BAB 15. Masalah kamar mandi

1203 Words
Vino terpanah dengan Hanna yang mirip sekali dengan potret mamanya ketika dulu, ketika mamanya hamil Vino. Pasalnya dia menggunakan pakaian hamil mamanya, yang masih Tama maupun Sinta simpan. Kata Tama pada Sinta. Sebagai kenangan Vino. Vino duduk di kursi makan bagiannya. Vino baru mau mengambil makannya, tapi Hanna yang duduk di samping Vino mengambil piring dari tangan Vino. “Sini aku yang ambilkan.” Kata Hanna kepada Vino. Vino terdiam. Sinta dan Tama yang senang, akhirnya ada wanitanya Vino dan melayani Vino. Hanna mengambilkan makanan untuk sarapan, mengisi piring Vino dengan menu yang ada, lalu mengembalikan piring Vino didepannya, penuh dengan makanan. Hanna juga menuangkan air putih. “Sayang, s**u hamil kamu gak dibawa ya ke sini?” Sinta jadi ingat itu karena Hanna menuangkan minum untuk Vino. Hah? Ya iyalah gak dibawa, orang sebenarnya Hanna gak hamil. Tapi Hanna tak bisa berkata jujur. Dia harus berbohong kepada Sinta, mamanya Vino itu. Hal yang paling Hanna tak suka. Hanna melirik Vino. Dia tak tau harus beralasan apa. Karena Vino tak juga menjawabnya. Hanna menyentuh tangan Vino, menggenggam tangan Vino yang ada di bawah meja. Vino sedang sarapan, menikmati makanan. Dia kaget Hanna menyentuh dan menggenggam tangannya erat. Hanna memberi kode, bagaimana menjawab pertanyaan mamanya Vino tadi. “Oh itu ma. Hanna belum dapat dari dokter karena Hanna baru tes pakai alat itu aja. Jadi belum ada s**u hamilnya.” Kata vino kepada sang mama. ‘’kok belum periksa. Nanti periksa ya sama mama.” Lah. Mampus malah. Vino beralasan apa. Mamanya malah meminta apa sekarang. Gimana nanti kalau ketahuan. Jawaban Vino malah membuat semuanya semakin rumit. Hanna kesal dengan bosnya itu. “Ngapain itu tangan hayo? Main apa dibawah?” Donita pulang. Dia baru mengantar Hanny ke sekolah. Donita melihat tangan Hanna di tempat kakaknya, Vino. Entah main apa. “enggak ada kok dek.” Hanna refleks. Dia menarik tangannya dari sana. “ada-ada juga gak apa-apa.” Donita duduk di depan Vino. Sinta mengambilkan makanan untuk Donita. Sementara Donita menceritakan dan memperlihatkan bukti foto kalau tadi dia sudah mengantar Hanny ke sekolah. Dia menunjukkan foto seksinya dengan Hanny di mobil, ketika sampai ke sekolah. “Makasih ya nit.” Kata Hanna kepada Donita. “sudah mengantarkan Hanna.” “Iya kak. Santai aja. Aku suka kok.” “Ini sayang sarapan kamu.” Sinta memberikan piring makan Donita yang sudah diisi menu sarapan masakannya. “Makasih mama cantik.” Puji Donita kepada Sinta. “sama-sama anak mama yang cantik juga.” Ujar Sinta balik kepada Donita. “nanti habis sarapan, mama antar ke dokter ya Han. Sama Vino ikut, biar sekalian lihat kamu di periksa.” Sinta beralih kepada Hanna dan Vino lagi. Uhuk ... Mendengar ucapan Sinta. Hanna gugup bukan main. Dia sampai tersendak ketika sedang makan. Sinta panik melihatnya. Sinta berdiri dan langsung mendekati Hanna. Menepuk punggung Hanna dengan lembut dan mengambilkan dia minum. “Ini sayang minum.” “Pelan-pelan saja sayang minumnya.” Sinta tak henti mengusap punggung Hanna. Hanna meminum air putih yang Sinta berikan dengan perlahan. Meneguk ya sedikit dan menaruhnya kembali diatas meja, tepat di depannya. “Pelan-pelan makannya sayang.” Ujar Sinta yang lega melihat Hanna sudah berhenti batuk. Dia kembali duduk di kursinya. “Iya ma.” Sinta duduk di sebelah Donita. Di seberang meja tempat duduk Hanna dan Vino. Sementara Vino duduk di dekat papanya Tama. “Ma, aku ke kamar ya. Aku mau ke kampus, mau ambil tas buat ke kampus.” Pamit Donita selesai sarapan. Mereka sudah selesai sarapan pagi. Bibik membereskan meja makannya. Karena kebiasaan, Hanna ingin ikut membantu. Tapi Hanna ditahan Sinta. “gak usah sayang. Kamu siap-siap buat ke klinik saja. Kamu ambil tas kamu gih.” Kata Sinta kepada Hanna. “iya ma.” Hanna tak ada pilihan lain kecuali mengiyakan. Mau menolak juga bagaimana? Sementara Vino malah asik main ponsel selesai makan. Hanna panik. Dia tak tahu harus bagaimana, mamanya Vino mau mengajak ke dokter. Hanna menarik tangan Vino begitu saja yang asik main ponsel. Entah urusan pekerjaan atau apa. Hanna tak perduli. “Pinjem Vinonya sebentar ya, ma, pa. Hanna mau bicara sebentar sama Vino.” Kata Hanna kepada orang tuanya Vino. “lama juga gak apa-apa sayang. Vino kan milik kamu.” Ujar Sinta. “iya ma. Ikut aku bentar sayang.” Terpaksa kan Hanna mengatakan seperti itu lagi. Sayang, padahal di lidahnya saja geli. Vino melotot menatap Hanna. Rasanya berbeda setiap Hanna memanggil dirinya sayang. Vino suka di sayang. Apalagi dipanggil seperti itu, manis. Vino mengikut Hanna yang mengajaknya berbicara. Hanna mencari tempat yang aman untuk bicara dan berduaan. Hanna tak menemukan tempatnya, jadi dia bicara di kamar mandi. Menutup pintunya bahkan. “Loh kok. Mau bicara kenapa ke kamar mandi?” Sinta melihatnya. “gak usah kepo mamanya ini. Mereka juga sudah tidur dan bikin anak, kan.” Ujar Tama kepada sang istri. Ikut membereskan meja makan tapi matanya jelalatan. “Ya kan mama kepo sama anak dan menantu mama aja pa. Mau jagain mereka aja gitu loh. Emang gak boleh.” Tama hanya mengangguk. Tapi keduanya tak juga keluar dari kamar mandi. Sementara di kamar mandi... Vino bingung melihat Hanna mengajaknya ke kamar mandi. Di kunci lagi. Vino melotot menatap Hanna. “Kamu mau ngapain mengajak saya ke kamar mandi? Main kunci pintu lagi?” tanya vino. Kepada Hanna yang ada didepannya. “ngapain? Anda gimana si tuan vino. Mama anda itu mau mengajak saya ke klinik, untuk periksa. Kalau ketahuan saya gak hamil, gimana?” Hanna menunjuk perut ratanya. “oh.” Dengan santainya Vino hanya menjawab satu kata itu. Hanna makin kesal dengan pemilik restorannya itu. Suka melakukan apa saja tanpa dibicarakan dulu, dia kan jadi bingung mengimbangi permainan Vino. “Tunggu saya urus sebentar.” Vino menelfon. Entah menelfon siapa dan bagaimana. Setelahnya sambungan telpon vino terputus. “sudah selesai diatur. Aman ke klinik.” Kata vino pada Hanna. Vino akan membuka pintu kamar mandi. Tapi Hanna menahannya. “Tuan, tapi saya tidak enak hati membohongi mama dan papa tuan.” Kata Hanna kepada vino. “Ini sebagai pekerja kami. Jadi lakukan saja.” “Nanti kalau ketahuan tidak hamil? Nantikan juga kalau hamil empat bulan dan seterusnya, harus besar perutnya, kalau sampai melahirkan? Bagaimana? Mana bayinya?” tanya Hanna kepada vino. “iya ya. Ya sudah hamil beneran saja.” Jawab vino asal saja.. “Haha? Hamil beneran sama siapa?” tanya Hanna. “sama aku lah. Kan cucu buat orang tua aku. Masak hamil sama laki-laki lain.” “Maksudnya?” Masih banyak pertanyaan yang ingin Hanna tanyakan kepada vino. Tapi mamanya mengetuk pintu kamar mandi dan membuatnya keduanya diam. “Vino, Hanna, ngapain didalam. Jangan macam-macam ya. Kandungan Hanna masih dua bulan loh. Bahaya.” Teriak Sinta dari luar kamar mandi. Donita turun dari tangga. Dia melihat mamanya dan mendengar mamanya berteriak di depan kamar mandi bawah. “loh. Mereka di dalam kamar mandi. Berduaan? Terang-terangan banget sih kak Vino.” Donita menghampiri mamanya dan bertanya. Sinta mengangguk dengan ucapan vino. “vino keluar. Kalian ngapain berduaan di kamar mandi. Lama lagi, jangan main dulu. Bahaya buat kandungan Hanna.” Teriak Sinta lagi kepada keduanya. Sementara Tama hanya menonton dari jauh. Setelah ada Hanna, rumahnya yang sepi jadi cukup ramai untuk dilihat dan dipandang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD