Chapter 2 : Pengakuan

3259 Words
    “Kenalin Prama Sugandi.” Pria bernama Prama itu mengulurkan tangannya dengan percaya diri kepadaku.     “Syakila Guntoro,” singkatku. Menjabat tangannya sekilas, aku tau dia adalah type laki-laki yang berbeda dari Pak El. Prama terlihat seperti playboy. Aku ralat. Bukan terlihat lagi, tapi memang playboy.     Aneh melihat reaksi wajah Prama menjadi lain saat mendengar namaku. Dia terlihat agak berpikir, seperti mengingat sesuatu sampai akhirnya dia menjentikkan jarinya lalu berkata dengan heboh. “Oh jadi ini yang loe bilang menarik itu El.”     “Hah?.” Aku tidak salah dengar bukan?. Pak El melotot sangat tajam pada Prama saat aku menoleh ke belakang. Prama sudah akan memegang pundakku, namun Pak El maju dan menyeretnya. “Maaf ya, dia memang kalau bercanda itu keterlaluan.”     “Enggak lah, gue mah serius.”     “Udah ayo kita jalan, loe mau traktir makan kan?.” Aku semakin tidak mengerti dengan tingkah kedua laki-laki yang ada dihadapanku. Jadi saat ini ekspresiku hanya senyum dengan canggung saat Pak El mengajakku naik ke mobil. **      Sepanjang perjalanan Pak El diam, begitupun aku. Bertanya-tanya, apa tadi candaan Prama itu benar ya?. Ah sudahlah, buat apa aku memikirkannya?. Aku tidak boleh melewatkan setiap pemandangan disini. Beberapa kali aku memang pernah ke Bogor untuk dinas luar atau berlibur bersama keluarga,a tapi tidak pernah bosan jika berkunjung ke kota hujan ini.     Mobil Prama yang ada didepan mobil kami berhenti di sebuah restaurant yang terlihat menarik. Kami turun mengikutinya memilihkan meja. Baru saja duduk, dia sudah berbicara lagi. “Panggilnya Syakila aja atau ada nama panggilan lain?.”     “Orang sih biasa panggil Kila.”     “Oke Kila, gimana bos loe ini?. Galak gak?. Perfectsionis banget kan ya?. Pasti gak tahan kan?.”     Aku melirik Pak El yang acuh dan malah melihat buku menu makanan. “Enggak kok. Pak El baik.”     Prama itu mencondongkan tubuhnya sehingga aku otomatis mundur. “Berarti loe suka dia dong?.”     Aku tersenyum canggung lagi padanya, Pak El yang sadar aku risih pun mendorong wajah Prama. “Jangan bikin risih dia deh, loe cepet pesen makanan terus kasih tau kita mana aja yang enak.”     “Oke…” Prama itu mengoceh tentang makanan-makanan enak di restaurant itu dan benar saja makanan yang dipihkan Prama tadi enak-enak. Aku sampai sangat kekenyangan. Nah, di tengah kekenyangan itu Prama bercerita banyak tentang dirinya yang dulu adalah teman semasa SMA dan kuliah Pak El. Prama memilih tinggal di Bogor karena ingin menemani ibunya yang tinggal sendiri dan tidak mau ke Jakarta.     “Ya udah deh, udah sore banget nih. Gue gak enak sama Syakila. Maaf ya Syakila, kami keasyikan ngobrol sampei lupa waktu gini.”     “Gak apa-apa kok pak. Saya juga kan ikutan ngobrol. Seneng bisa ikut ngobrol banyak.”     “Tuh gak apa-apa kali. Ya udah boleh tukeran nomor gak?. Barangkali kita ada sinyal-sinyal jodoh gitu?. Kan gak ada yang tau.” Baru saja Prama akan mengeluarkan ponselnya, Pak El berdiri dan mendorong ponsel Prama untuk kembali dimasukkan ke dalam saku celananya.     “Ayo Syakila, eh bentar ya.” Aku tidak tau Pak El mau apa, tapi yang jelas dia berbisik dan menerima sebuah bungkusan makanan. “Buat orang rumah pak?,” tanyaku spontan.     “Enggak, ayo kita pulang. Thanks ya Pram.” Pak El meninju lengan Prama dan berjalan lebih dulu. Aku berniat akan pamit pada Prama, tapi dia berbisik lebih dulu padaku. “Dia itu naksir sama loe, gue serius.”     Aku makin menyipitkan mata melihat raut wajahnya yang tidak terlihat tengil seperti tadi. “Jangan bercanda deh.”     “Suer, dia bilang waktu itu ke gue kalau ada temen kantornya yang menarik namanya Syakila,” bisiknya lagi. Baru saja aku akan menanyakan sesuatu, Pak El sudah memanggilku dari mobil, terpaksa aku harus segera mengakhiri percakapanku dengan Prama. “Tunggu.” Dasar memang playboy, dia menyelipkan kartu namanya pada tasku. “Simpen ya dan hubungi gue kalau loe mau tau kelanjutannya.”     Aku hanya mengangguk saja, kemudian meninggalkannya yang kini berteriak. “Bye cantik.” Oh ya ampun Pak El tahan ya berteman dengan teman yang berisiknya bukan main. Aku tau, aku ini berisik tapi mendengar berisiknya Prama membuat telingaku berasa mau pecah. Yah walaupun memang Prama itu terlihat baik sih.     “Jangan dengerin ya, temen saya itu memang sedikit gila. Tapi sebenarnya baik kok.” Pak El mengakhiri kalimatnya dengan tawa.     “Ya pak, saya tau kok dari pertama kali dia muncul tadi,” ujarku sambil menutup pintu mobil. Saat pandanganku beralih ke depan, aku melihat bungkusan makanan tadi sudah ada di tangan Pak Gino kemudian di simpannya di jok samping.     “Makasih ya pak sampai dibungkusin gini, padahal tadi saya kan sudah ditraktir makan soto. Jadi gak enak saya.”     “Buat orang rumah pak. Lagian itu bukan dari saya kok Pak Gino, teman saya tadi yang traktir. Jadi santai saja ya.” Dia tersenyum tulus. Aku terpesona dengan senyumannya. Dia memang laki-laki yang tidak begitu tampan, ya menarik. Kulitnya putih bersih, badannya pun bagus. Tapi yang membuatku sangat terpesona adalah karena kebaikan hatinya dan senyumannya yang terasa sangat tulus. Oh ya ampun.     Selama perjalanan, kami hanya saling diam. Mungkin karena kami sama-sama lelah, ditambah macet di beberapa titik. Aku melihat Pak El tidak bisa tidur seperti aku, dia hanya sesekali melihat ponselnya dan jendela. Di tengah-tengah macet dia bilang, “Syakila saya mau mengaku sesuatu.”     “Hah?. Mengaku apa pak?.” Aku mulai tidak karuan rasanya.     “Ehm…., saya memang dulu tertarik sama kamu.”     “Dulu?.” Aduh kenapa aku bertanya seperti itu?. Pak El pun gugup setelah mendengar pertanyaannya ku itu.     “Maksudnya….,” Pak El seperti berpikir. Aku yang merasa bersalah telah membuat bingung Pak El meminta maaf. “Maaf pak mulut saya memang kadang bergerak lebih dulu daripada otak saya. Anggap saja Pak El gak denger pertanyaan saya barusan. Lupain.”     Pak El mengangguk-ngangguk dan berkata baiklah. “Saya pertama-tama kagum terhadap hasil kerja kamu. Lama kelamaan saya juga kagum dengan cara kamu berpikir setiap kamu mengajukan ide dan saya berkesimpulan kamu adalah wanita yang cantik dan pintar. Jadi siapa yang tidak tertarik dengan kamu?.” Pak El tersenyum padaku di bawah sinar-sinar lampu mobil yang sedang bergerak seperti siput. Aku tidak mengerti, dia mengatakan itu untuk membuatku jangan geer atau untuk membuatku tidak membuat informasi tadi menjadi serius?.     “Saya gak seperti itu kok pak, buktinya saya beberapa kali ini telat.”     “Manusia pasti ada salahnya kok, saya juga kadang telat.” Telat bagaimana?. Pak El adalah bos paling tepat waktu di perusahaan. Untuk beberapa saat keadaan hening. “Tapi benar memang kata Prama tadi saya tertarik dengan kamu, kamu mau menemani saya cari buku sambil makan sabtu malam sekarang?.” Aku tidak salah dengar?. Benar Pak El bertanya seperti itu?. Aku kaget, sampai-sampai aku agak diam lama untuk berpikir. “Tapi kalau kamu ada acara gak apa-apa kok. Gak usah dipaksakan.”     “Ya, saya bisa. Kebetulan saya sabtu ini gak ada acara.” Tidak salah kan aku menerima ajakan Pak El?. Dia baik, dewasa, menarik dan ya.. sesuai standarku. Oke, kita bahas mengenai perasaan itu nanti saja menyusul. Bukankah tidak bisa kita pungkiri ketika kita pertama kali memutuskan untuk mengenal lebih jauh orang tersebut pasti penilaian pertama kita adalah tampilan luar bukan?.     “Good,” hanya itu respon darinya. Oke satu mungkin minusnya, Pak El ini seperti yang aku tadi bilang di atas kalau dia agak kaku. **     Keesokkannya aku seperti biasa, jam ½ 8 sudah sampai di kantor. Duduk-duduk sambil menyiapkan pekerjaanku atau kadang membereskan barang-barangku di meja agar terlihat rapih. “Morning,” Beno menyapa ku dengan sangat ceria.     “Ada apa?. Kayaknya seneng banget.”     “Gak apa-apa, seneng aja gue liat loe. Kemaren sepi banget gak ada loe, gak ada yang traktir makan siang juga,” candanya yang membuat aku mencibirkan bibirku.     “Huh dasar sahabat macam apa kayak gitu. Eh pekerjaan gue kemarin beres semua kan?.”     “Iya lah. Loe jangan raguin kemampuan otak gue ini ya. Tau kan alasan gue jadi karyawan kesayangan Pak El?.” Dengan berat hati aku harus mengakui apa yang dikatakan oleh Beno itu benar. Dia memang karyawan yang sangat diandalkan oleh Pak El.     “Ya…, ya. Thanks Beno sang casanova. Eh tuh di meja loe ada kotak, dari fans loe lagi ya?.” Biasa memang Beno ini ada benda-benda aneh dan asing di mejanya. Ya wajar sih, dia itu ganteng mirip Deva Mahendra. Jadi ada aja yang naksir sama dia, di tambah kalau dia itu memang playboy sok cool. Padahal sih aslinya aduh males.     “Iya lah siapa lagi, apalagi ini hari ulang tahun gue kalau loe lupa,” Beno mengatakannya sambil duduk di mejaku dan tersenyum lebar. “Loe pasti lupa kan ya?.”     Aku menepuk jidat, ya ampun tumben aku lupa. Aku biasanya mengingat hari-hari ulang tahun teman dan sahabatku, apalagi Beno yang sangat dekat denganku. “Ya ampun gue bener-bener lupa Ben, sorry. Oke, sebagai permintaan maaf loe boleh minta hadiah ke gue, tapi jangan yang mahal banget ya. Loe tau kan gue lagi nabung buat beli sepatu yang gue pengen?.”     Wajah Beno mengerling nakal, oh firasatku tidak bagus sama sekali. "Gak mahal kok, apalagi buat ukuran loe mah.“     "Aduh bahaya nih kalau loe ngomong kaya begitu. Inget, jangan ngelunjak!.”     “Tenang, gue bakal minta hal yang wajar kok. Tapi sebenernya gue bingung antara dua pilihan. Bentar ya, gue pikirin dulu.”     “Lewat dari istirahat nanti siang voucher hadiahnya hangus.”     “Ih kejam banget sih loe sama temen loe dari jaman buluk ini.”     “Terserah. Oh iya happy birthday ya Ben. Makin dewasa, jangan main-main terus.” Aku berdiri kemudian cipika-cipiki dengan wajahnya yang semulus p****t bayi. Dia senyum-senyum tidak jelas dan aku menoyor kepalanya. “Kurang-kurangin naluriah laki-laki jelek loe itu.” Dia bukannya berpikir ya diberitahu seperti itu malah masih senyum-senyum sambil jalan ke meja kerjanya.     Aku geleng-geleng saja liat kelakuan dia. Ops, gelenganku langsung berhenti saat melihat Pak El datang. Aku tidak tau semenjak pengakuannya dan malam dia bilang “good night Syakila.” Aku jadi tidak karuan. Akhirnya aku pun memilih untuk menyapa Pak El dengan, “pagi pak.”     “Pagi,” dia tersenyum manis padaku. Apa?, manis?. Semenjak kapan aku menganggapp senyuman pagi hari Pak El manis?. Apakah ini hanya perasaan seperti saat dulu SMA atau SMP ketika ada teman yang menyukai kita?, kita jadi suka malu-malu kucing. Ah aku tidak tau, aku memilih duduk dan memastikan saja bahwa wajahku tidak kentara bahwa aku sedang malu terhadap Pak El.     “Hei kenapa sih loe?,” Beno mengagetkan ku lagi. “Kaya lagi dengerin lagu wajib aja megangin d**a gitu sambil merem melek.”     “Ish…,” aku melemparkan penghapus ke arahnya.     “Aduh…,” dan penghapus itu malah mengenai Fara. Salah satu teman kantor ku juga yang hobi ngecengin orang kantor termasuk Beno. Dia itu adalah wanita yang senang kencan, katanya sebelum nikah dia harus puas-puasin kencan dengan teman cowok. Entah itu hanya nonton film, makan malam atau ya berdua-duaan di apartemen.     “Sorry Far, biasa tuh si Beno rese. Aduh sakit ya kepala loe?.” Aku menghampiri Fara yang sedang mengelus-ngelus kepalanya.     “Iya lah sakit, benjol nih pasti kalau di cerita Shincan.” Dia malah membuatku tertawa, alhasil wajahnya makin cemberut. Habisnya dia itu kalau bicara ada-ada saja. “Lagian loe lempar cuman penghapus ke Beno, golok yang harusnya loe lempar.” Fara memang selalu berapi-api kalau berhubungan dengan Beno. Masalahnya saat dekat dengan Beno, Fara dibuat kesal bukan main. Beno menyelingkuhi Fara, dia membatalkan janji nonton dengan Fara di hari ulang tahun Fara dan tau?. Beno malah kepergok sedang makan di salah satu restaurant tempat Fara dan kami teman-teman kantornya sedang merayakan hari ulang tahunnya. Alhasil Fara marah. Fara bilang dia memang sering berganti teman kencannya, tapi dalam hidupnya tidak ada kata selingkuh. Jadi dia sangat benci dengan Beno.     “Kalau tadi gue lempar golok, bakal kena loe dong barusan. Lagian walaupun buluk dia temen gue dari dulu.”     “Iya juga ya.” Dia tertawa. **       Siangnya baru saja aku akan menyandarkan punggungku ke kursi, Beno datang dengan heboh. “Cepet gue mau makan disini, reservasiin sekarang juga.” Dia menyodorkan ponselnya. Aku menatapnya dengan tatapan laser paling mematikan.     “Loe itu ya, dateng-dateng minta hadiah gitu amat.”     “Sorry cantik. Abisnya makan disini mesti reservasi sebulan sebelum, jadi gue mau loe telepon sekarang juga.”     “Bentar-bentar.” Aku menegakkan tubuhku kembali dan mengambil handphone Beno. “Ini tempat makan yang nyajiin makanan aneh-aneh kan?. Kayak di vlognya Raditya Dika?.”     “Iya, banyak yang bilang walaupun aneh tapi enak dan gue mau hadiah ini.”     Aku menghembuskan nafasku, “oke deh buat loe.”     Dan tanpa terduga Beno memeluk leherku seperti akan mencekik. “Gila loe emang temen gue paling baik dan cantik. Dimana lagi coba gue punya temen kaya loe?. Di hutan Afrika juga kayaknya gak akan nemu.”     “Ada maunya aja, kecekek nih gue.” Tangannya langsung aku lepaskan dari leherku. Dia itu memang aneh, bisa bersikap seperti itu padaku padahal sikapnya pada perempuan lain itu sangat elegan dan berwibawa banget makanya banyak yang naksir sama dia. Tapi kalau sama aku dia bisa kayak gitu. Haduh, seenggaknya ya gue ini kan cewek juga.     “Oke sorry.”     “Eh ini loe mau makan sama temen cewek loe berdua?.”     “Iya lah sama siapa lagi. Atau loe mau nemenin gue?.”     “Ogah,” aku tertawa terbahak-bahak dan langsung mengambil telepon untuk mereservasi tempat makan itu. Dia tersenyum sangat lebar. Oh seperti kelinci imut dia itu bagiku, walaupun bagi orang dia adalah laki-laki perkasa yang mampu membuat cewek manapun bertekuk lutut, tapi beda halnya denganku. Aku melihat dia sebagai teman yang manis, ya manis dengan segala tingkah lakunya karena sesungguhnya dia adlaah teman yang paling perhatian dan selalu ada saat aku terpuruk.     “Kayaknya lagi istirahat deh, gak diangkat. Nanti sore gue telepon lagi ya.”     “Oke deh, tapi jangan lupa ya.”     “Iya…,” seketika aku sadar kalau Pak El sedang berdiri didekat pintu memperhatikan kami. Dia berjalan ke arah kami. “Ada apa nih kayaknya seru banget?,” tanyanya.     “Ini pak, Beno ulang tahun dan dia heboh urusan hadiahnya.”     “Oh ulang tahun kamu Ben?.” Beno mengangguk. “Ya sudah sebagai hadiah saya buat kamu, saya traktir kamu siang ini dimanapun kamu mau dan apapun makanan yang kamu mau?.” Pak El baik banget sih, dia meluangkan waktu istirahatnya demi karyawannya.        Wajah Beno pun sumuringah bukan main. “Betul pak?. Memang gak apa-apa?.”     “Saya tanya balik, memang kenapa?. Ayo, sama Syakila sekalian.” Pak El melempar kunci mobilnya kepada Beno. “Kamu yang bawa mobil saya.”     “Oke deh pak, siap.” Beno memang tidak salah mengidolakan sepertinya, gumamku dalam hati.     Beno, ternyata tidak aji mumpung. Dia memilih tempat yang tidak terlalu mahal, seperti permintaannya ke aku. “Ke gue aja loe pengen tempat makan mahal,” bisikku ketika Pak El sedang mengambil sesuatu di mobil.     “Loe kan cewe cantik kesayangan gue, kalau Pak El ya bos kesayangan gue. Beda level.” Aku melirik tajam Beno yang sekarang hanya cengar cengir tidak jelas. “Silahkan pak duluan.” Beno mempersilahkan Pak El terlebih dulu masuk ke restaurantnya dan kami berjalan di belakangnya.     Ketika masuk, restaurant ini terlihat sedikit mewah. Atapnya cukup tinggi, dengan dekorasi seperti langit nyata. Kursi-kursi bergaya barat hadir dengan tatanan sendok dan garpu yang rapih. Menunya banyak menyajikan makanan western. “Saya spaghetti carbonara aja,” ucapku ketika membuka menu.     “Belum juga liat menu semuanya Kil, langsung mutusin aja. Dasar pecinta carbonara.”     “Oh kamu seneng banget carbonara?.” Pak El jadi tertarik bertanya padaku, dasar Beno ban bocor.     Aku tersenyum kikuk, “iya pak saya suka banget. Makanya kalau ke restaurant bergaya barat gini yang harus dicoba yaitu carbonaranya. Kalau carbonaranya enak saya bakal balik lagi.” Jelasku dan Pak El mengangguk-ngangguk dengan senyumannya. Ya ampun, laki-laki ini kalem banget mana senyumnya bikin teduh. Banyak dengar dari para karyawan dan tukang gosip, Pak El ini banyak ditaksir selain karena jabatannya, uangnnya, juga karena kalem dan senyumnya. Kami sekantor tidak pernah melihat emosinya, yang kami lihat selama ini kalau pun dia marah dengan cara yang seperti aku katakan sebelumnya.     Siang itu, aku melihat lagi sisi yang pernah Beno bilang sebelumnya. Beno memang banyak cerita mengenai Pak El karena dia sering tugas keluar bersama Pak El. Kemarin saja, dia mengajakku karena Beno memang minggu sebelumnya sudah menemani Pak El beberapa hari. Beno bercerita kalau Pak El itu sangat humble dan dia ramah sekali walaupun dengan kekakuan bahasanya. Kita tidak akan melihat dia membentangkan garis seperti bos lainnya, dia akan seperti teman diluar. Dia pun akan memberikan hal yang tidak pernah bos lain berikan, hal kecil dan berarti. “Ben, ini saya kemarin ada formulir pendaftaran S2. Kamu tinggal isi, masukkan dan selamat berjuang. Kebetulan banget ini pas hari ulang tahun kamu ya.” Pak El menyodorkan kertas dari tasnya. Beno memang bercita-cita meneruskan kembali S2 nya di universitas lain, setelah sempat putus sekolahnya karena keadaan ekonomi keluarganya yang bergantung padanya. Waktu itu jujur aku marah sekali sama dia karena tidak cerita mengenai masalah itu.                Muka Beno terlihat spechless ketika mengambil kertas yang Pak El berikan, “pak ini serius?. Ya ampun pak ko ngerepotin sih.”     “Enggak repot kok Ben, kemarin saya abis ketemu temen saya. Dia itu salah satu dosen di universitas pasca sarjana. Ya berakhir dengan formulir ini.” Pak El diam sebentar kemudian berkata dengan pelan, “masalah biayanya kamu tenang saja saya sudah urus.”     Aku melongo, ini bukan hal kecil dan berarti. Ini hal besar dan sangat berarti apalagi bagi seorang Beno yang terlihat pecicilan, playboy, tapi sebenarnya hidupnya penuh perjuangan dan pintar. Senang sekali belajar. Aku tidak tahan untuk tidak bertanya, “Pak kalau boleh saya tau, kenapa Pak El lakuin ini buat Beno?.”     Pak El menyimpan sendok dan garpunya sebelum menjawab pertanyaanku kemudian menyatukan tangannya. “Saya juga seperti Beno waktu dulu.”     “Playboynya pak?,” tanyaku spontan yang langsung dapat tendangan keras dari Beno dan pelototan super tajam. Tau reaksi Pak El?, dari kemarin dia tertawa saja seperti menonton lenong bocah.     “Kalau masalah itu beda, bagi saya ribet banyak cewek. Bukan itu, saya dulu juga seperti Beno. Hampir berhenti di tengah-tengah.” Pak El mengatakan kalimat terakhir dengan sorot mata sedih. Bisa aku rasakan dan lihat.     Spontan aku menunduk. Merasa bersalah bertanya seperti itu.     “Boleh saya make a wish buat ulang tahun saya?.” Tiba-tiba Beno bertanya dengan heboh.     “Boleh dong, tapi gak ada lilin.”     “Gak masalah, yang penting kan permohonan kita dikabulin.” Benar juga apa kata anak satu ini. Oke, dia sepertinya semakin dewasa. Ah aku terharu sekali.     “Make a wish apa sih loe?,” bisikku ketika dia memejamkan matanya. Lalu dengan mata yang sedikit terbuka di ajuga berbisik, “gue minta supaya pacar gue tahun ini model.”     Oke.     Aku tidak jadi mengatakan kalau dia semakin dewasa tahun ini.     “Semoga semua yang kamu inginkan tercapai ya.” Pak El yang polos ini tidak tau sisi liar karyawan teladannya. Oh poor Pak El. Akhirnya, siang itu pun kami lewatkan seperti tiga orang teman yang berkumpul bersama, bukan seperti atasan dan bawahan yang bertemu. Aku tidak menyangka bisa sesenang ini berkempul bersama Pak El, seperti ada yin and yang. Disaat kami berdua seperti orang gila, ada Pak El yang tetap lurus dijalannya. Beda halnya, jika kami berkumpul dengan Cila, Retno dan Bima. Kita semua akan gila bersama. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD