Clarissa berjalan dengan membawa berkas-berkas yang mengacak ketika dirinya menabrak seseorang di
dekat lift. Setelah ia memasuki ruangan dan membereskan beberapa berkas ingatannya masih terlihat
samar-samar.
Melihat wajah Sham yang masih tidak asing baginya. “Clarissa, di panggil Pak Rendi. Katanya penting, lagipula ini tentang project yang akan di jalani bulan depan,” suara Vera menunggu Clarissa di dekat pintu ruangan. Sesaat Clarissa pun menoleh dengan menjawab Vera serta membawa bulpoin yang ia lihat bersama dirinya.
Sejam kemudian, Clarissa kembali ke ruangan kerja dengan memegang bulpoin yang ia temukan di dekat
berkas pekerjaan miliknya yang terjatuh ketika di dekat lift. “Kira-kira ini bulpoin milik siapa ya?” Tanyanya kembali dengan melihat bulpoin milik Sham yang tertinggal.
Vera memasuki ruangan Clarissa, “Mau ada staff baru, kamu tahu enggak siapa orangnya?” Tanya Vera dengan duduk di sebelah meja kerja Clarissa.
“Enggak tuh, lagipula aku enggak sempat dengar info sekarang, kamu tahu sendiri aku tadi ketemu sama
pria. Pakaiannya rapi kok, ini nih sempat terjatuh juga kan berkas-berkas dokumen kantor, cuma enggak asing wajahnya di pikiranku.
“Pria? Ada banyak pria yang bekerja di perusahaan ini yang pakaiannya rapi. Sepertinya bukan dari perusahaan ini. kamu salah lihat sepertinya, atau mungkin saja dia memang salah satu pria yang bekerja di gedung ini,” jawab Vera.
Ingatan Clarissa masih mengingat jelas pria yang bertemu dengannya. Dirinya hanya menatap wajah Vera dengan menoleh kembali ke arah layar komputer di hadapannya.
“Mungkin, pakaiannya rapi kok, lumayan tampan juga. Tinggi, mungkin aku yang sok kenal, aku juga baru melihatnya sekarang ini. Cuma wajahnya enggak asing bagiku, entahlah mungkin ini hanya pikiranku saja.”
Vera hanya tertawa kecil melihat tingkah teman kantornya saat ini. Melihat Clarissa yang membahas
seorang pria membuatnya tertawa, “Sudah waktunya kamu punya kekasih deh, sudah lama kan kamu belum punya kekasih. Kerja terus, kapan punya kekasihnya kalau seperti itu.”
“Apaan sih, aku tuh kerja terus bukan berarti enggak mikirin kekasih, ya iyalah kalau ada calonnya juga
aku mikirin. Terus kalau misalkan prianya belum hadir-hadir, aku harus diam aja gitu? kamu lucu, Aku
mesti kerja Vera, tahu sendiri ini di Jakarta.” jawab Clarissa menatap layar komputer di meja kerja miliknya.
Vera yang melihat Clarissa hanya tersenyum dengan kembali ke ruangan kerja miliknya. “Hati-hati sama ucapan, siapa tahu yang ketemu sama kamu itu calon masa depan kamu. Kita enggak pernah tahu masa depan Clarissa yang tahu itu cuma Tuhan, apalagi urusan ketemu jodoh.”
Clarissa melihat Vera yang sudah meninggalkan ruangan, dirinya pun kembali mengeluarkan bulpoin
yang ada di hadapannya. “Punya siapa ya ini, bagus banget. Ada ukiran namanya, di simpan aja mungkin
ya, kalau di taruh di meja kerjaku takut ada yang ambil. Jangan-jangan punya pria yang ketemu di lift tadi, enggak mungkin banget milik dia. Wajahnya tampan begitu,” bisik Clarissa dengan kembali bekerja.
**
Hari ini adalah meeting kedua yang Sham lakukan di Jakarta, menemui beberapa rekan kerja untuk melakukan kerja sama project perusahaan. Setelah selesai, Sham pun menoleh ke arah Andrian.
“Pak Andrian, sudah ketemu? Jangan sampai hilang, sudah di tanyakan kepada Rendi?” Tanya Sham
dengan menanyakan bulpoin yang berukiran huruf S disana, bulpoin yang diberikan ayahnya yang
dipesan khusus, hanya ada dua design di dunia.
“Sudah Pak Sham, tapi kata Pak Rendi tidak ada bulpoin yang bapak maksud di ruangannya.”
“Yasudah, saya bisa memesannya lagi. Hanya saja bulpoin itu banyak kenangannya, terlebih bersama
Henry, sudah banyak kerja sama project bersama Henry, setelah ini mungkin saya akan bekerja di salah satu perusahaan saya di sini.”
“Tapi Pak Sham bukankah akan di perusahaan bersama Pak Rendi?”
“Aku akan memikirkannya lagi, lagipula hanya beberapa waktu, setelah ini saya akan kembali ke Inggris.”
Andrian tak menjawab Sham Levin kali ini. Terlebih ia adalah kepercayaan Sham sudah lama, setelah melakukan percakapan bersama Andrian. Sham pun berbincang kembali dengan beberapa rekan kerja di ruang meeting.
Hari ini adalah hari seharusnya Sham Levin melangsungkan pesta pernikahan bersama tunangannya.
Andrian yang memahami posisi pimpinannya pun selalu menuruti Sham, terlebih ia harus ke Indonesia
mengurusi beberapa project perusahaan.
Andrian berjalan mendekati sebuah taman di Hotel Jakarta, meminta waktu kepada Sham untuk keluar dari ruangan sementara. Andrian yang sudah bekerja bersama keluarga besar Sham Levin sangat mengetahui keinginan ayahnya. “Tuan Muda Sham jauh lebih baik menikah bersama wanita yang ia cintai, lagipula ia belum pernah menemui calonnya itu. Jika tidak ada project mungkin ia sudah menikah dengan wanita pilihan ayahnya,” ucapnya dengan menghela napas sesekali. Pandangannya tak berpaling dengan melihat pemandangan Jakarta dari atas hotel.
Hari sudah memasuki waktu sore di Wilayah Jakarta, terlebih Sham memang memiliki rumah mewah di beberapa Wilayah Indonesia.
“Pak Andrian,” panggil Sham dengan berjalan menghampirinya. Ketampanan Sham Levin sangat menuruni ketampanan ayahnya, selain tampan, dirinya pun lulusan universitas terbaik di Wilayah Inggris dengan predikat gelar terbaik.
Andrian yang menoleh pun melihat ke sekeliling dirinya, tidak ada siapapun saat ini hanya ada mereka berdua. “Tuan Muda Sham, anda sudah selesai meeting? Kalau begitu kita akan pulang untuk beristirahat.”
“Pasti Pak Andrian memikirkan saya, saya tahu Pak Andrian menyayangi saya seperti anak kandung bapak sendiri. Apalagi Pak Andrian sudah bekerja bersama ayah sangat lama, Pak Andrian jangan khawatir. Saya juga sudah dewasa sekarang.” Tatapan Sham melihat Pak Andrian yang selama ini selalu bersabar menemaninya.
“Tapi Tuan Muda Sham, maafkan saya. Saya memang khawatir, apalagi harus mendengar pesta pernikahan Tuan Muda Sham, saya hanya ingin melihat Tuan Muda Sham menikah bersama wanita yang mencintai Tuan Muda Sham.”
“Pak Andrian jangan khawatir, saya memang tidak pernah menyentuh wanita. Tapi pilihan ayah pasti
yang terbaik,” jawab Sham dengan perlahan. Pikirannya terlintas tentang kejadian beberapa tahun lalu
disaat dirinya menolong seorang wanita setelah meeting project bersama Henry sahabatnya.
Sesekali dirinya terdiam sesaat lalu kembali tersenyum dengan kembali berpaling dari Andrian.
“Beristirahat untuk hari ini, sepertinya pikiranku sedang lelah Pak Andrian. Satu lagi, tolong cari tahu tentang wanita yang bertemu denganku di lift tadi pagi.”
“Baik Tuan Muda Sham, saya akan mencari tahunya besok menanyakan kepada Pak Rendi untuk anda.”
Sham Levin pun memasuki mobil mewah bersama Andrian menuju salah satu Wilayah Jakarta. Salah satu rumah mewah yang terletak di Wilayah Jakarta. “Sudah lama aku tidak ke Indonesia, terakhir kali beberapa tahun yang lalu, itupun kedatanganku ke sini bersama ayah meresmikan salah satu gedung kantor miliknya,”ucapnya dengan pelan di hadapan Andrian.
“Waktu itu saya sedang cuti bekerja Tuan Muda Sham, jadi saya tidak bisa menjawabnya. Waktu anda melakukan meeting bersama Tuan Muda Henry, saya sedang menjaga istri saya yang sedang melahirkan.”
“Pak Andrian benar,” jawabnya dengan melihat pemandangan sepanjang jalan dari dalam mobil.
**
Setelah pulang bekerja, Clarissa pun tiba di rumah dengan melihat Lavina yang saat ini berada di ruangan keluarga.
“Kamu pulang kerja sore ya? Jam segini sudah di rumah,” ucap Clarissa dengan melepas sepatu miliknya dan menaruhnya di rak sepatu, tatapannya masih melihat ke arah Lavina yang masih duduk di sofa ruangan keluarga.
“Iya, atasan aku lagi baik. Jadi aku pulang sore deh sama teman-teman kantor. Memangnya kakak yang
selalu pulang malam terus,” jawab Lavina dengan nada mengejek, Clarissa memang selalu pulang malam sebagai admin project, terlebih sekarang ini perusahaan kakaknya sedang memiliki project banyak.
“Kamu sudah makan?”
Tanya Clariss.
“Belum, nungguin kakak pulang kerja. Hari ini ada cerita apa di kantor? Jangan bilang kakak bersama
teman kantor, sekali-kali sama pria dong kak. Seperti aku dong, aku aja adik kakak sudah punya gebetan,
masa sih enggak ada seorangpun pria yang kakak sukai di kantor, sebentar lagi aku juga punya kekasih.
Enggak seperti kakak yang menjomblo terus,” Lavina kembali mengejek Clarissa sembaring menonton
acara tv.
“Apaan sih, kamu tuh meledek kakak terus, yasudah kakak mau mandi dulu habis itu ketemu kamu lagi di sini. Nanti kita makan bareng.”
“Eh tunggu, makan bareng gimana, Adanya mie instan aja. Kakak kan baik selalu buatin makanan buat aku, aku lagi pengen di manjain sama kakak, hehe .., kita masak bersama aja.”
“Yaudah kita makan mie aja. Lagian ayah sama ibu belum pulang dari luar kota. Nanti kita masak bersama deh ya. Tunggu kakak, kamu jangan kemana-mana, cukup tunggu kakak di ruang keluarga, kakak cuma mandi enggak pakai lama.”
“Iya-iya, enggak pakai lama ya, atau enggak aku masak sendirian aja,” jawab Lavina dengan mengejek kakaknya yang kini menaiki tangga ke lantai dua.
Empat puluh lima menit kemudian, Clarissa pun menuruni tangga menuju ruang keluarga, melihat adiknya yang menonton televisi sendirian, dirinya pun mendekati Lavina. “Kamu pasti nungguin kakak lama ya, kamu beneran masih pengen kakak masakin enggak?” tanyanya dengan mencubit pipi Lavina dengan gemas, ia memang selalu seperti ini jika bercanda bersama adiknya.
“Kakak mau masak mie goreng, kamu mau sama juga kan? Biar sekalian kakak masakin, kakak mau tanya deh sama kamu.”
“Sama deh kak, aku ikutin kakak aja. Eh tapi, makannya pakai telur juga ya, sama sayuran sedikit. Aku lagi pengen makan mie goreng komplit.”
Lavina beranjak dari sofanya dengan berjalan menuju dapur, membuka kulkas dengan mengambil telur dan juga sayuran untuk di masak bersama mie goreng, mereka pun memasak bersama sembaring mengobrol tentang pekerjaan hari ini. Empat puluh lima menit kemudian, mie goreng komplit yang mereka masak sudah selesai di masak. Mie nya sudah matang, tinggal buat teh manis sebagai pelengkap
untuk minuman.
Clarissa pun duduk berhadapan dengan adiknya sembaring menonton acara tv, “Kamu masih ingat kan kita pernah liburan ke luar negri?”
“Hmm, memangnya kenapa? Kakak kebiasaan deh, aku lagi makan selalu di ajak ngobrol. Aku makan dulu ya, nunggu aku makanan ku habis, habis itu ngobrolnya di lanjutin.”
“serius, kakak mau obrolin ini sama kamu. Kayaknya kakak ketemu sama pria yang pernah kakak temui
deh, tapi kakak lupa sama wajahnya. Sudah lama banget, adalah beberapa tahun. kamu ingat kan ya,”
Clarissa menanyakan Lavina tentang kejadian dirinya yang pulang pagi ke kamar tempatnya menginap
ketika di luar negri setelah dirinya salah memasuki ruangan kamar.
“Kakak ketemu sama orang yang menolong kakak?”Anggukan Clarissa pun terlintas sesaat, namun dirinya melanjutkan kembali menghabiskan makanan yang kini sudah mulai habis tanpa sisa.
“Aku enggak yakin sih, tapi sepertinya bukan deh, soalnya penampilannya agak sedikit berbeda. Aku juga enggak tahu namanya. Aku lupa menanyakannya, waktu itu aku kan hanya bertemu dengannya sebentar lalu aku kembali ke hotel.”
“Kakak yakin enggak tahu namanya sampai sekarang?” Anggukan Clarissa sangat jelas di dapan Lavina, Lavina yang saat ini sudah selesai makan pun mengambil piring yang berada di tangan Clarissa. “Sini piringnya, selesai makan malam habis ini kita istirahat. Kakak enggak boleh kelelahan.”
Lavina masih menatap wajah Clarissa sembaring menyuci piring setelah dirinya dan kakaknya makan malam, setelah membersihkan piring dan menempatkannya di rak piring. Lavina menarik lengan Clarissa untuk menaiki tangga ke lantai dua. Ruangan kamar mereka berdekatan, Lavina yang kini berjalan dengan Clarissa yang mengikutinya di belakang.
“Aku boleh kasih saran enggak sama kakak,” ucapnya dengan berbalik kea rah Clarissa.
“Saran apa? Kamu kalau kasih saran ke aku selalu bercanda, aku malas jadinya.”
“Ini sih serius tau. menurutku kakak enggak usah terlalu mikirin pria itu deh, pria yang bertemu sama kakak itu. mau gimana pun kakak enggak tahu namanya dia, terus juga ingatan kakak akan melihat postur tubuh sama wajahnya saja kakak hampir lupa, lupakan saja.“
“Kamu kalau kasih saran sama kakak pasti seperti ini, kan kakak tadi bilang sama kamu, kalau kakak enggak yakin itu pria yang kakak temui beberapa tahun yang lalu atau bukan.”
“Hem …. Iya juga sih, yasudah sekarang kakak masuk ke kamar, aku temani deh. Habis ini kakak enggak boleh kecapean. Jangan mikirin yang aneh-aneh, istirahat terus besok kita berangkat kerja. aku juga belum cerita tentang gebetanku ke kakak.”
“besok-besok lagi saja deh ya, memangnya gebetan kamu orang mana deh.”
“nanti saja nunggu aku bawa ke rumah, aku kenalin sama kakak, sama papa dan mama juga.”
Clarissa menatap wajah adiknya dengan serius, “Kamu kan masih menyandang status gebetan. Terus
kalau gebetan mau langsung di bawa ke rumah, kamu yakin dia serius sama kamu nantinya? dia sudah
kerja kan, kenapa enggak langsung melamar kamu aja ke rumah.”
“Perkenalan dulu kali kak, main langsung melamar aku begitu, aku juga kan mau proses dulu lihat
keluarganya, kehidupannya, teman-temannya, pergaulannya.”
“Cinta kamu bersyarat, kakak malas deh bahasnya.”
“Bersyarat apanya, bibit bebet bobot itu kan bukannya harus ya, terus kalau aku dapatin dia dan nantinya enggak cocok gimana?”
“Lavina sayang, kamu adik kakak. Kalau kamu enggak yakin seperti ini mendingan sudahin saja sama
gebetanmu itu. Kan kakak sudah bilang, pria yang benar-benar sama kamu itu kelihatan memperjuangkan kamunya.”
“Yasudahlah, aku mau ke kamarku saja. Cerita sama kakak selalu begitu. Nanti aku cerita lagi sama kakak. Jangan lupa besok kalau kakak kesiangan dan aku bangunin kakak, kakak masih belum bangun juga. Aku akan tinggalin kakak. Aku berangkat kerja sendirian saja. mobilnya biar aku yang bawa, kakak
kan bisa naik taxi atau jojek ke kantor, jangan lupa setel jam alarm nya.”
“Kamu rewel banget, iya-iya. kamu istirahat sana.”
Clarissa pun menutup pintu kamarnya dan beristirahat, berbeda dengan Lavina yang berjalan memasuki
kamar. Dirinya menggigit bibir bawahnya dengan perlahan sembaring memikirkan ucapan Clarissa.
“Gimana ya, kalau aku cerita kak Clarissa pernah pingsan dan sempat keguguran apa dia bakalan syok
ya, waktu dia ke luar negri juga habis pisah sama mantan kekasihnya. Terus yang keguguran itu anak siapa dong ya, enggak mungkin pria itu kan. Tapi kakak keguguran setelah dua bulan pulang dari luar negri. Untung saja dia pingsan, jadi aku bisa bilang kalau dia baik-baik saja. Hanya pingsan biasa,” ucap Lavina dengan berjalan mendekati tempat tidurnya. Dirinya pun duduk dengan memikirkan ucapan kakaknya.
Lavina pun beristirahat setelah dirinya memikirkan Clarissa. Dirinya masih teringat jelas ketika melihat
kejadian di masa lalu.