Bab 7 Tidak Ingin Putus!

1073 Words
Keesokan paginya, Lia terbangun di sebuah kamar yang tampak asing baginya. Di mana ini? pekiknya dalam hati, tapi tubuhnya yang terasa berat dan lelah tak bisa digerakkannya seirama otaknya yang tersadar bagai kilatan petir. Matanya mengerjap-ngerjap menatap langit-langit dengan lampu temaram yang romantis. "Aku minta tolong padamu. Jangan sampai hal ini terdengar oleh orang tuanya. Mereka bisa menolakku. Masa depanku dengan Lia dipertaruhkan di sini. Kumohon dengan sangat!" Ruangan itu memang tenang dan damai, tapi suara Zaflan, pacarnya, sayup-sayup terdengar dari seberang ruangan. Lelaki itu tengah menelepon seseorang untuk dimintai tolong dengan nada gelisah. Siapakah yang diajaknya berbicara? Lia berusaha menggerakkan tubuhnya di atas kasur. Perlahan, ingatan buruk semalam menghantam otaknya. Menusuk hatinya ibarat jarum yang ditembakkan secara acak, sakit tapi tidak berdarah. Ia berharap semua itu hanyalah mimpi buruk semata, namun sikap Zaflan yang mencurigakan dan waspada, ditambah percakapan aneh itu menyakinkannya bahwa itu nyata. Lia adalah tipe perempuan kolot dari keluarga beragama keras. Hubungan yang dijalinnya dengan Zaflan merupakan hubungan rahasia tanpa sepengetahuan keluarganya. Mereka pun jadian karena Zaflan tiada henti mengejar dan memaksanya untuk menjalin hubungan dengannya. Apakah ini karma karena menentang keluarganya? Menjalin kasih dengan seseorang malah hanya sakit hati yang didapatkannya? Bulir-bulir air mata menggenangi pelupuk matanya, gigi dikatupkan kuat-kuat. Lelaki yang dipercayainya selama bertahun-tahun, sungguh tega melakukan perbuatan hina dengan orang lain! Lalu mengaku akan melamarnya di situasi buruk itu? Oh! hidup terasa sungguh kejam padanya! Dengan perasaan malas dan berat, Lia bangun terduduk di kasur. Suasana kamar itu terasa begitu sepi. Entah ke mana perginya lelaki itu setelah menutup telepon. Lia bahkan tak punya tenaga untuk berpikir apakah ia semalam hanya berdua bersama Zaflan di ruangan itu. Kepalanya terasa berat dan berdenyut. Tangan kanannya menyentuh bagian depan bajunya, pakaiannya masih utuh sempurna tanpa cacat, malah tubuhnya ditutupi selimut hangat dan nyaman. Matanya memeriksa isi kamar hotel itu. Ini kamar yang berbeda dari sebelumnya. Apa yang terjadi? Ia tak begitu ingat semua detail hal beberapa jam terakhir. Pikirannya agak kacau, tapi masih ingat poin pentingnya. Lia melirik dengan sudut matanya, ada senampan makanan yang menggugah selera di atas meja kecil. Tapi, ia sama sekali tak bernafsu sedikit pun. Perasaannya sangat lemas dan loyo. "Kau sudah bangun...?" Zaflan muncul di ruangan itu dengan memakai handuk kimono, suaranya terdengar lemah, tampak ragu-ragu untuk mendekat. Lia hanya diam membisu dengan mata sembabnya. Penampilan lelaki itu hanya membuatnya mengulangi kejadian semalam di otaknya untuk kesekian kalinya ibarat film yang dipercepat. "Aku sudah meminta tolong Uma agar memberitahu kedua orang tuamu jika kau bermalam di rumahnya." Hati Lia sakit mendengar ini entah kenapa. Hawa panas menusuk menyeruak di dalam dadanya. Sangat perih. Mulutnya masih sulit untuk mengucapkan sepatah kata pada lelaki itu. Ia terlalu syok dengan takdir yang dialaminya. "Apa kau ingin mandi dulu? Atau sarapan?" dengan hati-hati, Zaflan meraih nampan berisi sarapan itu. Bergerak perlahan ke sisi tempat tidur dan duduk di sana seraya meletakkan sarapan ke atas kasur. Lia hanya menatap isi nampan itu dengan tatapan kosong. "Lia?" Zaflan meraih belakang kepala perempuan itu, mengelusnya dengan pelan penuh kasih sayang. "Singkirkan tangan kotormu itu...." Ucapan dingin Lia yang begitu tiba-tiba membuat Zaflan terkejut hebat. Air dingin seolah merembes turun dari dalam dadanya hingga ke perut. Tenggorokannya terasa tercekat oleh batu besar, tak sanggup membalasnya. Selama beberapa saat, ruangan itu hening tanpa suara dan pergerakan sama sekali. "Lia..." Zaflan membuka percakapan, tapi Lia segera menghentikannya dengan nada suara yang sama dinginnya seperti sebelumnya. "Aku sungguh ingin putus. Tak ingin ada kontak apa pun di antara kita lagi," ucap Lia dengan segala emosi yang ditahannya, ia enggan menatap wajah lelaki itu. "Lia..." dengan perasaan terpukul, Zaflan mencoba menyentuh bahu kiri Lia, tapi kembali hanya penolakan untuk kesekian kalinya yang diterima olehnya. Raut wajahnya berubah muram. "Hubungan kita tak akan pernah berhasil, Zaflan. Tidak setelah apa yang telah kau perbuat semalam." Lia beringsut menjauh dari lelaki itu. Zaflan memandang pedih punggung perempuan yang dicintainya itu, tak menyangka satu kesalahan kini membuat semua impiannya hancur berantakan. "Lia, aku mohon dengarkan dulu penjelasanku. Sekali saja! Ini tidak adil bagiku jika kau bersikap memutuskan semuanya tanpa mendengar alasanku!" Zaflan menyingkirkan nampan dari kasur, kemudian bergerak mendekati Lia yang memunggunginya. "Apa kau sekarang jadi ahli wanita?" sindir Lia kecut, masih menolak menatap lelaki itu. "Lia...." Lelaki itu memeluk Lia dari belakang, ia memeluknya dengan perasaan yang menggebu-gebu dengan mata dipejamkan kuat-kuat. Memeluknya begitu kuat seolah jika ia tak melakukan itu, maka perempuan yang dicintainya itu akan menghilang ketika ia membuka mata. Ini membuat Lia membeku di tempatnya. Selama mereka pacaran sejak kuliah, kontak fisik paling jauh yang mereka lakukan hanyalah pegangan tangan, tidak lebih. Lelaki itu tak berani macam-macam padanya mengingat keluarga Lia yang begitu ketat mengenai hubungan antara lawan jenis yang belum sah suami-istri, terlebih lagi mereka pacaran diam-diam, tapi apa ini? Sejak kapan ia bersikap begitu frontal padanya? Apa ini karena ia sudah menjadi 'pria' dalam semalam? Api cemburu menjentik di dalam hati perempuan berambut ikal itu. Kegilaan terasa ingin menguasai isi kepalanya. "LEPASKAN AKU!" jerit Lia dengan ratapan pilu, ia memberontak dalam pelukan Zaflan yang bukannya melepasnya, malah diperkuat. Rasa putus asa menggelayut kelam di dadanya sang wanita, sinar matanya memancarkan kesedihan yang teramat sangat pilu. "Setelah menodai wanita lain, kini kau mau menodaiku juga?" suara Lia bergetar hebat, air mata meleleh di kedua pipinya, membasahi baju sifon merahnya. "LIA!" Zaflan melepas pelukannya, membalik tubuh Lia dengan kasar. Kedua bahu Lia diremas begitu kuat hingga menyakiti perempuan itu. "AKU MEMBENCIMU, ZAFLAN! AKU MEMBENCIMU!" lolongnya histeris dengan banjir air mata menghiasi kedua pipinya yang memerah. Kedua bola mata Zaflan bergetar hebat diikuti pupil mata mengecil oleh keterkejutan lain yang didapatinya. "Lia, jangan berkata begitu. Aku, aku tidak mencintai perempuan itu! Itu hanya kecelakaan! Seseorang menaruh obat aneh ke minumanku dan reaksinya tak bisa aku tahan meski mengguyur tubuhku dengan air dingin! Kumohon percayalah padaku, Lia!" Zaflan mengguncang-guncang tubuh kekasihnya yang tak hentinya berurai air mata. Lia memejamkan mata kuat-kuat ketika gambaran pertama kali memasuki kamar itu disambut oleh pakaian yang berserakan di lantai dan kamar mandi beruap dengan isi yang berantakan. Hatinya tiba-tiba seolah tersiram oleh lava panas yang membuatnya terasa kehilangan tenaga. Kedua tangan dan kakinya menjadi dingin bagaikan es batu. "Aku ingin putus. Aku tak ingin melihatmu lagi." Lia berkeras memalingkan mukanya dari Zaflan, air liurnya menetes dari bibirnya yang bergetar hebat, rasa asin dari air matanya kini tercecap di lidahnya, memenuhi rongga mulutnya. "Tidak, Lia! AKU TIDAK INGIN PUTUS!" Zaflan menghempaskan tubuh Lia ke kasur, ia memaksa perempuan itu bertatapan mata dengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD