BAB 4

1396 Words
Salwa sibuk dengan berkas kuliah beberapa hari, mendengar kalimat turut berduka dari beberapa orang yang mengenalnya dan ia juga menahan diri untuk tidak terbawa emosi saat nama Zian mendera telinganya. Ternyata mereka sudah mengasihani Salwa sejak lama. Mereka sudah tahu Zian meninggalkan Salwa, tapi demi menjaga perasaan Salwa dan demi sidang skripsinya mereka tidak bisa mengatakan apa-apa. Salwa paham dan berterimakasih. Ia juga akan mulai melihat baik-baik seseorang sebelum menyerahkan hatinya. Salwa menggunakan mobilnya. Ia dan Athan punya janji. Mereka akan bertemu di Exelco. Salwa datang lebih dulu, ia yang harus menunggu. Sekitar sepuluh menit kemudian Athan muncul. "Maaf, pekerjaanku..." "Aku tidak suka mendengar alasan," kata Salwa tanpa ingin dibantah. "Pertama, aku tidak ingin pesta mewah." "Setuju. Tanggal 12 Desember?" "Terserah." Salwa menatapnya, "Undangan dan hal lain aku tidak peduli. Aku akan merancang sendiri gaunku dan punyamu." Athan tersenyum, "Baiklah. Aku bagian makanan." "Aku ingin lihat rumahmu, dan kamarku," kata Salwa kemudian. "Ayo." Mereka membayar dengan nota terpisah. Salwa tidak pernah mengharap laki-laki membayar makananya. Ia punya gaya yang aneh untuk penilaian wanita berkelas. Dan mereka juga membawa mobil sendiri-sendiri. Tidak ada tanda bahwa keduanya akan menikah, lebih tepat terlihat sebagai rekan kerja. Yah, untuk menjadi anak baik bagi para mama merepotkan. Salwa di bawa ke daerah Kampak. Rumah itu terbilang jauh dari tempatnya bekerja atau rumah orangtua Salwa. Suasana tenang, jalanan yang sepi dan jarak rumah yang masih jarang. Salwa memasuki sebuah rumah sederhana. Yang sepertinya sengaja dibangun untuk ditinggali sendirian. "Mengejutkan, kamu punya rumah dan mobil di usia sekarang," kata Salwa tanpa maksud apa-apa. "Yah, tidak semengejutkan kamu. Yang punya butik sendiri. Mandiri, kata yang tidak berlebihan untukmu." Athan membuka sebuah pintu di depan mereka. "Ini kamarmu. Aku menggunakannya sebagai kamar tamu kalau orangtuaku berkunjung ke sini." Salwa mengangguk sambil melihat sekelilingnya. "Kurasa logat kalian dari Toboali?" "Tepat." Salwa melihat ruangan tersebut kosong. Athan pasti sudah memindahkan barang-barang kamar itu sebelumnya. "Kamu bekerja di mana?" "Novotel. Kamu?" Salwa berbalik menatap Athan. Bukan karena tempat itu hotel paling tinggi di Pangkalpinang, tapi letaknya. Ia hampir menuduh lelaki itu bercanda, tapi sepertinya Athan mengatakan yang sebenarnya. "Butik di depan hotel itu punyaku." Athan juga menatap Salwa. Kemudian tersenyum heran, "Terlalu dekat. Kamu mendesain baju dari batik cual?" Salwa mengangguk. "Yah, kita hampir bertetangga setiap hari tapi tidak pernah saling bertemu." "Takdir punya caranya sendiri," kata Athan setuju. "Kata Mama kamu sudah selesai skripsi?" "Tinggal wisuda tahun depan." Salwa tiba-tiba merasa aneh. "Dan, aku tidak pernah menyangka sebelumnya kalau kamu harus datang di acara itu sebagai suamiku." Athan bersikap santai, "Kuharap itu tidak akan membuat buruk hari bahagiamu." Salwa hanya sedikit terganggu. Ia pernah mengkhayalkan Zian dengannya di hari itu, datang bersama kejutan seperti biasanya. "Kalau bekerja di hotel, berarti pakai shift?" "Ya. Dan kamu punya jam kerja terserah," kata Athan menebak. "Itulah keuntungan bekerja di tempat milik sendiri," Salwa tersenyum lebar. "Sebenarnya aku berharap bisa kuliah sesuai hobiku, tapi di sini..." "Jadi? Kamu bertitel apa sekarang?" "Spd." "Guru?" "Memang tidak cocok, makanya nilaiku juga, kurasa kurang memuaskan," jelas Salwa setengah hati. "Besok mampirlah ke butik. Aku perlu ukuran bajumu." "Tidak masalah." "Kamu bisa datang kapan saja, kecuali sore. Besok ada yang harus kulakukan saat sore," kata Salwa menginfokan. Athan mengikuti langkah Salwa menuju pintu. "Hati-hati di jalan." Salwa mengangguk. Ia bisa melihat Athan masih berdiri di depan pintu beberapa saat sampai Salwa benar-benar pergi. Salwa mendesah, kembali teringat Zian. Teringat Calara, dan bayi mereka. Salwa tahu dirinya harus berhenti tersakiti, tapi perih itu belum mau sembuh. Salwa pikir ia ketika bersama Zian begitu menawan. Salwa itu cantik, dan menyukai kejutan. Namun Salwa kini bersama Athan, lelaki yang hanya bicara seadanya, yang tidak terbawa suasana sekitar dengan mudah. Salwa yakin lelaki seperti Zian itu mengganggu dan menyebalkan, tapi lelaki seperti Athan yang kemayu dan santai membuat Salwa merasa aneh, aneh yang tidak bisa digambarkannya. Salwa ingin mendengar suaranya lebih banyak, dan Salwa juga sangat ingin tahu seperti apa kehidupannya. Salwa hanya penasaran Athan masih bisa berkedip atau menurunkan mata saat melihatnya, biasanya mata lelaki tidak akan pernah puas memandang Salwa seorang. +++ Salwa pulang dan ia menikmati kegiatan mendesainnya. Gaun pengantin baru yang berbeda dari rancangannya ketika berencana menikah dengan Zian. Gaun itu memang sudah selesai, dan Salwa sudah menjualnya. Ia memikirkan pola yang lebih tepat untuk menampilkan kesan berwibawa dari wajah muda Athan. Salwa terpikir tentang mimpi. Entah siapa pemilik tangan yang nyaman itu. Mungkinkah itu Athan? Salwa segera menggeleng. Salwa datang terlalu pagi. Ini hari pertamanya ke butik setelah liburan. Para pegawainya terlihat canggung saat ingin bersikap ramah, sedikit kaku dari biasanya. Meraka pasti sudah mendengar cerita hidup Salwa yang berantakan oleh seorang pelakor. "Bagaimana kabar kalian?" sapa Salwa dengan senyum cerah. "Baik Kak." Salwa memberikan oleh-oleh berupa kain khas daerah yang kemarin dikunjunginya. Kemudian segera masuk ke ruang kerjanya. "Assalamu'alina wa 'ala ibbadikashalihin. Aamiin." Itu ucapan salam yang kita ucapkan ketika tahu tidak ada siapapun di dalam ruangan yang akan kita masuki. Salwa tersenyum. Ia merindukan tempat itu. Aroma pengharum ruangannya, deru AC dan pemandangan ke setiap sudut butik dari dinding kacanya. Ia duduk dan mengeluarkan Ipad. Salwa terus menekuri desain yang ia gambar, dan tersenyum saat tengkuknya mulai lelah. Salwa merenggangkan otot, tanpa sengaja melihat seorang pembeli sedang memilih koleksi jas berpadu batik. Salwa kembali teringat mimpinya. Seseorang itu punya langkah yang konstan, tegas tapi tidak terburu-buru. Suara langkahnya terdengar di ketukan... "Sudah selesai?" Suara seorang mengejutkannya. "Pantas kamu bisa sukses di usia muda. Pekerja keras." "Sejak kapan kamu datang?" tanya Salwa kepada Athan yang tersenyum. "Beberapa menit yang lalu. Koleksinya bagus," jawabnya menunjuk dengan mata ke arah gantungan baju. Salwa belum sepenuhnya sadar. Ia masih mengingat mimpi, dan Athan, Athan selalu menarik Salwa untuk mengingat mimpi itu. "Ada apa?" Salwa menggeleng untuk menjawab Athan, lalu mamanggil salah satu pegawainya. "Nina, ukur dia." Athan tersenyum kepada pegawai tersebut. Anehnya Nina kelihatan malu-malu membalas sapaan Athan. "Ukuran jas ya," kata Salwa dengan suara agak lantang. "Kalian punya bos yang cerewet," kata Athan kepada Nina. Salwa bisa mendengarnya tapi ia tidak peduli. Salwa kembali ke ruangannya untuk mengambil kunci mobil, perutnya mulai lapar dan waktu istirahat juga tidak lama lagi. "Ada yang kalian inginkan untuk makan siang? Nasi bungkus? Bakso?" tawar Salwa kepada dua pegawainya. "Bakso boleh Kak." "Kamu?" tanya Salwa kepada Nina. "Apa saja Kak," jawabnya sambil menunduk di depan Athan yang jelas menatapnya. "Bakso atau nasi?" ulang Salwa tegas. "Nasi." "Salwa," panggil Athan pelan. "Kamu mau dibelikan juga?" tanya Salwa terdengar emosi. Athan tersenyum. "Aku membawa beberapa makanan. Ada di mobil." Salwa melihat Athan meminta Nina untuk melepaskannya. Salwa tetap berdiri di tempatnya. Ia menunggu. Lalu Athan kembali dengan dua rantang dan menyerahkannya kepada Salwa. "Ini masakanku." "Ini menunya?" tanya Salwa mengacu pada hidangan pernikahan. "Ya. Ini jenis lauknya. Besok insyaallah akan aku bawakan untuk dessert-nya." "Abang punya catring ya?" Salwa dan Athan serempak menoleh kepadanya. Nina canggung, "Kudengar pernikahan Kakak dibatalkan." Athan melihat Salwa. Salwa diam sementara Nina ditarik teman kerjanya untuk menjauh. "Kamu mau membatalkannya?" Athan bertanya pelan. Salwa mengibaskan tangan untuk berkata bukan. "Apa dessert-nya?" "Kue, puding, mie kuah ikan, tekwan, otak-otak..." "Athan..." panggil Salwa pelan sambil menyelidik khawatir. "Ya?" "Berapa banyak yang ingin kamu undang? Kita sepakat pernikahan kecil, kan." Athan tersipu. "Kalau memikirkan makanan, aku sering lepas kendali. Aku akan membawanya besok, kamu bisa memilihnya." "Baiklah." "Aku akan kembali bekerja." Salwa mengangguk. "Kamu terlihat berbeda ketika bekerja," kata Athan sambil tersenyum manis. Salwa tidak tahu itu pujian atau kritikan, tapi ia menanggapinya negatif. "Aku tidak butuh penilaianmu." "Benarkah? Kupikir kamu sangat butuh. Baiklah, Aku hanya menyampaikannya. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam wa rahmatullah." Salwa melihat rantang di tangannya. Ia tidak berpikir lelaki aneh itu akan serius dengan makanan. Sedikit heran dengan perut Athan yang tidak membuncit meski menyukai makanan. Tapi Salwa kembali tersenyum mengingat ia sendiri serius dengan pakaian penikahan mereka, mungkin pengaruh hobi. Salwa ke ruangannya. Ia melihat isi rantang dengan aroma yang segera merebak. Ada nasi dan 7 jenis lauk, untunglah Salwa tidak perlu khawatir dengan timbangan. Kemarin masalah dengan Zian cukup menguras berat badannya, sampai beberapa gaun kesayangan Salwa tampak seperti gaun pinjaman yang kedodoran di mana-mana. Salwa memanggil Nina. "Pergi ke warung makan sebelah dan beli nasi untukmu dan Ratih." "Wah," suara Nina menelan liur terdengar. "Menggiurkan." "Aku tahu," balas Salwa tanpa senyum sambil menyerahkan uang pecahan lima puluh ribu rupiah. "Aku takut akan menghabiskan semuanya kalau kamu tidak cepat-cepat." Nina menerima uang yang Salwa berikan. "Kakak tidak akan bisa menghabiskan semuanya," katanya sambil berjalan menjauh. +++
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD