1. Season

832 Words
Kedatanganku ke Abel Wood adalah untuk memperbaiki sesuatu yang sudah hancur. Presentase keberhasilannya jelas nihil. Sesuatu yang rusak saja sulit menjadi seperti awal, lalu dihadapkan dengan hancur yang ingin menjadi semula? Mustahil. Tapi di sinilah aku berada. Dalam kelas yang terasa begitu asing diisi oleh tipe manusia sama seperti sekolahku sebelumnya. Tak ada yang spesial baik suasananya ataupun diriku sendiri. Seperti biasa, aku hanya perlu menjadi Isla rob –gadis penyendiri yang keberadaannya tak ingin disadari. Seperti hantu, pemurung, dan segala hal menyedihkan lainnya. Tak masalah, aku lebih suka seperti itu. Berada dalam zona nyaman tanpa ada yang mengusik. Pun mataku terkunci pada sosoknya—Park Jinmin. Rambut hitam legam dengan bibir penuh. Rahang tegas dan mata yang dapat menenggelamkanku di sana. Hanya dalam satu kali tatap, membuatku terlena. Ketakutan jatuh terjerat dalam pesonanya yang jelas telah berhasil. Jika menggambarkan tentang sosoknya seperti bulan. Bersinar di tengah kegelapan—namun dia sendiri adalah bagian dari malam. Satu putaran waktu dalam setahun aku telah berada di Abel Wood. Kedatangan pertama di musim semi, pertemuan dengan Jinmin dan perlakuan manisnya yang membuatku jatuh cinta. Membuatku lebih cerah daripada sebuah matahari. Tersenyum terus-menerus. Musim panas yang mendebarkan. Pada liburan panjang, dia datang ke rumahku tiba-tiba. Celana pendek dan kaus kuning polos bahkan membuatnya begitu segar. Ingin memeluk karna terlampau menggemaskan. Telebih ketika matanya menyipit memberikan senyuman. Kalau ada yang lebih indah dari senyumannya, aku mungkin akan menyerahkan apapun yang aku miliki untuk terus melihat itu. "Ayo ke pantai! Kencan!" ujar Jinmin saat itu terlihat begitu bersemangat. Begitu tenang seperti itu bukanlah hal besar. Sementara aku ingin meledak saking terkejut. Satu anggukan tentu saja ku layangkan. Bodoh kalau menolak. "Tapi kalau mau ke pantai bersamaku, kita harus berpacaran dulu." Ujarnya lagi lebih membuatku bungkam. Diam. Membeku. Tak dapat merespon apa-apa. Sementara gadis dalam batinku sedang meraung kegirangan sambil menangis bersyukur. Hari itu, satu ciuman hangat di bawah air laut menjadi saksi hubungan manis kami. Omong-omong aku jadi suka warna kuning karna itu. Musim gugur, aku sangat suka. Romantis. Dingin namun tak masalah karna Jinmin menghangatkanku. Bersamanya membuatku percaya bahwa sesuatu yang hancur dapat menjadi lebih dari sekadar baik jika bertemu orang yang tepat. Atau lebih akuratnya jika bertemu Park Jinmin. Sejujurnya aku tidak percaya Tuhan setelah semua yang aku alami. Surga dan neraka itu hanya teori belaka di mana kita harus bersikap baik demi menguntungkan pihak lain. Karna hidupku jauh dari apa yang bisa disebut pertolongan Tuhan. Atau perkara surga-neraka yang mengharuskan menjalani hidup dengan norma. Hidupku hancur. Terlampau hancur bahkan ketika aku berusaha menjaganya baik-baik. Surga dan neraka tidak menjamin bagaimana orang bersikap padaku. Namun Park Jinmin membuatku percaya akan pertolongan Tuhan. Percaya bahwa dia adalah wujud malaikat yang mungkin sedang berpura-pura seperti manusia. Bersamanya kehidupanku berubah, penuh tawa. Hal-hal manis yang ku kecap setiap harinya Aku sangat mencintai Park Jinmin. Musim dingin seharusnya menjadi hal yang tak terlupakan dengan kenangan yang akan kami buat. Seperti aturan yang dibuat bahwa jika di atas kepala terjalin mistoletoe, maka berciumanlah dengan pasangan—orang yang kau cintai. Kemudian akan ada semoga-semoga yang dijabarkan manis dalam mitos tersebut. Malu sekali mengakui bahwa aku adalah gadis kasmaran yang menggila, menunggu hari itu. Namun yang kutemukan di antara salju yang turun malah kata penyelesaian. "Kita sudahi saja." "Kenapa?" Jelas aku butuh alasan. Kami baik-baik saja selama ini. Aku bahagia dibuatnya. Tak ada pertengkaran besar sama sekali. —atau hanya aku yang menganggap begitu. "Kau dan aku bahkan tidak benar-benar saling mengenali. Kita hanya tahu sisi saat kita bersama. Selebihnya? Asing. Tak ada gambaran apapun." Dan Jinmin benar sepenuhnya. Itu jelas mengakhiri hubungan kami. Tak dapat menyangkal sedikitpun. Namun satu kalimat yang dia janjikan terus teringat. "Kalau kau sudah siap menunjukan segala tentangmu, datanglah padaku." Bungkam. Aku jelas tak bisa mengatakannya. Dia adalah satu-satunya hal yang memperbaikiku dari kehancuran. Pelarian dari duniaku. Dan kalimat terakhir dalam kepalaku membuat sadar sepenuhnya bahwa aku salah. Tidak seharusnya Jinmin sekadar pelarian. Bahkan kami memang sama-sama tak mengenal jelas tentang satu sama lain. Yang aku tahu hanya Jinmin yang aku gilai, cintai setengah mati. Tak mempedulikan bagaimana kehidupannya, bahkan teman-temannya. Tak pernah sekalipun aku bertanya. Aku hanya tenggelam dalam dunia yang aku buat sendiri dengan Jinmin sebagai alat imajinasi yang sempurna. Sementara aku menutupi segalanya. Kenyataan bahwa aku begitu rapuh, hancur dan kemudian hancur lagi. Lebih dan lebih. Malam ini di pertengahan musim semi, hujan lebat dengan petir yang menyambar. Aku kembali hancur. Satu-satu yang aku ingat adalah sosok Jinmin. Begitu nekat tak seperti Isla yang biasa. Isla yang terbiasa menikmati setiap rasa sakit yang dia terima. Aku bangkit. Lari sejauh mungkin menerjang hujan. Mengabaikan Iblis yang menghancurkanku sedang tertidur mencekik botol alkohol. Meninggalkan pecahan barang apapun yang bisa dihancurkan—persis seperti diriku. Berlari secepat mungkin menuju apartement Park Jinmin. Satu-satunya orang yang aku percaya. Orang yang bahkan sudah memiliki kebahagian lain yang bukan diriku. "Save me, Park." Satu kalimat yang keluar begitu saja dari bibirku bersamaan dengan Jinmin yang memegang daguku dengan jarinya. Melumat bibirku yang di sudut terdapat darah mengering. Menjilatnya. Memakan bibirku lemat-lemat penuh gairah. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD