3. s**u Telur Madu Jahe

1247 Words
Ruslan sedang berada di warung kopi ujung jalan dekat minimarket yang baru buka. Saat perjalanan pulang kerja, ia disapa Budi, temannya yang cukup dekat dengan Ruslan. Budi dulu pernah kerja satu pabrik dengan Ruslan. Hanya saja Budi berhenti karena memilih usaha lele di rumahnya. Mereka mengobrol di kursi kayu yang disediakan di depan warung kopi. "Bos kita baru pulang kerja, nih!" sapa Budi sambil menyeruput s**u coklat hangat. "Kalau jadi bos, aku tak akan pulang kelelahan begini, Bud," sahut Ruslan menyalakan rokok. "Masih menjadi staf material handling di pabrik?" tanya Budi. Ruslan mengangguk. Aku hanya tamatan SMU, Bud. Mana mungkin naik jabatan jadi bos. Kudengar usaha lelemu sukses." "Lumayan, sekarang aku sudah punya sepuluh karyawan yang mengurusi usaha lele. Aku hanya diam saja di rumah, menghabiskan waktu dengan anak istri. Sekarang istriku sedang hamil lagi dua bulan," jawab Budi. "Wah, selamat, ya. Zaki mau punya adik rupanya. "Kapan kau menyusul jadi Ayah? Sudah setahun kau menikah, bukan?" Ruslan meringis. "Aku selalu kelelahan, Bud. Pekerjaan di pabrik benar-benar menguras tenagaku." "Untuk itulah aku keluar. Enak kalau punya usaha sendiri," ujar Budi. "Usaha sendiri juga harus ada modal, Bud. Lagipula aku bingung mau usaha apa." "Rus, kau bilang tadi kau sering kelelahan? Tapi masih kuat bermain 'bulutangkis' bersama Halimah, kan?" Budi berkata pelan. Ruslan kembali meringis. "Itu dia, aku kasihan sama Halimah. Aku bermain tak pernah bisa lama," sahut Ruslan pelan, wajahnya menunduk. Sebenarnya ia sedikit malu mengutarakan hal itu pada Budi. Tapi Budi adalah sahabatnya, mungkin saja Budi punya solusi untuk keluhannya. Budi pun manggut-manggut paham dengan jawaban Ruslan. "Kau minta saja Halimah buatkan jus tomat!" ucap Budi. "Jus tomat? Buat apa?" "Biar kuat," sahut Budi. Ruslan hanya mesem. Ia mengambil asbak di atas meja, membuang abu rokok yang sudah habis setengah batang. "Aku pernah meminta izin Halimah untuk memakai obat kuat. Namun Halimah melarang, alasannya karena obat kuat memiliki efek samping yang kurang bagus nantinya." "Kau sudah ke dokter? Periksa?" tanya Budi. "Dokter bilang aku hanya terlalu lelah. Disarankan sering-sering mengajak Halimah berlibur. Bagaimana bisa berlibur, tiap hari aku lembur," sahut Ruslan. "Kau itu sudah menjadi karyawan tetap. Ambil saja cuti!" saran Budi. "Aku libur hari Minggu saja dan biasanya aku tidur seharian." "Minum s**u telur madu jahe, Rus!" Ruslan spontan menepiskan tangan. "Mual aku kalau minum ramuan-ramuan seperti itu." "Hentikan hobimu merokok. Aku saja sudah berhenti merokok. Lihat, minumanku bukan kopi lagi tapi s**u coklat hangat!" Budi terbahak. Ruslan menarik napas panjang. Budi menepuk-nepuk bahu Ruslan. "Kau makan saja telur ayam kampung mentah campur madu!" Ruslan makin menggeleng-gelengkan kepala cepat. "Makin mual aku makan telur mentah. Lagipula, dalam telur mentah itu terdapat bakteri Salmonella. Bakteri pencetus sakit typoid," sahut Ruslan. "Ah, teori itu, Rus!" Budi terkekeh. "Bakteri Salmonella tidak bagus untuk orang yang kondisi tubuhnya kurang fit alias lemah seperti aku," jelas Ruslan. "Kau terlalu banyak alasan, terlalu banyak ketakutan!" Budi kali ini yang menggeleng- gelengkan kepala. Ruslan kembali mesem lalu membuang puntung rokok ke atas asbak. "Aku pulang dulu, Bud. Halimah pasti sudah menunggu kepulanganku. Biar aku pikirkan lagi bagaimana caranya aku bisa 'kuat'." Ruslan tertawa lepas akhirnya. 'Nah, begitu. Tetap smangat, kawan!" ujar Budi. "Sudah sana, pulanglah! Persiapkan diri untuk tempur nanti malam!" Ruslan pun pamit pada Budi. Keduanya tak tahu jika percakapan mereka ada yang menguping. Uak Sanim yang berada di dalam warung dengan hati gembira akhirnya mengetahui kelemahan Ruslan, keponakannya sendiri. Sebuah niat jahat terlintas dalam benaknya. *** Sudah lima belas menit Ruslan berada di kamar mandi, ia benar-benar gelisah. Setiap kali ia membahas tentang kelemahannya, selalu saja rasa percaya dirinya lenyap seolah tak bersisa. "Abang sedang apa di kamar mandi? Mandinya lama betul. Aku mau buang air kecil, Bang. Sudah tak tahan." Halimah mengetuk pintu kamar mandi. "Sebentar, Dek. Ini Abang sudah selesai." Halimah kembali ke depan kompor, ia menghangatkan rendang yang dibuatnya tadi siang sepulang dari rumah Uak Sanim. Ruslan keluar dari kamar mandi. Halimah segera mematikan kompor lalu bergegas ke kamar mandi. "Adek masak rendang, ya. Wah, Abang bisa nambah dua kali! Sudah lama tak makan rendang, makanan kesukaan Abang." "Iya, Bang. Abang pakai baju saja dulu nanti aku siapkan Abang makan malam," sahut Halimah dari dalam kamar mandi. Ruslan melihat keranjang Tahu Sumedang dari Uak Sanim. Entah kenapa Ruslan selalu merasa tak enak hati jika mengingat uaknya itu. Ruslan bingung menerjemahkan rasa tidak enak hatinya. "Abang malah bengong. Cepat pakai baju dulu." Halimah yang sudah keluar dari kamar mandi mendorong tubuh Ruslan yang masih terlilit handuk. "Dek, tadi di rumah Uak Sanim kau hanya sebentar, kan?" "Tadi pagi Uak Sanim minta dibuatkan nasi goreng. Katanya belum sarapan. Jadinya aku buatkan nasi goreng dulu, Bang. Tapi sesudah itu aku langsung pulang bawa Tahu ini." Halimah membuka tudung saji. Tampak setumpuk Tahu di atas piring berukuran besar. Halimah mengambil Tahu dan memakannya. "Enak, Bang. Aku tadi sudah makan banyak tapi masih numpuk begini. Ayo cepat pakai baju, kita makan malam!" Ruslan menghela napas. Ia heran kenapa Uak Sanim minta dibuatkan nasi goreng. Setahu dia, uaknya itu tak suka makan nasi goreng. "Abang ke kamar dulu, Dek." "Iya, Bang." Setelah makan malam usai. Ruslan dan Halimah bercengkerama di atas tempat tidur. Sudah menjadi kebiasaan Ruslan selalu menceritakan apa yang terjadi di pabrik seharian. Halimah pun mendengarkan dengan penuh perhatian sambil memijat punggung suaminya. "Abang tidak minta dikerok?" tanya Halimah. Ruslan menggeleng. "Besok hari Minggu Abang lembur apa libur?" "Libur, Dek." Kita olahraga, yuk! Lari pagi saja, Bang. Lari-lari kecil berdua. Abang sudah lama sekali tak pernah olahraga. Kalau tidak lembur Abang pasti tidur seharian." Ruslan terdiam. Sebetulnya ia malas olahraga. Sesudahnya badannya pasti pegal-pegal. "Nanti badan Abang sakit-sakit seperti waktu itu, Dek." "Sakitnya wajar, Bang. Abang tak pernah olahraga jadi otot-otonya kaku. Tapi dua tiga hari juga hilang sakit badannya." "Habis lari pagi, kita makan bubur pak Solihin. Buburnya enak, Bang." Halimah bersikeras mengajak Ruslan olahraga. "Baiklah, besok kita olahraga. Malam ini, Abang juga mau olahraga. Boleh, ya!' pinta Ruslan meneguhkan hati agar ia bisa tetap memenuhi kewajibannya pada Halimah. "Tentu saja boleh, untuk apa mesti bertanya dulu, sih!" sahut Halimah tersipu. Nafkah batin Ruslan adalah hal yang selalu diinginkan Halimah. Meski hanya dua sampai tiga kali dalam seminggu. "Takut Adek lagi datang bulan," jawab Ruslan. "Masih lama tanggalnya, Bang." Malam itu Ruslan menunaikan kewajibannya untuk Halimah. Meski memang pada akhirnya, Halimah harus kembali merasakan kegelisahan. Ia gelisah karena selalu menuntaskan keinginannya sendirian setelah Ruslan tertidur pulas. Malam semakin larut. Halimah belum jua tertidur. Ia hanya memandangi langit-langit kamar. Sesekali menoleh pada Ruslan, menarik napas panjang. Memejamkan mata kuat-kuat. Menahan sesuatu yang ingin sekali ia lepaskan. Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya. Namun pada akhirnya yang bisa Halimah lakukan hanya terisak dalam senyap. Keesokkan harinya, olahraga yang direncanakan tak menjadi realita. Ruslan memilih tidur lagi hingga siang. Badannya terasa pegal dan sakit. Halimah menempelkan beberapa salonpas di punggung dan paha Ruslan. "Abang, lain kali jika Abang lelah, kita tak usah main "badminton", ya. Tak usah dipaksakan. Abang malah jadi tambah sakit badan seperti ini!" Halimah memijat lengan suaminya penuh kasih. Ia sebetulnya merasa prihatin melihat kondisi fisik suaminya yang lemah. "Aku buatkan telur mentah campur madu, ya," tawar Halimah. "Abang tak suka telur mentah." "Telurnya aku masak setengah matang dulu, diambil yang merahnya saja." "Rasanya tak enak, Dek. Telur mentah dicampur madu. Mual perut Abang." Halimah menghela napas pasrah. "Minum madu saja, ya!" Halimah bersikeras. "Nanti saja, Abang mau tidur lagi." Halimah menurut apa kata suaminya. Ia menghentikan pijatannya saat dengkuran Ruslan sudah terdengar. Halimah menatap suami tercintanya itu. Mengelus rambutnya perlahan lalu mencium kening Ruslan. Halimah benar-benar mengasihi Ruslan apa adanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD