Opsi Kedua

1796 Words
Gibran tertawa mendengar pernyataan Aksa tentang dirinya yang dianggap abnormal oleh Nayna. .   Oji ikut tergelak. Namun, pada akhirnya dia bersuara, “Jadi selain elu phobia cewek cantik, elu juga udah pindah haluan? Gua nggak nyangka, elu tuh ganteng, gagah, masa nganu lu nggak berfungsi,” ucap Oji diiringi tawa. Tak ingin ketinggalan Aksa pun terbahak, sementara Gibran menatap nyalang kedua pemuda di depannya itu agar segera diam karena dia hendak menjelaskan. “Memang tiap hari, selain nge-gym gue juga relaksasi. Tempat gym di sana lengkap, depannya emang kayak tempat gym biasa. Tapi, yang di maksud satpam orang sakit ya kayak gue, banyak yang phobia juga di sana selain phobia seperti yang gua alami juga banyak kok ternyata. Sebagian juga emang ada pria-pria hijrah yang memang tidak bisa satu gym dengan para perempuan yang bukan mahramnya.” “Jadi, elu normal?” tanya Oji. “Gue nggak tahu, tapi yang jelas gue nggak mau beradu pedang bareng kalian.” “Cih, najis!” Oji mendecih sambil memukul meja. Sementara Aksa bereaksi seperti orang mual. Namun, pada akhirnya mereka kembali terbahak. Aksa merasa lebih baik, di sisi masalah masing-masing yang sedang mereka hadapi, selalu ada canda dan tawa yang bisa membuat mereka bersemangat dan saling menyemangati. “Gue sadar dari dulu hidup gue emang nggak seimbang, bahkan, gue nggak pernah punya teman wanita satu pun lebih dari belasan tahun, cewek satu-satunya yang bisa dijadiin temen ya cuma Anya, itu karena dia sepupu gue aja.” Gibran berdiri mengambil tiga botol air mineral dalam kardus yang biasa tersedia di ruangannya. Dia kemudian meletakkannya di atas meja. “Tuh kan, mangkanya gue tuh males, kalau lu ajak ngumpul di sini, kagak ada kopi,” ucap Oji sembari mengambil botol mineral kangen kamu. “Terlalu banyak kafein nggak sehat.” tukas Gibran sembari membuka segel penutup botol. Sementara Aksa yang sedari tadi terlihat seperti kehilangan gairah, enggan membalas celotehan mereka. “Kenapa sih, lu?” tanya Gibran sembari menepuk lutut Aksa. “Hati dia belum dibalikin sama Dara?” jawab Oji asal. “Dipinjem?” celotehan Gibran tak kalah asal.  “Iya, dan kayaknya nggak bakal dibalikin, selamanya,” tutur Oji. “Ck … sabar Men. tinggal cari selimut hati yang lain.” Gibran menepuk bahu Aksa. Walaupun, dia tidak tahu rasanya patah hati itu seperti apa. Tapi baginya menghibur sahabat yang sedang terluka adalah hal yang wajib  “Sini bang. Oji angetin,” hibur Oji sembari melebarkan tangan.  Aksa menepis tangan Oji yang hampir memeluknya. Trio daging memang bertahan dengan masa jomblonya, selain Oji yang sering gonta-ganti pacar, kini dia pun lebih memilih sendiri, bukan demi rasa solidaritas, tapi karena dia belum bisa bangkit dari cintanya yang lalu. “Dara menerima lamaran Indra, karena gue masih belum siap melamar Dara,” lirih Aksa. “Kenapa?” tanya Gibran. “Ya ... karena prioritas utama gue masih Nayna, selama Nayna belum mendapat cowok yang pas. Gue belum mau menikah.”  “Pas?” Gibran mengernyit tak mengerti. “Iya, pas, sesuai keinginan abangnya,” cela Oji. “Kok gitu?” Gibran semakin mengernyit. “Pokoknya Cowok Nayna entar harus kayak gue,” ucap Aksa. “Elu nggak bisa maksain gitu, Bang.” Oji sadar dia bukan kriteria Aksa untuk menjadi pacar Nayna, meski tidak menutup kemungkinan jika suatu saat nanti Nayna jatuh cinta padanya. Namun, tetap saja restu Aksa lebih penting baginya. “Iya gue tahu, tapi … setidaknya tuh cowok bisa manjain Nayna bahkan lebih dari gue manjain dia.” Oji geleng-geleng kepala, sementara Gibran mengurut pelipisnya. “Awalnya emang gue pengen Nayna sama elu.” Aksa menatap Gibran, yang langsung membuat Gibran salah tingkah mendengar perkataan Aksa. “Tapi, itu malah ngancam nyawa elu,” lanjutnya. “Kalau sekedar buat manjain dia mah gue juga bisa. Lagian masa kriteria cowok cuma gitu aja,” ucap Oji usai menenggak air dalam botol.  “Kan gue udah bilang yang kayak gue, bahkan harus lebih dari gue.” “Posesif! Kayaknya kalau lu bukan kakak kandung, gue yakin Nayna juga tipe cewek lu, ‘kan.”   Aksa meng-iya-kan perkataan Oji, yang membuat Oji langsung memukul keningnya sendiri. “Kakak yang aneh,” kata Gibran. “Pantesan gue nggak dibolehin deket sama Nayna, karena gue bukan tipe bang Aksa.” Oji terkekeh. “ Padahal gue tuh normal nggak kayak Aksa, gue nggak pernah maksain apa-apa sama adek gue.” “Adek lu, ‘kan cowok, dia emang harus bisa nentuin hidupnya sendiri,” ucap Aksa. “Emang cewek nggak boleh? Wah lu jahat lu men, banyak ngatur hidup adek lu sendiri, nggak boleh itu.” Oji mengernyit. Tak mengerti dengan jalan pikiran Aksa. “Gue nggak ngatur, gue cuma pengen yang terbaik buat dia, tapi dia suka kok dan nggak pernah ngeluh juga soal gue.” “Tapi, dia jadi sulit menentukan hidupnya.” Gibran akhirnya bersuara.   “Iya, benar. Kali ini gue setuju sama Gibran. Karena apa-apa bang Aksa. Bang Aksa lagi, bang Aksa lagi. Pantes Dara juga cemburu, karena apa-apa Nayna lagi, Nayna lagi,” terang Oji. “Tapi, Ji. Sekarang lu boleh deketin Nayna, kok.” Oji tertawa, hingga tersedak ludahnya sendiri. “Gue tahu, gue tahu, gue tuh opsi kedua setelah Gibran.”  Aksa tersenyum kering. Sementara Gibran pasrah karena dia juga tidak bisa berbuat apa-apa, walaupun di hatinya ada perasaan entah …. “Oh iya, pas elu sakit, Nayna dateng lagi ke sini, Dia mau minta maaf atas kejadian tempo hari. Dia cuma mau minta bantuan elu buat nyelesein tugas akhirnya.” “Jadi, dia udah tahu kalau gue--” “Nggak, lu tenang aja,” potong Aksa. “Emang kenapa kalau si Nayna tahu, elu malu?” Oji menatap aneh Gibran. Gibran mengangguk.  “Tapi dianggap hompimpah alaiyum gambreng, lu nggak malu?” Oji mengangkat sebelah alisnya. matanya naik turun menatap Gibran. *** Nayna kembali menarik selimut, saat selimut perlahan menjauh turun dari tubuhnya. Dinginnya pagi membuat dia malas beranjak dari tempat tidur. “Bangun!” “Apa sih bang, aku ngantuk,” gumam Nayna. “Jalan yuk, Dek.”  “Males ah.” Aksa menarik kembali selimut Nayna, hingga membuat Nayna terpaksa membuka mata, lalu duduk dan menatap nyalang mata Aksa.  “Cepet bangun, siap-siap gue tunggu lu di bawah.”  “Hheeeeaaaahhhh …,” pekik Nayna sambil menggeliat. “Berisik!” Aksa keluar, tapi kemudian kembali. “Dua puluh menit.” Nayna mengangkat alisnya. --- Nayna berlari mengejar Aksa yang meninggalkannya. Dia berhenti dan membungkukkan tubuhnya karena lelah, tangannya bertumpu pada lutut, sementara tangan satunya mengusap dahinya yang basah dengan handuk kecil yang bertengger di bahunya. Tangan seorang pria mengulur memberikan sebotol air padanya. Nayna menatap tangan itu lekat. Lalu dia menegakkan tubuhnya dan kemudian pandangannya menyapu hingga menuju wajah pria itu, senyum seorang pria membuatnya mengernyit, namun tak urung botol itu diambilnya dari tangan pria gondrong yang rambutnya selalu diikat kebelakang, lalu Nayna menenggaknya. “Makasih,” ucapnya sembari memberikan kembali botol yang menyisakan setengah airnya itu pada Oji. “Sama-sama.”  Nayna kembali melanjutkan larinya, namun lebih pelan dari sebelumnya, kini dia tak ada niat untuk mengejar Aksa yang entah kemana.  Oji mengimbangi Nayna, kini mereka beriringan, sesuai rencana kemarin. Aksa berhasil memberi waktu untuk Oji mendekati Nayna. Oji tak berhenti menatap wajah berkeringat Nayna yang menambah kesan lain di hatinya, sambil  terus berlari kecil mengimbangi Nayna, hingga dia tak sadar kakinya tersandung batu dan membuatnya terjatuh. Nayna geleng-geleng kepala sambil menutup mulut menahan tawa. Namun, itu kembali memberi kesan lain di hati Oji. “Kak Oji kok bisa ada di sini, sih?” tanya Nayna sambil mengulurkan tangannya untuk membantu Oji berdiri.  Oji menepuk-nepuk b*kongnya yang kotor akibat ekspresi berlebihan yang ditunjukkannya hingga membuat dia terjatuh. “Kebetulan aja, Nay. Kak Oji sering jogging disini, kok,” bohong Oji. “Kamu baru ya kesini? soalnya kak Oji baru lihat kamu.” Hati Oji bersorak riang. Tergambar senyumnya yang sedikit menggoda Nayna. Nayna mengangguk.  “Sendiri, Nay?” tanya Oji, pura-pura tidak tahu.  “Berdua, kan sama kak Oji,” ucap Nayna yang kebetulan di tempat itu hanya tinggal mereka berdua. “Eeeeeeaaaakkkkk ….” Oji tersipu, dia melayang, ucapan Nayna berhasil membuatnya terbang. Sementara Nayna bergidik melihat keanehan Oji. *** Nayna terpental jatuh hingga membuat buku-buku yang dibawanya berserakan di lantai, sesaat sebelum tubuhnya menabrak Oji yang kebetulan hendak masuk ke rumahnya, dia memang berjalan cepat dan menunduk sehingga tidak tahu ada orang yang akan masuk. Nayna kemudian mengangkat wajah, kesal. Oji mengulurkan tangan. Namun tak dihiraukan Nayna yang masih sibuk merapikan buku, lalu berdiri sendiri tak peduli dengan uluran tangan Oji.   “Nay.” panggil Oji yang berjalan melewatinya. Lalu Oji mengejar Nayna secepat kilat. Nayna kesal bukan main melihat ban mobil kempes, dia berjalan mengitari si Jingga dan sialnya keempat ban si Jingga kempes, tidak ada waktu untuknya mengisi angin atau mengganti ban. Dia sudah hampir terlambat untuk bimbingan skripsi. “Kak Oji anter deh,” tawar Oji.  Nayna menghela napas.  “Oke,” jawab Nayna malas.  Nayna berjalan mengikuti Oji, dia mematung saat dia tahu Oji bawa motor Ninja dan bukan mobil. “Enggak apa-apa, ‘kan?” “Nggak apa-apa sih.”   “Tapi kok kaget?” “Masa iya, harus dempet-dempetan sama kak Oji,” gumam Nayna. Bukan tidak biasa naik motor, tapi dia tidak suka jika harus di bonceng Oji. “Anggap aja ojek.” “Nggak biasa naik ojek, kan biasa di anter bang Aksa.” “Terserah sih, kak Oji cuma bawanya ini, mau ikut, oke, nggak juga nggak apa-apa,” ucap Oji sok jual mahal. “Mana helmnya.” telapak tangan Nayna menengadah pada Oji. Namun, Oji langsung memakaikan helm di kepala Nayna. Oji tersenyum simpul karena misinya berhasil, atas persetujuan Aksa dia berani membuat ban mobil Nayna kempes.  Oji naik ke atas motor diikuti Nayna yang duduk menyamping. “Nay, kok duduknya gitu? nanti sakit pinggang loh.”  “Udah nggak apa-apa.” “Kalau jatuh, terus kulitnya lecet, jangan nyalahin kak Oji ya.” Nayna mendelik. Lalu merubah posisi. “Udah.”  Oji tersenyum. Lalu melajukkan motornya pelan, namun disepanjang jalan dia sengaja menekan rem, agar Nayna terpaksa memeluknya karena berkali-kali Nayna hampir jatuh. Terpaksa Nayna memegang jaket Oji sedikit, nyaris Oji tidak merasakan pegangan tangan Nayna di pinggangnya.  Oji memelankan laju motornya tepat di depan tempat gym yang biasa Gibran kunjungi. “Gibran,” panggilnya. Nayna dan Gibran beradu pandang, Nayna tahu ini hanya bertahan beberapa detik saja, meski motor Oji terus melaju, tapi baginya waktu terasa melambat. Meski, pelan tapi pasti dia semakin menjauh dari Gibran. Nayna menghela napas, mencoba menenangkan irama jantung yang sedari tadi berdebar tak karuan, terasa menyenangkan, namun begitu menyesakkan di dadanya. Masih ada rasa berharap pada pria yang bahkan selalu menutup diri darinya. Rasa ingin mengenal pria itu masih bersarang di hatinya, tapi dia sadar Gibran tak pernah menginginkan kehadirannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD