1. Teman Sekamar
Jakarta tidak pernah ada di rencana hidup Elisa.
Namun sore itu, koper kecil berdiri di sudut kamar sewaan yang nyaris terlalu murah untuk ukuran ibu kota. Rumah berlantai dua itu sederhana, bersih, dan berada di lingkungan yang tenang, sesuatu yang terasa hampir mustahil bagi seseorang sepertinya yang baru saja lulus tes kerja di Surabaya, lalu tiba-tiba ditempatkan di kantor pusat Jakarta.
Semuanya terjadi terlalu cepat.
Pengumuman kelulusan, penempatan kerja, tawaran rumah sewa dengan harga yang masuk akal, bahkan proses administrasi yang hampir tanpa hambatan. Elisa sempat bertanya-tanya, bagaimana semua bisa berlangsung begitu mudah. Padahal selama satu setengah tahun ini dia kesulitan mencari pekerjaan yang layak di kota tempat tinggalnya. Hingga harus menumpang tinggal di rumah kakaknya untuk menyambung hidup.
"Anggap saja itu rejeki untukmu, El, terima saja," ujar Maya, kakaknya ketika dia menelepon tadi memberi tahu jika dia sudah sampai di rumah yang disewanya.
Hingga akhirnya dia berpikir, mungkin ini akhirnya giliran hidup bersikap baik padanya setelah banyaknya musibah yang menimpa dirinya dan keluarganya beberapa tahun terakhir.
Dia berdiri di tengah kamar setelah merapikan pakaian ke lemari yang sudah tersedia. Mengembuskan napas pelan, tatapannya mengedar ke sekeliling ruangan kamar yang cukup luas dan sangat nyaman. Ada jendela kamar dan sofa kecil di sampingnya, dia berjalan ke arah jendela dan memandang keluar pada langit sore yang tampak cerah.
Besok adalah hari pertamanya bekerja.
Malam datang perlahan. Setelah membereskan barang-barang seadanya, Elisa memutuskan turun ke dapur. Perutnya mulai lapar, dan memasak adalah satu-satunya hal yang bisa menenangkannya sejak dulu.
Dapur itu cukup luas untuk rumah sewa bersama. Lampunya menyala temaram, bersih, seolah jarang dipakai. Elisa membuka kulkas, dan langsung terkejut begitu melihat rak-rak di dalam lemari pendingin itu sudah terisi banyak bahan makanan mentah dan buah-buahan segar.
Dia menengok ke belakang, mencari orang yang juga tinggal di rumah ini, tapi tidak menemukan siapa pun.
"Aku akan menulis catatan nanti, jika dia mencari makanannya," monolognya, dan akan segera menggantinya begitu dia mendapatkan gaji pertamanya.
Elisa mengeluarkan beberapa bahan, lalu mulai menyiapkan makan malam sederhana.
Suara langkah kaki terdengar dari belakang.
Elisa refleks menoleh.
Seorang pria berdiri di ambang dapur. Dia hampir saja menahan napasnya.
Tubuhnya tinggi, bahunya bidang, mengenakan kaus polos dan celana rumahan. Wajahnya dewasa, tenang, dengan sorot mata yang sulit ditebak, bukan tipe pria yang banyak bicara, tapi juga tidak terasa mengintimidasi.
"Oh, ya ampun, maaf!" Elisa tersentak kecil. "Aku kira dapurnya kosong. Dan, ini ...."
Pria itu menggeleng pelan.
"Tidak apa-apa. Saya juga baru sampai."
Suaranya rendah dan datar, tapi tidak dingin.
Mereka sama-sama terdiam beberapa detik, canggung seperti dua orang asing yang tak sengaja berbagi ruang.
"Aku Elisa," katanya akhirnya, menyeka tangannya di celemek lalu mengulurkannya. "Baru pindah hari ini."
Pria itu melangkah masuk sedikit, menjaga jarak sopan. Tangan panjangnya terulur menyambut tangan Elisa yang menggantung di udara.
"Wira," jawabnya singkat. "Saya di kamar sebelah."
Elisa mengangguk. Jadi benar, rumah ini memang disewakan bersama. Entah kenapa, dia merasa sedikit lega.
"Kamu kerja di Jakarta juga?" tanyanya, berusaha terdengar santai.
"Iya," jawab Wira. "Kantoran."
Tidak ada detail tambahan. Dan anehnya, Elisa tidak merasa perlu menggali lebih jauh. Karena dia pikir itu saja sudah cukup mengingat ini adalah kali pertama mereka bertemu dan berkenalan. Dia hanya tidak mau dianggap ingin tau.
"Oh ... aku mulai kerja besok," katanya sambil tersenyum kecil. "Masih mencoba adaptasi. Ini pertama kalinya aku menginjak kaki di Jakarta."
"Semoga lancar," ujar Wira singkat.
"Makasih."
Elisa kembali ke kompor, mencoba fokus pada masakannya. Namun kehadiran pria itu terasa biasa saja. Tidak mengganggu, tidak mencolok, hanya ada. Seperti seseorang yang terbiasa mengamati tanpa banyak bertanya. Padahal dia hampir tidak pernah berada di satu ruang yang sama dengan seorang pria. Bagaimana jika Maya tau kalau dia serumah dengan seorang pria? Pasti Maya akan mengamuk dan memintanya untuk berhati-hati, bisa saja yang lebih buruk dia diminta untuk mencari tempat kos lain.
Beberapa saat kemudian, Wira mengambil air minum, lalu berhenti sejenak.
"Kalau butuh apa-apa soal rumah ini, bilang saja," katanya. "Saya sudah cukup lama di sini."
Elisa menoleh, terkejut kecil. Kepalanya mengangguk cepat. "Oh, iya. Mengenai bahan makanan ini ...."
"Enggak apa-apa, pakai saja."
"Sungguh?"
Wira mengangguk, lalu pergi meninggalkan dapur.
Elisa berdiri sendiri lagi, suara kompor kembali menjadi satu-satunya bunyi.
Entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak tiba di Jakarta, dia tidak merasa sendirian.
Dia tidak tahu bahwa segala kemudahan yang dia rasakan, dimulai dari pekerjaan, rumah, bahkan ketenangan itu,
bukanlah kebetulan. Namun ada sosok yang mengatur itu semua.
Dan, pria bernama Wira itu,
bukan sekadar teman satu rumah.
***
Pagi Jakarta terasa asing dan terlalu cepat bagi Elisa.
Sekitar pukul delapan pagi, Elisa berdiri di depan gedung kantor pusat, tinggi, modern, dengan kaca-kaca yang memantulkan langit pucat. Dadanya mengencang sesaat. Dia merapikan tali tas, menarik napas, lalu melangkah masuk. Sedikit memberi semangat pada dirinya sendiri.
Lobi luas itu sunyi dan rapi. Proses administrasi berjalan mulus, hampir terlalu mulus. Namanya sudah tercatat. Kartu akses menunggu. Seorang staf HR mengantarnya ke lantai divisi tempat dia ditempatkan.
"Divisi ini tidak langsung berhubungan dengan direksi," ujar staf itu sambil tersenyum profesional. "Tapi kadang atasan lewat mendadak."
Elisa mengangguk, tidak terlalu memikirkan kalimat itu, hingga akhirnya mereka tiba di meja kerjanya.
Mejanya sederhana. Komputer menyala tanpa perlu diminta. Rekan-rekannya ramah, tidak berlebihan. Pekerjaannya jelas, cukup menantang, tapi bukan mustahil. Semua terasa tertata.
Menjelang siang, suasana mendadak berubah.
Bukan gaduh, justru lebih senyap.
Beberapa orang berdiri lebih tegak. Obrolan pelan terhenti. Seorang pria melintas di koridor, langkahnya tenang, rapi, seperti tak terburu waktu. Ada beberapa orang yang mengikutinya, berdiri di kiri kanan tubuhnya.
Elisa mendongak tanpa sadar.
Pria itu mengenakan setelan gelap sederhana. Wajahnya tegas, matang, dengan sorot mata yang dingin namun fokus. Dia tidak menoleh ke meja-meja, tapi kehadirannya seperti menekan udara di sekeliling ruangan itu.
"Direksi," bisik seseorang di belakangnya.
Elisa refleks menunduk, kembali ke layar. Namun entah kenapa, dia merasa sedang diamati. Bukan dengan tatapan, melainkan dengan perhatian yang tidak kasatmata.
Langkah itu berhenti beberapa meter darinya.
Pria tersebut berbicara singkat pada kepala divisi. Nada suaranya rendah, datar, tanpa emosi berlebih. Elisa hanya menangkap potongan kalimat tentang target, efisiensi, dan tenggat.
Tak ada pengenalan.
Lalu langkah itu menjauh.
Baru setelahnya, udara terasa kembali normal.
"Seram tapi rapi," celetuk rekan di sampingnya pelan. "Kalau dia lewat, rasanya semua kesalahan kelihatan."
Elisa tersenyum kecil, meski jantungnya masih berdetak lebih cepat dari biasanya. "Dia siapa?" tanyanya ingin tau.
"Pak William. Beliau digilai banyak pegawai wanita di kantor ini. Tapi sayang ... dia dingin dan galak banget."
"Oh."
Aneh. Dia bahkan tidak diajak bicara oleh pria itu. Tidak ditegur. Tidak disapa. Tapi seolah ada perasaan seperti, dia baru saja dilewati oleh pusat gravitasi.
Sore hari, Elisa pulang dengan kepala penuh. Hari pertamanya berjalan lancar. Terlalu lancar. Bahkan dia masih tidak mempercayainya jika dia hampir sama sekali tidak mengalami kesulitan. Padahal ini adalah kali pertama dia menginjak kakinya di Jakarta yang dinilai kota yang cukup keras dengan tingkat kejahatan paling tinggi.
Malamnya, dia kembali ke dapur rumah sewa. Masakan sederhana menghangat di kompor. Saat dia tengah mengaduk, langkah kaki terdengar di belakangnya.
Wira muncul di ambang pintu.
"Kamu pulang agak malam," katanya, netral.
"Iya. Hari pertama," jawab Elisa. "Capek, tapi ... menyenangkan."
Wira mengangguk, mengambil gelas. "Kantor pusat memang begitu."
Elisa menoleh. "Kamu tau kantor aku?"
"Saya pernah ke sana," jawabnya singkat. Tidak menjelaskan lebih jauh.
Hening sejenak. Elisa mematikan kompor.
"Ada atasan yang lewat hari ini," katanya tanpa sadar. "Auranya ... beda."
Wira berhenti minum sepersekian detik, nyaris tak terlihat.
"Kamu lihat?"
"Sekilas aja sih, gak jelas juga," jawab Elisa. "Kayaknya orang penting."
Wira meletakkan gelasnya. "Bisa jadi."
Elisa mengangguk, menerima jawaban itu begitu saja.
Malamnya sebelum tidur dia menyempatkan diri untuk menelepon Maya.
"Kantornya bagus, May. Rumahnya juga nyaman. Eh, iya, aku belum cerita ya, kalau aku serumah sama cowok?"
"Hei, berdua aja? Gak ada yang lain?" tanya Maya.
"Setau aku ya, kami berdua aja. Soalnya dari kemarin aku gak lihat yang lainnya, May."
"Hati-hati, El. Aku takut kamu diapa-apain sama dia."
"Tapi dia ganteng, May."
"El!"
Elisa tertawa kecil, mendengar Maya menghardiknya. Tanpa dia sadari seorang mendengar percakapannya di depan pintu kamarnya yang tertutup.