CHAPTER 3

2606 Words
 “Rin! ayo bangun, sarapan sudah siap.” Suara halus Nenek Smilax membangunkan tidur lelapku. Aku masih di dunia ini. Betulkah aku tidak sedang bermimpi?. Aku bangun dari tidurku,  masih menenakan baju tidur biru muda. Aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku sudah pernah bercerita kalau di kamar mandi terdapat dua ruangan yang dipisahkan dengan sekat terbuat dari kaca. Aku masuk ke ruang kaca yang ternyata dapat dibuka hanya dengan menempelkan telapak tangan pada kaca.  Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana caranya mandi di sini. Lihat saja tidak ada sabun, Shampo dan kawan-kawannya. Akhirnya aku memutuskan untuk memanggil Camellia.  “Hahaha kamu ini aneh. Bagaimana kamu mandi di negeri asalmu?” Dia tertawa ketika mendatangiku. Aku tersenyum menggaruk rambutku yang tidak gatal. Camellia mengambil sebuah daun dari dalam lemari yang ada di dalam ruang kaca itu. “Kamu letakkan ini di kepalamu. Dan dia akan bekerja seendiri membersikan badanmu.” Ucap Camellia. “Kutunggu di ruang makan setelah mandi. Cepatlah, kita harus bersiap untuk pergi ke kota Achillea.” Tambahnya. Aku mengangguk kembali masuk ke ruang kaca setelah diam di pintu melihat Camellia pergi. Dan benar saja ketika daun itu kuletakkan di atas kepalaku, cahaya berpendar mulai dari kepala sampai ujung kaki. Ini seperti melakukan transformasi di film superhero! Namun tubuhku merasa lebih segar dan bersih. Aku keluar sekitar 10 menit kemudian. “Bagaimana kamar mandi kami?” Tanya Nenek Smilax sambil menyeruput minuman hangat. Aku tersenyum kemudian ikut duduk di meja makan. “Kamu harus sarapan yang banyak Rin! Kota Achillea jauh dari sini. Nenek ke bawah dulu ya.” Nenek menepuk bahuku sebelum turun ke toko. Aku mengangguk mengambil mangkuk dengan menu bubur sama seperti kemarin. Camellia makan dalam diam. Dia masih anggun seperti pertama kali aku melihatnya. Beberapa menit kemudian aku membantu Camelliaa merapikan ruang makan. Selepas itu kami turun untuk berpamitan kepada Nenek Smilax. Kami akan pergi ke kota Achiella. “Nek kami berangkat dulu.” Camellia merapikan barang bawaan kami, meletakkannya di pinggir jalan tepat di depan toko nenek. Tak lupa Camellia menyiapkan bekal makanan dan minuman yang ia letakkan dalam kotak-kotak kecil di keranjang anyaman bambu. Aku tidak tau sejauh mana kota medis ini. “Rin, pakailah ini.” Nenek memberikan sebuah jubah coklat muda panjang yang menutupi seluruh tubuhku -apabila kupakai mencapai mata kakiku . Kata Nenek aku harus menutupi identitasku sampai semuanya jelas. Penampilanku memang sedikit aneh. Bagaimana tidak? Baju tidur biru muda yang masih dipakai dari kemarin, atribut yang digunakan orang-orang di sini juga menurutku aneh. “Sudah siap?” Tanya Camellia. Aku mengangguk memasang tudung kepala. Camellia ikut mengangguk. Ia memegang serpihan gladiolus, lalu wuuushh semilir angin mulai berhembus pelan. Cahaya memancar dari tubuh Camellia. Tiba-tiba muncul jubah hijau muda menyelimuti tubuhnya. Jubah hijau itu memiliki sebuah gambar bunga putih seperti buka teratai merekah dibelakangnya. Nenek sudah menyiapkan kereta kuda di depan toko. Aku masih melongo melihat transformasi dari gadis cantik di depanku itu. Apakah mungkin melakukan perubahan seperti itu? namun Camellia segera membuyarkan lamunanku, kemudian menggandeng tanganku untuk naik ke atas kereta.        Kami berangkat ke kota Achillea dengan kereta kuda berwarna coklat tua –sepertinya banyak benda berwarna coklat di sini. Kereta ini ditarik oleh 2 kuda dengan 1 kusir berjubah hitam. Kusir itu juga sama mengenakan tudung hitam yang terlihat sedikit menyeramkan. Dia tidak terlalu banyak bicara, tapi memang apa yang mau dibicarakan? “Seberapa jauh kota Achillea ini?” tanyaku pada Camellia setelah sekiranya 10 menit dalam perjalanan. “Mungkin 1 hari perjalanan.” Jawabnya singkat. Aku melongo sekali lagi. “Tenang saja. Anggap saja ini pelesir.” Katanya tertawa.        Jujur aku begitu menikmati perjalanan ini. Kota Millefolia begitu indah dengan keramaian yang tak kutemukan di negeriku. Tidak ada kendaraan bermotor, tidak ada alat elektronik. Negeri ini maju dengan caranya sendiri. Di Millefolia hanya ada sedikit pohon besar, kepadatan perumahan membuat kota ini minim pepohonan. Namun udara masih sangat sejuk, hampir tidak ada polusi meski jalanan masih terbuat dari tanah. Camellia membuka sebuah buku yang memiliki cover yang sama dengan logo bunga di belakang jubahnya. “Kamu sedang membaca apa?” tanyaku. “Ini buku pelajaranku.” Jawabnya tanpa mengalihkan pandangan. “Pelajaran?” Camellia menatapku sambil menunjukan bukunya padaku . Ternyata di negeri ini ada juga sistem belajar mengajar. Namun, Aku tidak mengerti huruf apa itu. Camellia menatap wajah bingungku. “Aku tidak mengerti.” Kataku memiringkan kepala, menggaruk rambutku yang tidak gatal. “Ini aneh Rin. Kamu tidak mengerti huruf kami, tapi dengan mudahnya berbincang dengan kami.” Camellia berpikir sambil memegang dagu runcing miliknya. Aku juga tidak mengerti bagaimana aku bisa bicara dengan mereka. Menurutku bahasa yang mereka gunakan tetap sama seperti bahasa biasanya. “Ah, biarlah mungkin semua akan terjawab di Achillea nanti.” Katanya menutup buku dan berjalan ke belakang. Kereta kami memang besar. Ada 2 kursi panjang di sisi kiri dan kanan. Kereta ini bahkan cukup untuk tidur tanpa berdesakan. Di bagian belakang, Camellia meletakan barang bawaan kami yang sebenarnya hanya bekal dan beberapa peralatan khusus milik Camellia. “Mau makan siang?” tanyanya. Aku mengangguk mengikutinya ke kebelakang. Kali ini bukan bubur yang kami makan. ini sejenis makanan kaleng dari daging. Rasanya hampir sama seperti sate ayam, tapi tidak ada bumbunya. Bentuknya bulat sama seperti bakso di negeriku. Makanan ini sangat enak, bahkan lebih enak dari olahan sate terenak yang pernah kumakan. Makanan negeri ini luar biasa!        Setelah puas makan siang, kami kembali lagi diam mengamati sekeliling. Sesekali Camellia bertanya tentang negeriku. Sesekali juga ia bercerita tentang negeri ini. Camellia bilang ia sering ke Achillea untuk belajar karena kota itu adalah kota medis. Dan kemampuan Camellia adalah teknik medis. Jadi, tak heran ia berkali-kali datang ke Achillea. Sesekali kami berpapasan dengan kereta lain. Terkadang mereka menyapa kami dengan ramah, dan kami juga beberapa kali menyapa ramah. Sepertinya ini kota yang damai.        Hari sudah mulai malam. Senja di kota ini tak kalah mengagumkan dibanding kotaku. Bintang sudah mulai bermunculan. Lagi-lagi aku harus berdecak kagum. Tidak ada polusi, langit tanpa awan memamerkan lautan bintik-bintik cahaya seperti berlian. Namun ada yang sangat berbeda dari negeriku, bulan di negeri ini terlihat berwarna biru. Itu memang aneh, namun bernar-benar indah. “Berhati-hatilah saat malam tiba.” kusir yang sedari tadi diam mulai bersuara. “Ada apa?” kataku mulai bingung.  Camellia sedikit gugup. Dia membetulkan posisi tudung di kepalanya. Pak kusiir di depan menguatkan pegangan. “Camellia! Ada apa?” aku ikut panik melihat wajah tegang mereka. Hari sudah gelap sempurna. Namun, jalanan coklat di depan masih terlihat karena lentera di kereta kami yang menyala terang. Suara tapak kuda terdengar lebih lambat dari sebelumnya. Aku tidak tahu apa yang mereka khawatirkan. Jalanan tampak kosong karena kami baru keluar dari kota. Kini kami tengah melewati ‘gurun’ yang aku tidak tau luasnya. Di sebelah kiri dan kanan tidak terlihat apa pun, bahkan pohon tinggi pun tidak terlihat. Hanya gundukan pasir di beberapa tempat. “Mereka datang.” Ucap kusir itu sembari memacu kudanya agar berlari lebih cepat. Kereta sedikit terguncang karena kuda yang tiba-tiba berlari kencang. Aku yang sedang “Mereka siapa?” aku memandang sekitar memastikan siapa yang datang. “Rin cepat sembunyi di belakang!” Camellia berteriak memandangku. “Eh? Tapi?” “Cepat Rin!” Sebuah cahaya berpendar dari tubuh Camellia. Seketika jubah yang sedari tadi ia kenakan mengeluarkan banyak benang-benang berkilauan dari gambar bunga di punggungnya. Aku menuruti Camellia dan menuju bagian belakang kereta. Aku memandang Camellia takjub. Bagaimana bisa dia melakukan hal mengagumkan seperti itu?     Aku masih belum tahu apa yang terjadi saat kereta kami terasa berguncang hebat. Bagian samping kereta kami berasa dilempari batu. Tubuh Camellia masih bersinar. “Sepertinya kita terlambat.” Kata kusir itu. “Kamu kuat bertahan Camellia?” ucap kusir itu bertanya tanpa menoleh. “Tentu saja. Aku sering lewat sini!” Aku melihat Camellia mengangguk melepas tudung yang menutupi kepalanya. Benturan di kereta kami semakin keras. Cahaya di tubuh Camellia juga semakin menyala terang.        Hingga akhirnya sesuatu yang keras menghancurkan satu sisi kereta dan mendarat tepat di depanku. Itu adalah serangga terbesar yang pernah kulihat. bentuknya seperti kumbang kayu dengan kulit hitam mengkilap. Ukurannya lebih besar dari 2 kepalan tangan orang dewasa. Kemudian, aku melihat banyak sekali benda ini beterbangan di luar sana. Aku menelan ludah. Ini mengerikan!        Serangga di depanku bangun dan hampir menyerangku. Sekilas aku melihat gigi-gigi runcing mereka hampir melahapku, sebelum beberapa benang-benang berkilau Camellia melilit serangga itu hingga hancur. Serangga itu kemudian berubah menjadi butiran-butiran pasir halus. “Kamu tidak apa-apa Rin?” Camellia yang terlihat kelelahan memandangku. Aku mengangguk. Camellia sejak tadi memang sibuk mengusir serangga-serangga itu agar tidak mendekati kereta kuda kami. Suara benturan tidak terlalu terdengar lagi. Cahaya Camellia mulai memudar namun benang-benangnya masih menjuntai kemana-mana. Kukira ini sudah berakhir. “Camellia. Bagaimana tubuhmu bisa bersinar seperti itu?” Tanyaku tidak sabaran. “Ini salah satu kemampuanku. Tapi ini akan menguras banyak energiku,” ucapnya dengan nafas terengah-engah. “Ini belum berakhir Camellia!” Kusir di depan berteriak. “Eh?” Camellia menoleh. “Ini malam bulan purnama!” kusir itu setengah berteriak, masih memacu kudanya dengan kecepatan yang sama. Camellia terkejut. “Kenapa nenek Smilax tidak memberitahuku?!” Camellia terdengar kesal kembali ke depan. Aku masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. “2 jam lagi menuju pintu masuk Achillea. Kamu kuat bertahan?” kusir itu masih bertanya. “Sial! Aku menggunakan banyak energi untuk melawan serangga tadi!” Camellia menggit bibir. “Ada apa?” tanyaku mulai gelisah melihat Camellia . “Srigala salju.” Katanya pendek kembali menggerakkan benang-benang ke seluruh kereta. Salju? Tidak ada salju turun. Bagaimana ada srigala salju? “Berhati-hatilah.” Ujar kusir itu. Sepertinya ia sangat berpengalaman mengalami hal seperti ini.   “Aku bukan tipe petarung!” Ujar Camellia kesal. Cahaya tubuhnya kembali menyala. Sepertinya jika Camellia mengeluarkan kemampuannya, kepribadiannya berubah. Camellia yang kukenal tadi masih lembut dan menawan. Namun, Camellia yang sekarang lebih terdengar sedikit kasar meski tetap menawan.     Lolongan suara srigala terdengar dari kejauhan. Aku menelan ludah. “2 jam menuju Achillea. Baiklah!” Camellia terdengar kesal. Tidak adakah yang bisa aku lakukan? Lolongan srigala kembali terdengar. Boom!!     Suara ledakan terdengar begitu keras. Tanah di sekitar kereta kami bergetar. Udara dingin merayap di sekeliling kami. Butiran-butiran salju mulai turun. Mungkin ini disebabkan  kedatangan sang srigala salju itu.     Camellia tampak menggerutu di depan sana. Cahaya di tubuhnya sudah padam sejak tadi namun benang-benang berkilaunya masih bergerak liar. Boom!!     Suara ledakan kembali terdengar. Butir-butir salju semakin tebal mengelilingi kereta  kami. Kusir mengurangi laju kereta karena salju yang telah menumpuk. Satu srigala melompat ke kereta yang berlubang karena serangga tadi. Srigala itu menatapku lama. Matanya berkilau menatapku tajam. Seolah menatap santapan malam yang sudah lama ia nanti-nantikan. “Rin awas!” Camellia menggerakkan benangnya kearahku. Bug!     Benang Camellia menampar srigala besar dan membuat srigala itu terjatuh. Srigala itu masih menatapku dengan mata berkilaunya. Namun, sudah tidak berdaya. Srigala lainnya mulai geram menyerang membabi buta ke kereta kami. “Camellia kita tidak bisa terus melaju.” Kusir itu menatap Camellia yang berpeluh karena terus menggerakkan benang-benangnya untuk melindungi kami. Kurasa memaksakan dia bertarung  akan menyakiti tubuhnya. “Hentikan kereta ini. Akan kuhabisi mereka semua!” Camellia berteriak geram melompat keluar dari kereta, tubuhnya kembali bersinar terang. Kusir mengeluarkan pedang panjang beerwarna hitam dari balik jubahnya ikut bertarung melawan srigala salju yang menjadi penghalang perjalanan kami. Kulihat 2 kuda di depan terluka di bagian kaki. Bagaimana kami menlanjutkan perjalanan? Boom!     Suara ledakan itu terdengar lagi. Rupanya suara ledakan itu berasal dari srigala salju. Mereka mengeluarkan bola-bola salju besar dari mulutnya. Dan bola salju itu meledak! Camellia masih dengan susah payah menngerakan benang-benangnya agar srigala menjauh dari kereta yang ada aku di dalamnya. Ya, aku masih bersembunyi di balik barang bawaan. Kusir bertarung lincah dengan pedang panjangnya. Sesekali bahunya terkoyak oleh cakaran srigala salju, namun Camellia dengan kekuatan medisnya segera menyembuhkannya. Camellia melakukan teknik menyerang dan bertahan sekaligus. Aku takut dia lebih terluka lagi. Tidak adakah yang bisa kulakukan? Aku ingin menangis melihat mereka bertarung sedangkan aku hanya duduk diam menonton. Mama aku harus apa?      Mataku tertuju pada sudut kereta. 2 pedang dengan ukuran sedang tergantung. Aku berdiri untuk melihat sekeliling. Keadaan Camellia dan pak kusir makin payah. Hari masih gelap srigala salju masih garang menyerang mereka. Aku menggigit bibirku. Aku memutuskan mengambil sebuah pedang dengan sarung warna hitam. Tanganku gemetar memegang pedang berkilau itu. Ya Tuhan benarkah apa yang aku lakukan?     Kakiku melompat menuju Srigala yang menyerang Camellia. Aneh, kakiku terasa ringan saat berlari melintasi gumpalan-gumpalan salju. Aku berhasil memenggal satu srigala salju itu. Srigala itu langsung menghilang begitu pedangku melukainya. Kakiku bergetar hebat. Air mataku meleleh. Aku takut sekaligus ragu melakukan ini. “Rin! apa yang kau lakukan?” Camellia membentakku. Kusir kami sudah tidak bisa bertarung lagi. Tangannya terluka parah dan nampaknya Camellia sudah tidak bisa lagi menyembuhkannya. Kondisi Camellia tak kalah menyedihkan. Jubahnya sudah terkoyak, pelipisnya mengeluakan darah. Nafasnya menderu dia memandangku tajam. Aku menelan ludah memandang srigala salju yang menggeram marah. Tidak ada tanda-tanda srigala itu akan pergi. Bagaimana kami bisa sampai ke Achillea jika begini terus keadaanya? Boom!!     Satu srigala salju melontarkan bom saljunya ke arahku. Aku berlari kesamping untuk menghindar. Sedetik kemudian aku sudah berlari mengincar leher srigala itu. Dan berhasil! Srigala itu melolong sebelum akhirnya menghilang menjadi bagian dari salju yang menumpuk. Aku sempat merasa bangga aku berhasil membunuh satu srigala lagi. Namun tanpa kuketahui seekor srigala menggigit tanganku. Aku berteriak karena kesakitan. Darah segar mengucur dari tanganku. Rasanya aku tidak pernah merasa sesakit ini dalam hidupku. Tapi aku tetap tidak melepaskan pedangku. Sepertinya Camellia tidak mengetahui lukaku, dia juga tengah sibuk melindungi kusir kami yang tergeletak tak berdaya. Aku meringis sambil membersihkan darah dengan jubah coklat yang kukenakan. Aku menatap Camellia yang di incar banyak srigala. Aku ingin melawannya! Aku ingin membunuh semua srigala yang menyakiti temanku!     Aku berlari menuju Camellia setelah melihatnya terlontar karena ledakan bom salju yang membabi buta. Mulutnya mengeluarkan darah. Benang-benang yang keluar dari tubuhnya sudah mulai tidak bergerak. Tubuhnya mengeluarkan cahaya redup. Camellia memegang perutnya. Sekali lagi memuntahkan darah. “Camellia!!” aku berteriak berlari melindunginya dari 2 srigala yang akan menyerangnya lagi. “Lari dari sini Rin! Mereka terlalu banyak!” Camellia masih bisa berteriak. Aku tidak memperdulikannya karena perhatianku sudah tertuju pada 2 srigala salju yang menatapku garang. “Rin kamu tidak akan bisa! Cepat lari dari sini!” Camellia kembali berdiri namun gagal. Sepertinya dia sudah tidak mampu bangkit. Air mataku kembali meleleh. Aku berlari menerjang  2 srigala dengan pedang di tanganku. Aku tidak bisa bertarung. Aku hanya bergerak sesuai instingku. “Rin!” Camellia kembali berteriak kala aku terhempas karena cakaran seekor srigala. Aku menggerang. Luka ini sakit sekali! “Rin, larilah!” Camellia turut meneteskan air mata melihatku yang semakin terluka parah. “Camellia! Aku tidak akan bisa lari.” Aku berdiri tersengal sambil menyeka darah yang mengalir di ujung mulutku. Camellia menatapku dalam diam. Aku kembali berlari melawan seekor srigala salju. Satu srigala menyerangku namun aku berhasil menghindar. “Setidaknya kalau aku mati sekarang, tidak aka nada penyesalan dalam hidupku.” Kataku kembali memenggal satu srigala salju di depanku. Aku tidak tau dari mana kalimat itu muncul. Kalimat itu tiba-tiba keluar dari mulutku. Boom!!     Kali ini aku tidak bisa menghindar. Bom salju itu telak mengenai perutku. Aku tergeletak di tumpukan salju. Mulutku kembali memuntahkan darah segar. “Rin!” Camellia tertatih berlari menghampiriku. Tapi terlambat, seekor srigala kembali mengeluarkan bom salju menyerangku. Membuat Camellia berhenti. Badanku terguling. Aku tidak bisa bangkit lagi. Bau anyir mulai akrab di penciumanku.     Semenit sebelum aku berpikir hidupku berakhir di sini, cahaya menyilaukan merasuk ke mataku. Aku bisa melihat sebuah jubah putih berkibar di depanku. Pedang berkilau di terpa cahaya rembulan menghalau serangan terkahir para srigala salju. Kemudian gelap. Hanya itu yang kutahu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD