8. Sushi, Shanin dan Raynzal

1143 Words
SHANIN merapatkan jaket bomber berwarna merah muda bertuliskan 'Crooked' dibadannya, saat ini waktu menunjukan pukul 6:30 pagi, itu artinya ia masih memiliki waktu setengah jam lagi sebelum gerbang sekolahnya ditutup. Dengan malas gadis itu melangkah, ia sudah mempersiapkan diri untuk kelanjutan dari kisah kelamnya disekolah. Sudah lewat dari dua hari sejak kejadian Arga dan teman-temannya menemaninya untuk makan dikantin, setelah hari itu, Shanin belum kembali melihat batang hidung mereka. Sepertinya mereka sudah beberapa hari ini tak masuk sekolah, atau mungkin mereka sibuk menemani Al. Tiba-tiba mata Shanin terpejam dengan jantung yang berpacu cepat begitu cipratan dari genangan air kotor yang berada di sampingnya mengenai seluruh tubuhnya mulai dari rambut, wajah, baju, rok dan sepatu. Dengan mata yang masih terpejam, kedua tangannya terlihat merogoh saku seragamnya dan mengambil sehelai tissue, kemudian terlihat membersihkan matanya agar ia bisa melihat siapa yang sudah merusak pagi harinya. "Sori-sori, anjir gue gak liat ada genangan air!" Mata Shanin membulat begitu seseorang yang tengah duduk di atas motor ninja berwarna hitam itu nampak berada di hadapannya dengan wajah yang merasa bersalah. "Al? Al udah sehat?" Bukannya marah karna sudah dikotori, ia malah memilih untuk melepaskan rasa penasarannya. Cowok itu memperhatikan setiap detail tubuh Shanin dengan kening yang berkerut, "Anjir kena semua, lo gak pa-pa?" Tanyanya tanpa menggubris pertanyaan Shanin. Gadis itu mengangguk cepat, "Al udah sehat? kenapa naik motor? Katanya tulang rusuknya patah?" Bibir Al melengkungkan senyuman begitu mendengar pertanyaan lucu Shanin dengan ekspresi yang tak kalah lucu, "Gak patah kok, cuma miring dikit. Sekarang udah sehat," Pandangan Al kembali kepada apa yang telah ia perbuat, "Lo beneran gak pa-pa? Kotor semua gitu, njir!" Shanin menunduk, memperhatikan sepatu putihnya yang kini sudah berubah warna menjadi cokelat muda, "Gak pa-pa kok, kalo bukan Al yang ngotorin, paling Abby," Jawabnya enteng yang semakin membuat Al merasa tak enak. Cowok itu memandang sekitar, lalu kemudian menggaruk-garuk belakang kepalanya, ia sepertinya sedang berfikir, "Ikut gue aja gimana? Ganti baju, rok, sepatu sama bersihin rambut lo?" Shanin mengerutkan keningnya, "Ikut kemana?" "Rumah Arga, mau?" Gadis itu terdiam dengan pandangan yang kini menatap jam tangan mungilnya, "Tapikan sebentar lagi masuk, Al gak sekolah emang?" Al tersenyum geli, "Gak, gue sama yang lain udah tiga hari gak masuk." "Kenapa emang?" "Males." Kening Shanin kembali berkerut, segitu gampangnya ia mencari alasan untuk tak masuk sekolah. Mungkin itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Ia lalu memperhatikan pakaian Al yang memang bukan mengenakan pakaian sekolah, celana jeans dengan bagian lutut yang terdapat lubang, baju hitam polos dibalut jaket kulit berwana putih. "Mau?" Pertanyaan Al menghilangkan lamunan Shanin, gadis itu terdiam dengan menggigit bibirnya bingung. "Kalo Shanin bolos, orang tua Shanin gak bakal dipanggil kan?" Al menggeram cukup kesal, selain bodoh atau bahasa lainnya polos, gadis kecil ini ternyata banyak tanya, "Enggak, bilang aja lo sakit. Jadi mau gak?" Untuk beberapa kalinya Shanin berfikir, hingga jawaban terakhir yang ia putuskan adalah, "Mau." ***** Sebuah sweater berwarna putih dan celana jogger berwarna hitam terlihat dilemparkan ke pelukannya, setelah mengubrak ngabrik sebuah lemari yang berada di dalam kamar Arga, akhirnya cowok itu keluar dengan membawa satu set pakaian yang super kebesaran pastinya. Selesai melemparkannya, cowok itu terlihat kembali pada aktivitasnya. Bermain Lego dengan Derren. "Kalian tuh kayaknya terikat mulu sih, jodoh siapa tau?" Steve yang kini tengah menonton sebuah film horror bersama Raynzal dan Arkan di depan sebuah TV berlayar besar terlihat melirik Shanin dengan pakaian kotornya. Al yang mendengar perkataan ngasal Steve hanya tertawa kecil, "Kamar mandi di ujung lorong, terus belok kanan, ada tangga kecil ke atas, di sana ada pintu warna cokelat, di dalemnya ada kayak gudang gitu." Shanin terdiam tak mengerti dengan penjelasan yang barusan Al berikan dengan menatap cowok itu bingung, "Kamar mandinya ada digudang?" Semua orang kecuali Arga dan Richard tertawa geli, "Enggaklah, kan tadi gue bilang di ujung lorong,” "Terus yang barusan Al bilang ada tangga ke atas menuju gudang itu apa?" "Ngasih tau doang, kamar mandinya mah ada di ujung lorong" Al menjelaskan dengan menahan tawanya, cewek itu gampang sekali dikerjai. Dengan mengangguk lucu, Shanin mulai melangkahkan kakinya menuju tempat yang tadi Al beritahu hingga sampailah ia ke dalam kamar mandi besar yang di dalamnya bernuansa putih. Sebuah cermin besar terlihat berada di atas wastafel, Shanin berdiri dihadapannya, memandangi wajahnya yang saat ini terlihat kotor. Matanya beralih menatap ke tujuh buah sikat gigi berbeda warna yang tersusun rapih di hadapannya, "Mereka tinggal di sini?" Tanya Shanin bingung. Namun akhirnya Shanin memilih tak berfikir keras lagi dan segera membersihkan dirinya. Satu jam lebih gadis itu bekutat di kamar mandi hingga akhirnya ia siap dan segera berjalan keluar, menuju ruangan bermain dimana terdapat semua makhluk tampan itu. Beberapa pandangan menyapanya, dan dari yang terlihat, mereka nampak memandangi Shanin dengan kagum. Rambut hitamnya yang tergerai setengah basah dengan baju dan celana yang kebesaran, bahkan gadis itu nampak cantik walau bukan memakai pakaian miliknya. "Lo udah sarapan?" Richard yang tadi ikut memandangi Shanin akhirnya bersuara sesudah berdehem canggung, tatapan gadis itu beralih ke arah cowok yang kini tengah memakai celana selutut dengan kaos hitam bertuliskan 'Dead, bich' yang saat ini tengah bermain catur bersama Al. Shanin menggeleng, "Gak sempet." "Laper? Mau makan apa?" Shanin cukup terkejud dengan pertanyaan yang cowok itu berikan. "Sushi?" Tanpa fikir panjang Shanin menjawab nama makanan yang saat ini terlintas di otaknya. "ANJIR!" Raynzal berteriak girang sembari bangkit dari posisinya, ia kemudian menatap Shanin dengan wajah yang tersenyum senang, "Lo suka Sushi!?" Shanin yang tadi sempat terkejud begitu mendengar teriakan Raynzal nampak mengangguk tak mengerti, "Banget." "Akhirnya ada juga yang suka Sushi! Lo tau gak, selama gue temenan sama mereka, gue itu gak pernah boleh makan sushi," Shanin tersenyum mendengarnya, ini kali pertama Raynzal berbicara dengannya tanpa menggunakan nada sinis, kesal atau sebagainya, "Oh ya? Kenapa?" "Karna mereka gak ada yang suka, gue doang. Bahkan nyium baunya aja mereka muntah-muntah, jadi berkat lo, gue hari ini akan makan Sushi." Katanya lagi dengan tersenyum penuh kemenangan, sementara ke enam temannya yang lain terlihat memasang wajah datar. "Order now, please," Pinta Raynzal kepada semua temannya, namun tak ada yang menanggapinya, malah menatapnya dengan pandangan menusuk, "Ini kemauan dia loh bukan gue, katanya Al mau bales budi, ngomong doang nih?" "Lo juga mau tapikan?" Tanya Richard yang saat ini sudah mulai menutup hidungnya menggunakan kerah baju, sepertinya ia sudah mulai merasakan mual. Padahal Sushinya saja belum ada. Ditanya seperti itu sontak Raynzal mengangguk senang, "Gak mau makan yang lain? Pecel lele? Ayam bakar? Nasi goreng? Pancake?" Arkan memberikan list. "JANGAN!” Respon Raynzal berapi, “Siapa nama lo? Ninda, ya?" Tanya Raynzal dengan bersemangat. "Shanin, nyet. Ninda tuh siapa lagi?" Kata Derren memperbaiki. "Oh iya, Shanin. Jangan mau ganti ya, Shanin. Kita makan itu aja, fix." Raynzal berfikir serius, "Ichiban Sushi?" Idenya yang segera Shanin tanggapi dengan anggukan kepala antusias. "Ichiban Sushi? Deal!" Selanjutnya, hanya keluhan tak suka yang mereka berdua dengar dari para pengunjung disekitar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD