2. Trust

1078 Words
Dulu setiap aku melihat Jinmin dan teman-temannya seperti dalam kelompok pria di film Final Girl. Pria-pria tampan yang mengerikan –menghabiskan waktu malamnya untuk perburuan, menjerat wanita dan menjadikannya seperti objek permainan kejar-kejaran atau terbunuh. Sebegitu menakutkannya hanya karna diriku yang terlalu menyedihkan dengan rasa insecure yang begitu tinggi. Namun jelas itu salah, terlebih bagaimana Jinmin mengulurkan tangannya padaku saat itu. Sampai sekarangpun aku masih bertanya-tanya apa itu nyata atau mimpi. Walaupun hanya dalam satu perputaran musim, aku merasakan apa itu kebahagiaan. Kupikir cukup, tapi kenyataannya aku mendamba bahagia itu lagi. Menemukan diriku yang semakin membenci kehidupanku. Dan Park Jinmin adalah nama yang begitu aku rindukan. Satu tahun setelah semuanya usai, keinginanku menarikku kembali dan berakhir di apartement milik Jinmin. Aku yang dulu bahkan enggan untuk masuk ke dalam sekalipun Jinmin hanya mengambil dompetnya yang tertinggal. Aku menunggu di luar begitu saja. Kadang aku sadar bahwa hal itu menyebalkan, menyakiti hati Jinmin –atau yang paling tepat —aku membosankan. Alasan yang Jinmin tidak ucapkan langsung saat mengakhir hubungan kami. 'Tidak saling mengenal' jelas ketika membiarkan otakku berputar, aku mengerti dengan sangat maksudnya. Tentu saja karna jarak yang selalu aku ciptakan. Atau hubungan terlalu monoton yang membuat dia bosan. Atau malah sikapku yang memang pada dasarnya membosankan. Jinmin lelah. Bosan. Aku sadar dengan jelas itu. Aku tidak ingin beranjak dengan zona nyamanku sendiri sampai aku kehilangan dirinya. Dan semalam adalah pilihanku. Keluar dari sana, berlari menemui Park Jinmin walaupun aku sadar mungkin telah terlambat. Tapi hanya dia harapanku untuk bahagia, setidaknya sampai aku benar-benar menghilang dari dunia ini. Aku tak masalah asal dengannya. Aku percaya sekalipun cara untuk membuatku keluar dari hidupku yang hancur adalah dengan menghancurkanku lebih dalam lagi. "Sudah bangun?" ujar Jinmin lembut ketika mendapatiku keluar dari kamarnya. Aku gugup. Berdebar berada dalam apartementnya. Melihat wajah Jinmin baru bagun tidur. Semakin tampan. Buru-buru kuanggukan kepalaku dengan tetap menunduk. Menghindari tatapan matanya yang mungkkin akan membuat jantungku tak dapat lagi berfungsi dengan baik. Semalam kami berciuman. Ciuman yang benar-benar berbeda dari yang pertama kali kami lakukan. Ya, aku hanya pernah berciuman dengan Jinmin sekali –itu juga terlalu kaku saat kami berkencan di pantai. Beda sekali dengan ciuman penuh gairah yang membuat lututku semalam lemas sampai tak bisa berdiri. Mungkin benar ketika Jinmin mengatakan banyak hal yang belum aku tahu tentangnya. Dan dulu aku mengabaikan hal itu. Salah satunya adalah sisi dirinya yang seperti ini. Kalau boleh jujur, aku menyukai itu... "Semalam m–maaf..." lirihku. "Untuk?" tanya bingung. Bibir penuhnya itu mengerucut. "Karnaku. Pacarmu jadi pergi." Jinmin terdiam sesaat terlihat berpikir menerka maksud dari ucapanku. Lalu dia mengangguk-anggukan kepalanya. "Ohh, dia bukan pacarku." Ujarnya. Hal itu membuatku tertegun sesaat. Rasanya senang sekali mendengar gadis yang bernama Taeri itu bukan pacarnya. Namun di sisi lain logika menyadarkanku. Pacar atau bukan, tapi wanita itu berada di apartment Jinmin tengah malam. Yang terpenting adalah dia memakai kaus Jinmin tanpa celana. Jelas sekali posisi gadis itu apa sekalipun bukan kekasihnya. Pun aku berpikir mencari-cari bahan pembicaraan lain. "Kau kenapa tidak tidur di kamar?" tanyaku kebingungan karna sekarang dia berbaring di sofa dengan satu tangan di atas kepala. Tapi belum sempat dia menjawab, pintu kamar tamu sudah terbuka dan keluar seorang pria dari sana. Membuatku menemukan jawabannya. "Hyung... kenapa tidur di sofa?" tanya seorang pria dengan mata bulat, hidung mancung dan bibir atas sangat tipis sementara bibir bahnya terlihat penuh. Wajah pria itu sangat menyorotkan aura inosen. Aku mengingat-ingat siapa dia. Jelas sekali dia adalah salah satu teman dekat Jinmin. Dulu aku sering melihatnya. "Salah kau yang memakai kamarku, Kook!" Pria itu melihat ke arahku dengan bingung. "Ini mantan kekasihmu kan?" Aku langsung membungkukan badan memberi salah. "Ehm. Jung Isla." "Jeon Jungoo, noona." Ujarnya memperkenalkan diri. Ramah sekali. Jauh dalam bayangkanku dulu tentang teman-teman Jinmin. Kemudian pria bernama Jungoo itu kembali menoleh pada Jinmin. "Aku mengerti kenapa hyung tidur di sofa. Wah hyung gentle sekali!" goda Jungoo. Pipiku memerah mendengar itu. Tapi dalam satu detik keadaan berbalik ketika Jinmin menatapku. Tersenyum smirk sebelum menjawab balik Jungoo. "Tidak juga." Aku sampai tidak bisa bernapas. Mengerti maksud perkataan Jinmin. Harusnya aku berlari karna ini. Tapi bahkan sebelum aku masuk, Jinmin sudah bertanya apa aku yakin dengan pilihanku atau tidak. Ini adalah keputusanku. "Oh begitu. Ya sudah aku pulang saja daripad mengganggu." Jungoo mengangguk-anggukan kepala sambil mengacak-acak rambutnya dan lalu menyisirkan lagi dengan tangan. "Ngomong-ngomong kapan Taeri noona pergi, hyung?" tanya Jungoo dengan raut sedih kali ini. Mendengar nama itu aku tentu tahu yang dia bicarakan adalah gadis yang semalam. "Semalam. Begitu dia tersadar dari mabuk, dia langsung pergi begitu saja." "b******k!" keluh Jungoo. "Kau yang b******k Kook." "Aku mabuk hyung!" "Kalau kau mencintainya, rebut hatinya kembali dengan benar." Pun karna itu Jungoo terdiam dan masuk ke kamar untuk bersiap. Sementara itu aku jadi semakin mengerti keadaan yang terjadi. Tanpa sadar sudut bibirku tertarik ke atas. "J–jadi gadis semalam itu—" Jinmin mengangguk. Menjawab pertanyaanku sebelum aku kebingungan untuk membuat kalimat. Dia masih sama, membuatku nyaman dan mengerti diriku. "Mantan kekasih Jungoo. Tapi ya—mereka masih saling mencintai. Rumit. Tidak usah dipikirkan." Jungoo keluar saat itu dari kamar sudah mengenakan hoodie. "Hyung aku pakai mobilmu dulu ya?" Jinmin mengangguk seraya Jungoo berjalan ke pintu keluar. "Lain kali kalau ingin menumpang kamarku lagi pastikan kau dan Taeri sudah berbaikan. Jangan begitu. Dewasa Kook!" teriak Jinmin. "Ya berisik hyung!" teriak Jungoo balik bersaaman dengan suara pintu ditutup. Dan sekarang tinggal aku dan Jinmin. Senyuman menenangkan Jinmin kembali terlihat. Dia menepuk ruang kosong di samping sofanya. "Duduk. Lelah kalau berdiri terus." Perlahan aku berjalan ke sana dan duduk dengan manis. Dia memegang bahuku dengan lembut untuk memutar tubuhku berhadapan dengannya. Namun saat itu aku langsung meringis. Membuat dirinya menatapku sendu. Menghela napas begitu berat. Membuka kancing kemeja piyama milik Jinmin yang sedang aku kenakan dengan perlahan. Membuat aku berdebar-debar seperti jantungku sudah mencelos jauh tak berada lagi di tempatnya. Netra amber Jinmin menatap memar-memar yang ada di bahu sampai tulang selangkaku. Perlahan dia mendekat dan mengecupinya. Menciumi lembut tulang selangkaku. Rasa sakitnya berganti dengan geli yang seakan menyetrum seluruh tubuhku. Tapi sungguh begitu lembut ketia bibir itu menyusuri kulitku yang lebam. "Aku akan membuatmu menikmati hidup, Isla..." Bisiknya seraya membuat tanda yang warnanya hampir sama dengan memarku saat ini. Tapi dia melakukannya dengan cara berbeda. Bukan kekerasan melainkan sentuhan menggairahkan dari bibirnya yang menghisap dan menilat leherku. Membuatku meremas kausnya sambil sedikit mendesah. Ini pertama kalinya untukku. Melakukan kontak fisik seperti ini. Aku begitu takut. Perlakuan kasar Ayahku meninggalkan sebuah trauma. Namun Jinmin, aku mempercayainya. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD