelumnya gue cek dengan detail. gila, ‘kan?” ucap Nayna pada seseorang melalui sambungan telepon.
“Yang lebih nyebelin dia ngajak gue nonton I still believe, mending nontonnya sama orang yang gue sayang kan jadi bisa pelukan, miris banget kan nasib gue.”
Dinda hanya meng-iya-kan racaun Nayna, bahkan sesekali dia menjauhkan telinganya dari layar ponsel.
“Tapi gue kagum sih pas dia ngajak gue ke rumah sakit, buat nengokin ibu tirinya yang lagi sakit. Walaupun awalnya gue kesel banget.”
“Ciee … udah dikenalin sama orang tuanya aja. Kayaknya ada maksud terselubung deh Nay.”
“Gue juga udah curiga.”
“Emang Ibu tirinya kak Oji sakit apa?”
Nayna mendengar suara mesin mobil Aksa yang sedang dipanaskan. “Eh udah dulu ah, Din. Mumpung bang Aksa belum pergi, gue mau ngomongin masalah ini.”
“Oke,” ucap Dinda sebelum mengakhiri panggilan Nayna.
Nayna mengejar Aksa menuju halaman depan rumahnya. Aksa menoleh mendengar Nayna memanggil namanya, dia menunda niatnya untuk masuk ke dalam mobil.
“Kenapa bang Aksa malah sibuk deketin aku sama kak Oji? bang Aksa kan tahu aku lagi sibuk dikejar deadline skripsi,” ucap Nayna sembari menahan pintu mobil Aksa.
“Biar kamu lebih santai aja,” ucap Aksa.
“Ya nggak gitulah, aku tuh nggak mau jadi mahasiswa abadi,” rengeknya. “Harusnya bang Aksa ngebujuk kak Gibran biar dia mau bantuin aku ngerjain skripsi.”
“Ayolah Dek.” Aksa menghela napas, dia malas saat Nayna memasukkan Gibran ke dalam topik pembicaraannya.
“Ayolah bang. Kalau benar kak Gibran homreng, harusnya kalian bantuin dia buat sembuh, aku siap kok kalau harus terlibat.” Nayna kembali menahan pintu mobil Aksa saat pria berkulit manly itu menariknya dari tangan Nayna.
“Kalau emang bisa, bang Aksa nggak bakal ngajak kamu.” Aksa berhasil melepaskan tangan Nayna dari pintu mobilnya.
“Bodo amat, pokoknya aku bakalan maksa,” teriak Nayna.
Aksa masuk dan melajukan mobilnya, tanpa peduli dengan kalimat terakhir Nayna.
Nayna menghentakkan kaki, dia menggerutu, “Aku yakin ini semua rencana bang Aksa untuk mengalihkan perhatian aku dari kak Gibran.”
Nayna merasa kesal, geram. Dia akan mendatangi Aksa di kantornya.