BAB 22 | Secangkir Kopi Bersamamu

1530 Words
GALA mengucek matanya pelan ketika samar-samar sinar mentari pagi masuk ke celah-celah jendela. Laki-laki itu menatap ke kiri dan kanan, merasa asing dengan semua yang dilihatnya pagi ini. Namun setelah melihat seorang laki-laki tertidur di sofa yang berada tepat di depannya, Gala baru tahu di mana dirinya sekarang. Terdengar suara orang yang sedang bernyanyi dari arah belakang, dibarengi dengan aroma wangi masakan yang membuat perutnya berbunyi. Gala tersenyum tipis, sedikit lupa dengan rasa sedihnya sepagi ini karena berada di rumah yang asing namun orang-orangnya tidak asing sama sekali. Laki-laki itu melipat selimut yang membungkus tubuhnya semalam, lalu meletakkannya di atas meja. Setelah itu, Gala berjalan dengan pelan agar tidak mengganggu Arkana yang masih tertidur pulas dengan posisi duduk. Di dapur terlihat Isabela sedang berkutat dengan peralatan masak. Menggunakan apron dengan motif bunga-bunga sambil bernyanyi riang sambil icip-icip makanan yang masih berada di atas wajan. Gala jarang sekali berada di dapur, rumahnya. Tidak ada yang dia harapkan ada di dapur rumahnya. Ibunya pun sudah meninggal dan jika hidup pun tidak akan pernah berada di dapur seperti Ibu-ibu pada umumnya. Walaupun hanya sekedar membuatkan roti dengan selai kacang. Rasa kagumnya pada Isabela pun seperti bertambah. Perempuan itu sangat mengurusi Arkana. Sosok adik yang baik dan juga sangat periang. Walaupun menurut Gala, Isabela secara tidak langsung mengatakan bahwa merasa terkekang karena tak bisa pergi kemanapun. Arkana sangat memperhatikan setiap gerak-gerik Isabela. Namun, Gala maklum jika Arkana khawatir kepada Isabela. Perempuan itu terlalu baik dan sangat sempurna. Jangan sampai ada yang menyakitinya. "Eh, sudah bangun?" Tanya Isabela yang cukup kaget dengan kehadiran Gala di depan dapur. Gala tersenyum tipis, "sebenarnya aku ingin pergi ke kamar kecil, tapi aku tidak tahu di mana. Saat aku mencarinya, ternyata aku mendengar suara semerdu itu dari dapur. Wah, ternyata Isabela yang sedang asik memasak." Isabela tertawa pelan lalu menunjuk ke arah kursi yang berada di dapur, meminta Gala untuk duduk di sana. Gala pun mengikuti instruksi Isabela dan duduk di kursi dapur, sibuk memperhatikan Isabela yang sedang memasak. "Aku tidak tahu kamu pintar sekali memasak," puji Gala kepada Isabela. Isabela mengerutkan keningnya heran, "bahkan Kak Gala belum pernah merasakan masakanku. Tetapi sudah memujiku berulang kali." "Benar juga," ucap Gala dengan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. "Tetapi dari cara memasakmu, sepertinya kamu sudah sangat ahli." Sambungnya dengan menatap Isabela dari belakang. Isabela membalikkan tubuhnya dan tersenyum, "sejak kecil, aku sangat suka memasak. Ibuku mengajarkan aku memasak dengan sangat baik." "Pasti Arkana senang karena selalu mendapatkan makanan enak setiap hari." Ucap Gala disertai dengan tawa. Isabela menggeleng, "mana bisa begitu? Kakak saja pulang larut ke rumah. Bagaimana dia bisa makan? Lagipula, Kakak pulang larut sekali dan sudah makan di luar. Terkadang aku hanya memasakkan makanan untuk sarapan. Selebihnya tidak!" Gala mengangguk pelan, dia tahu bahwa Arkana mempunyai banyak sekali pekerjaan paruh waktu. Jadi tidak heran jika temannya itu jarang berada di rumah. Arkana juga selalu mengatakan tentang kebahagiaan Isabela setiap kali Gala bertanya tentang planning Arkana ke depan setelah mendapatkan banyak uang. Katanya, Arkana dan Isabela dulu hidup susah—itu yang Gala tahu. "Kopi?" Tanya Isabela sambil mengangkat sebuah cangkir ke udara. Menawari kopi kepada Gala. Gala tersenyum tipis, "boleh." Isabela membuatkan kopi untuk Gala setelah memasukkan ikan yang sudah dibumbuinya ke dalam wajan. Yang Gala lihat adalah, tidak ada satu pun kompor yang tidak dimanfaatkan oleh Isabela. Salah satu kompor yang dia gunakan untuk mendidihkan air untuk kopinya. "Kenapa harus memasak air? Kau punya termos," tanya Gala penasaran. Isabela mengangguk pelan, "aku selalu membuat kopi dengan air baru mendidih. Menurutku rasanya akan lebih enak dan kopinya tidak akan mengapung di atas. Walaupun aku bukan barista, tetapi aku penikmat kopi." Gala bertepuk tangan seperti anak kecil, "kamu tahu caranya membuat kata-kata yang bagus sepagi ini. Aku merasa sangat senang karena ketika bangun tidur, disambut dengan suara nyanyian yang sangat merdu dan juga aroma kopi yang begitu nikmat." "Kak Gala bisa datang ke rumah kapan pun. Aku dan Kak Arkana tidak akan keberatan." Ucap Isabela yang menuangkan air panas dari teko ke dalam cangkir berisi campuran kopi dan gula racikan Isabela. Setelah mengaduknya, Isabela meletakkan cangkir berisi kopi itu di depan Gala. "Terimakasih," ucapnya dengan senang hati. "Kamu dan Arkana baik sekali padaku." Sambungnya. Isabela tersenyum tipis dan kembali ke depan kompor untuk membalik ikannya sebelum gosong. Baru lah setelah itu Isabela duduk di depan Gala dengan membawa sayuran yang sudah dicucinya. Isabela memotong sayuran itu sambil menatap Gala yang tampak menikmati kopi buatannya. "Apa yang terjadi semalam?" Tanya Isabela dengan wajah mengejeknya. Gala mengerutkan keningnya bingung, "memang apa yang terjadi semalam? Aku tidak ingat apapun setelah meminum satu gelas saja. Ternyata aku selemah itu." "Tidak ingat apapun?" Ulang Isabela dengan wajah menyelidik. "Memang apa yang terjadi? Yang aku ingat hanyalah aku minum segelas alkohol. Lalu setelah itu aku pamit kepada Arkana untuk turun ke lantai dansa. Aku berjoget sesuka hati dan aku tidak ingat apa-apa. Paginya aku bangun karena suara nyanyianmu, mencium aroma masakanmu yang enak. Lalu aku duduk di sini dan kamu membuatkan kopi untukku. Kita membahas tentang apa yang terjadi semalam dan aku tidak ingat." Jawab Gala yang mengundang tawa Isabela. Isabela menggelengkan kepalanya pelan dan kembali memotong sayuran. "Apa yang terjadi? Katakanlah kepadaku? Apa Arkana bicara sesuatu?" Tanya Gala penasaran. Isabela menggeleng karena memang Arkana tidak bicara apapun. Tetapi setelah melihat wajah Gala dari dekat seperti ini, siapapun pasti bisa tahu apa yang terjadi semalam. Mungkin menerka-nerka seperti yang sedang dilakukannya. "Mungkin Kakak perlu melihat ke cermin." Ucap Isabela yang menarik Gala ke sebuah cermin kecil yang berada di ruang keluarga. Betapa kagetnya Gala saat ada bercak kemerahan di lehernya. Pantas saja Isabela bertanya demikian, ternyata ada yang aneh darinya. "Ah, ini tidak sepeti yang kamu pikirkan. Semalam aku bertemu dengan seorang perempuan yang mendekatiku." Ucap Gala dengan panik karena merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang fatal, mungkin. Isabela berjalan ke dapur kembali, meninggalkan Gala yang sibuk melakukan pembelaan diri. "Mengapa Kak Gala menjelaskan semua itu kepadaku? Bahkan tadi Kakak bilang tidak ingat apapun di sana? Mengapa tiba-tiba teringat? Karena ada tanda kepemilikan itu?" Ucap Isabela sambil tertawa pelan. Gala menggeleng dengan cepat dan mengikuti langkah Isabela, "semua ini tidak berarti apapun. Ya, aku ingat karena melihat tanda ini. Jika tidak ada tanda seperti ini, mungkin aku tidak akan ingat. Kamu jangan berpikir yang aneh-aneh tentangku." "Kenapa begitu? Tentu saja aku akan berpikiran negatif karena aku bisa melihatnya dengan jelas. Bahkan dari kejauhan pun, tanda itu tampak sangat terlihat. Apa perempuan itu sangat menggoda?" Goda Isabela yang membuat Gala semakin salah tingkah. "Padahal kata Kakak, Kakak bukan orang seperti itu?" Sambungnya dengan menahan tawa. Gala menghela napas panjang, "iya, aku memang bukan orang seperti itu. Tapi 'kan, aku tidak ingat apapun. Memangnya salahku kalau dia menciumku. Bahkan aku tidak bisa mengingat wajahnya." "Apa yang sepagi ini kalian ributkan?" Tanya Arkana yang baru saja bangun tidur dan bergegas ke dapur karena mendengar suara ribut kedua orang di rumahnya, Isabela dan Gala. Gala menjadi salah tingkah karena ketahuan Arkana berada di dapur. Laki-laki itu kembali ke kursinya dan menyeruput kopinya tanpa menatap ke arah Arkana. Sedangkan Isabela kembali memasak seperti biasanya. Suasana di dapur tiba-tiba mendadak hening karena Arkana masuk ke dapur. Tidak ada pertengkaran antara keduanya lagi. "Kalian mencurigakan," ucap Arkana yang menarik kursi di depan Gala lalu mendudukinya. "Kakak juga mau secangkir kopi seperti tamu kita ini." Tandas Arkana dengan menekankan pada kata tamu. "Oke," ucap Isabela seadanya dan memilih untuk membuat kopi untuk Arkana tanpa banyak bicara. Sedangkan Gala hanya bisa diam, tidak berani membuka mulutnya sama sekali. Laki-laki itu hanya senyam-senyum ke arah Arkana. "Apa kalian sudah gila?" Sindir Arkana karena melihat tingkah keduanya yang tiba-tiba tidak saling bicara. Tidak lama kemudian pun Isabela mengantarkan kopi itu ke hadapan Arkana dan kembali dengan sop-nya. Mengabaikan kedua laki-laki itu minum dengan keheningan. "Oh iya," ucap Gala yang tiba-tiba, mengejutkan Arkana. "Kau bisa bicara dengan bahasa yang baik. Tidak perlu mengagetkanku seperti itu." Ketus Arkana yang hampir tersiram kopinya sendiri. Gala hanya nyengir dan kembali serius, "semalam, apa yang terjadi padaku? Kenapa ada tanda-tanda seperti ini?" Arkana yang ditanya begitu hanya menghela napas panjang, "mana aku tahu. Kamu yang melakukannya, 'kan? Kenapa bertanya kepadaku?" "Kamu pasti tahu yang terjadi, 'kan? Apakah aku melakukan~" tanya Gala sambil memberikan isyarat tangan. Arkana langsung melayangkan tangannya ke isyarat tangan yang dibuat Gala, "kamu benar-benar! Jangan membuat isyarat tanda seperti itu di rumah ini." "Iya-iya, makanya ceritakan apa yang terjadi. Aku tidak sampai melakukan hal fatal 'kan, semalam? Jangan sampai ada perempuan yang datang padaku karena meminta pertanggungjawaban." Ucapnya dengan wajah bingung. Arkana menggeleng, "seharusnya tidak ada yang perlu kamu takutkan. Toh, aku hanya melihat perempuan itu hampir membuka bajunya di depan umum. Padahal di sana ada CCTV baru yang dipasang. Jika sampai itu terjadi, mungkin penjaga bagian CCTV akan sedikit terhibur." "Diam kamu!" Tandas Gala dengan kesal karena ucapan Arkana. "Untunglah aku masih utuh!" Sambungnya dengan perasaan lega. "Makanan siap!" Ucap Isabela yang mengalihkan pembicaraan keduanya. Dia sudah tidak ingin mendengar perdebatan tentang adegan, CCTV, perempuan cantik, dan konotasi negatif lainnya di rumahnya. Meraka semua makan bersama, seperti keluarga. Saling bicara dan bercanda. Kadangkala Arkana dan Gala akan adu pendapat atau saling ejek. Untuk pertama kalinya, meja makan ini ramai. Tidak sendu dan sedih seperti biasanya. ~~~~~~~~~~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD