Lettasya mengerjap pelan, seluruh tubuhnya terasa bagai tersengat ribuan lebah. Mata hazelnya mulai menyesuaikan, tetapi ia sama sekali tidak mengenali tempatnya berada sekarang.
“Kau sudah sadar?” Sebuah suara menyapanya dari balik kegelapan.
Gadis itu berusaha untuk bangkit tapi tubuhnya terlalu lemah.
“Berbaringlah!” Sosok tersebut menampakan diri. Seorang wanita berparas cantik mengenakan himation hijau dengan beberapa aksen emas, rambutnya serupa warna mentari fajar dan bergelombang seumpama ombak di laut, juga matanya yang sebiru samudra.
“Kau … siapa?”
“Aku salah satu dari yang mendengar sumpahmu,” jawabnya dengan senyuman lembut. “Tubuhmu masih belum pulih sepenuhnya. Kau masih harus menyesuaikan dengan tubuh baru.”
“Tubuh baru?” Lettasya segera memperhatikan setiap lekuk tubuhnya, juga meraba wajah terkejut. Merasa tidak ada yang berbeda.
“Bukan tubuh berwujud lain, tapi tubuh dengan jiwa yang lain.” Lalu sosok yang Lettasya duga seorang Dewi itu mengusap rambut cokelat kemerahan milik Lettasya hingga berubah segelap malam. Juga tumbuh lebih panjang.
“Bagaimana—” Gadis itu meringis menahan nyeri pada bagian pundak belakangnya. Tanpa sepengetahuan Lettasya sebuah tanda terukir di sana, tanda yang sama seperti yang diramal kan oleh Vadles sebelumnya.
“Kurasa kau sebaiknya tertidur lagi sampai jiwamu yang baru selesai. Kelak … aku akan memberitahukan tugasmu.”
Sang Dewi lalu menaruh telapak tangannya untuk menutup mata Lettasya dan dalam sekejap gadis itu kembali terpejam.
*****
Terangnya cahaya matahari seolah menembus kelopak mata Lettasya hingga mengusik lelapnya. Meski terasa berat gadis itu berusaha sebisa mungkin untuk membuka mata, lalu memperhatikan tempat ia tersadar dengan iris yang ikut berubah menjadi sekelam malam. Di bawah naungan pohon zaitun nan rindang, bukan di tengah padang pasir seperti yang terakhir kali diingatnya. Namun, Lettasya mengira jika apa yang dia alami adalah sebuah mimpi.
Lettasya tidak yakin ini di mana, tapi ia merasa mengenali tempat ini. Dia ingat tentang ladang gandum yang tak jauh dari tempatnya berada sekarang. Ia juga ingat mata air yang menjadi sumber kehidupan rakyat di sini. Ini adalah desa di mana Lettasya sering bermain bersama adiknya ketika kabur dari istana. Senyuman Lettasya merekah bahagia, dia pulang.
Angin selatan seolah turut menyambutnya dengan berembus kencang hingga menerbangakan helaian rambut Lettasya dan gadis itu terkejut karena menyadari jika rambutnya benar-benar berubah hitam dan jauh lebih panjang.
Itu bukan sebuah mimpi, gumamnya dalam hati.
Di saat Lettasya masih terkejut, dua orang warga sekitar melewatinya.
“Tapi untuk apa?” Obrolan dua wanita membawa baki melewatinya.
“Aku tidak tahu. Uh, tubuhku selalu menggigil jika mengingat kejadian itu,” sahut seorang yang berambut pendek setengah berbisik.
Satu lainnya ikut ngeri. “Setelah raja dan ratu dibunuh, putrinya pun harus dibawa ke ibu kota sebagai tumbal. Sungguh nasib yang sial.”
Wanita berambut pendek memperingatkan temannya untuk menjaga ucapan. “Ssst!!”
Temannya itu merapatkan bibir sesaat seolah sadar telah berbicara lancang. “Tapi … apa menurutmu Dewi Athena akan menerima persembahan sepeti itu?”
“Kita tidak pernah tahu apa yang para dewa dan dewi pikirkan.”
Obrolan keduanya semakin samar seiring dengan jarak yang menjauh. Lettasya tertegun mendengar berita tersebut dengan segera membawa kakinya berlari menuju istana. Deru napas gadis itu terdengar memenuhi rongga paru-paru. Tak peduli pada telapak kaki yang menginjak benda-benda tajjam hingga membuatnya berdarah. Begitu Lettasya tiba di depan istana, semua tampak berbeda. Jauh dari yang sebelumnya ia bayangkan.
Tidak ada lagi prajurit yang berjaga di depan gerbang. Tembok-tembok istana menjadi bukti pernah adanya p*********n di sana. Darah-darah yang mengering menempel di dinding, patahan senjata baik itu tombak maupun pendang tergeletak berserakan. Kini, istana tempat Lettasya lahir dan tumbuh itu lebih layak disebut dengan kuburan massal.
Akan tetapi Lettsya tidak berhenti, ia berlari menuju ruangan yang diingatnya sebagai tempat peristirahatan kedua orang tuanya. Namun, keadaan tidak jauh lebih baik. Begitu juga ruangan di mana ayahnya, Raja Arieli menghabiskan waktu untuk menyelesaikan urusan kerajan. Hanya saja itu belum seberapa jika dibandingkan ketika mata hazel Lettasya menemukan sebuah tembikar segitiga dengan tinggi setengah tubuhnya.
“Tidak! Tidak! Tidak! Tidak mungkin!”
Lettasya menghampiri tembikar tersebut. Ada dua buah, berwarna tanah, ternoda oleh darah dan ditimbun bersama batu-batu lain. Jemarinya mengelus seolah sedang menyakinkan diri jika apa yang ada di benaknya tidak mungkin terjadi.
Dalam tradisi dan budaya masyarakat yunani, kematian seseorang yang dikhawatirkan mempunyai kemungkinan bangkit dari kematian akan dimasukan ke dalam batu ini dengan posisi mayat yang berjongkok. Mayat tersebut ditekan sedemikian rupa agar tidak bisa bangkit untuk membalas dendam atau menyebarkan penyakit.
Lettasya masih mencari petunjuk, siapa pengisi tembikar tersebut sambil berharap jika bukan kedua orang tuanya. Namun, jemari gadis itu berhenti meraba saat menemukan ujung baju yang mencuat ke luar. Meski hanya berupa motif khas kerajaan mereka, akan tetapi bordiran emas itu cukup menjadi bukti bahwa pemilik pakaian adalah Raja Arieli, ayahnya. Itu berarti pengisi tembikar di sisi satunya sudah pasti adalah ibunya.
Tubuh Lettasya ambruk ke lantai, lulutnya lemas, air mata sudah mengalir derah membasahi wajah. Isak tangisnya terdengar pilu di antara keheningan yang ada.
“Ayah.” Lettasya meletakan kepalanya di tembikar itu. Tangannya lantas mengelus lebut pada tembikar satunya. “Ibu.”
Beberapa saat kemudian gadis tersebut bangkit, dengan penuh tekad ia berusaha menyingkirkan batu-batu yang menimpa kedua orang tuanya. Namun, tekadnya tidak cukup untuk memenuhi hal itu. Tanganya berulang kali terjepit, berdarah, tapi hanya beberapa batu kecil yang bisa ia geser.
Lettasya pun menyerah. Untuk beberapa waktu kemudian hanya ia lalui dengan tangisan, membayangkan bagiamana pembantaiannya yang terjadi hingga penderitaan kedua orang tuanya yang harus dimasukan ke tembikar ini karena ditakutkan mereka bangkit dari kematian untuk membalas dendam maupun membawa penyakit untuk seluruh negri.
“Maakan aku,” isaknya perih. “Maaf tidak ada di sini untuk menjaga kalian.”
Berulang kali permintaan maaf ia teriakan seolah dengan itu ayah dan ibunya akan mendengar. Bahkan hingga matarahi terbenam, air mata Lettasya tak kunjung berhenti hanya jeritannya saja yang mereda.
Ketika malam tiba, istana yang hancur itu menjadi sangat dingin dan gelap. Akan tetapi Lettasya masih di sana. Bersandar di sebelah peti kedua orang tuanya dengan mata yang membengkak, serta tatapan kosong. Jika seperti ini pertemuan terakhir dengan keluarganya, ia tidak berharap akan hidup lagi. Pikiran itu merongrong kewarasannya.
Lettasya meulai mencari sesuatu di sekitar sana. Sesuatu yang tajam yang cukup mampu untuk melukai dirinya bahkan mengantarkannya pada kematiaan. Ia akan mati di sini, di samping jasad kedua orang tuanya. Gadis itu bangkit dan mencari di tengah kegelapan, hingga sesuatu yang berkilau oleh tembusan cahaya bulan menarik perhatianya.
Diambilnya benda tersebut. Sebuah sirkam yang biasa digunakan untuk menghiasi kepala. Sirkam berbalut emas berlambang burung phoenix yang sudah patah di beberapa bagian itu juga terpercik oleh darah. Belum juga Lettasya meneruskan niatnya untuk bunuh diri, gadis itu kemudian teringat benda ini tampak tidak asing.
“Theona,” gumam Lettasya teringat jika sirkam ini adalah pemberiannya untuk sang Adik.
Hal itu juga seakan menyadarkan Lettasya bahwa dia belum menemukan jasad adiknya. Kemudian ia ingat akan percakapan dua wanita yang melewatinya di bawah pohon zaitun.
Putrinya pun harus dibawa ke ibu kota sebagai tumbal
Theona, Lettasya yakin putri yang dimaksud adalah Theona karena Lettasya sudah menghilang lebih dari dua tahun lalu, sehingga tidak aneh apabila banyak yang mengira dirinya sudah mati. Itu tidak masalah untuk Lettasya, karena sekarang yang harus ia lakukan adalah menemukan Theona secepat mungkin.
Lettasya berlutut di depan tembikar yang mengurung jasad kedua orang tuanya. Mata sembab itu kini berbinar penuh tekad.
“Ayah … Ibu … aku berjanji akan membawa Theona kembali. Aku berjanji dengan nyawaku.”
Setelah itu, gadis bermata hazel tersebut pun mengusap peti orang tuanya untuk terakhir kali sebelum ia mengambil semua perbekalan untuk di perjalanan menuju ibu kota.
Bertahanlah, Theona! Tunggu aku.
*****
To Be Continue….