Chapter 3 : Berbeda

3349 Words
    Cuaca hari ini sangat menyenangkan, hujan dan dingin. Ditambah ini adalah hari Sabtu. Menyenangkan sekali untuk tidur-tiduran di tempat tidur yang berlapiskan bed cover tebal yang hangat dan musik dari Zayn Malik. Ya, aku memang suka sekali dengan penyanyi satu itu. Aku mulai menyukainya ketika dia sudah jadi penyanyi solo. Selain dia pun, aku pecinta Bruno Mars. Beno yang sering menebeng di mobilku, sering mengeluh dengan playlist lagu yang aku putar karena jika aku sedang suka dengan satu lagu maka aku akan terus putar lagu itu sampai berminggu-minggu dan lagu yang sering aku putar itu ya lagu Zayn Malik dan Bruno Mars.    Aku terkejut waktu alarmku berbunyi kencang sekali. Ya ampun, aku lupa.     Secepat kilat, aku berdiri dari tidurku menuju kamar mandi. Setelah selesai,  agak lama aku berdiri di depan lemari. Mataku menjelajah isinya. Sampai akhirnya aku memutuskan satu baju yang aku rasa cocok. Pas sekali ketika baru saja memakai baju, handphoneku berbunyi dari Pak El. “Halo, ya pak.”     “Kamu panggil saya El saja kalau diluar. Gimana kamu udah siap?. Saya ada didepan rumah kamu.”     Ya ampun, aku belum menata rambut dan pakai make up. “Tunggu ya pak saya turun dulu.” Aku segera turun. Benar saja, didepan rumahku sudah ada mobil terparkir. Tunggu, tapi mobil ini baru aku lihat sepertinya. Yang aku tau Pak El biasanya ke kantor pakai Nissan Grand Livina tapi yang ada didepan rumahku ini mobil sedan mewah klasik Mercedes Benz. Aku pun menunduk disamping kursi pengemudi dan kacapun terbuka. Pak El tersenyum langsung padaku. “Hai..,” katanya lalu aku diam untuk beberapa saat. Ah kenapa aku ini?. Sekarang setiap kali aku melihat Pak El aku selalu terpesona. Aku seperti baru melihat sisi-sisi lain yang selama ini selalu digosipkan para karyawan mengenai kenapa mereka menyukai Pak El. Turun dari mobil, Pak El terlihat sangat berbeda dari penampilannya yang biasanya aku lihat di kantor. Ia memakai kaos polo warna hitam dengan celana jeans warna senada.     “Eh.., hai ehm… El.”Jeda. Aku agak tidak enak langsung menyebut namanya. “Masuk dulu aja. Saya belum selesai dandan. Gak apa-apa kan?,” sambungku.     “Gak apa-apa dong, lagipula saya juga harus turun dulu buat minta ijin sama orang tua kamu.”     “Mereka lagi keluar kok pergi kondangan.” Pak El mengangguk paham. “Tunggu di dalem aja.”     “Oke.” Pak El pun masuk ke rumah ku. Ia tampak melihat-lihat isi rumahku dengan serius. Aku agak bingung sebenarnya. “Duduk aja. Saya mau naik ke atas dulu.” Baru saja aku akan berjalan untuk menaiki tangga Pak El menahan tanganku. Untuk pertama kalinya dipegang oleh laki-laki yang masih aku anggap atasan membuatku canggung. “Kamu masih canggung ya sama saya?.”     Membalikkan badanku dengan perlahan dan menjawab jujur pertanyaannya. “Iya sih sebenarnya,” cicitku pelan. Pak El masih memegang tanganku dengan sopan dan lembut, dia tersenyum. “kamu bisa anggap saya temen kalau di luar kantor?. Kamu bisa jadi diri kamu sendiri didepan saya.”     “Tapi kamu bakal kaget kalau tau saya yang sebenarnya loh.” Aku menakutinya dan tau?, lagi-lagi reaksinya hanya tersenyum. Ah, aku semakin meleleh saja. “Gak masalah.”     “Oke.” Aku pun mengangguk dan naik ke lantai atas untuk melanjutkan memakai make up. Tiga puluh menit ternyata aku menghabiskan waktu untuk berdandan. Ah, rambutku. Aku baru ingat belum mencatok rambutku. Bingung, kalau aku mencatok rambutku maka Pak El akan semakin lama menunggu. Ah ya sudah akhirnya aku memutuskan memakai style hair messy. “Not bad,” ucapku sendiri setelah melihatnya di kaca.     “Sudah?.” Waktu aku turun dan melihat di sedang membaca majalah bola milik ayahku.     “Sudah.” Aku tersenyum lebar sekali. “Tapi karena buru-buru saya jadi pake style rambut berantakan deh. Jelek?.” Aku memperlihatkan rambutku dan dia pun dengan serius menelaah. Lalu menjawab dengan ah senyuman mautnya itu. “Enggak, kamu cantik seperti biasa. Malah lebih cantik menurut saya. Lebih natural.” Ah pipiku panas. Kenapa sih aku ini tiba-tiba seperti ini oleh Pak El?. Ya ampun Syakila sadar.     “Oke ayo berangkat. Bilang terima kasih ya sama Mbak Ratih, minuman lemon tea nya enak.” Aku suka sekali dengan sikap Pak El yang seperti ini. Dia selalu menghargai setiap orang. Siapapun itu, tidak terkecuali. “Ya nanti saya bilang pak.” **       Selama diperjalanan lagu-lagu barat lawas terdengar. Aku mendengarkan lagunya dengan khusyu sampai-sampai baru sadar ketika Pak El memanggilku. “Kamu khusyu banget dengerin lagunya.”     “Saya penasaran aja sama lagunya, kamu emang seneng lagu-lagu lawas ya?.”     “Iya. Kamu bisa nebak dari lagu yang beberapa kali keputer barusan ya?.” Aku menggangguk sambil tertawa pelan. “Kamu suka lagu apa?.”     “Bruno Mars sama Zayn Malik.” Jawabku dengan gamblang. Tau apa yang dia bilang setelah itu?. “Oke, nanti saya bakal masukin ke playlist lagu saya.” Ya ampun kenapa sih baru sekarang Pak El ini buat aku meleleh?. Dalam hatiku menjawab, kamu yang dari mana aja sampei baru sadar sekarang?. Telat woi. Aku disuraki diri sendiri.     Sesampainya di mall, kami langsung ke tempat buku. Sebelumnya di mobil Pak El bertanya, “kamu mau makan dulu atau ke toko buku dulu?.”     “Cari buku aja ya, nanti udah capek cari buku kan pasti laper.”     Sampai lah kami di tempat buku, “kamu mau cari buku juga gak?.” Aku mengangguk dengan mata bersinar, mirip seperti anjing kecil yang di tawari makanan. Pak El saja sampei tertawa dan tau?. Dia mengacak poniku. Aku yang diam karena speechless membuatnya merasa tidak enak. “Maaf saya refleks. Kamu lucu banget barusan.”     “Gak apa-apa kok. Saya kaget aja.”     “Ya udah kamu mau cari buku apa?. Novel?.” Pertanyaannya bagaikan angin surga. Aku sangat suka sekali baca apalagi novel.  “Kalau gitu ayo kita cari dulu buku novel.”     “Tapi kan kamu juga belum nyari bukunya.”     “Gampang. Ayo.” Pak El pun berjalan terlebih dulu sambil mencari dimana letak deretan buku novel. Aku yang selalu larut dalam deretan buku novel sampai lupa waku sadar kala aku sudah membuat Pak El menungguku lama. “El gak apa-apa kalau mau cari buku kamu. Aku tinggalin aja.” Aku merasa tidak enak.     “Gak apa-apa kok, lagi pula saya pengen cari buku yang kamu baca kemarin itu.” Aku tau sebenarnya dia memang mau menunggu ku saja. Ah ya sudah lah. Aku pun mencari lagi dengan enteng sampai aku dihadapkan dengan tiga pilihan novel yang jujur membuatku bingung. “Yang mana ya?,” tanyaku pada diri sendiri.     “Kamu bingun antara tiga itu?.” Aku mengangguk. “Coba saya pinjem,” dia membaca sinopsis dari ketiga buku itu. “Menurut saya bagus yang ini.” Pak El menunjukan buku bercover hijau dan putih yang berjudul Norwegian Wood karya Haruki Murkami, “tapi kalau kamu suka sama ketiganya kamu ambil semuanya.”     “Jadi gini, menurut saya beli buku itu jangan banyak sekaligus karena sensasi cari buku sampei beli bukunya di toko buku itu buat saya kegiatan yang menyenangkan banget gitu. Makanya saya gak mau nyia-nyian kegiatan menyenangkan itu dengan langsung beli buku banyak.” Jelasku dan diakhiri dengan cengiran lebar sambil menimbang-nimbang lagi ketiga bukunya.     “Ya ampun, sesuka itu ya kamu?.”     “Hem…, buat saya belanja itu jangan banyak-banyak. Biar kita tiap hari bisa merasakan sensasi keluar dan masuk toko. Kaget ya denger saya kaya gitu?. Saya emang seneng belanja sama jalan-jalan.” Tau reaksinya dia hanya mengendikkan bahu dan tersenyum. “Enggak. Wajar kalau work hard play hard. Saya juga punya hobi kok.”     “Apa memangnya?.” Aku jadi penasaran. Memang apa sih hobinya. “Baca buku. Jadi kalau kamu liat apartemen saya ada satu ruangan yang isinya itu ya rak buku semua kaya perpustakaan.”     “Hah?. Itu doang hobi kamu?.” Tanyaku sambil menyimpan dua buku dan mengambil buku cover hijau dan putih yang tadi dipilihkan Pak El.  “Iya saya dari dulu ya hidupnya baca sama belajar aja.”     “Serius?. Nongkrong sama temen?.” Tidak percaya, sepertinya hidup Pak El ini monoton sekali. Aku tidak bisa membayangkan kalau hidup seperti Pak El.     Aku mengikuti arah berjalan Pak El yang menuju rak buku biografi. “Enggak, hidup saya kayanya monoton. Ya paling nongkrong itu kalau diajak sama sahabat saya yang waktu itu, Prama.”     “Emang gak suka jalan atau ngapain gitu sama cewek?.” Spontan tanyaku, aduh aku kenapa tidak pikir panjang ya saat bertanya seperti itu kan aku juga wanita. Jadi salah tingkah kan aku jadinya.     “Saya jarang jalan sama cewek, paling kalau iya jalan itu cuman sama yang saya suka aja,” jawabnya kemudian memilih buku. Dan aku ditinggal dengan hidung yang terbang ke angkasa.     Setelah lama memilih buku, aku dan Pak El memilih makan di Solaria dengan Pak El yang selalu bertanya dan menyerahkan keputusan padaku. Pak El ini jadi mirip seorang kakak yang baik untukku. “Maaf ya saya laper banget.” Ucapku setelah memakan satu porsi nasi goreng seafood dengan cepat. Sementara Pak El makanannya masih banyak. Aku jadi merasa terbalik posisinya dengan Pak El.     “Kamu gak diet emang?.”     “Enggak. Saya hobi makan banyak.” Aku tertawa mengatakannya dan Pak El pun ikut tertawa. “Ketawa terus.”     “Saya suka ceplas ceplosnya kamu. Saya juga suka kamu yang apa adanya kaya hari ini.” Pak El tersenyum dengan sangat tulus dan hatiku berdebar-deba lagi dengan cepat. Ya ampun hatiku meleleh terus hari ini, tidak terhitung berapa kali Pak El hari ini tersenyum terus dengan tulus padaku. Dia juga bersikap lembut sekali dan mengayomiku.     Sambil meminum jus melonku aku berkata, “saya justru sering dimarahin Beno sama Cila kalau udah ceplas ceplos.”     “Oh ya?. Menurut saya sih gak apa-apa asal jangan ngerugiin atau nyakitin hati orang aja.” Pak El juga memang bijaksana. Harus aku akui hari ini aku benar-benar dibuat terpesona olehnya. Tapi aku masih ragu sih sebenarnya kan terkadang laki-laki saat pendekatan hanya akan menampilkan topeng cantiknya saja. Ya walaupun aku sudah mengenal beberpaa sifat Pak El selama kami bekerja tapi kan itu belum cukup. Sebentar, apa Pak El pendekatan ya padaku?. Aku takut kegeeran.     Malam itu aku pulang jam sepuluh setelah menonton satu film yang aku ingin sekali tonton. Untung ada Pak El, kan ngenes kalau harus nonton sendirian. Kalau dengan Beno tentunya aku  bakal disangka pacarnya dan diapun punya agenda jadwal dengan pacar-pacarnya, Cila?, dia juga punya pacar. Ah apa lah aku ini yang sudah jomblo beberapa bulan ini karena mantanku terdahulu sangat possesif dan terlalu mengatur. Jujur aku tidak suka diatur. Aku lebih suka jadi yang dominan. Lebih baik aku putus kan. Jadi aku senang sekali hari ini Pak El mau jadi teman nontonku. “Makasih ya El udah temenin saya nonton,” ucapku waktu mobil Pak El sampai didepan rumahku.     “Sama-sama. Kamu seneng?.”     “Jomblo ada yang nemenin seneng lah. Beno jadwalnya padat kalau sabtu minggu gini. Cila juga.”     “Kalau saya temenin lagi buat kamu nonton atau apapun itu mau?.” Tanya Pak El sambil menoleh ke arahku. Aku yang ditanya seperti itu diam saja dan speechless. “Gak mau ya?.”     “Mau kok,” jawabku cepat dan dia tertawa. Aku juga jadi ikut tertawa. “Thanks ya El sekali lagi.” Baru saja aku akan turun sampai dia bilang sesuatu yang membuat aku kembali diam. “Saya serius kemarin waktu saya bilang tertarik sama kamu. Mungkin saya harus berterima kasih sama Pram karena dia saya akhirnya bisa jujur sama kamu.”     Aku memegangi jantungku yang masih berdebar kencang saat memasuki rumah yang sangat sepi. Ah aku malu sekali. Kenapa ya aku seperti abege labil begini ya?. “Neng.” Ya ampun Mbak Ratih mengagetkanku.     “Ya Mbak.”     “Neng mau makan gak?. Makan malem kita masih utuh soalnya ibu sama bapak gak ada. Ade Fadli juga nginep di rumah Zio.” Aku menghela nafasku. Ah, seperti ini lagi. Aku jadi bertanya ada apa ya sebenarnya?. Ayah sama ibu terlalu sering ke kondangan setiap minggu.     “Boleh Mbak, saya belum makan. Mbak Ratih ayo makan bareng saya.” Sebenarnya aku masih kenyang, tapi melihat Mbak Ratih yang memasak untuk rumah ini aku tidak tega jika tidak memakannya.     “Ah neng, saya gak enak. Keseringan kan saya makan bareng sama neng.”     “Gak apa-apa lah, ayo mbak.” Aku menggiring Mbak Ratih masuk dan makan bersama malam itu. **         Di kantor aku dan Pak El seperti biasa saja, kami professional. Kalau aku ada salah Pak El tidak segan untuk memberitahukan ku. Di kantor ini tidak ada yang tau kalau aku dan Pak El mulai dekat. Kami sering makan malam bersama selesai bekerja setelah semuanya pulang. Kebetulan memang aku dan Pak El sengaja lembur untuk menyelesaikan pekerjaan. Pernah dia bilang, “kamu gak usah lembur setiap hari.”     “Gak apa-apa kok, saya cuman gak mau ada kerjaan aja.” Padahal sih karena aku sudah terbiasa makan malam dia, lagi pula akhir-akhir ini ayah sering lembur. Farel pun sedang senang-senangnya main.     “Ya udah kalau begitu. Saya cuman gak mau kamu jadi sakit aja.”     Selama beberapa bulan setiap harinya kami makan dan mengobrol bersama. Kami yang mulai saling membuka diri membuat aku mulai mengenal Pak El begitupun dia padaku. Pak El lahir di kota kembang, Bandung. Mempunyai seorang nenek yang masih sering dia kunjungi di Bandung. Kedua orang tuanya sudah bercerai, ayah Pak El menikah lagi dan ibunya pun seperti itu. Pada masa perceraian kedua orang tuanya, Pak El jadi korban. Dia tidak terperhatikan karena keduanya sibuk sendiri dengan urusannya sampai-sampai mereka tidak ada uang untuk Pak El yang akan melanjutkan sekolahnya ke tingkat akhir. Nenek dari ayah Pak El yang tidak tega melihat keadaan Pak El pun mengambil Pak El dan mengurusnya sendiri. Kebetulan nenek Pak El orang yang cukup berada dari usaha cateringnya yang sudah terkenal. Jadi sampei sekarang Pak El sangat menyanyangi neneknya.     “Sudah selesai?.” Pak El menghampiri mejaku.     “Udah kok, mau langsung jalan sekarang?.”     “Iya, kebetulan saya laper banget,” kata Pak El walaupun kita sudah cukup dekat tapi karena orangnya yang kaku jadi dia masih saja berbicara memakai panggilan saya dan kamu padaku. Aku?. Sudah merasa nyaman dengannya jadi aku sudah memakai panggilan aku dan kamu di luar urusan kantor. “Mau makan dimana?,” tanyanya. Dari waktu kita pergi keluar sama-sama dia masih selalu bertanya aku ingin makan apa?. Ingin makan dimana?. Dia tidak akan mengeluh atau menolak, dia akan ikut mneyetujuinya. Terkadang aku bilang, “Kamu mau apa?. Coba sekali-kali kamu aja yang nentuin makan.” Tau apa jawabannya?, “saya udah sering makan sendiri dan nentuin apa yang saya mau jadi sekarang saya akan ikutin terus apa yang mau kamu makan dan kemana kamu mau pergi.” Ya begitulah Pak El. Jika dicerna kembali ucapannya, Pak El  sangat kesepian.     “Aku mau makan fast food kayanya. Burger. Gimana?.” Aku dengan mata ku yang berbinar-binar menjawab pertanyaannya. Dia mengcak poniku dan mengangguk tanpa pikir panjang.     Waktu sudah jam sembilann malam dan kami masih ada di salah satu tempat fast food yang terkenal. Aku makan ice cream satu cup besar, setelah tadi satu porsi besar burger. Pak El?, hanya memakan satu prosi burger ukuran biasa. “Kamu mau temenin saya hari minggu besok ke kondangan teman saya?.”     “Boleh, dimana?,”     “Di Bogor, teman saya sama Prama juga. Sekalian ada acara reuni.” Aku mengangguk mengiyakan ajakan Pak El sambil memakan ice creamku dengan cepat. Apalagi ice cream yang aku makan ini cookies and cream jadi hanya beberapa menit waktuku untuk menghabiskannya sebelum mencair. “Mirip anak kecil kalau kamu lagi makan gini.”     Bibirku cemberut, “enggak kok kalau dibanding Beno.”     “Gak apa-apa kok, saya suka.” Tiba-tiba aku berhenti memakan ice creamku, dan ice cream itu menetes. “Ini,” Pak El menawarkan tissue. Aku pun mengambilnya sambil bilang terima kasih. Dia tidak tau kalau setiap kali dia secara spontan bilang suka, maka aku akan merasa kepanasan. Seperinya ice creamku saja tidak akan mampu mendinginkannya.     “Saya tanya satu hal boleh?.” Tiba-tiba raut wajah Pak El serius sekali. Aku jadi penasaran apa yang ingin dia tanyakan?. “Boleh, tanya apa sih?. Serius banget wajahnya.”     “Maaf kalau pertanyaan saya ini buat kamu gak suka, kamu lagi deket sama cowok lain gak?.” Tanyanya malu-malu. Sumpah, aku ingin tertawa keras sekali. Oke, akhirnya aku punya satu ide. “Iya saya lagi deket sama cowok. Kenapa memangnya?.”     Raut wajahnya berubah langsung pias, “kok kamu jadi diem?.”     “Gak apa-apa kok,” Dia mencoba tersenyum seperti biasanya, tapi karena aku yang beberapa bulan ini cukup hapal dengan senyumannya, aku jadi tau kalau saat ini dia sedang terpaksa tersenyum.     “Deket bukan sih kalau kita makan malem bareng tiap hari?,” tanyaku yang membuatnya mengerutkan kening lalu tersenyum dengan sangat lebar. “Kamu ngerjain saya ya?.”     “Abisnya wajahnya serius banget kaya mau lagi presentasi. Lagian kamu pikirin aja kapan waktu aku bisa deket sama cowok lain kalau tiap malem sama sabtu minggu aku bareng kamu.” Dia menepuk jidatnya sendiri sambil tertawa kecil. “Saya memang bodoh kalau urusan kaya gini.”     Tubuhku aku condongkan dan bertanya dengan serius, “urusan apa El?.”     Tau?. Pak El langsung salah tingkah dan meminum sodanya banyak-banyak. “Kamu terus menggoda saya.” Aku tertawa sangat keras, “beliin aku ice cream lagi ya?.”     “Gigi kamu gak akan sakit?.”     “Enggak. Please….,” aku memohon kepada Pak El dengan muka yang sebisa mungkin memelas juga terlihat menggemaskan. Dan usahaku pada Pak El tidak pernah sia-sia karena dia langsung mengangguk-ngangguk dan bilang, “iya.., iya.. saya kalah. Kamu tunggu disini.” Malam itu kami pun pulang jam sepuluh. Untung besoknya hari Sabtu jadi libur dan bebas mau bangun jam berapa pun.     Mobil Pak El sudah sampai di depan rumahku, semenjak aku dan dia dekat aku jarang bawa mobil. Aku leih sering pergi dengan taksi online atau dijemput Pak El. Ya walaupun memang kalau dijemput Pak El kami akan datang pagi sekali. Aku tidak mau dia disebut tidak professional karena kedekatan kami. Oke, kembali lagi. Saat mesin mobil berhenti, aku masih diam saja di tempatku. Pak El heran. “Besok kita pergi yuk. Kemana aja.”     “Kamu gak ada acara?.”     “Kamu ada acara ya?.” Aku malah bertanya balik. Pak El tampak tidak enak, dia langsung mengubah posisi duduknya untuk menghadapku. “Enggak, saya cuman takut kamu yang ada acara. Kalau saya kan tinggal sendiri disini. Saya takut kamu ada acara keluarga.” Sisi cengengku keluar, aku langsung menunduk dan sedih. “Mungkin kamu dari beberapa bulan kemarin mau tanya tapi gak enak sama aku. Tiap sabtu minggu aku selalu keluar bareng kamu. Sedangkan senin sampe jumat aku kerja. Kamu mungkin bingung juga kapan aku punya waktu bareng keluarga?. Bahkan tiap malem aku makan bareng kamu.” … “Ehm.., sebetulnya aku bingung dirumah mau apa. Ayah sama ibu setiap minggu ada aja acara keluar. Mereka ngeliatin baik-baik aja, tapi aku tau ada sesuatu yang gak beres, adek ku juga selalu main keluar sampai nginep. Jadi buat apa aku ada dirumah?. Itu makanya sebelum sering keluar bareng kamu aku cari kesibukan yang susah berhentinya kayak nonton drakor atau baca novel atau keluar beli barang setiap hari.” Ah aku merutuki diriku sendiri yang langsung berkaca-kaca dan mengeluarkan air mata di ujung mataku.     Dengan pelan-pelan, untuk pertama kalinya Pak El meraih tanganku lalu menggenggamnya. Tangannya hangat sekali. “Mungkin mereka memang sibuk atau kalaupun mereka gak baik-baik saja. Saya yakin mereka sedang perlu waktu buat mengatakan keadaan sebenarnya sama kamu.”     “Iya mungkin,” jawabku pelan sekali.     “Kamu jangan khawatir dan jangan sungkan jam berapa pun kamu perlu saya buat cerita atau butuh temen makan, saya pasti dateng.” Pak El tersnyum sangat tulus dan hangat sekali membuat aku menarik tubuhnya dan memeluk Pak El. Awalnya dia tegang, tapi dia melunak dan memelukku balik. Aku sangat beruntung dekat dengannya. Dia memang kaku, tapi dia sangat lembut dan hangat untuk aku yang saat ini sedang rapuh dan agresif sih. **  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD