CHAPTER 4

2664 Words
    Aku terbangun. Mataku mengerjap menatap sekeliling. Dan aku tidak terbangun di kamarku, tidak juga di kamar Camellia. Aku menggunakan pakaian berwarna putih polos sepanjang lutut mirip dengann pakaian rumah sakit. Badanku terasa ngilu. Tangan dan dahiku dibebat perban putih. Itu artinya aku tidak bermimpi. “Sudah bangun ya.” Camellia masuk melalui pintu kayu selebar kurang lebih dua meter tersenyum kepadaku. Dia berjalan ke samping ranjangku untuk membuka jendela. Mataku terasa silau terkena sinar mentari. “Bagaimana kondisimu?” Camellia duduk di samping ranjangku. Dia tetap terlihat cantik dengan pakaian hijau kesukaannya. Tidak ada luka di tubuhnya. Ia tetap kelihatan anggun seperti biasa. Aku ingat malam itu dia berteriak gahar dan meneriakiku dengan sangat kencang, bagaimana mungkin dia bisa terlihat begitu anggun seperti ini? “Aku baik-baik saja.” Ucapku menunduk memandangi tanganku. “Bagaimana kondisimu?” Aku balik bertanya, memandangnya. “Aku baik-baik saja.” Jawabnya disertai senyum simpul. “Kamu makan dulu ya, kamu sudah 2 hari pingsan haha.” Dia melambaikan tangan  keluar dari kamar sepertinya ingin mengambilkanku makanan. Tunggu, aku pingsan 2 hari? Itu artinya aku sudah 4 hari berada di dunia mimpi ini. Apa kabar mama dan papa? Apakah mereka mencariku? “Wah sudah bangun rupanya.” Seorang lelaki setengah baya dengan pakaian serba coklat menghampiriku. Jubah itu mirip seperti yang dikenakan nenek Smilax. Camellia dan seorang laki-laki muda berdiri di belakangnya. Aku mencoba tersenyum. Camellia meletakkan mangkuk makanan di meja samping ranjang. “Namaku Lupin Shamrock.” Kakek itu tersenyum menatapku. “Camellia menceritakan padaku, kalau kamu tidak berasal dari sini.” Kakek itu masih tersenyum menatapku. “Kakek Lupin ini adalah kakak dari Nenek Smilax.” Camellia menjelaskan. Aku mengangguk tersenyum. “Dan yang ini Hazel.” Camellia menunjuk lelaki di sampingnya. Lelaki itu mengenakan baju lengan pendek dan celana selutut. Ia memakai sepasang sepatu dengan corak seperti kayu yang merambat memutari kakinya. Dan semua pakaiannya berwarna putih dengan rambut coklat yang terlihat sangat cocok dengan tampilannya. Mata bulatnya menatap tajam. Dia seperti lelaki yang pendiam. “Dia yang menyelamatkan kita dari serangan srigala salju malam itu.” Terang Camellia. Aku masih ingat malam itu. Malam di mana kukira adalah malam terakhirku menerima hadiah nyawa dari Tuhan. Ternyata aku masih hidup. “Boleh kulihat tanganmu?” Aku menyodorkan tanganku pada kakek Lupin. Kakek Lupin memegang tanganku kemudian menutup matanya. Sedetik kemudian cahaya putih muncul dari tanganku. Aku merasakan kehangatan dalam tubuhku. Nyeri di tubuhku seakan sirna. Tubuhku terasa lebih rileks. “Queen Anne’s Lace.” Ucap kakek Lupin setelah sekian lama diam. Hazel dan Camellia terkejut saling beradu pandang. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Aku hanya diam memandanginya. “Maksud kakek?” Tanya Camellia. “Serpihan Gladiolus yang dimiliki Rin sejenis dengan Queen Anne.” Kakek Lupin melepaskan tanganku dan sinar itu hilang seketika. Namun rasa hangat masih merayapi tubuhku. “Tapi bagaimana bisa?” tanya Camellia bingung. “Siapa Queen Anne?” Tanyaku bingung. “Hazel bisa kau jelaskan?” tanya Camellia. “Queen Anne adalah pendiri kota ini. Beliau adalah orang dengan kemampuan yang tak terkalahkan. Serpihan Gladiolusnya memiliki beberapa kemampuan mulai dari menyerang, bertahan, hingga penyembuhan. Ada cerita yang mengatakan bahwa dia akan hidup abadi. Namun Queen Anne memilih mati untuk menyelamatkan negeri ini. Queen Anne punya dua anak laki-laki yang serpihannya jauh berbeda dari ibunya. Anak pertama tipe petarung dan anak kedua tipe bertahan.” Tutur Hazel memegangi dagunya. Kami semua memandangnya. “Tapi menurut legenda yang tertulis, seseorang dengan serpihan yang sama pernah muncul ke dunia ini. Kurang lebih 5000 tahun yang lalu. Tapi orang itu juga menghilang tanpa jejak.” Tambahnya. Aku mengangguk mulai mengerti apa yang terjadi. “Lalu kenapa aku bisa ada di sini?” Tanyaku. “Kemungkinan ada yang membawamu kesini.” Kata Hazel. “Tapi apa?” Kataku tidak sabaran. Hazel mengangkat bahunya. “Sudahlah. Kita akan tahu seiring berjalannya waktu. Sekarang, kita lihat kemampuan apa yang dimiliki Rin. Bukankah dia berhasil membunuh empat srigala salju?” kakek Lupin tersenyum kepadaku. “Bukankah kemampuan serpihan Gladiolus Queen Anne itu beragam, Kek?” tanya Camellia. “Ya, jadi kita pastikan dulu apa kemampuannya. Kemudian aku akan mengajari Rin sedikit ilmu pemulihan.” Kakek Lupin keluar dari kamar. “Tengah hari nanti kamu harus menuju ruang latihan bersama Rin.” Ucap Hazel pada Camellia sebelum turut keluar dari kamarku. Camellia mengangguk. “Maaf ya Rin. Sebenarnya aku bisa saja menyembuhkanmu waktu itu. Tapi kakek melarangku karena kondisiku juga tidak sebaik itu.” Camellia memandangku sedih. Aku tersenyum memegang tangannya. “Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Kamu juga butuh pemulihan kan.” Belum genap seminggu aku mengenal Camellia, tapi aku merasa nyaman ketika di dekatnya. Dia teman yang baik. Aku memikirkan Mama dan Papa. Bagaimana mereka sekarang? Apakah mereka mencariku? Aku masih bertanya-tanya bagaimana aku bisa berakhir di tempat ini. Sudah hampir lima hari aku di sini. Bagaimana rencana berlibur kami? Ma aku rindu. Aku memakan makanan yang dibawakan Camellia tadi. Makanan ini adalah sebuah roti panjang dengan isi yang memiliki rasa gurih.   “Hei, ini sudah hampir tengah hari.” Camellia menepuk bahuku. “Kuat jalan?” Tanya Camellia setengah terkekeh. Aku mengangguk kemudian berdiri. Camellia berjalan di depanku, kami akan menuju ke ruang latihan yang dikatakan Hazel tadi. “Camellia, ruang latihan itu apa?” tanyaku mengimbangi cara berjalan Camellia yang lumayan cepat. “Ya tempat latihan. Sama seperti namanya.” Jawabnya menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Ya, memang aneh juga aku bertanya hal yang sebenarnya jawabannya sudah jelas. Kami sampai di depan ruangan berpintu baja dengan ukuran yang sangat besar. Awalnya aku bingung bagaimana cara membukanya. Bayangkan saja untuk melihat bagian atas pintu ini aku perlu mendongak jauh sekali. ukurannya kurang lebih 15 meter dengan lebar tak kurang dari 5 meter. Di sebelah pintu terdapat kotak kecil. Jika di duniaku kotak itu seperti pembuka kunci untuk sidik jari –finger print. Tapi di sini berbeda, Camellia cukup berdiri di sana dan benda itu sudah memindai dengan sendirinya. Camellia bilang alat itu mendeteksi serpihan Gladiolus milik murid-murid yang terdaftar di ruang latihan. Jika serpihan Gladioulusnya tidak cocok dengan sensor, maka pertahanan khusus tempat ini akan aktif. Lantas bagaimana denganku? “Aku tahu apa yang kamu pikir, tenang saja, serpihan gladiolusmu sudah terdaftar.” Camellia mengerti wajah resahku. Pintu besar itu terbuka perlahan. Kami melangkah memasuki ruang latihan. Ruangan ini sangat luas. Aku bahkan tidak bisa melihat ujungnya. Hanya satu lantai dengan beberapa sekat, namun begitu luas. Banyak orang di dalam sini. Mulai dari orang-orang dengan jubah seperti Camellia, jubah seperti Hazel, hingga orang tanpa jubah yang berlatih pedang. “Selamat datang.” Kakek Lupin menyapa ketika melihatku dan Camellia berjalan. Aku tersenyum masih memperhatikan sekeliling. Murid-murid yang lain sedang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Entah membaca, menulis, latihan bertarung atau mengeluarkan cahaya dari tubuhnya. Ya mungkin murid-murid di sini bisa mengeluarkan cahaya seperti Camellia. “Murid-murid di sini semua adalah murid kakek?” Tanyaku pada kakek Lupin. Camellia sudah menghambur ke teman sekelasnya. Kakek Lupin mengangguk. “Kakek punya kemampuan apa?” Tanyaku. “Aku bisa semua kemampuan.” Kakek Lupin mencoba menyombongkan diri sambil terkekeh. Aku terkejut. Mengagumkan! Melihat Camellia si ahli medis medis bertarung saja sangat keren, apalagi mampu menguasai semuanya? “Hahaha sebenarnya bukan begitu Rin.” Kakek terkekeh. “Sebenarnya kemampuanku adalah ‘Meniru’. Ini termasuk kemampuan langka namun terbatas. Aku hanya bisa meniru beberapa kemampuan saja. Berbeda dengan jenis  Gladiolusmu yang secara alami bisa menguasai semua kemampuan.” Tambahnya. “Ikutlah denganku. Kita lihat apa kemampuanmu yang sebenarnya.” Kakek Lupin berjalan menuju salah satu bilik di ruang latihan ini. Aku mengikutinya. Ternyata dakam ruangan luas ini terdapat banyak bilik yang tersembunyi. Kakek mengajakku ke sebuah bilik yang katanya tempat memeriksa serpihan gladiolus milik siswa-siswa baru. “Duduklah.” Kakek Lupin menyilahkanku duduk di tengah bilik itu. Aku duduk di lantai dengan simbol-simbol aneh. Ruangan ini luas dan kosong. Hanya beberapa lilin yang berada di sudut ruangan sumber cahaya di sini.  Kakek lupin keluar sebentar barangkali melihat kondisi murid-muridnya di luar. Aku mengamati sekeliling ruangan ini. Baru kusadari bahwa dinding ruangan ini penuh dengan relief-relief unik. Ini seperti sebuah cerita bersambung. Aku melihat gambar seorang perempuan dengan sebuah mahkota menghiasi kepalanya. Tangan kanannya memegang sebilah pedang dengan ukiran yang indah, tangan kirinya memegang sebuah tameng. Dia terlihat begitu menawan di tengah-tengah orang-orang lain di sekelilingnya. “Dia adalah Queen Anne.” Kakek Lupin mendekat padaku. Aku menoleh padanya. “Dia adalah ratu pendiri kota ini. Sekaligus penyelamat negeri ini.” Lanjutnya sembari duduk di depanku. Hazel sudah menjelaskan tadi, tapi sebenarnya aku masih belum sepenuhnya mengerti. “Menyelamatkan negeri ini dari apa Kek?” “Sihir Hitam.” Ucap Kakek Lupin pendek. Aku terkesiap. Ada sihir di tempat ini? “Sihir?” “Itu adalah sebuah organisasi jahat. Penyebar teror dan kehancuran. Queen Anne mendirikan sebuah sekolah pelatihan untuk para warga yang ingin bertarung di garis depan dengan Queen Anne.” Kakek Lupin menghela nafas panjang. “Aku dan saudariku Smilax adalah salah satu murid di sekolahnya. Namun kami tidak diletakkan di garis depan karena waktu itu usia kami belum cukup. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Queen Anne selesai membasmi seluruh anggota sihir hitam. Saat itu kondisinya sangat parah, namun melihat salah satu anak dan banyak teman-temannya yang terbunuh ia merelakan nyawanya untuk menggunakan jurus pamungkas. Jurus pamungkas itu adalah kemampuan untuk menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati. Namun bayarannya sangat mahal, Queen Anne akhirnya kehilangan nyawanya. Jasadnya berubah menjadi butir-butir salju yang membuat subur negeri ini. Setelah itu anak pertamanya yang meneruskan sekolah milik Queen Anne.” Kakek Lupin mengusap sudut matanya yang sedikit berair. “Apakah anggota Sihir Hitam sudah musnah kek?” tanyaku penasaran “Belum! Saat ini mulai muncul bibit-bibit baru Sihir Hitam di negeri ini.” Wajah Kakek Lupin mengeras. Sepertinya ia kesal. “Mereka menebar terror, menculik anak-anak, membunuh ternak, menjarah hasil panen dan masih banyak lagi.” Wajah kakek terlihat lebih kesal. “Aku mendirikan sekolah ini untuk melatih anak-anak yang siap melawan mereka.” Kakek Lupin menunduk. Aku memandangnya dengan pandangan sayu. “Sudah. Mari kita mulai pengecekannya.” Kakek Lupin berdiri. “Pengecekan?” “Ya! Untuk mengetahui potensi kekuatanmu.” Kakek Lupin berjalan beberapa langkah hingga keluar lingkaran di lantai tempatku berdiri. Kakek Lupin mengangkat satu tangannya keatas dengan beberapa mantra yang tak kutahu artinya. Sedetik kemudian lilin-lilin seketika mati. Ruangan menjadi gelap namun tak lama, karena symbol-simbol dalam lingkaran yang kududuki menyala terang. Beberapa jamur keluar dari symbol-simbol itu. Kakek Lupin meluruskan tangan yang tadi terangkat kearahku. Masih dengan mantra-mantra terucap di mulutnya. Seketika semua jamur terbelah dan mengeluarkan beberapa senjata. Kakek Lupin menurunkan tangannya dan seketika cahayanya meredup. “Apa yang harus aku lakukan Kek?” Aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat sekaligus bingung apa yang harus kulakukan selanjutnya. “Kamu tidak harus melakukan apa-apa.” Kakek memandang sekeliling. “Kamu tidak memilih senjata. Namun senjata yang memilihmu.” Kakek beranjak hendak keluar. “Kamu tetaplah di sini. Jangan keluar dari lingkaran. Jika terjadi sesuatu lekaslah panggil kakek.” Kakek benar-benar keluar dari ruangan. Aku hanya duduk sendiri tanpa tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. Aku duduk diam memandang sekelilingku. Ada 5 jamur yang muncul di depanku. Masing-masing berisi ‘penanda kemampuan’. Mulai dari pedang, tameng, panahan, sebuah cahaya hitam legam, dan satu lagi cahaya putih bercampur kuning berkilauan. Aku masih duduk memandang jamur-jamur itu. Suara di luar sama sekali tidak terdengar. Aku bingung apa maksud dari ‘tidak melakukan apa-apa’. Yang kutahu aku hanya duduk diam bingung memandang jamur-jamur ini. Pikiranku berjalan mengingat hari pertama aku bangun di tempat ini. Mulai dari bertemu Camellia hingga hari ini. Duduk bersila melihat apa ‘kemampuan’ku. Pada dasarnya aku belum bisa mengerti apa yang terjadi. Tapi biarlah, kuharap seiring berjalannya waktu aku akan mulai bisa memahami. Beberapa lama aku duduk dalam lingkaran ini, sebuah ‘keajaiban’ terjadi. Jamur-jamur itu bercahaya. Berpendar indah seperti dikelilingi berjuta-juta kunang-kunang. Ruangan terang seketika. Aku bingung sekaligus takut melihat apa yang terjadi di depanku. Aku hendak berlari memanggil kakek Lupin. Namun sesuatu menghentikanku. Dadaku bercahaya. Sama terangnya dengan cahaya yang berpendar di jamur-jamur itu. Dengan suasana hati yang masih kaget dan membuatku takut, sebuah pedang mendekatiku. Terhenti dua jengkal di depanku. Pedang ini berwarna perak dengan 3 berlian di pegangannya. Pedang ini cantik sekali. aku ragu-ragu mengulurkan tanganku untuk memegang pedang ini. Ketika tanganku bersentuhan dengan pedang perak, cahaya semakin terang di dalam ruangan ini. Ada jubah perak berwarna senada dengan pedang keluar dari tubuhku. Aku terkesiap. Bagaimana mungkin ada jubah yang muncul dari dalam diriku? Mungkin inilah kemampuanku. Teknik petarung. Sama seperti Hazel. “Jadi, itu kemampuanmu.” Kakek Lupin berjalan masuk mendekatiku ada Hazel menatap datar di belakangnya. “Aku sudah lihat semua dari awal.” Kakek Lupin tersenyum memegang pundakku. “Selamat.” Tambahnya. “Bagaimana aku menggunakan kekuatan ini Kek? Saat di serang srigala malam itu aku memang menggunakan pedang, namun sebenarnya aku hanya menyerang asal saja.” Aku bingung memandang diriku. Bagaimana mungkin pedang dan petarung adalah kemampuanku sedangkan membantu mama memotong bawang saja aku masih ketir-ketir. “Aku sudah meminta Hazel untuk mengajarimu.” Kakek Lupin menunjuk Hazel. Hazel mengangguk singkat tetap memandangku datar. Dia menyeramkan. “Kenapa bukan Kakek saja yang mengajariku?” Tanyaku. “Bakat utamaku penyembuhan Rin, aku tidak bisa melatihmu pedang secara maksimal. Biar Hazel saja, dia salah satu murid terbaik di sini.” Ucap Kakek Lupin tersenyum. Aku mengalah mau bagaimana lagi? Hazel adalah orang kepercayaan kakek Lupin, karena tak dapat dipungkiri bahwa dia memang memegang predikat petarung terbaik sekolah dan dia adalah cucu kakek Lupin. Mama, hari ini aku menemukan kemampuanku. Mama apa kabar? Aku rindu.  *** Traaangg.. Nafasku tersengal.  Pedangku jatuh. Untung saja serangan Hazel dapat kutangkis dengan pedangku. “Sudah selesai? Aku merasa bertarung tanpa perlawanan.” Hazel memandangku yang terjatuh dengan sinis. Dia kuat sekali! belum genap 5 menit aku berlatih pedang bersamanya tengaku sudah terkuras habis. “Aku belum selesai.” Aku mengambil pedang dan siap melawannya lagi. Hazel membiarkanku berdiri memasang kuda-kuda. “Sudah siap?” di ujung kalimatnya tanpa ba-bi-bu dia bergerak secepat kilat menyerangku. Belum sedia aku untuk bertahan, aku sudah terpelanting ke belakang. Menabrak dinding pembatas ruangan ini. Ujung bibirku mengeluarkan darah. Hazel sialan!. Dia bahkan tak berbelas kasih untuk murid perempuan pemula sepertiku. “Kau terlalu serius Hazel!” Aku berdiri mengelap ujung bibirku. Hazel memandangku datar. “Aku ini pemula. Baru beberapa saat lalu menemukan kekuatan, dan kau sudah mau membunuhku?” Ucapku setengah berteriak. Tubuhku sakit sekali. Hazel masih menatapku datar. “Kau ini tidak punya hati ya?!” Aku hampir menangis menahan nyeri di tubuhku. Aku tak pernah bernasib babak belur seperti ini sepanjang hidupku. Baru sekitar 1 jam lalu kakek Lupin mempercayakan teknik ilmu pedangku pada Hazel. Dan 10 menit berlatih aku sudah hampir mati! “Kau terlalu keras padanya Hazel.” Kakek Lupin melewati pintu sedikit menahan tawa melihatku yang masih tersengal. “10 menit kakek meninggalkanku bersamanya aku sudah hampir terbunuh kek!” Aku merajuk, berusaha meminta pembelaan. “Jangan terlalu kasar. Dia baru pemula.” Kakek Lupin terkekeh. “Aku tak menyangka gladiolus Queen Anne selemah ini.” Hazel menatapku datar. Berjalan meninggalkanku.     Aku tersinggung dengan kalimatnya. Apa-apaan menyebutku lemah seperti itu?! Apa mentang-mentang dia kuat? Seharusnya dia tak usah bicara begitu. Aku memandang punggung kekarnya dari belakang. Mengaktifkan pedang dan berlari sekencang-kencangnya hendak menyerangnya. Di detik terakhir ketika aku sudah percaya diri bisa membuatnya roboh dia menoleh tersenyum. Memegang tanganku yang siap menyerangnya. Gerakanku terhenti seketika. Pedangku luruh bersama jubah di badanku. Transformasinya berakhir. “Menyerang dari belakang itu tindakan pengecut.” Dia tersenyum memandang tepat di mataku. Mata Hazel berwarna senada dengan rambutnya. Dia punya mata yang indah.  Dan jujur senyumnya menawan sekali. bagaimana bisa Engkau ciptakan orang dengan senyum semanis ini Tuhan? Pipiku memanas. Aku tidak tahu bagaimana tampangku sekarang. “ Pergilah, pulihkan kondisimu. Kita akan bertemu lagi di sini besok.” Dia melepas tanganku kemudian berjalan meninggalkanku. Tubuhku limbung, dan pada akhirnya jatuh terlentang. Aku sudah tidak kuat berdiri lagi.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD