01

930 Words
Ini yang selalu menjadi permasalahan anak muda yang baru saja lulus atau tamat SMA. Salah satunya, aku. Khususnya di negara berkembang seperti Indonesia ini. Siapa yang akan dengan mudah mendapatkan pekerjaan? Terlebih, hanya lulusan SMA. Jangan bercanda, yang dengan mudah mendapat pekerjaan dengan jabatan tinggi adalah mereka yang sudah diakui. Tidak usah disebutkan bagaimana konteks 'diakui' itu. Beberapa hari ke depan, aku akan berusaha untuk mendapatkan pekerjaan. Tak apa jika harus bekerja sebagai office girl, aku masih bisa mencari sampingan lagi untuk menambah tabungan agar bisa cepat membiayai kuliahku. Ya, aku mengakui jika sebagai pekerja di Indonesia tidak atau belum? Mendapat penghargaan yang cukup. Aku pernah diberitahu guru bahasa Inggris, bahwa bekerja paruh waktu di Canada bisa mendapat gaji tiga puluh dolar per jam. Sudahlah, lagi pula itu di negara maju. Entah kapan Indonesia akan mengembangkan ketenagakerjaannya. "Kamu mau cari kerja?" tanya bu Sera padaku. Sejak semalam, aku memutuskan menginap di rumah bu Sera. Dia sudah seperti ibuku sendiri. Aku yakin ibuku kandungku tidak akan sibuk mencari keberadaanku. Karena dia akan berangkat kerja dari jam delapan malam hingga jam lima pagi. Mana sempat dia memedulikanku. Dan, makan malam saja itu kadang-kadang. "Gimana kalo kamu ngajar?" Bukan maksudku menolak, tapi sepertinya gaji menjadi seorang pengajar sangat jauh untuk membantuku memenuhi isi tabungan. Dan juga, aku tidak bidang dalam hal mengajar. Menghadapi sifat orang lain yang tentu saja berada dibawahku tingkatannya, serta diharuskan mengenal sifat-sifat ajaib mereka... aku tidak siap. "Nggak deh, Bu. Aku kayaknya nggak bisa kalo ngajar. Kurang sabar kayak Ibu, soalnya." "Kamu kan bisa belajar seiring waktu, Kai. Nggak harus dipaksa langsung sabar. Anggaplah itu sesi pembelajaran uji kesabaran." Aku hampir saja mendengus tidak suka dengan apa yang baru saja bu Sera ucapkan. Karena pada dasarnya, bukankah aku sudah sangat diuji kesabaran dengan keadaan keluargaku sendiri? Tidak sadarkah bu Sera atas apa yang dia ucapkan? Tapi tentu saja aku kembali memasang senyuman. Salah satu mengapa aku suka berada di dekat bu Sera, karena sifatnya yang dibuat terlalu naif. Entah karena dia memang orang yang terlalu baik, atau memang pada dirinya itu sudah tertanam kebodohan selalu berpasrah dan jatuhnya seperti tidak memahami hidup... entahlah. "Pokoknya, Kai akan cari kerjaan yang lain, Bu. Kalo emang nanti Kai berubah pikiran... Kai akan bilang kok." Tapi sepertinya aku tidak akan pernah mengatakan apa-apa, toh, selama ini aku lebih baik mengurus apa keputusan yang baik untuk diriku. Tapi aku tetap menghargai apa yang bu Sera katakan. * Hari ini aku ternyata ditakdirkan untuk mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan kecil milik Mbak Arimbi—namanya. Tidak mbak Arimbi, nama lengkapnya adalah Arimbi Saka Purnama. Wajahnya, cantik. Bukan tipikal yang berdandan tebal, atau terlalu sederhana yang menjurus kampungan. Tapi dia sangat modern, casual... ya itu lebih benar. Perusahaan ini bergerak untuk menjadi perantara antara penjual dan pembeli. Aku juga masih bingung menyebutnya bagaimana, yang jelas, aku menjadi salesonline di sini. Katanya, asal aku bisa menggunakan komputer dengan baik dan mumpuni, dia tidak masalah dengan statusku yang hanya lulusan SMA. Aku diperkenalkan dengan supplier yang bernama Kurni, sekarang aku memanggilnya Mbak Kurni tentunya. Mbak Kurni juga tidak kalah baik, dia bahkan mengatakan suka dengan karakterku yang tidak semena-mena. Ya, karena selain aku suka lebih santai dan tidak grusak grusuk, aku juga sadar dengan posisi diriku sendiri yang masih baru. Oh, iya. Aku bisa masuk di sini juga karena mendapat sedikit bantuan dari salah seorang kenalan bu Sera. Dia bilang aku pasti bisa menjalankan profesi ini dengan baik, jadi aku tidak akan menyia-nyiakan. "Kai, bunga-bunganya tolong di-cek, ya. Soalnya pihak rumah sakit harus menerima yang segar, kalo ada cacat, kamu tegur aja si Barly." Seperti dua hari kemarin, mbak Arimbi akan turun dari ruangannya jika ada sesuatu yang perlu ia ingatkan padaku. Salah satunya mengenai kualitas bunga. Ya, karena aku sales yang bernaung dibagian flowers—bisa papan bungan, bucket, atau lainnya yang berhubungan dengan cokelat dan kue wedding... itu yang mulai aku urus. Aku sendiri duduk berhadapan dengan senior yang kukenali wajahnya oriental. Dia sangat cerewet hari ini, setelah dua hari kemarin dia izin sakit. Kami baru bertegur sapa, dan hari ini dia sangat menyebalkan dengan mulut sialannya itu—oh, ya ampun... aku mengumpat. "Kamu harus hati-hati kalo cek barang, jangan sampe ada yang rusak, nanti konsumen marah. Kamu harus banyak nanya, biar meminimalisir kesalahan, ada saya di sini, kamu pasti butuh banyak masukan." Aku tersenyum, "Oke, Koh Manuel. Saya pasti kerja dengan maksimal, soalnya Mbak Arimbi juga sering banget ingetin. Makasih atas wejangannya, Koh." Memang aku memanggilnya kokoh, ya namanya juga dia orang chineese, ya sudah.... * Kembali ke rumah... ahhhh, menyebalkan. Tapi tunggu! Kenapa ada mobil di depan rumah? Apa ibu sudah bisa menghasilkan uang sebanyak itu? Kenapa dia tidak memberi tahuku? Ahhh, aku kembali ingat. Aku kan bukan putri yang harus diajak komunikasi, tentu saja itu hak ibu jika mau membeli mobil tanpa sepengetahuanku. Memasuki rumah, aku semakin merasa ada yang mengganjal. Suara kikikan ibu dengan... laki-laki? "Kai, sudah pulang?" Dia bertanya, tapi ada yang sedang bergelayut memeluk ibu dari belakang. Aku sungguh malas melihatnya. Sempat aku terkejut, karena mataku dengan laki-laki c***l itu sempat bertemu, tapi aku langsung memutuskan, karena memang dari pandangannya saja, laki-laki itu sangat menjijikan. "Udah, kerjaannya selesai di kantor, tapi harus ngurusin permintaan di rumah." Anggaplah hubungan kami sebagai anak dan ibu baik-baik saja. Jadi aku ingin dia sedikit mengetahui masalah pekerjaanku. "Ayo makan malem, kamu ganti baju. Mama mau kenalin sama..." Ibuku itu melirik sekilas pada laki-laki yang sudah melepaskan pelukannya terhadap ibuku. "Kai ganti baju dulu, kalo gitu. Mama duluan aja kalo mau duluan." Sengaja aku menyekat, dan buru-buru meninggalkan keduanya. Rasanya aku ingin meledak saat ini juga.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD