BAB 5

2202 Words
Salwa makan bersama mereka. Dan ia sungguh terlihat paling kelaparan daripada Nina atau Ratih. Salwa punya dua pegawai siang, dan dua yang bekerja malam. Ada lima pegawai tiap satu butik miliknya. "Kak, boleh minta nomor telepon Abang yang tadi?" Salwa berkernyit. "Untuk?" "Langganan ketering," jawab Nina cepat. "Nina pasti punya maksud lain," sahut Ratih yakin. "Pastinya ada udang di balik batu." "Tidak apa-apa kan. Nina juga jomblo." "Abang itu akan menikah," kata Salwa tanpa perasaan aneh, seolah bukan dengannya lelaki itu akan menikah. Nina memasang wajah cemberut. "Sayang sekali. Betapa beruntungnya wanita itu. Padahal Nina kira Nina baru saja menemukann pangeran impian Nina." Salwa tersenyum geli, "Menurutku Abang itu sama sekali bukan pangeran. Pangeran biasanya tidak kenal dapur." Nina menegakkan tubuh, "Pangeran jaman now kan berbeda Kak." Salwa tersenyum sambil menggeleng tidak yakin. "Tapi masakannya benar-benar enak." +++ Salwa masih menekuri pekerjaan menyenangkannya. Kesibukan itu membuat pikirannya lebih sedikit mengingat Zian. Lagi pula Salwa benar masih merasakan perihnya ketika kenangan tentang Zian muncul, atau namanya terdengar. Salwa mengangkat kepala, lalu mengerjap untuk menyegarkan matanya. Dan ketukan terdengar. Athan datang lagi, dia bersama rantangnya seperti kemarin dan senyuman biasanya yang masih tetap aneh. "Masuklah," kata Salwa tanpa berdiri dari duduknya. Athan mendekat, "Assalamualaikum." Kini Salwa berdiri dan mempersilahkannya duduk di sofa depan meja kerjanya. "Waalaikumussalam wa rahmatullah." "Wah, ruangan yang nyaman. Dan wangi," komentar Athan tanpa melihat Salwa. Dia kelihatan sibuk mengagumi dekorasi ruangan itu. "Terima kasih. Aku suka rasa masakanmu." "Tentu saja, aku digaji mahal." Salwa menaksir, "Empat juta?" "Delapan. Sepuluh dengan bonus," jawabnya tanpa nada sombong. Salwa sangsi, "Kamu bercanda." "Tidak. Aku headchef," kata Athan serius kemudian menyenderkan punggung. "Kamu mapan," komentar Salwa dingin. "Ini, desain yang mana, yang kamu inginkan?" Athan melihat beberapa gambar yang Salwa tunjukkan. Lalu secara yakin menunjuk salah satu, yang tepat seperti perkiraan Salwa. "Tidak buruk." "Ketiganya bagus. Kamu punya bakat yang keren." Setelah Salwa memuji setengah hati, lelaki itu malah mengatakan pujian tanpa ragu untuknya. Tidak ada kesan Athan akan menganggap Salwa sebagai musuh ataupun kesan bahwa sosok Salwa menarik untuknya. Salwa tiba-tiba saja kesal. "Aku akan mencoba ini, nanti makanan yang kupilih akan aku beritahukan lewat pesan." "Baiklah." Athan berdiri seperti siap untuk pergi. "Kita menikah di rumah keluargaku," kata Salwa lebih lembut. "Terima kasih untuk makanannya." Athan mengangguk lalu pamit. Baru saja lelaki itu keluar pintu ruangan Salwa, Nina terlihat menyapa Athan. Mereka berbicara tanpa menyadari kalau Salwa memperhatikan. Sebentar kemudian Athan pergi. Salwa pun membuka rantang dan memanggil Nina. Entah apa yang dilihat Nina dari sosok Athan, bagi Salwa sendiri Athan benar-benar lelaki cantik jaman now. +++ Salwa menelepon Athan di hari libur lelaki itu. Ia serius memaksanya untuk membeli tempat tidur baru. Bukan hanya kemauan Salwa tapi Mama yang menyarankannya. Dari satu toko ke toko yang lain, tanpa malu-malu Salwa menggeleng saat Athan menawari sesuatu yang ia tidak suka. Dan Salwa pikir ia akan berhasil menjadi calon istri yang paling tidak diinginkan abad ini, namun kenyataannya Athan seperti biasa, tidak terganggu. "Bagaimana yang ini?" Salwa memperhatikan baik-baik. Ia suka, tapi bukan seperti harapannya. "Tidak mau?" Salwa masih berpikir. "Mau makan dulu? Sekalian dzuhur?" Salwa segera mengangguk karena sudah jam 11 siang. Perutnya juga mulai mengganggu konsentrasi. "Aku punya tempat rekomendasi," kata Salwa dengan senyum penuh arti. Hari ini mereka berdua pergi dengan satu mobil, sekedar mengurangi pemakaian minyak bumi dan jumlah kendaraan di jalanan yang biasanya padat. Tadi pagi Athan datang tepat tiga puluh menit setelah Salwa meneleponnya. "Ke mana?" Salwa tersenyum, "Lampu merah. Belok kiri." Athan tidak bertanya meskipun tujuan mereka hampir bisa ditebak. Salwa meminta Athan berhenti di depan gereja. "Hotel?" tanya Athan lagi. "Kenapa tidak parkir di dalam saja?" Salwa tertawa sesaat. Memang di sebelah gereja tersebut berdiri hotel bergaya klasik yang baru direnovasi. Namun tujuan Salwa bukan tempat mahal itu. Salwa akan mengajaknya makan di tempat paling tidak mungkin seorang Athan akan kunjungi. "Di sini?" Salwa tersenyum yakin. Basment Ramayana. Tempat makan yang paling sesak untuk orang berdompet tebal seperti Athan. "Ada masalah?" Athan menggeleng lalu memesan bakso. "Mau makan apa?" "Bakso. Tidak pakai mie putih, jangan pake micin sama kacang kedelai." Mereka mulai makan. Salwa melirik lelaki yang lahap di depannya. Sementara bau sekitar membuat perut Salwa mual. Ia memang hanya pernah sekali dulu makan di sana itu pun karena Meta memaksa. Salwa bisa melihat tempat itu lebih bersih dari sebelumnya, meskipun dengan kepadatan yang belum berubah. "Salwa tidak makan?" Salwa melepas sedok garpunya. Ia yakin akan muntah kalau dilanjutkan. "Aku tidak nafsu makan." Seorang ibu bersama anak yang masih kecil mencari bangku kosong, dan satu tempat yang tersisa di sisi Salwa. Sang ibu tersenyum sambil mengangguk, lalu duduk dan memesan bakso. "Sebentar lagi aku selesai," kata Athan menunjuk bakso terakhirnya. Salwa mengangguk lemah. Ia ingin segera pergi. Aroma sesak antara keringat dan bau makanan di sekitarnya membuat makin gerah, juga suara sekitar dan kekhawatiran Salwa tentang jembatan di atasnya runtuh. Athan mengambil tisu dan membayar. "Ayo." Saat Salwa akan berdiri, anak kecil itu menginjak gamisnya. Salwa hampir jatuh sebelum Athan menangkapnya. Meja panjang di dekat mereka bergetar, orang-orang sesaat menghentikan makan. "Hati-hati," kata Athan di sampingnya. Salwa melihat bekas kotor sepatu tertinggal. Salwa memelototi bajunya dan anak kecil itu. Kemudian suara tangis terdengar, membuat semua mata kembali melihat Salwa. "Hei, apa yang kamu lakukan pada anakku?!" tanya ibu Si anak. "Mama...." "Iya sayang. Tente itu jahat ya?" tanya Si ibu sambil menenangkan putrinya. "Tante?" ulang Salwa tak percaya. Ia baru 23 tahun. Salwa bergerak ingin memberikan ceramah panjang pada ibu dan anak itu namun Athan mencegahnya. "Lihat, bajuku kotor!" adu Salwa kepadanya. "Ini pasar Tante. Salah Tante sendiri kenapa pakai baju bagus," sahut Si ibu menyebalkan. "Apa?!" Salwa terperangah. "Apa?!" tantang Si ibu galak. Salwa ingin sekali menjambak wanita itu. Ia tidak peduli kalau orang lain akan mencemoohnya. "Kami minta maaf, Bu," kata Athan sambil tersenyum tulus. "Kenapa kita yang harus minta maaf?!" "Baguslah," kata Si ibu kembali memakan baksonya. "Hei!" seru Salwa keras. Ia masih belum menyelesaikan tuntutannya. Athan menarik tangan Salwa dan menyeretnya tanpa penjelasan. Sementara Salwa terus berusaha melepaskan tangannya dan mengomel tentang gamis dan ibu menyebalkan. Orang-orang melihatnya ingin tahu, ada juga beberapa suara terdengar mengomentari tindakan keduanya. "Kenapa dengamu?" tanya Salwa menghentak kakinya saat mereka sudah jauh dari keramaian pasar. "Itu hanya anak kecil, dan hanya noda yang bisa dicuci," jawab Athan santai seperti biasa. Salwa melihat ketenangan wajah Athan yang tak terusik. Ia tahu, dan ia sekarang malu. Salwa melewatinya dan masuk mobil tanpa kata. Athan duduk di belakang kemudi, menyalakan mobil dengan tenang. "Sekarang mau ke mana?" Salwa tidak punya tujuan. "Terserah." "Kamarin kamu membentak orang ketika mendapat jawaban terserah. Bagaimana perasaanmu kalau sekarang aku membentakmu?" Salwa menatapnya. Athan mengataknnya tanpa emosi, itu hanya pertanyaan tanpa unsur tantangan. "Aku tidak membentaknya. Tunggu. Nina menghubungimu?" "Ya. Dia meminta nomorku saat terakhir aku ke butikmu." Salwa merasakan hatinya memanas. "Bagus sekali. Nah, kamu sudah punya seseorang untuk dibawa kawin lari." "Kamu bercanda?" "Aku serius." "Serius ingin membuat Mamaku jantungan," kata Athan meneruskan. "Sepertinya Nina tidak tahu kalau kita akan menikah." Salwa hanya tidak ingin siapapun selain keluarganya yang tahu pernikahan ini. Ia masih trauma, dan sudah cukup kegagalan yang pernah dirasakannya. "Aku tidak ingin mengumbarnya." "Mengundangnya?" "Aku pasti mengundang Nina," kata Salwa marah. "Dia salah satu pegawaiku. Kami hampir bertemu tiap hari, bagaimana aku bisa tidak mengundangnya?!" Athan mengangguk. "Kamu paling cantik ketika bekerja." "Apa?" Salwa merasa telinganya panas. Athan baru saja mengatakan cantik, benarkah? "Aku mengatakan yang sebenarnya." Salwa tidak sadar dirinya merona. Tapi perasaan aneh ketika Athan memuji, Salwa ingin menyingkirkannya. "Kita akan ke mana?" "Kamu mau kita ke mana?" "Athan bercandamu tidak lucu." "Baiklah. Mau makan apa?" tanyanya sambil melihat sekilas wajah merah Salwa. "Apa saja." "Pasta?" "Nasi goreng, ayam teriyaki," jawab Salwa tanpa berpikir. "Hanya itu?" "Mungkin jus alpukat." Athan menghidupkan mobil, dan memasuki pasar yang sudah pasti macet. "Kenapa lewat sini?" "Di rumahku tidak ada alpukat." "Kalau begitu tidak usah. Kalau wortel?" "Tapi kita sudah parkir lagi," kata Athan mematikan mobil dengan tampang polos. "Jadi bagaimana?" Salwa mendesah. "Aku tunggu di sini. Cepatlah." Salwa melihtnya menjauh. Ia merasa terngiang oleh sentuhan tangan Athan. Dan cara lelaki itu yang tidak mudah terusik. Salwa pikir lelaki jaman now persis seperti Zian, perayu dan pecundang. Tapi Athan berbeda, kemayu yang terlalu cantik. Salwa mulai bosan menunggu di dalam mobil. Ia berniat menyusul meski tidak tahu Athan sudah di mana. Saat akan menyeberang ia hampir saja tertabrak dan sekali lagi Athan menariknya. "Hei, jalan liht-lihat!" seru seorang pengemudi tanpa menghentikan motornya. "Maaf," kata Athan kepada pengemudi itu, yang entah mendengar atau tidak karena suara mesin yang berisik di sekitar mereka. "Kamu tidak apa-apa?" Salwa menggeleng dalam diam. "Kenapa keluar? Ada yang ingin dibeli?" "Kamu lama," kata Salwa pelan. Ia masih terkejut dengan yang terjadi barusan. "Maaf. Di tempat biasa kubeli tidak ada. Kita akan ke rumahku," kata Athan membuka pintu untuk Salwa. Salwa menurut tanpa suara. Biasanya Salwa bukan penurut. Biasanya Salwa tidak mudah gelisah, dan biasanya Salwa tidak berbicara lembut kepada lelaki. Tapi Athan... menyihirnya menjadi bukan Salwa. Salwa kembali ke rumah itu lagi. Ia menonton televisi saat Athan memasak secara khusus untuknya. Ia bukan diusir, tapi aneh rasanya berduaan dengan lelaki pendiam itu. Salwa bisa mencium aromanya, juga mendengar bunyi pisau Athan. Gejolak di dasar perutnya juga mulai mengganggu. Salwa berdiri kemudian, menuju dapur. Athan yang sedang memasak terlihat tidak kemayu. Dia lincah dan fokus. Juga entah mengapa malah melepas kacamatanya. Salwa pernah melihat drama korea berjudul Innonncent man yang diperankan Song Joong Ki. Wajah Athan mirip seperti itu saat menggunakan kacamata. Tapi saat tidak seperti ini, Salwa yakin ia lebih menyukai kalau rambut Athan yang mulai panjang itu dipotong. "Kamu juga terlihat berbeda ketika memasak," kata Salwa pelan. Athan tersenyum sekilas kepadanya, "Mungkin karena aku sedang melakukan sesutu yang paling kusukai." "Kupikir juga begitu." Salwa mendekat dan duduk di depan Athan. "Kamu bahkan membuat dapur seperti ini." Meja panjang di depan Salwa yang seukuran meja makan dengan meja dapur yang sedang Athan gunakan bersebelahan. Rumah sederhana, tapi punya peralatan dapur yang lengkap, Salwa bisa menaksir bagian dapur lebih besar 2 kali ukuran kamarnya. "Yah, kupikir aku akan mengundang seseorang yang kucintai dan menunjukkan kemampuanku kepadanya." Salwa terenyuh sesaat. "Itu akan membuatnya tidak menyukaimu lagi. Kecuali mungkin wanita itu Nina." Athan terlihat menahan tawa, "Dia mengidolakan Oppa Korea, jadi yang sepertiku tentu disukainya. Kamu tidak menyukai mereka, kan? Aku tidak bisa membayangkan kamu menangis." Salwa tertawa. Ia menyembunyikan kenyataan bahwa film itu membuatnya menangis di setiap episodenya. Alasan Salwa berhenti mengidolakan Oppa Korea. "Sudah selesai. Silakan dimakan," ucap Athan sambil menata piring di depan Salwa dari tempatnya memasak. "Kamu tidak makan?" "Aku sudah kenyang." Athan tersenyum, mungkin geli. "Lain kali jangan pergi ke tempat yang kamu tidak suka," katanya terdengar seperti Mama Salwa. "Aku makan," ucap Salwa sebagai tanda berakhirnya pembicaraan mereka. Tapi Salwa ingat harapan yang baru saja dikatakan Athan tentang dapurnya. "Apa kamu sudah menunjukkan dapur ini kepada dia? Seseorang yang kamu cintai?" Athan tersenyum, "Dia tidak ada." Salwa berpikir keras. Seseorang yang tidak ada, mungkin artinya meninggal. "Jadi kamu tidak suka wanita karena dia pergi dan tidak akan kembali lagi," putus Salwa dengan nada belasungkawa. Athan tersenyum lebih lebar. "Dia tidak ada. Seseorang yang kucintai itu. Aku tidak mencintai siapa-siapa." "Oh!" kata Salwa salah menunjukkan simpatinya. Salwa menghabiskan makanannya demi menutupi malu. Salwa yakin Athan memandangnya, tapi ia abaikan saja. Salwa perlu mengisi perutnya sebelum maagnya kambuh dan merasakan sakit yang merepotkan. "Kamu anggun ketika makan," kata Athan dengan nada tersenyum dalam kalimatnya. Salwa melihatnya sesaat, "Aku memang tidak akan buru-buru ketika makan. Ini kebiasaanku, bukan berarti aku sengaja menarik perhatianmu." Athan meletakkan gelas berisi minum di dekat Salwa, "Kamu tidak suka aku memujimu?" Salwa heran, "Kamu mengatakannya seperti omong kosong. Dan memang, aku tidak suka pujian." "Kenapa? Tidakkah kamu mensyukuri anugerah yang dirimu dapatkan." Piring Salwa kosong. Ayam teriyaki, nasi goreng dan jus alpukat yang rasanya benar-benar enak kini berpindah ke perutnya. "Terima kasih untuk makanannya," kata Salwa mengabaikan percakapan mereka tadi. "Aku senang kalau masakanku dihabiskan." Salwa menatap lama Athan sampai lelaki itu menundukkan pandangan dan membereskan dapurnya. Salwa berpikir berapa banyak wanita yang mengejar Athan seharusnya. "Aku akan membereskan dapur lebih dulu, setelah itu aku akan antar kamu pulang. Atau kamu mau langsung tinggal di sini?" Salwa tersedak. Ia baru saja salah menilai seorang lelaki lagi. Siapa yang sanggup bersama Athan yang aneh, pendiam dan tidak terduga. Athan tertawa pelan, "Maaf, hanya bercanda." Salwa tidak yakin sosok Athan pantas dijadikan karakter pecundang seperti Zian. Tapi ia yakin Athan bisa membuat banyak wanita salah tingkah dengan kalimat bercandanya yang tidak berkualitas. "Kamu punya dapur idaman semua wanita," komentar Salwa. "Kecuali kamu," balas Athan yakin. Salwa mengangguk. "Sayang sekali." "Padahal aku mengkhayalkan adegan dapur seperti di film-film." "Kuharap kita tidak akan pernah melakukannya." "Benarkah? Tapi, kita kan akan jadi pasangan menikah. Bagaimana ini?" tanya Athan dengan senyuman yang membuat Salwa susah menganggapnya bercanda. Athan baru saja mengatakan... adegan dapur dan pasangan menikah. Salwa bisa menebak bahwa Athan akan menganggap serius perwujudan dari harapan romantis diantara mereka. Tiba-tiba lelaki itu meninggalkan dapur, melewati Salwa lalu tersenyum menunjukkan kunci mobil. "Aku hanya bercanda. Ayo, kuantar pulang." Salwa tidak bermaksud mengambil hati perkataan Athan, tapi ia memikirkannya terlalu dalam. Ia akan menikah dengan nama Allah. Lalu apakah mereka akan bermain-main saja dalam janji suci itu? +++
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD