Setelah Mama Rika pulang, Athan dan Salwa juga kembali ke rumah mereka. Salwa pulang ke rumah orang tuanya untuk membereskan pakaiannya, tentu saja Athan ikut sebagai pembantu yang mengangkut barang-barang Salwa. Keduanya tidak melakukan apa-apa selain beres-beres rumah satu hari penuh. Athan membantu memindahkan perabotan sesuai keinginan Salwa. Tidak ada keluhan atau wajah masam meski Salwa sudah sangat memaksa Athan sesuka hati.
"Sudah?" tanya Athan memutar pinggangnya.
Salwa melihat sekelilingnya yang sudah rapi. "Tidak buruk."
"Kalau perlu sesuatu bisa memanggilku, aku di kamar sebelah."
"Aku tahu," kata Salwa tanpa mengucapkan terima kasih saat Athan keluar dari kamarnya.
Salwa mandi dan mengaktifkan ponselnya yang sudah dua hari penuh tak tersentuh. Ia membaca beberapa pesan masuk, juga notifikasi akun sosial medianya. Salwa mendesah ketika mendapati foto pernikahannya sudah disukai hampir ribuan orang. Belum lagi beberapa komentar yang melelahkan mata Salwa untuk membacanya.
Terdengar ketukan, "Sudah tidur?"
"Kenapa?"
"Makan malam," jawab Athan dari balik pintu. "Apa kamu tidak pernah melakukannya?"
Salwa memasangkan jilbab instan dan membuka pintu. Athan mundur selangkah karena terkejut. Salwa tersenyum, "Kamu pikir siapa yang sanggup menahan lapar?"
Athan menggidikan bahu, "Sebagian perempuan menghindari makan malam supaya tidak gemuk. Kupikir kamu pasti melakukannya juga."
"Menurutmu aku takut gemuk?" tanya Salwa sambil mengikuti langkah Athan menuju dapur.
"Ya, kamu punya tubuh yang indah, dan punya pekerjaan yang juga mendukung. Salwa Maina sempurna."
Salwa tertawa palsu, "Apa ada yang kamu inginkan sebagai balasan pujian itu?"
Athan menghentikan langkah kemudian berbalik, "Aku bercanda."
Salwa terperangah. Ia merasa ditendang dari bumi ke negeri antah berantah dan di sana hanya ada mahluk yang bercandanya sama sekali tidak lucu.
Athan tersenyum, "Kamu sempurna. Manusia adalah sebaik-baiknya mahluk yang Allah ciptakan di muka bumi ini, dan kamu benar-benar sempurna dari beberapa manusia cacat, bahkan kamu sempurna dari kebanyakan manusia yang sempurna."
Salwa terdiam. Entah apa maksud Athan menjelaskan serinci itu tentang dirinya. Kali ini Salwa tersanjung, kalaupun Athan akan mengatakan itu sebagai candaan lagi, Salwa tahu kalau itu kebenaran.
"Apa yang kamu masak?" tanya Salwa mengalihkan pembicaraan. Ia duduk di depan hidangan yang masih mengepulkan asap. "Kalau membicarakan sunnah, Rasulullah melarang makan makanan panas," kata Salwa menatap makanannya.
Athan tersenyum ikut duduk di sebelah Salwa. "Yang Rasulullah larang adalah meniup makanan," koreksinya.
Salwa mengangguk, "Sama juga kan, kalau makanannya masih panas perlu ditiup, dan kalau makanannya dingin tidak mungkin ditiup."
Athan tertawa pelan, "Kupikir aku akan menikah dengan wanita penurut, lemah lembut, dan tidak cantik. Tapi perkiraanku salah."
"Maaf mengecewakanmu," kata Salwa tanpa penyesalan. Ia sibuk membaca komentar di sosial media, bahkan Salwa heran kenapa fotonya di repost bahkan oleh vendor pernikahan tanpa izin.
"Aku tidak kecewa, followerku bertambah banyak karena menikah denganmu," kata Athan menggeleng dengan senyum geli. "Komentar beberapa orang cukup mengesankan, katanya aku menikah dengan bidadari."
Salwa memberi tatapan tajam, "Aku heran kenapa jadi seperti ini. Kita rencananya hanya..."
"Dunia sudah tahu." Athan merapat dan berbisik, "Kamu milikku."
Salwa melepas alat makannya dan mendorong kursi Athan hingga suaminya itu hampir jatuh. "Jangan pernah mengatakan hal itu lagi."
Athan tersenyum lagi, "Kamu juga kuat meskipun berwajah cantik."
Salwa menghela napas sambil memijat kepalanya yang berdenyut. "Athan, aku lebih suka kehidupan yang tenang. Bisa?"
Athan mengangguk geli, "Baiklah, sayang kalau gelar bidadari itu hanya bertahan sehari gara-gara wajahmu merengut."
Salwa berdiri cepat, tapi Athan lebih cepat juga menarik lengannya. "Jangan menyentuhku!"
Athan melepasnya, "Habiskan makananmu, kamu itu bidadari tidak pantas bersaudara dengan syaitan."
Salwa merengut, "Kalau begitu diam." Athan mengangguk. "Dan juga berhenti mengolokku."
"Aku tidak mengolokmu, itu kenyataan dan aku hanya mengatakannya. Salahkah?"
Salwa tidak ingin berdebat. "Sekali ini aku tidak suka cantik."
"Aku suka kamu cantik," kata Athan lalu menikmati makanannya.
Salwa berdebar, mungkin karena terlalu banyak menahan kesal. Mereka makan tanpa bicara. Ketika selesai Salwa membawa piringnya berdiri, berniat langsung mencucinya.
"Tinggalkan saja di sana, nanti akan kucuci."
Salwa bekernyit heran, di rumah mereka Salwa bergantian dengan Meta untuk cuci piring. "Kamu takut aku memecahkannya?" ragu Salwa.
Athan menggeleng. "Kamu mungkin lelah, biar aku saja."
Salwa akhirnya melepas piring itu dan kembali ke kamarnya. Salwa tidak lelah, tapi ia biarkan Athan dengan keinginannya. Salwa membuka lagi media sosialnya, dan ternyata Meta adalah biang masalah. Salwa mengklik akun yang ditandai seperti dirinya, milik Athan. Salwa melihat fotonya, kebanyakan foto Athan dengan teman dan keluarga. Ada satu foto yang hanya dirinya sendiri dan tersenyum lebar. Salwa memandangnya lama, Athan tampan, lalu Salwa melihat foto pernikahan mereka yang diupload Meta. Salwa tersenyum sendiri, ia dan Athan mungkin punya bakat sebagai pemeran film.
+++
Salwa memutuskan untuk tidur. Ia bangun pagi dan mandi seperti tinggal di kamarnya sendiri. Sesuai janji, mereka menikah dan akan tidur terpisah. Ketika Salwa akan berganti pakaian ia mendengar suara air dari kamar sebelah. Salwa melangkah ke dapur pelan-pelan dan menemukan roti tawar di kulkas. Ia mengeluarkan dua lembar dan selai kacang yang sudah mengental. Salwa mulai kesal dengan perutnya yang lapar sementara selai itu pun tidak ingin mempermudah Salwa.
"Bisa oleskan untukku juga?"
Salwa hampir menjatuhkan spatula. "Aku bukan pembantumu," katanya kasar.
Athan berjalan mendekat dan melakukannya sendiri. Setelah minum segelas air, ke pintu depan dan kembali bersama koran pagi tanpa menegurnya. Salwa merasa tak enak hati, ia bersikap kasar karena terkejut, sama sekali bukan niatnya untuk jadi jahat. Salwa kembali ke kamarnya. Ia bingung harus melakukan apa, tapi untuk minta maaf Salwa enggan melakukannya. Ponselnya berbunyi.
"Apa yang kamu buat untuk sarapan?" tanya Mama.
"Roti dengan selai."
"Kamu bisa membuat nasi goreng. Ah, Mama juga sedang membuatnya sekarang."
Salwa bisa mendengar jelas suara masakan. Ia tersenyum sambil mengendus, "Baunya sampai ke sini Ma."
"Kamu ini. Baiklah, Mama tidak akan mengganggu suasana baik kalian," katanya terdengar riang lalu memutuskan panggilan.
Salwa memutar bola matanya. Suasana baik, ulangnya tak yakin. Salwa berjalan ke dapur. Perutnya tidak cukup dengan sepotong roti, ia masih lapar. Salwa berniat memasak nasi goreng dan memberikan sisanya untuk Athan. Tapi suara berisik di dapur terdengar dan lelaki itu sedang melakukan yang Salwa baru niatkan.
"Boleh kucoba?" tanya Salwa sudah duduk di depan Athan.
"Silakan. Tapi aku tidak suka pedas, jadi mungkin rasanya sedikit aneh untukmu."
Salwa menarik piring yang Athan sodorkan, "Aku juga tidak suka pedas."
"Yah, aku mengerti. Kamu kan punya stok cabai di lidahmu."
Salwa melotot, "Apa kamu bilang?"
"Hanya bercanda," balas Athan dengan senyum santai. "Maaf tadi mengejutkanmu."
Salwa sudah tahu dirinya menikah dengan seseorang yang aneh. Ia berpikir harus mulai membiasakan diri dengan Athan. Tiga bulan itu cukup lama untuk orang yang kesabarannya minim seperti Salwa Maina.
+++
Salwa duduk diam, sementara bibir lelaki yang sedang menyisir rambut Salwa terus menari dan tersenyum. Salwa ikut tersenyum dengan cerita dan belaiannya. Salwa melihat dirinya tertawa karena lelaki itu kini memeluk erat tubuhnya dan dia membenamkan wajahnya di rambut hitam Salwa. Salwa merasa hatinya berbunga. Namun tiba-tiba semuanya gelap, hitam dan Salwa tidak bisa bernapas. Sepasang tangan terasa mencekik lehernya, Salwa buta. Ia juga bisu dan seketika tuli.
"Salwa!" seru Athan.
"Akh. Aku... di sini," jawabnya sulit dan panik.
Salwa mendengar gemerincing kunci, lalu Athan datang dengan membawa senter kemudian menarik tangan Salwa kasar. "Apa yang terjadi?"
Athan khawatir, Salwa tahu itu dari nada suaranya. Tangan Salwa di genggamannya. Salwa melihat sekitarnya gelap kecuali senter yang Athan bawa.
"Salwa..." panggilnya lembut. "Bisa ceritakan padaku?"
Salwa mengangguk. "Aku hanya... takut gelap," katanya serak.
"Hanya itu?"
Salwa mengangguk lagi. Ia meraba lehernya yang perih, dan tenggorokan yang terasa kering. Athan menujukan senter ke leher Salwa, "Kamu punya luka di sana."
Salwa ingat. Ia memang selalu mencekik leher sendiri ketika gelap mengelilinginya. "Aku biasanya punya lampu yang otomatis menyala saat listrik padam."
"Kamu tidak membawanya?"
"Kupikir sekarang listrik di sini sudah stabil."
Athan diam sesaat, lalu menyorot lagi leher Salwa. "Aku akan ambilkan kotak obat. Kamu tunggu di sini."
Salwa menarik tangan Athan, "Aku ikut."
Athan tidak menolak atau membantah. Dia mengulurkan tangan yang secara spontan Salwa raih. "Sejak kapan kamu takut gelap?"
Salwa merasakan hangat jemari Athan, meskipun degup jantungnya masih tak karuan. "Sejak dulu. Entahlah."
Athan membawa Salwa ke dapur, dan menyerahkan gelas beisi air. "Apa kamu sulit bernapas?"
Salwa melepas gelas yang telah kosong. "Ya, rasanya seperti tercekik. Mungkin aku sendiri yang mencekik, alam bawah sadarku memerintah seolah itu akan melepaskan ikatan dari leherku."
Athan tidak lagi memegang tangan Salwa. Dia sudah bergerak mengambil kotak obat, mengeluarkan kapas dan obat merah. "Harusnya kamu tidak memanjangkan kuku dengan... dengan rasa takut itu."
Salwa mendongak saat Athan mengusap kapas ke lehernya. "Ini sudah lama tidak terjadi, kupikir aku bisa menghadapinya."
Athan menutup lagi kotak obat. "Sepertinya listrik belum akan menyala. Aku juga tidak punya mesin genset. Bagaimana denganmu?" Salwa diam. Ia takut, itu jelas sekali dan Athan kelihatan paham. "Apa kamu punya fobia juga?"
"Hmm, tidak, kurasa." Salwa cepat-cepat menarik tangan Athan, "Kamu harus tidur di kamarku. Aku tidak mau sendirian."
"Kamu lebih takut gelap daripada aku?" Athan tertawa pelan. "Kamu terlihat normal dengan rasa takut."
Salwa ingin menceramai Athan bahwa perasaan takut itu satu hal yang sangat menyiksa. Kondisi jantung berdebar kencang dan perasaan khawatir yang membuat sesak rongga d**a. Tapi ia menundanya, saat ini Salwa butuh pertolongan Athan. Mereka kembali menuju kamar Salwa.
"Aku ambil selimut dulu," kata Athan saat tiba di depan kamarnya.
Salwa ikut masuk. Ia baru kali ini melihat kamar lelaki, dan karena terlalu gelap Salwa pikir itu tidak membantu. Athan menarik selimut yang terlipat rapi. "Kamu masih sempat melipat selimut sebelum ke kamarku?"
Athan menggeleng. "Aku sudah bangun."
Salwa bingung, "Jadi, apa yang tadi kamu lakukan?"
Athan melewati Salwa dan memegang kenop pintu, "Kamu tidak ingin tidur? Atau sengaja mengulur waktu karena takut satu ranjang bersamaku?"
Salwa melotot, "Siapa bilang kita seranjang."
Senyum Athan hilang. "Bukannya kamu memintaku..."
"Tidur di kamarku. Bukan di ranjang. Masih ada lantai untukmu," kata Salwa melewati Athan yang terkejut.
"Lantai? Kamu bercanda?"
Salwa bertolak pinggang, lalu menggeleng. Ia membuka pintu kamarnya yang tepat di sebelah kamar Athan. "Tidak," pastinya lalu masuk lebih dulu.
Athan menutup pintu kamar Salwa, mengurung keduanya dalam satu ruangan. "Salwa aku tidak biasa tidur di lantai. Kecuali kamu mau mengurusku saat sakit," ancamnya santai.
Salwa segera berbaring di tengah-tengah tempat tidurnya. "Tidak muat kalau bersamamu."
Athan meletakkan lilin di meja terdekat kemudian duduk di sisi Salwa. Jarak mereka dekat dan Salwa bergerak lebih cepat untuk menjauh. Athan seperti mendapat izin langsung berbaring lelah. Salwa menendang pelan kaki Athan, "Kamu itu harusnya di bawah."
"Bukannya posisi bawah itu untuk istri," katanya dengan senyum usil.
Salwa menendangnya lebih kuat. "Kembali ke asalmu, makhluk fana."
Athan duduk. "Aku tidak bisa tidur di lantai ataupun karpet," protesnya terlihat kesal.
"Kamu punya selimut," kata Salwa tak acuh.
Athan berdiri sementara Salwa masih dengan tatapan memaksanya. Mereka beradu pandang beberapa detik kemudian Athan menghela napas. "Mau tahajjud bersamaku?"
Salwa heran. Ia melirik jam dinding di belakang Athan. Jam setengah empat. "Baiklah. Cukup adil. Tidak ada yang boleh tidur."
Athan tersenyum, "Aku tidak pernah menyangka kalau rambutmu panjang dan indah."
Salwa baru sadar, ia merona sesaat. "Tidak perlu memujiku," katanya beranjak dari tempat tidur.
"Itu bukan pujian, hanya pendapatku."
Salwa mengambil senter dan berwudu. Kemudian segera mengenakan mukena, berdiri di belakang Athan yang sudah siap menjadi imamnya.
"Ini romatis," komentar Athan sambil tersenyum geli.
Salwa menatap punggung lelaki di depannya, "Ini ibadah," katanya ketus.
Athan menoleh sedikit, "Bisa kita mulai?"
"Ya."
Salwa biasanya tahajud sendirian, tapi sekarang ada seseorang yang bagus dan fasih sebagai imamnya. Salwa menilai lelaki itu sungguh baik, dan belum pernah ada yang sebaik Athan dalam hidupnya. Athan lebih baik dari Papa Salwa atau beberapa lelaki yang pernah singgah di hatinya dulu. Untuk sesaat Salwa berharap Athan akan mencintainya, dan mungkin jika itu terjadi benar-benar akan membuat kehidupan Salwa Maina sempurna.
+++