Masa Kelulusan

1388 Words
Di ibukota kecamatan ini, hanya ada tiga sekolah tingkat atas, salah satunya adalah SMK NEGERI 1. NAULI MARITO PANJAITAN, lulusan terbaik dari jurusan Tata busana, dan itu lah yang saya dengar yang membuat ku bahagia di tambah lagi saya lulus jalur undangan di UNJ (universitas negeri Jakarta) jurusan tata busana. Dan ini adalah hadiah ulang tahun ku yang ke tujuh belas tahun. Rasa nya tidak sabar ingin memberitahu kepada orang tua ku. Lulusan terbaik, lulus di UNJ, seperti yang saya inginkan. Begitu sampai di rumah, ku lihat ada motor baru yang besar, motor Idaman para pria. "Mak.....pak.........Uli lulus Lulusan terbaik pak. Saya berteriak dari luar karna Saking bahagia. "Syukur lah Nang kalau dah lulus. "Mak... Bapak mana? Itu motor siapa Mak? "Bapak mu lagi di kebun, itu motor si Binsar, karna sudah duluan Rado Abang Mu di belikan bapak mu motor. "Dari hasil jual kerbau ya Mak? "Iya Nang dan juga sawah sudah di jual untuk membeli motor itu. "Jual sawah dan jual kerbau buat beli motor? Mamak hanya mangguk-mangguk aja, seketika putus sudah harapan ku, untuk melanjutkan kuliah di UNJ. "Mak....Uli lulus loh di UNJ Universitas Negeri Jakarta, jurusan tata busana Juga, jadi nanti mamak dan bapak cuman bayar uang pendaftaran dan juga Uang kuliah pertama, untuk tempat tinggal, nanti Uli tinggal di rumah kak jelita anak Uda Sorman yang sekarang di Jakarta dan Uli akan kerja sama kak jelita. Jadi nanti uang kuliah selanjutnya Uli yang bayar. "Nang kamu tau si Bornok? Mamak mengalihkan pembicaraan, dan perasaan ku sudah mulai tidak enak. "Uli tau Mak, kenapa dengan bang Bornok? "Semalam waktu kau nginap di rumah bou mu, Bornok dan keluarga datang ke kemari untuk melamar mu, mereka janji akan memberikan sinamot mu 35 juta dan sawah yang di pinggir jalan itu untuk kita" Ingin rasa nya menangis tapi masih ku tahan, memang semalam aku nginap di rumah bou, karna aku kerja menjahit di rumah bou yang punya rumah jahit. Bou itu adalah panggilan untuk saudara perempuan dari bapak. Hanya demi sinamot atau mahar 35 juta ditambah sawah, pantasan bapak berani menjual sawah kami, mata pencarian terbesar keluarga kami. " Nang ...Bapak sama mamak sudah setuju, keluarga besar Bornok akan datang nanti malam untuk membicarakan sinamot lagi. Seperti disambar petir di siang bolong, jantung ku ini seperti mau copot mendengar nya. "Mak....Uli mau kuliah, Uli ingin menjadi desainer terkenal. "Ngak usah banyak cerita Uli, perempuan itu ngak usah sekolah tinggi-tinggi toh juga ke dapur nya. Binsar langsung main ngomong, tanpa memikirkan perasaan ku. "Mumpung masih ada laki-laki yang mau memberikan sinamot besar sama kau, jadi terhormat di kampung ini dengan sinamot besar. Tiru itu kak Nengsih menikah dengan si Gotom mahar nya besar, sisanya bisa beli sawah. Ya Tuhan ...... Ini rasa nya jadi wanita Batak, hanya demi sinamot yang besar rela mengorbankan cita-cita anak perempuan nya. Ingin rasa nya meludahi muka si Binsar, dia ngak tau betapa tersiksanya kak Ningsih setelah menikah dengan anak camat itu. "Mak.... Uli pergi dulu ya ke rumah bou, hari ini banyak jahitan kami, dan harus selesai Minggu ini, nanti sebelum jam tujuh Uli dah balik ke rumah Mak. "Uli....Uli..... nanti setelah nikah kau sama Bornok, bisa nanti kau buka usaha seperti punya bou itu. Ku abaikan omongannya nya Binsar, kuteruskan langkah ku menuju rumah bou, sesak rasanya d**a. Tanpa terasa air mata ku sudah menetes di pipiku, ku lap kembali air mata itu dengan dasi seragam sekolah yang ku pake. Saya akan malu dan harus menjawab apa, akan pertanyaan orang-orang yang lewat jika nangis sambil jalan. Sesampai di rumah bou, saya langsung ke kamar bou, dan menangis disana, wanita janda yang tidak bisa melahirkan anak laki-laki itu menghampiri ku. "Uli nangis lah sebisa mungkin sampai lega, bou tau apa yang terjadi sama mu. Hanya bisa menangis di pelukan bou, meluapkan seluruh yang kurasakan, dan sampai rasanya air mata ini sudah kering. "Gimana Uli? Bou dah bisa ngomong? Saya hanya menganggukkan kepala ini, sambil menunduk. "Uli..... dulu juga bou sama seperti mu, demi sinamot yang besar oppung mu, menikah kan ku dengan amang Boru mu, suami bou, tanpa memikirkan keinginan ku dan perasaan ku, dan hal itu terjadi lagi dengan kakak mu. "Makanya gaji mu tidak pernah bou kasih, sudah bou kumpulkan di ATM ni, mungkin ada sekitar 25 jutaan. Dengan ini bou mendukung mu lari dari kampung ini. Kejar lah cita-cita mu. Bou kemudian meninggalkan ku, di kamar nya ini, sambil berpikir mungkin ini yang terbaik, lari sejauh mungkin, agar tidak senasib seperti bou dan kak Nengsih. Setelah ku pikir dengan matang saya memutuskan harus lari. "Bou.....Uli pulang dulu ya. Hanya melirik tanpa mengatakan apapun saya pun berlalu begitu saja, ku tahan supaya air mata ini tidak mengalir. Dan tanpa terasa sudah sampai juga di rumah, kulihat Binsar yang sedang pamer ke teman-teman sekolah nya akan motor baru nya. Apakah pantas anak SMA kelas satu di kasih motor besar? Itulah yang ada dalam benak ku, ketika melihat Binsar pamer ke teman-teman nya. Kami empat bersaudara, anak pertama adalah kak Nengsih yang sudah menikah dengan bang Gotom anak pak camat. Yang kedua adalah bang Rado, sekarang katanya kuliah universitas swasta di Medan. Dan saya adalah anak ketiga yang barusan lulus SMK tata busana. Yang berharap bisa kuliah di UNJ, tapi harapan itu pupus sudah. dan anak ke empat adalah Binsar, anak bungsu yang selalu di penuhi keinginan nya. kulihat mamak di ruang tamu itu, duduk beralaskan tikar sambil melirik ku. "Nang kok dah pulang? "Iya Mak disuruh bou pulang, supaya bisa dandan cantik. "Tumben bou mu dukung. " tidak tau Mak, kata bou baju pengantin nya nanti bou yang menjahit kan dan itu gratis. "Bagus lah kalau begitu, mandi sana dan pake pakaian yang sudah mamak taro di tempat tidur mu, dandan yang cantik biar makin suka si Bornok itu sama kamu. "Iya Mak. Ku langkahkan kaki ini menuju kamar, untuk mengambil Handuk, Dan juga baju ganti, di kamar mandi ini kembali ku menangis, d**a ku ini sangat sesak, ku hapus air mata ku dan ku guyur tubuh ini dengan air. Terduduk dan termenung di meja belajar ku ini yang sekaligus meja rias, dulu aku dan kak Nengsih berada di kamar ini berdua, sekarang tinggal aku sendiri. Tanpa ku sadari air mata ini mengalir lagi. Kak Nengsih menghampiri ku ke kamar untuk membantu ku berdandan, kak Nengsih hanya terdiam sambil memoles bedak ke wajah ku, sampai selesai pun kak Nengsih tidak bersuara. Tiba-tiba saja kak Nengsih mengunci pintu kamar, kemudian melihat ke arah ku, dengan tatapan yang sayu. Uli.... Jika kamu nanti liat Kakak tersenyum dan tertawa, ingat lah itu semua palsu. Beberapa saat kemudian kak Nengsih berhenti menatap ku, dan membuka pintu kamar, dan menyuruh duduk dekat mamak dan bapak. Saat itu ku lihat keluarga bang Bornok sudah hadir dengan membawa ikan mas arsik. Kak Nengsih dan suaminya, dan juga bou hadir, hanya Binsar yang tidak ada. Pikiran ku melayang tidak jelas kemana tanpa arah, bola mata ku ini hanya menatap bang Bornok, pria yang besar dan gemuk umurnya ku taksir sudah 30 tahun dan wajah nya khas Batak pada umumnya. "Ya Tuhan cantik kali kau dek Uli, mau nikah sama Abang kan? Saya hanya mangguk-mangguk setuju, seketika itu wajah bang Bornok sumringah. "Uli...nanti apapun akan bou kasih sama mu, bahkan jika kamu ingin buka rumah Jahit seperti bou Riris mu itu, bisa bou buka kan, asal nikah dulu Uli sama bang Bornok ya. Dan lagi saya hanya mangguk-mangguk aja, dan kami pun makan malam, makan dengan ikan arsik yang di bawa oleh keluarga Bornok. "Mak...bapak...bou....amang Boru dan bang Bornok saya mau mengajukan syarat terlebih dahulu, saya mau sebelum martuppol atau tunangan saya harus dapat ijazah dulu dari sekolah, dan itu tidak lama hanya butuh waktu tiga Minggu dari sekarang, sembari mintak maaf ke sekolah karna Uli ngak jadi kuliah di UNJ Jakarta. Persyaratan yang ku ajukan dengan mudah nya di setuju oleh keluarga Bornok. Dan selanjutnya adalah membicarakan perihal sinamot atau mahar, tata cara pesta adat dan sebagainya. Setiap di tanya saya setuju-setuju saja, tidak membantah atau mengeluarkan kata apapun kecuali iya. Mahar 35 juta dan sawah untuk bapak dan mamak akhirnya disepakati, peralihan nama nya nanti saat martuppol atau tunangan nanti. Setelah acara, keluarga Bornok pun pamit pulang, dan aku pun segera masuk kamar, kemudian di susul oleh kak Nengsih, kak Nengsih menatapku dengan kecewa dan kemudian keluar dari kamar, sesaat kemudian ku dengar motor riceking nya berlalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD