bc

Istri Pura-Pura

book_age18+
1.3K
FOLLOW
9.0K
READ
billionaire
possessive
contract marriage
love after marriage
badboy
goodgirl
CEO
drama
sweet
enimies to lovers
like
intro-logo
Blurb

Nick adalah seorang CEO tampan yang dijuluki sebagai lelaki sempurna. Sayangnya, dia belum juga memiliki pasangan di usianya yang sudah matang. Seluruh anggota keluarga memaksanya untuk menikah dan memiliki keturunan. Namun, Nick tidak berminat menjalin hubungan dengan wanita manapun.

Hingga di satu waktu, semesta kembali mempertemukan Nick dengan wanita bernama Jenna. Dia adalah wanita yang dulu pernah berhutang banyak padanya. Dan sebagai ganti rugi atas kesalahan Jenna di masa lalu, Nick memaksa Jenna untuk menjadi seorang istri.

Awalnya semua baik-baik saja. Namun masalah mulai datang saat perasaan yang tidak seharusnya ada, justru tumbuh di hati Jenna. Semakin Jenna menyangkal, cintanya untuk Nick justru kian dalam.

Bagaimana kisah mereka akan berakhir?

Akankah Jenna bisa mendapatkan balasan atas perasaannya?

Apakah kisah cinta mereka akan baik-baik saja?

Sedangkan Jenna tahu, bahwa Nick hanya menjadikannya sebagai istri pura-pura.

chap-preview
Free preview
1. Pesta Pernikahan
Bagi Nick, pesta pernikahan terasa jauh lebih membosankan daripada upacara pemakaman. Alih-alih berkumpul untuk berebut buket bunga yang dilempar ke udara, Nick lebih memilih berdiri di tepi kolam renang ditemani segelas minuman. "Sebentar lagi giliran kita," ucap wanita yang kini sudah berdiri di sisi kiri. "I don't know. Aku benci pernikahan." "Tapi kita akan menikah 2 minggu lagi, kalau kamu lupa," jawab Grace seraya memutar badan guna menatap mata lawan bicaranya. Memilih tak peduli, Nick justru membuang pandang dan sedikit membalikkan badan. Demi Tuhan, dia belum ingin menikah. Apalagi dengan wanita yang Nick tidak memiliki perasaan apa-apa. "C'mon, Nick. Aku yakin suatu saat kamu akan mencintaiku," ucap Grace seraya mendekatkan diri ke tempat dimana posisi Nick berdiri. Merasakan sebuah sentuhan tangan di bagian lengan, Nick pun berkenan untuk berbalik. Kembali menatap bola mata wanita di hadapannya, kemudian menyempatkan diri untuk melengkungkan sebuah senyuman. Sedikit menunduk, Nick mencoba merapikan anak rambut yang menjuntai di pipi wanitanya. Detik selanjutnya, ia menyimpan setiap helaian di belakang telinga. "Sudah," jawab Nick pelan yang hampir mirip dengan sebuah bisikan. Grace sempat tergagap. Dadanya berdesir hebat. Apalagi Nick sengaja mengikis jarak yang membuatnya seolah kehabisan udara. "Maksudmu sudah mencintaiku?" Nick semakin melebarkan senyumannya. Meraih jemari Grace yang semula berada di d**a untuk kemudian menggenggamnya. Hanya hitungan detik, Nick segera melempar kasar tangan itu agar menjauh dari tubuhnya. Raut wajah Nick yang semula manis, seketika berubah serupa iblis. Awalnya, hati Grace hanya sedikit retak. Namun, lukanya bertambah banyak saat dengan tegas Nick menjawab, "Maksudku, sudahi omong kosongmu." Setelah melayangkan kalimat pedasnya, Nick melenggang menuju sebuah pintu besar tempat dimana pesta pernikahan masih dilangsungkan. Berbaur dengan keramaian akan sangat menjengahkan, memang. Namun, ini masih lebih baik daripada Nick harus berdua bersama wanita yang senang sekali menobatkan diri sebagai calon istri. Semua pasang mata tertuju pada seorang lelaki bermata abu-abu. Dia berjalan tegap menuju ballroom dengan setelan jas yang harganya setara dengan kendaraan roda dua. Tak hanya cukup memandang, hampir semua orang juga asyik membicarakan. Bagaimana tidak? Nick adalah seorang CEO sekaligus pewaris perusahaan milik keluarga Schneider yang katanya sebentar lagi akan menanggalkan status lajang. Sayangnya, di antara puluhan wanita yang diperjodohkan, tak ada satupun yang berhasil membuat hatinya terbuka. Termasuk Grace, kandidat terakhir yang dipilihkan oleh salah satu rekan kerja kakeknya. "Jadi gimana Grace?" tanya lelaki tua yang ia panggil opa. "Aku nggak suka." "Dasar! Waktumu tinggal tersisa dua minggu," jawab John yang dilanjutkan dengan berbagai ucapan yang tentu saja hanya Nick hiraukan. "Kalo sampe kamu nggak menemukan pengganti Grace, kamu — " "Aku sudah menemukannya, Opa," pungkas Nick tiba-tiba. Masih tak beranjak dari tempat ia berdiri, Nick melayangkan pandang pada seorang wanita. Dia duduk seorang diri di sebuah kursi paling ujung dengan stiletto yang sudah terlepas dari kaki. Sambil sedikit menunduk, wanita itu terlihat memijat kedua tungkainya secara bergantian. "Siapa?" "Dia," jawab Nick seraya mengarahkan telunjuk pada wanita yang ia lupa namanya. "Yang rambutnya biru?" "Iya." Tak ingin membuang waktu, John segera berjalan mendekati wanita itu. Dia duduk di sampingnya, kemudian menyapa. "Kamu cantik, cocok jadi cucu menantu." "Maaf, maksud anda saya?" "Iya. Kamu yang akan menikah dengan cucu saya, 'kan?" Merasa tak mengenal lelaki tua di hadapannya, dia lantas memundurkan badan seraya menggelengkan kepala. "Hai sayang, jangan malu. Kenalin, ini kakekku," ucap Nick yang sudah menyusul dari arah belakang. "Nick," pekik wanita itu. Dia tak menyangka kembali terperangkap dalam situasi sulit bersama lelaki yang sudah beberapa waktu ini ia hindari. Senyum miring tercetak jelas di bibir Nick. Sebuah gerakan bibir yang bagi Jenna terlihat sangat mengerikan. Jika sudah seperti ini, bisa dipastikan nasibnya sedang dalam bahaya. Setelah hampir dua bulan menghindari lelaki sombong yang suka mengatur itu, kini akhirnya dia dipertemukan semesta secara tidak sengaja. Jenna sungguh tidak menyangka. Apalagi ini adalah Indonesia. Seharusnya lelaki Jerman itu tidak ada disini. Nick memilih duduk di sisi sebelah kiri. Tanpa mau melepas tautan mata, dia mendekatkan bibirnya ke arah wanita yang masih menatapnya tak percaya. Saat posisi wajah mereka semakin berdekatan, Jenna secepat mungkin menjauhkan diri. Namun upayanya untuk berdiri seketika terhenti saat genggaman tangan di lengan cukup kuat untuk menahan. "Mau kemana? Duduk dulu," pinta Nick. Wajah Nick terlihat manis jika dilihat dari kacamata orang pada umumnya. Namun, Jenna bisa menilai sebuah rencana jahat yang seolah tergambar di atas kepalanya. Baginya, seorang Nickolas Schneider tak mungkin bersikap baik tanpa punya niat apa-apa. Beberapa pasang mata terlihat mengamati interaksi keduanya. Tentu saja. Jenna juga paham betul siapa lelaki di sebelahnya ini. Nama Nick cukup berkibar di kalangan pengusaha dan wanita-wanita sosialita. Tak ingin mempermalukan diri, mau tak mau Jenna harus menurut. Membalas sandiwara Nick dengan pura-pura bersikap baik. Lagipula hanya malam ini saja. Setelah ini, Jenna bersumpah akan pergi ke suatu tempat terpencil dimana tidak ada lelaki bernama Nick disana. "Aku haus. Mau ambil minum, tapi nggak jadi. Nanti aja," jawab Jenna dengan senyum pura-puranya. "Duduk sini aja, aku ambilin," balas Nick. Jenna hanya menjawab dengan anggukan kepala yang dia sempurnakan dengan sebuah senyuman. Tanpa mengendurkan lengkungan di bibirnya, Jenna mengalihkan pandang pada John yang masih menatap ke arahnya. Sandiwara kedua dimulai, batinnya. "Maaf, tadi saya nggak tau kalau anda adalah kakek Nick," ucap Jenna seramah mungkin. "Nggak masalah." John nampak bahagia karena melihat bahwa kali ini Nick sepertinya benar-benar serius. Ini adalah kali pertama Nick menunjukkan kedekatannya dengan seorang wanita. Dua minggu sepertinya cukup untuk mengurus pergantian nama calon pengantin. Dalam benak John, diam-diam dia sudah menyusun bagaimana pesta pernikahan cucu kesayangannya akan diadakan. Hanya hitungan detik, Nick sudah kembali dengan segelas air. Segala pergerakanya semakin mengundang perhatian banyak orang. Seorang CEO tampan yang terkenal dingin dan arogan, rela melayani seorang wanita. Sungguh sebuah peristiwa yang layak dijadikan headline di grup perusahaan mereka. Jenna menerima dan meminumnya dengan anggun. Diam sambil mendengarkan percakapan Nick dengan John dalam Bahasa Jerman. Dia beberapa tahun tinggal di Jerman, sehingga dengan mudah Jenna bisa paham apa yang sedang mereka bicarakan. Intinya adalah, John sedang berpamitan untuk pergi menemui beberapa kolega bisnisnya. "Bis bald," ucap John kepada Jenna seraya melembaikan sebelah tangannya. Setelah sepintas Jenna menganggukkan kepala, John pun melenggang pergi. Jenna sempat mengumpat dalam hati. Rencana awal, dia ingin kabur saat kakek dan cucunya itu sedang mengobrol. Dia akan lari, kemudian menyetop sebuah taxi. Pergi kemana saja asalkan bisa terlepas dari situasi ini. Sayangnya, ia kalah cepat. Kepergian John menggagalkan semuanya. "Menikahlah denganku. Dua minggu lagi," ucap Nick setelah John sudah menjauh beberapa langkah dari mereka. "Nggak akan. Jangan gila, Nick." "Aku nggak minta persetujuan kamu. Jadi kamu nggak punya hak buat nolak." "Nick! Ak —" "Jangan keras-keras, sayang. Kita lagi diliatin banyak orang. Senyum yang manis kalo perlu, mungkin beberapa dari mereka lagi curi-curi buat bisa foto wajah kamu," jawab Nick dengan senyum smirk. Manik mata bulat berwarna cokelat milik Jenna kini mulai bergerak. Memindai dari sisi kiri hingga kanan. Dan benar saja. Ada banyak orang, mayoritas wanita sedang menatap ke arahnya. "See?" Jenna tidak merespon ucapan Nick. Dia sibuk merutuk dalam hati. Menyesali keputusannya untuk menghadiri pesta pernikahan salah seorang teman yang sebenarnya tidak terlalu dekat. Seharusnya dia di rumah saja. Bergelung di balik selimut sambil menikmati secangkir cokelat hangat. Untuk kali yang kedua, Jenna kembali mengangkat pandang. Berharap tatapan mata dari manusia-manusia asing di sekitarnya sudah terlepas. Sayangnya tidak. Jumlah orang yang mengamati interaksinya dengan Nick justru bertambah banyak. Tentu saja. Kabar pernikahan Nick yang sudah mengudara pastinya akan disangkut pautkan dengan Jenna. Apalagi sejauh ini Nick tidak pernah terlihat dekat dan hangat dengan wanita. Bisa dibilang ini adalah kali yang pertama. Di mata orang mungkin Jenna adalah wanita paling beruntung. Namun bagi Jenna, bertemu dengan Nick saja sudah bisa dikatakan bencana, apalagi jika harus menikah dengannya. Setelah memantapkan hati dan memberanikan diri, Jenna pun akhirnya bangkit dari duduknya. Dia akan berpura-pura ke kamar mandi, kemudian berbelok ke pintu keluar. Sebuah ide murahan yang begitu saja terlintas di kepala. Walau kemungkinan keberhasilan kurang dari sepuluh persen, namun bagi Jenna tidak ada salahnya untuk mencoba. "Mau kemana?" tanya Nick seraya meraih lengan, kemudian cekalan itu turun ke arah pinggang. "Toilet." "Kamu pikir aku percaya? Kalo mau bohong, seenggaknya agak lebih pinter dikit," jawab Nick. Lelaki itu kemudian membuka bibirnya untuk mengeluarkan sebuah tawa. Cara dia tergelak terlihat alami dan tidak terkesan dibuat-buat. Jika seperti ini, semua mata yang memandang pasti sedang berpikir bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang sedang bercanda ria. Dua sejoli yang sedang kasmaran dan merasa bahwa dunia hanya milik berdua. "Duduk dulu sebentar," titah Nick sambil menuntun Jenna untuk kembali menjatuhkan diri di atas kursi. Tubuh kecilnya tak diizinkan untuk menolak. Walau raut lelaki itu terlihat tenang, namun tarikan tangannya cukup bertenaga. Wajahnya tersenyum biasa saja, tapi gerak tubuhnya sangat terasa bahwa dirinya sedang memaksa. Awalnya, tingkah laku Nick terasa mengesalkan. Namun, detik selanjutnya Jenna dibuat tercengang. Nick beranjak menunduk ke bawah kakinya dengan tumpuan lutut. Kedua tangan Nick terulur ke arah stiletto hitam yang terpasang di kaki Jenna. Tanpa terlihat segan, Nick membenarkan tali pengait sepatunya yang semula sempat ia lepas. Setelah selesai, Nick beralih meraih tangan Jenna yang tergolek berada di atas paha. Perlahan, kedua tangan itu ia tarik kemudian ia genggam. Detik selanjutnya, bibir Nick yang ternyata sangat lembut terasa mengecup bagian punggung tangan. "Lain kali jangan ceroboh. Sepatunya dipake dulu yang bener, baru jalan. Nggak pengen jatuh 'kan?" ucap Nick dengan posisi yang masih berjongkok di hadapan Jenna. Bisik-bisik para tamu undangan mulai terdengar samar. Bisa dipastikan adegan yang bisa dibilang romantis ini sedang menjadi bahan perbincangan. Tanpa sedikit pun mempedulikan, Nick memilih berdiri dan melanjutkan adegan selanjutnya. Sepintas, Nick sempat mengacak rambut Jenna gemas. Tak lama, sentuhan mulai turun ke salah satu sisi wajah. Lembut. Lembut sekali. Telapak tangan Nick yang besar itu cukup bisa menutupi sebagian pipi Jenna yang sedang ia usap pelan. "Yuk, aku anter pulang," ajak Nick dengan posisi lengan yang ia buka seolah mempersilakan Jenna untuk menyematkan tangannya disana. Senyum Nick cukup membius kesadaran. Wajah rupawan dengan perawakan tinggi besarnya itu terlalu sempurna. Nick sudah seperti pangeran yang menjadi aktor utama dari cerita yang sering Jenna khayalkan. Walau Jenna tahu bahwa semua ini hanya sandiwara, entah mengapa dirinya tetap tak bisa untuk tidak terkesan. Kepura-puraan Nick terlalu manis untuk dirasakan. Jenna akui, Nick terbilang sangat menawan. "Jangan diliatin terus, aku tau aku ganteng," puji Nick pada dirinya sendiri. Jenna sempat berdecih, namun tak ayal dia tetap mengeratkan tangan di lengan Nick untuk kemudian berjalan bersisian. Jenna cukup sadar diri bahwa saat ini dirinya harus bersikap baik pada Nick jika tidak ingin berada dalam masalah besar. Upaya melarikan diri akan kembali ia pikirkan lagi nanti. Begitu keluar dari ballroom, Nick menghentikan langkah kemudian menghadapkan badan pada Jenna. Senyum masih tercetak lebar di bibirnya. Hanya saja, senyumnya kali ini terlihat seperti senyum seorang musuh yang merasa menang atas lawan. Sambil mencondongkan badan, Nick pun mendekatkan wajahnya ke arah telinga Jenna kemudian berucap, "Aku mau menagih ganti rugi atas ulahmu dulu." Well, perang dimulai.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
207.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
191.8K
bc

My Secret Little Wife

read
100.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
14.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.8K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook