BAB 71 | Penemuan Mayat Perempuan

2012 Words
GARIS polisi terpasang sempurna, orang-orang yang berada di daerah itu pun diminta untuk mundur agar tidak mengganggu proses identifikasi. Seorang laki-laki dengan rambutnya yang berantakan menyandarkan punggungnya di tembok. Kakinya rasanya lemas dan wajahnya terlihat sangat pucat. Kantung matanya pun menggantung, seperti pertanda jika mungkin saja dirinya tidak tidur selama beberapa hari. Sebenarnya niatnya datang hanya untuk sekedar memastikan bahwa semuanya tidak terjadi. Namun sepertinya dia telah membunuh orang yang sangat dia cintai. Beberapa orang yang mengenalinya pun berusaha untuk mencarikan tempat duduk, menanyakan apakah dirinya baik-baik saja. Laki-laki itu hanya menatap kosong ke depan, tidak tertarik dengan semua orang yang memperhatikannya. Sebagin lagi merasa sangat kasihan karena tahu bahwa perempuan yang ditemukan meninggal di dalam unit apartement- nya adalah pacar dari laki-laki itu. Perempuan itu meninggal dengan mengenaskan dengan punggung terluka parah. Kemungkinan besar, perempuan itu diperkosa sebelum dibunuh. Polisi juga sedang melihat kamera CCTV yang ada di terpasang. Hanya ada ketika perempuan itu keluar dan tidak ada satupun kamera CCTV yang menangkap perempuan itu kembali. Bahkan tubuh perempuan itu sudah sangat rusak sehingga akan sangat sulit untuk diidentifikasi. Laki-laki dengan tatapan kosong itu tidak bisa bicara apapun, apalagi ketika dua polisi mendatanginya, membawakan minuman dingin. Laki-laki itu tidak merespon sama sekali. Disisi lain Kana dan Arkana keluar dari unit apartement Kana. Keduanya langsung bertemu dengan dua polisi yang membawa jasad perempuan itu keluar dari unit apartement- nya yang sangat kotor. Beberapa orang yang berada di sana menutup hidup mereka karena memang sangat bau. Kana sendiri hanya menghadap ke arah Arkana dan memeluk laki-laki itu karena tidak tega. Sedangkan tatapan Arkana jatuh kepada sosok laki-laki yang sempat menabrak pundaknya ketika keluar dari lift tadi. Arkana merasa bahwa dirinya pernah bertemu dengan laki-laki itu. Tetapi dia tidak ingat di mana! Bukan hari ini saja, dia pernah melihat laki-laki itu. Bukan juga di televisi yang baru dikatakan beberapa orang tentang laki-laki anak konglomerat kaya itu. Namun sebuah ingatan mampir ke dalam otaknya. Ingatan yang datang secara tidak tepat. Entah mengapa mereka saling memandang, seperti mengisyaratkan sesuatu. Jantungnya berdetak sangat kencang, bahkan debarannya bisa terdengar dan dirasakan oleh Kana. Terbukti ketika perempuan itu melepaskan pelukannya dan menatap Arkana yang tampak shock. Laki-laki itu memang tidak mengenalnya atau merasa aneh dengan tatapannya, namun Arkana tahu siapa laki-laki itu. Laki-laki yang begitu familiar karena beberapa hari ini seringkali ditemuinya. Ketika laki-laki itu hanya menatapnya sesekali, Arkana bahkan tidak bisa mengalihkan pandangan matanya sama sekali. "Ada apa?" Bisik Kana karena melihat ekspresi wajah Arkana yang berubah tegang. Kana pikir itu semua karena Arkana kaget dengan kejadian yang terjadi di depan mata. Meskipun perempuan itu sudah tahu bahwa pembunuhan sama sekali bukanlah hal baru untuk seorang seperti Arkana yang mempunyai pekerjaan semacam itu. Namun Kana tidak mungkin salah menganalisis perubahan wajah Arkana yang tidak seperti biasanya. Arkana menggenggam tangan Kana dan menarik perempuan itu untuk kembali masuk ke dalam apartement perempuan itu. Arkana diam, tidak mengatakan apapun kecuali hanya memegang dadanya yang masih berdebar sangat kencang. Keringat dingin mengucur membasahi kening dan ketakutannya seperti memuncak. Bukan karena dirinya seringkali membunuh orang lain, bukan berati dia tidak takut dengan kejadian di depan matanya. Setelah sampai di dalam, Arkana baru melepaskan genggaman tangannya dari Kana. Arkana masih berusaha untuk menetralisir rasa takutnya—setidaknya agar Kana tidak khawatir dan bertanya kepadanya. Perempuan itu pun tidak membuka suaranya dan memilih mengelus pundak Arkana. Meskipun tidak tahu apa yang tengah terjadi kepada Arkana. Namun dia cukup memahami bahwa laki-laki itu sedang tidak baik-baik saja. "Mau aku ambilkan minuman yang hangat?" Tanya Kana kemudian dan mendapatkan anggukan kepala dari Arkana. Laki-laki itu tidak tahu harus bereaksi seperti apa selain langsung mengiyakan tawaran Kana.  Bahkan wajah laki-laki itu masih terngiang di kepalanya dengan sangat jelas. Membuatnya merasa sangat tak tenang. Padahal semuanya sudah berlalu. Namun seperti perasaan bersalah selalu mengikutinya kemanapun dia pergi. Tangan Arkana masih terasa sangat dingin dan tatapannya masih saja terfokus kepada pintu apartement Kana. Arkana merasa bahwa orang tersebut mungkin mengenalinya. Dia menatapnya dengan tatapan seperti tahu segalanya. Namun entah itu benar-benar seperti apa yang dirinya pikirkan atau hanya sekedar asumsi Arkana saja karena dirinya ketakutan. "Minum," ucap Kana yang datang kembali dengan menyodorkan teh panas yang baru saja dibuatnya. "Itu teh panas, hati-hati meminumnya kalau tidak mau lidahmu terbakar." Sambung Kana memperingatkan. Arkana mengangguk pelan, "hm, ... terimakasih." Arkana meminumnya pelan-pelan dengan perasaan yang masih sangat campur aduk. Matanya seperti sedang mengisyaratkan sesuatu yang tidak Kana mengerti. Arkana seringkali datang kepadanya dengan tatapan kosong. Sehingga Kana tidak pernah bisa membedakan Arkana yang tidak baik-baik saja karena sesuatu. Arkana jarang mengatakan tentang seperti apa perasaannya. Dia hanya memberi tahu Kana tentang hidupnya yang kosong tanpa menjelaskan alur awalnya. "Ada apa? Kamu bisa berbagi dan bercerita denganku. Mungkin jika terasa berat dan membebani, kenapa untuk tidak berusaha membaginya denganku juga. Aku siap mendengar semua keluh kesahmu. Jadi tolong ceritakan apa masalahmu sehingga aku tahu harus berbuat apa." Lirih Kana yang hanya ditanggapi Arkana dengan elusan di punggungnya saja. "Aku sudah pernah mengatakan padamu bahwa aku tidak akan bisa menceritakan segalanya. Aku tidak pernah bisa berkomitmen dengan siapapun. Aku hanya akan menjadi seseorang yang palsu, di depanmu sekalipun." Tandas Arkana yang mengatakan kembali tentang apa yang pernah dikatakannya dulu. Kana menyerah, dia tahu bahwa Arkana akan mengatakan hal yang sama setiap kali Kana bertanya; apa yang bisa dirinya bantu? Kana hanya dijadikan tempat pulang, tetapi tidak untuk menetap selamanya. Arkana memang mengatakan tentang hidup normal yang selalu diimpikannya. Namun, belum tentu mimpi Arkana adalah bersamanya, bukan? Sedang Kana sendiri tahu bahwa dirinya sendiri juga tidak pernah bersikap normal. Karena memang sejak awal, dia hanyalah buatan. Kana yang palsu, Kana yang penuh dengan kebohongan, dan Kana yang memilih melewati kehidupan buruk sebagai pilihan hidupnya. Kehidupan yang sebenarnya sama saja dan cukup kontras dengan kehidupan seorang Arkana. Laki-laki itu mempunyai latarnya yang membebani. Mereka adalah satu spesies yang tidak saling mengerti satu sama lain. Kana yang datang kepada Arkana karena misi. Dan Arkana yang datang kepada Kana juga hanya sekedar mampir jika dia bosan dengan kehidupannya. "Aku akan memakan pasta buatanmu dan pulang." Ucap Arkana yang saat itu langsung mengambil piring yang berisi pasta buatan Kana. Meskipun penampilannya tidak menggugah selera, namun dari segi rasa, tidak terlalu mengecewakan. Terlebih itu hanya pasta instan yang siapapun bisa membuatnya. Tetapi tetap saja, Arkana hanya berusaha menghargai apapun yang berusaha Kana usahakan untuk dihidangkan kepadanya. Setelah selesai makan, Arkana pun mencuci piring dan gelasnya di wastafel dan meletakkan alat makannya yang sudah bersih pada rak piring. "Aku akan pulang sekarang." Tandas Arkana dan berdiri di depan Kana yang meluruskan kakinya di sofa sambil memakan snack di dalam toples. Kana menghela napas panjang dan hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Arkana langsung mencium kening Kana cukup lama dan tersenyum tipis ke arahnya. Lalu setelah itu, Arkana benar-benar pergi meninggalkan apartment- nya tanpa kata sama sekali. Kana berlari ke arah pintu dan membuka pintunya. Dia terlambat untuk mengejar Arkana yang baru saja masuk ke dalam lift. Pintu lift pun sudah tertutup. Dia tidak sempat bicara lagi. Dia tidak bisa mengatakan bahwa dirinya ingin Arkana berada di sini, menemaninya malam ini. Cliring! Terdengar pintu apartement- nya terbuka. Kana menoleh dengan ekspresi wajah senangnya. Namun senyuman itu luntur begitu saja saat melihat seseorang masuk dengan membawa dua kantung plastik besar berlogo supermarket besar yang ada disekitar sana. "Bagaimana sambutannya kepada temanmu yang datang?" Tanya orang itu sambil mengangkat tinggi-tinggi belanjaannya ke udara, berusaha menarik perhatian perempuan itu. Kana menghela napas panjang dan menyahut gelas berisi air es yang belum sempat Arkana minum dan meminumnya kembali. Perempuan itu berharap bahwa orang yang datang adalah Arkana, bukan temannya sendiri. "Wah, ... sepertinya kamu tidak senang sama sekali ketika teman baikmu datang dengan membawa barang belanjaan yang banyak. Tak ada rasa bersyukurnya sama sekali. Coba lihat isi kulkasmu yang kosong ini! Penuh dengan pasta instan dan semua makanan tidak sehat seperti ini. Kamu bisa terkena usus buntu jika begini. Kamu ingat dengan apa yang pernah dokter katakan. Kamu harus mengurangi semua makanan cepat saja seperti ini. Ah, kamu juga diam-diam mengonsumsi alkohol. Dasar bocah nakal!" Omel orang itu tanpa henti. Kana melipat kedua lengannya di d**a, "bagaimana kamu masuk ke apartement- ku? Bahkan kamu tidak mempunyai kartu aksesnya! Kenapa selalu masuk tanpa ijin seperti ini? Kita sudah dewasa. Kita tidak bisa seperti ini terus. Aku memintamu untuk membatasi diri kita karena sudah dewasa. Mengertilah dan cobalah untuk menghargainya. Kenapa kamu selalu memaksa? Jaraknya! Aku bilang jaraknya! Aku bukan Kana yang dulu. Kita tidak akan sama seperti dulu lagi." Teriakan itu membuat laki-laki itu terdiam di tempatnya, mengurungkan niatnya untuk memasukkan beberapa kaleng minuman soda ke dalam lemari pendingin itu. "Kenapa emosimu buruk sekali? Jika sedang kesal dengan seseorang jangan melibatkan hubungan kita juga. Aku hanya berusaha memperlihatkan kepedulianku kepada temanku. Memangnya aku salah?" Tandas laki-laki itu dengan masih santai, meskipun perasaan sudah tidak enak. Kana mengepalkan tangannya dan berusaha menatap temannya itu dalam-dalam, "aku tidak mau terus bersamamu. Kamu tidak bisa terus memaksaku untuk bersamamu dan membuatku tidak nyaman setiap kali kamu datang untuk memastikan apa aku baik-baik saja! Itu menyebalkan. Memangnya aku anak kecil yang terus menempel padamu? Aku tidak suka ketika kamu masuk ke apartement- ku tanpa ijin setiap harinya. Aku benci sikapmu yang membuat jarak antara kita menjadi bias. Sadarlah dan pergilah sekarang!" Laki-laki itu terpaku, namun masih bisa tersenyum meskipun sangatlah berat. "Maaf karena aku tidak mengerti. Lain kali aku akan mengetuk pintu atau menekan bel apartement- mu. Maaf karena membuatnya merasa tidak nyaman. Tapi aku hanya tidak ingin melihatmu terluka. Aku hanya berusaha—" ucapan laki-laki itu terputus begitu saja. "Aku akan datang kembali setelah semuanya membaik. Kamu bisa meneleponku kapanpun kamu mau. Kita sahabat, 'kan? Sahabat selalu ada untuk sahabatnya ketika dibutuhkan." Sambungnya yang akhirnya memilih keluar sebelum selesai dengan seluruh barang-barang belanjaannya. Setelah temannya itu benar-benar pergi, Kana menunduk dan mulai menangis. Dia benar-benar bukan Kana yang dulu. Kana yang Arond kenal sudah tidak ada lagi. Yang ada sekarang adalah Kana yang sudah terlanjur masuk ke dalam kubangan penuh dengan kejahatan yang dia inginkan. Dia tidak tahu kapan dan di mana dirinya masuk. Namun semuanya berjalan begitu saja. Kana tidak bisa keluar karena inilah dunianya. Dunia yang begitu berharga untuknya. Dan sekali lagi, terdengar suara pintu apartement- nya yang terbuka. Kana menghapus air matanya tanpa mau menoleh ke belakang sama sekali. Hatinya ternyata masih begitu pedih dan tidak ingin orang lain melihat dirinya menangis. "PERGI! KENAPA MASIH DI SINI. AKU SUDAH BILANG UNTUK TAK MASUK TANPA MENEKAN BEL TERLEBIH DAHULU! KENAPA KAMU TIDAK MENDENGARKAN AKU!" Bentak perempuan itu dengan emosi yang memuncak di atas kepalanya. Seseorang itu mendekat, berusaha untuk membalikkan tubuh Kana. Dan kedua mata Kana membulat seketika ketika dilihat sosok Arkana yang ada di depannya. "Aku datang mau ambil dompet yang ketinggalan. Maaf karena aku enggak tekan belnya. Lain kali aku akan—" ucapan Arkana terputus begitu saja ketika Kana merangkulnya dengan isakan yang membuatnya merasa bahwa Kana sedang tidak baik-baik saja. Padahal tadi, ketika dirinya pulang, Kana tidak mengatakan apapun lagi. Selain diam sambil memakan snack yang ada di dalam toples. Arkana pun membalas pelukan Kana, mengelus punggung perempuan itu. Berusaha menenangkannya dan mengatakan bahwa dirinya ada di sini. Rasanya aneh ketika melihat Kana menangis. Karena biasanya, perempuan itu sangat aktif dan pecicilan ketika bersamanya. Kadangkala juga sering melakukan hal bodoh hanya untuk membuatnya tertawa. Sayangnya, Arkana selalu gagal tertawa. "Apa yang terjadi? Tidak apa-apa untuk tidak dijawab." Lirih Arkana karena dirinya pun tidak menjawab ketika Kana mulai bertanya tentang apa yang terjadi kepadanya. Kana menggeleng pelan, "aku kesal sekali hari ini. Aku benci diriku yang tidak bisa mengendalikan emosi dan memarahi Arond yang membawakan makanan. Aku juga memaksamu dan memintamu untuk tinggal sebentar. Aku benar-benar kacau dan tidak tahu harus memeluk siapa jika itu bukan kamu." Ucap Kana dengan nada yang sangat frustasi. Kenapa hari ini harus penuh dengan air mata? Kenapa dunianya penuh dengan drama yang tidak terduga. Apalagi ketika Arkana bertemu lagi dengan laki-laki itu di depan sana. Rasanya Arkana ingin menghilang atau menghilangkan laki-laki yang bahkan tidak mengenal dirinya sama sekali. Mereka hanya bertemu sekali karena bisnis dan semua itu terjadi juga karena bisnis. Arkana tidak salah, bukan? ~~~~~~~~~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD