"Bu Jok, apa benar Alfian anaknya Bu Haji Miftah datang semalam dari perantauan?" bisik Nenden di warung Bu Sumi.
"Iya, Nden. Halimah saja dimintai Bu Haji untuk bantu-bantu masak tadi pagi," jawab Bu Joko santai.
Nenden mengerling genit. "Sudah lama Alfian merantau. Apa dia pulang bawa istri?"
Ibu Joko mengernyit. "Kenapa kau bertanya seperti itu? Kau mau jadi istrinya Alfian?" selidik Ibu Joko.
"Hanya bertanya saja, kok. Mana tahu bawa istri seperti cerita-cerita dulu. Anak merantau lama, lalu pulang-pulang sudah bawa anak istri," tepis Nenden mengerucutkan bibir.
"Bilang saja kau mau mengincar Alfian. Menunggu Sanim tak jua dihalalkan!" tukas Ibu Joko enteng.
Nenden mendelik. "Ih, Ibu Joko ini kalau bicara suka asal. Kalau memang benar aku mengincar Alfian, ibu mau apa? Aku single, lho!"
"Itu Sanim mau kau kemanakan?"
"Mana saja yang lebih dulu mengajakku serius, itu yang kupilih," sahut Nenden penuh percaya diri.
"Hei, Nenden. Coba kau bawa cermin sana! Bicaramu ngawur, memang Alfian mau denganmu? Anak bujang bisa-bisanya mau sama janda."
"Eh, Ibu Joko, hati-hati kalau bicara! Apa yang salah dengan status janda? Banyak bujangan yang menikah dengan janda, kok!" Nenden mulai sewot.
"Ya, janda seperti apa dulu yang dijadikan pilihan oleh bujangan!" kelit Ibu Joko memutar matanya ke kanan dan ke kiri.
"Memangnya aku bagaimana di mata Bu Joko? Aku tak pernah macam-macam, mandiri, mengurus dan membiayai anak juga mampu sendiri!" Nenden membanggakan dirinya sendiri.
"Mulutmu yang suka macam-macam. Ucapanmu sering menyakiti orang, judes, senangnya berburuk sangka. Coba kau ubah perangaimu itu!" kata Bu Joko.
"Bu Jok pikir ucapan Bu Jok itu tersaring dengan baik? Bu Jok itu bisanya bergosip, senang menjelek-jelekkan orang lain. Padahal dirinya sendiri belum tentu lebih baik dari orang yang Bu Jok jelek-jelekkan!" Nenden tak mau kalah.
"Aku memang senang bergosip. Menjelekkan orang juga lihat-lihat dulu. Kalau yang aku jelek-jelekkan itu perempuan yang suka menggoda suami orang sih sah-sah saja. Kau pikir aku tak tahu? Kau pernah merayu suamiku, mengajaknya berkencan dan meminta sejumlah transferan uang?" Ibu Joko membuka kedok Nenden.
Nenden tergeragap. Ia pikir suaminya Bu Joko bisa tutup mulut mengenai kejadian tempo hari. Nenden memang pernah mendekati suami Bu Joko, berharap bisa menguras isi dompetnya yang lumayan. Tapi rayuannya pada suami Bu Joko tak mempan.
"Kenapa kau diam? Malu? Jaga sikap dan jaga ucapanmu itu, Nenden! Jangan berani-berani kau hina aku!" sahut Ibu Joko pelan. "Aku bisa saja melabrakmu. Tapi apa guna? Suamiku saja tak meladenimu, jadi untuk apa aku mengotori mulutku untuk memakimu. Aku cukup tahu saja!" lanjut Ibu Joko santai.
"Lagipula aku tak berminat dengan bapak-bapak tua pelit seperti suami Bu Joko!" sahut Nenden dengan amarah tertahan.
"Sudah jangan berkelit. Kau makin tampak bodoh di mataku. Pergi sana! Jangan kau rusak sore hariku yang indah ini dengan kehadiranmu yang menebar aroma busuk!" Bu Joko menyantap pisang goreng hangat yang tadi disediakan Ibu Sumi.
Nenden geram. Ia lekas berbalik pergi meninggalkan Bu Joko. Untung saja warung Bu Sumi sedang sepi, jadi ia tak terlalu malu karena kedoknya terungkap.
"Bu Jok, apa benar Nenden menggoda suamimu?" Bu Sumi keluar dari warungnya, duduk di sebelah Bu Joko. Ia membawa es teh manis pesanan Bu Joko.
"Sudah, cukup kau saja yang tahu. Aku tak mau suamiku jadi bahan gosip gara-gara ulah Nenden. Yang terpenting suamiku tak meladeni rayuannya. Itu sudah cukup bagiku," sahut Bu Joko pelan.
Bu Sumi mengangguk pelan.
Sementara itu Nenden yang telah berlalu dari warung Bu Sumi melangkahkan kakinya menuju rumah Ibu Haji Miftah. Ia bermaksud menemui Alfian, kawan satu angkatan selama di SMU. Jadi Alfian dan Nenden adalah kakak kelas Halimah semasa sekolah.
Kebetulan saat Nenden tiba di rumah Alfian, Alfian tampak sudah selesai mencuci Pajero miliknya.
"Halo, Fian, apa kabar? Kapan kau sampai? Betah nian kau di rantau orang. Masih ingat aku?" sapa Nenden dengan senyum dibuat semanis mungkin.
Alfian menoleh pada Nenden. Ia tersenyum renyah. "Nenden? Kabar baik, nih. Kau apa kabar? Sudah berapa anakmu?' sahut Alfian
"Anak masih satu, suami yang belum ada," sahut Nenden sembari mengerling.
"Lho, bisa punya anak tapi kenapa belum bersuami?"
"Pernah menikah lalu pisah. Jadi sekarang aku single parent." Nenden pura-pura bersedih dengan membuat suaranya lirih.
"Oh, maaf!" Alfian menangkupkan kedua tangannya.
"Ah, sudahlah!" Nenden menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Kau bawa anak istri dari rantau?"
Alfian tertawa. "Aku masih betah sendirian," jawab Alfian tenang.
Mata Nenden berbinar. Sebuah harapan baru meletup di dadanya.
"Belum bertemu yang cocok di hati atau bagaimana?" tanya Nenden.
"Belum ada keinginan untuk membina rumah tangga, Nden." Alfian membereskan selang yang berantakan.
Nenden memperhatikan tubuh Alfian yang berisi, putih dan menawan. Sebetulnya Nenden menaruh hati pada Alfian sejak masih di SMU. Namun sikap Alfian yang dingin dan seolah tidak tertarik dengan kaum hawa mengendurkan semangat Nenden untuk mengejar Alfian.
"Bang, Abang dipanggil Bu Haji. Minta tolong dipasangkan gas. Limah dan Bu Haji tak berani pasang gas." Halimah tiba-tiba keluar dari rumah Alfian.
Nenden terkejut melihat Halimah. "Sedang apa Halimah di sini?" tanya Nenden pada Alfian.
"Dari pagi Halimah dimintai Ibu bantu masak-masak. Tadi siang sudah pulang sebetulnya. Hanya saja Ibu menyuruh Halimah datang lagi barusan, ada oleh-oleh yang terlupa dibawa. Ayo, masuk! Kau mau oleh-oleh sekalian?" tawar Alfian.
Nenden mengikuti Alfian masuk ke dalam rumah. Hatinya sedikit kesal karena ada Halimah di rumah Alfian. Di dalam rumah, Nenden mengikuti Alfian ke dapur.
"Bu, ada Nenden?" ujar Alfian.
"Kebetulan, kau mau oleh-oleh juga, Nden? Sini, saya juga sedang membagi oleh-oleh yang dibawa Alfian untuk Halimah," sahut Bu Haji Miftah ramah.
Nenden melirik Halimah sinis saat Ibu Haji Miftah memberikan dua kantong besar berisi oleh-oleh untuk Halimah. Halimah tersenyum tipis ke arah Nenden.
"Gas sudah selesai, Bu!" ujar Alfian. "Limah, kau perlu bantuanku membawa oleh-oleh ke rumah?" tawar Alfian saat dilihatnya Halimah kerepotan dengan dua kantong besar pemberian Ibu Haji Miftah.
"Tidak usah, Bang. Saya bisa sendiri. terima kasih. Ini oleh-olehnya banyak sekali. Bu Haji, Bang Fian, terima kasih banyak. Saya boleh pulang sekarang? Bang Ruslan mau mengajak saya jalan-jalan sore," jawab Halimah tampak terburu-buru.
"Iya, Limah. Kalau kurang banyak nanti biar Alfian yang mengantar ke rumahmu, ya!" kata Bu Haji Miftah.
"Sudah cukup, Bu Haji. Ini sudah banyak sekali!" tolak Halimah halus. Ia merasa tak enak dengan tatapan Nenden.
"Kau kenapa tak ditemani suamimu membawa oleh-oleh, Limah?" ujar Nenden.
"Tadi di rumah ada kawannya yang dulu kerja satu pabrik tapi sekarang sudah buka usaha lele. Aku ke sini karena ditelpon Bu Haji," sahut Halimah.
"Ya, sudah. Katanya mau jalan-jalan dengan suamimu. Pasti dia sudah lama menunggu. Pulang saja!" usir Nenden.
Halimah pamit pada semuanya. Alfian menatap kepergian Halimah. Nenden melihat tatapan Alfian pada Halimah. Ia tampak kesal kenapa dari dulu banyak lelaki yang begitu memperhatikan Halimah. Sekarang pun begitu. Uak Sanim, kekasihnya. Juga Alfian, target incaran barunya. Keduanya sama-sama melihat Halimah dengan cara yang berbeda.
Di tengah jalan pulang, Halimah dikejutkan oleh suara klakson motor Uak Sanim yang berhenti di dekatnya.
"Eh, Uak. Darimana, Uak?" Halimah menegur Uak Sanim.
"Kau bawa apa sebanyak itu?" tanya Uak Sanim.
"Ini saya dapat oleh-oleh dari Ibu Haji Miftah. Bang Alfi sudah pulang dari Manado," sahut Halimah.
"Ayo, naiklah! Uak antar kau pulang!"
"Terima kasih, Uak. Tapi tanggung sudah dekat," tolak Halimah. Ia pernah beberapa kali merasakan gelagat aneh dari Uak Sanim, makanya ia menolak diantar Uak Sanim pulang.
Uak Sanim tak kehabisan cara. Ia turun dari motor. Lalu mengambil dua kantong besar dari tangan Halimah dengan paksa lalu mengaitkannya pada kaitan motor. Uak Sanim meraih lengan Halimah sedikit kasar. "Ayo, cepat naik!"
Halimah terkejut dengan perlakuan Uak Sanim. Ia tetap menolak dan berusaha melepaskan diri dari tarikan tangan Uak Sanim pada lengannya.
"Halimah jalan kaki saja, Uak. Sudah dekat, kok!"
"Cepat naik, tak baik melawan orang tua!" Uak Sanim kembali meraih pergelangan tangan Halimah dengan paksa. Halimah tentu saja makin tidak mau. Halimah gemetar. Jalanan saat itu sedang sepi. Ia tak menyangka Uaknya akan memperlakukannya seperti itu.
Halimah tak berhasil meloloskan pergelangan tangannya dari cekalan Uak Sanim. "Sakit tangan saya, Uak!"
"Makanya cepat naik!" Uak Sanim berkata tajam.
Halimah merasa ketakutan. Ada apa dengan sikap uaknya ini. Ia sungguh kebingungan. Akhirnya Halimah menuruti keinginan Uak Sanim. Gemetar ia duduk di belakang motor.
Uak Sanim menyeringai, ia menjalankan motor lalu berbelok ke arah yang berlawanan dari rumah Halimah.
"Uak, mau kemana?" tanya Halimah.
"Kita makan seblak dulu. Kau bukannya suka seblak?" jawab Uak Sanim sambil menekan gas. Motor semakin kencang dan Halimah pun tercekat.