Bab 6 Ancaman dan Tekad Seorang Jena

1128 Words
"TENTU SAJA! Mereka ini sudah membuat keributan dari tadi! Kami tidak takut dengan ancaman kalian! Kami punya CCTV di sini! Bukti apa yang kalian miliki?" Jena yang sedari tadi diam-diam menikmati pertengkaran seru itu, berdiri dengan tampang memelas penuh iba. "TUNGGU!" pekik Jena. "Apa lagi ini?" sang manajer segera menutup wajahnya dengan jari-jari mengintip sedikit ketika mukanya dipalingkan ke arah Jena. "Zaflan tidak bersalah! Aku juga begitu! Ini perbuatan atas kehendak kami berdua! Kalian tidak bisa melaporkan kami! Secara hukum, Zaflan bukanlah milik siapa-siapa! Dia bebas mau tidur dengan siapa pun! Mereka hanya berpacaran! Perempuan itu tidak punya hak apa-apa melarang Zaflan tidur dengan siapa pun! Begitu pula kalian! Lagi pula kamar ini dipesan oleh salah satu brand kosmetik ternama nomor satu di dunia! Jika kabar ini sampai menyebar keluar, kalian pasti akan mencoreng nama baik dan reputasi hotel ini. Layanan kalian pasti akan dicap tidak profesional dan rendahan! Pikirkan baik-baik sebelum memanggil keamanan dan melakukan kesalahan fatal!" Manajer tersebut seperti tersambar petir di siang bolong. Memang benar hotel mereka sedang menerima tamu-tamu spesial untuk Gala Dinner malam ini, dan salah satunya dari pihak perusahaan kosmetik ternama dunia dari Amerika sebagai penyelenggara acara. Namun, ia tak menyangka bahwa mereka berdua menyalahgunakan layanan perusahaan itu dengan cara memalukan. "Kalian‒! Kalian‒!" sang manajer kehabisan kata-kata. Pandangan matanya silih berganti menatap bellboy, Zaflan, dan Jena. Kebingungan entah harus berbuat apa. "Pak Ardi?" tegur sang bellboy takut-takut. Sang manajer menelan ludah berat, menggeleng cepat dan berkata dengan nada putus asa, "TERSERAH KALIAN SAJA! CEPAT BERESKAN MASALAH KALIAN DAN PERGI DARI SINI BESOK PAGI! KALIAN BERTIGA DI-BLACK LIST DARI HOTEL INI SELAMANYA!" Raut wajah Zaflan mengeras, kedua tangannya memeluk Lia dengan kuat yang masih menangis dalam diam. Terlihat jelas Lia sudah tak peduli dengan keadaan sekitarnya dan hanya tenggelam dalam kesedihannya semata. Bellboy yang salah tingkah itu mengikuti manajernya yang kini uring-uringan sendiri, mengomel masalah tamu yang diperketat dan beberapa peraturan hotel yang harus diubah mengikuti perkembangan zaman. "Aku...." Jena hendak beringsut maju mendekati Zaflan, tapi lelaki itu menggeleng cepat. "Terima kasih atas bantuan besarmu hari ini, tanpamu aku mungkin akan terlihat seperti orang t***l di sana. Maaf karena sudah merenggut keperawananmu dan melibatkanmu dalam masalah ini. Aku tak tahu harus bagaimana mengucapkan rasa terima kasihku. Aku benar-benar berhutang budi padamu. Tapi, kita berdua tahu, ini terjadi karena terpaksa." "Zaflan..." Jena terdengar sedih, wajahnya tampak terluka seolah diperlukan tisu sekali pakai. "Aku tak bisa mengembalikan keperawananmu yang sudah ternoda. Aku sungguh menyesal. Dan aku lebih menyesal lagi harus mengatakan kalau kita sebaiknya tak pernah bertemu lagi. Aku hanya mencintai Lia. Hanya Lia yang ada dalam daftar masa depanku. Apa yang kita lakukan tadi, bahkan tak bisa disebut cinta satu malam." "Aku tahu. Aku paham, Zaflan..." kedua bahu Jena merosot, keningnya bertaut sedih. "Maafkan aku... aku memang berengs*k, Jena. Carilah pria yang lebih baik dariku." "Boleh aku tanya satu hal?" Zaflan tak segera menjawabnya, ia diam memandang Jena penuh kewaspadaan tinggi. "Aku tidak akan menyulitkanmu ke depannya. Aku hanya ingin bertanya, apa ini pertama kalinya bagimu? Melakukan ini bersama seorang perempuan?" jantung Jena berdetak kencang menanyakan hal itu. Zaflan lagi-lagi tak segera menjawabnya, ia memandang sedih dengan sorot mata penuh penyesalan dan rasa bersalah pada Lia yang kini seperti orang pesakitan dengan tatapan hampa dalam rengkuhannya. "Zaflan...?" "Iya. Ini pertama kalinya bagiku, sama sepertimu. Itu sebabnya aku tak bisa menahan efek obat itu sebelumnya." "Begitu rupanya...." Jena tersenyum lemah. "Aku benar-benar minta maaf sebesar-besarnya karena sudah memanfaatkan tubuhmu demi keegoisanku sendiri. Kau pasti merasa tidak nyaman melakukannya dengan pria yang terus menyebut nama perempuan lain alih-alih namamu." Jena menggeleng lemah. "Jangan berkata begitu. Kau tahu aku menyukaimu dan tulus ingin membantumu. Aku tidak menyesal melakukannya denganmu, Zaflan." Zaflan memeluk erat tubuh Lia ketika mendengar pengakuan blak-blakan itu. "Aku tidak tahu kau adalah teman kerja Lia selama ini. Kenapa kau tak pernah mengatakannya?" Zaflan menatapnya dengan mata menyipit curiga. "Aku-aku tidak tahu kalau kalian pacaran!" sanggahnya cepat. "Benarkah itu?" "Sungguh!" ujar Jena berbohong, dalam hati ia bersorak gembira mengetahui bahwa dialah wanita pertama untuk lelaki itu yang telah membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama sampai tak bisa tidur berhari-hari. "Baiklah. Aku percaya padamu, Jena. Perempuan baik yang suka menolong anak-anak, tak mungkin berbuat jahat, kan?" Wanita berambut hitam itu diam-diam tertegun syok. Jantung Jena serasa berhenti berdetak melihat senyuman tulus Zaflan yang disertai pujian membanggakan itu. Walaupun rasa bersalah sempat menyerang hatinya sesaat, ia kembali pada kekerasan hatinya yang bertekad untuk merebut lelaki itu dari tangan Lia bagaimanapun caranya! "Bicaraku tadi terlalu kasar pada penolong hidupku. Maaf. Aku harap bisa membantumu dengan hal yang setimpal meski aku tahu keperawanan hanya bisa dimiliki sekali seumur hidup. Beritahu aku jika kau mendapat masalah pelik. Mungkin aku bisa membayar hutang budiku yang tak senilai pengorbananmu malam ini," mata Zaflan berubah sedih. "Tidak! Jangan bicara begitu! Ini adalah sama-sama pengalaman pertama kita. Aku menganggapnya istimewa. Kau tak memiliki hutang budi apa pun padaku. Izinkan aku berteman saja denganmu. Apakah boleh?" "Maaf, Jena. Kau sudah tahu itu mustahil, kan? Sudah cukup perbuatanku ini menyakiti Lia." "Aku tahu. Maafkan aku... aku hanya berusah mengambil kesempatan dalam kesempitan. Benar-benar pikiran buruk dan picik...." Jena duduk terpuruk ke lantai. "Jangan bersikap begini. Kau hanya akan menambah beban di hatiku. Aku mungkin seharusnya tak menerima bantuanmu tadi." "TIDAK!" pekiknya cepat. "Jika kau berkata demikian. Kau sama saja tidak menghargai pengorbananku, Zaflan! Dan, lagi! Aku yang mengajakmu ke Gala Dinner ini! Ini salahku! Tanggung jawabku! Biar aku yang menanggung semuanya!" "Meski kau berkata begitu, kita tahu bahwa itu hanya separuh benar, kan? Kau sudah membantuku memenangkan proyek penting, dan aku hanya membalas kebaikanmu dengan menemanimu ke acara itu. Apa yang terjadi selanjutnya hanyalah kecelakaan. Takdir buruk yang mengikat kita pada kejadian yang tak seharusnya terjadi." "Zaflan..." Jena menatap nanar pada lelaki itu, berharap segala perkataannya hanyalah candaan semata. "Aku akan segera memesan kamar lain. Kau pasti lelah, istirahatlah." Zaflan meletakkan Lia dengan hati-hati di kursi panjang dan menghubungi layanan kamar. Jena yang melihat perlakuan Zaflan pada Lia layaknya pasangan romantis Romeo dan Juliet di matanya, kini merasakan kecemburuan dahsyat di dadanya. Ia masih bisa tahan lelaki itu menyebut nama Lia sepanjang mereka melakukannya dan menjadi media pelampiasan nafsunya, tapi melihat secara langsung seluruh perhatian lelaki itu pada perempuan yang dianggapnya sok suci, sok baik, dan naif membuat hatinya terbakar hebat. Zaflan harus menjadi miliknya! Harus! Jena memicingkan kedua matanya, ekspresinya mengeras. Kecantikan bak bidadari dan ketidak-berdayaan yang semula ada di wajah Jena telah sirna tergantikan oleh rasa dengki, iri, dan kecemburuan yang memuncak. Semua perasaan negatif itu melahap habis setiap inci dan setitik kebaikan dari dirinya. Detik ini, perempuan itu telah memutuskan akan menjadi orang paling jahat demi merebut perhatian sang pujaan hati. Tak peduli apa pun dan siapa pun! Segala cara akan ia tempuh bagaimanapun juga demi memenuhi ambisi cintanya!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD