BAB 9

1408 Words
Salwa tidak ikut makan malam. Ia hanya ingin tempat tidurnya, selimutnya dan kehidupan damai sebelum hari kemunculan Athan, atau hari sebelum bertemu Zian. Salwa baru akan terlelap saat suara Athan mengganggunya lagi. "Ada apa lagi?!" tanya Salwa tanpa menyembunyikan kesalnya. "Aku benar-benar lelah." Athan berdiri di muka pintu, "Mau ikut denganku?" "Tidak." "Dengarkan dulu Salwa. Bagaimana kalau kita memanfaatkan kamar yang disediakan teman-temanku?" Salwa berpikir itu bukan ide buruk. Dan tidak ada yang akan mengganggunya lagi. "Tunggu sebentar." Salwa keluar dengan wajah masamnya. Athan di belakang membawa tas berisi peralatan Salwa. "Kami pergi Ma Pa," kata Salwa kesal. Mama Papa tidak mengatakan apa-apa kecuali tersenyum aneh. "Mulai sekarang kami percayakan Salwa kepadamu, Athan." "Terima kasih Ma, Pa. Salwa sangat beruntung memiliki keluarga seperti kalian," balas Athan terdengar bersyukur. "Athan," panggil Salwa malas. Ia benar-benar jengah bersandiwara. "Oke. Assalamu'alaikum Ma, Pa." Athan dan Salwa tidak saling bicara. Mereka mendaftar, dan beberapa orang mendekat untuk mengucapkan selamat. Lalu tanpa diantar keduanya masuk ruangan yang sudah disediakan. Salah satu kamar di lantai paling atas hotel, deretan kamar berharga mahal dengan beberapa ruangan terpisah. "Kamu bisa mengunci pintu kamarnya. Aku akan tidur di sofa," ucap Athan mengalah. Salwa mendengarkan tanpa membalas. Ia langsung merebahkan tubuh di sofa depan pintu masuk, tak mau menghabiskan waktu mengagumi ruangan nyaman itu atau mendapatkan perasaan kesal lain karena gangguan Athan. Tanpa bisa dicegah Salwa yang lelah tertidur. Salwa terbangun saat matahari sudah cukup siang, ia segera subuh, lalu berendam dengan air hangat untuk melunturkan lelahnya. Salwa menebak orang-orang mungkin mengabaikan malam pertama mereka karena terlalu lelah, bahkan untuk bersikap mesra itu terlalu klise. "Mau sarapan?" suara Athan terdengar di balik pintu setelah mengetuk beberapa kali. "Tunggu sebentar," jawab Salwa sambil merenggangkan otot. Ia kemudian membuka pintu kamar. Salwa merasakan pegal-pegalnya belum sembuh sempurna. "Aku pesan makanan saja." "Baiklah." Salwa menatap punggung Athan yang menjauh. Siluetnya begitu berbeda dari Zian. Zian jelas lebih tinggi dari Athan, dan lelaki berstatus suaminya itu bukan penyuka olahraga seperti Zian. Salwa mendesah dan kembali mengunci pintu. Sesaat Salwa tertegun, tersadar bahwa semalam ia tertidur di sofa, berarti Athan sudah memindahkan tubuhnya ke kamar. Ada perasaan malu menerpanya, Salwa mengingatkan dirinya untuk nanti berterima kasih. Salwa berniat tetap menggunakan jilbabnya saat menjumpai Athan, dan membahas peraturan yang ia inginkan di sofa dengan meja berisi sarapan mereka. "Makanlah." Salwa duduk di sisinya, sedikit berjarak. "Terima kasih untuk semuanya." "Kamu juga sudah banyak membantuku," balasnya sambil tersenyum singkat. "Apa yang akan kamu lakukan hari ini?" "Aku tidak punya rencana," jawab Salwa seadanya. Ia tidak akan membahas yang terjadi semalam, Salwa cukup yakin Athan tidak akan berbuat hal aneh ketika Salwa tidur. "Boleh kupinjam tempat tidurnya?" Salwa tersenyum paham. "Ya. Aku tidak akan mengganggumu." "Terima kasih banyak," ucap Athan dengan senyum lelah. Salwa mengurungkan niat, Athan juga butuh istirahat, jadi Salwa menunda dulu pembahasan peraturan pernikahan mereka. Salwa berkeliling dalam ruangan itu, setelah Athan menutup pintu kamar. Ia melihat setiap detail sudut dan pemandangan di balik jendela kamar lantai sebelas. Salwa berputar-putar dan sengaja kembali ke kamar. Ia bermaksud mengambil ponselnya untuk mengabadikan pemandangan dari kamarnya, ia mendekat dengan mengendap-endap. Salwa berhenti sesaat untuk memandang wajah lelah Athan, lelaki yang kini jadi suaminya. Salwa sudah berjanji tidak akan mengganggunya, entah bagaimana jadinya kalau kemarin yang menikahinya Zian. Apa Zian akan bersikap mengalah seperti Athan? Salwa menggeleng, ia tahu jawabannya tidak mungkin. Wajah tidur Athan benar-benar polos. Sekedar usil, Salwa mengambil fotonya. Hanya sebagai kenangan atau mungkin bisa digunakannya untuk ancaman. Suatu saat nanti. Salwa berjalan-jalan seputar lantai itu, melihat koridor yang lurus hanya ujung dan ujungnya. Ia kembali lagi ke kamar dan menonton televisi. Athan masih belum bangun. Salwa terkantuk-kantuk bosan. Ia tertidur lagi, dan ketika bangun sudah berada di atas tempat tidur lagi. Salwa bisa menduga bahwa tidak ada hal lain yang tejadi. Ia ingin bermalas-malasan tanpa gangguan. Tapi setelah dzuhur, Athan dengan wajah menyesal membuat permintaan merepotkan yang lain. "Mamaku ingin melihat-lihat. Beliau tidak akan mengganggu," katanya kembali bersikap sesantai biasa. "Beliau pasti mengganggu," protes Salwa cepat. Athan tersenyum, "Yah, sedikit. Beliau sudah menuju ke sini." Salwa tidak habis pikir. "Apa yang ingin dilihatnya?" Athan berwajah serius, "Noda di sprei, mungkin." Salwa membuang muka sambil tertawa garing, "Kamu bercanda?" "Kali ini tidak." Salwa menelaah ekspresinya. Benar-benar serius. "Aku tidak ingin melakukan hal itu." "Aku tidak mengatakan memintamu melakukannya," timpalnya cepat. "Tapi kita butuh alasan, yang sama dan tepat." Salwa mengangguk. "Haid. Atau katakan saja kita terlalu lelah, dan ini bukan kebohongan." "Kita sudah cukup berbohong," kata Athan setuju. "Dan akan tetap melakukannya sampai semua ini selesai," kata Salwa meneruskan yang Athan maksud. "Senang punya patner yang cerdas sepertimu," ucap Athan sambil tersenyum lega. +++ Salwa tahu ia punya mama mertua paling menjengkelkan, mungkin sejagat raya. Salwa sudah dikomentari banyak hal dan diberi tahu bagaimana memanjakan suami persis kuliah pranikah, tapi Salwa mendapatkannya setelah menikah. Waktu yang tepat sekali untuk merobek topeng pura-pura baik. "Sudah mengerti?" tanya Mama Rika akhirnya. Salwa mengangguk. Sebenarnya ia tidak menaruh minat dengan yang Mama Athan jelaskan, tapi Salwa ingin jadi penurut supaya semuanya segera selesai. Mama Rika berbalik menatapnya, "Bisa gunakan mulutmu untuk menjawab?" Salwa berusaha tersenyum, "Iya Ma. Salwa mengerti." "Bagus. Mama akan langsung pulang ke Toboali. Jadilah istri yang baik." "Insyaallah Ma." Athan mendekat, "Ma, Athan antar sampai lobby." Mama Rika mengelus wajah Athan. "Kamu putra Mama yang berharga. Mama tahu kamu tidak menginginkan pernikahan ini, tapi Mama akan terus mendoakan kebahagiaan kalian." Salwa pikir Mama Rika cukup baik sikapnya kepada Athan, kecuali bagian cerewetnya yang menyebalkan. "Athan akan baik-baik saja Ma." "Mama yakin kamu baik-baik saja. Tidak perlu mengantar Mama." "Baiklah. Hati-hati di jalan Ma," ucap Athan di muka pintu. "Semoga selamat sampai tujuan Ma," kata Salwa berdiri di samping Athan. "Kamu seperti mendoakan keburukan untuk Mama," katanya sinis. Salwa tadinya tulus, tapi sekarang ia menyesal mengatakannya. Kenapa lelaki sebaik suaminya punya Mama menyebalkan seperti itu? Athan tersenyum, "Salwa mendoakan kebaikan Ma. Dia wanita yang baik. Athan jamin." Salwa tidak tersentuh, ia tahu Athan memujinya demi kebaikan mereka bersama. Tapi Salwa jelas wanita baik, meski tanpa jaminan dari Athan pun. Mama Rika diam melirik tidak suka Salwa. "Jangan sampai kamu durhaka kepada Mama gara-gara istrimu. Surga suami tetaplah ridha ibunya." Athan mengangguk. "Tentu saja Athan akan tetap berbakti kepada Mama." Salwa yakin Athan selalu menuruti keinginan Mama Rika. Sebenarnya di mata Salwa Athan terkesan manja, sebelum melihat sisi lainnya tanpa sang Mama. Athan menutup pintu dan tersenyum mendekati Salwa yang duduk di sofa, "Terima kasih." Salwa menunjuk pintu yang menutup di belakang mertuanya. "Kuharap tidak sering bertemu dengannya." Athan terkekeh, "Aku juga." "Mingkin itu alasan kamu tinggal sendirian di sini," tebak Salwa tanpa ragu. "Aku juga akan kabur dari rumah kalau Mama seperti itu." "Sebagian." Salwa memandangnya lama. "Kenapa?" tanya Athan atas tatapan diam Salwa. Salwa menunduk malu, "Tidak ada." Ia sebenarnya memikirkan bayangan Athan yang sebelumnya, Salwa baru sadar kalau rambut Athan dipotong. "Apa yang tidak ada?" "Bukan apa-apa." Athan mengangguk tanpa paksaan. "Kata Meta kamu suka jalan-jalan. Bagaimana kalau libur nanti kita pergi?" "Berdua?" ragu Salwa. "Dengan Meta. Mama Papamu juga bisa ikut," jelasnya cepat. "Ke mana?" tanya Salwa antusias, ia ingin mengunjungi tempat baru. "Toboali. Rumah orangtuaku," jawabnya sambil tersenyum. Salwa merasa jatuh bebas harapannya, segera wajahnya merengut, "Ah. Aku bilang tidak suka Mamamu." "Kita pergi jalan-jalan, hanya beberapa saat melihat Mama." Salwa tahu itu pasti permintaan Mama Rika. Dan tentu saja demi kesejahteraan bersama ia harus patuh pada suaminya, sesuai yang baru saja dinasehati beliau. "Aku ingin secepatnya semua ini berakhir." Athan tertawa pelan. "Kita baru menikah kemarin." "Berhenti mengatakan candaan tidak lucu seperti itu. Dan tiga bulan itu masih lama," keluh Salwa gusar. "Tiga bulan?" "Kita akan berpisah kalau tidak ada kehamilan dalam 3 bulan," jelas Salwa. Athan heran, "Siapa yang mengatakan itu?" "Meta. Dia mendengar dari Mama." "Kata Mamaku, kita tidak akan berpisah kalau belum lahir bayi." "Apa?!" Salwa mengulang kalimat Athan. Bayi? Artinya Salwa dan Athan harus benar-benar satu kamar bersama. "Tidak mau!" Athan mengangguk, "Untuk yang satu ini kita tidak perlu memikirkannya. Aku setuju pendapat Mamamu." Salwa sedikit lega. Ia punya Athan dalam situasi ini. "Lihat pemikiran mereka, apa ada indikasi bahwa mereka pernah bersahabat? Meski sehari pun." "Meragukan," balas Athan sependapat. "Menurutku sepertinya mereka punya rahasia." "Rahasia?" tanya Salwa bingung. "Entahlah, tapi ada kemungkinan sebenarnya mereka bermusuhan," kata Athan sok tahu. "Tidak lucu," Salwa segera melenggang ke kamar meninggalkan Athan. Ia tadinya sudah serius ingin tahu rahasia Mama dan Mama Rika. Tapi tanpa Athan jelaskan, Salwa bisa menafsirkan sendiri kalau kedua Mama itu bermusuhan bukan sahabat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD