JALANAN begitu basah, beberapa orang berlarian sambil mengangkat tas atas jaket mereka di atas kepala untuk melindungi kepala dari air hujan yang jatuh ke bumi. Sebagian lagi memilih untuk berteduh di halte atau emperan toko yang membuat si pemilik atau pegawai tokonya merasa kesal karena lantai di depan kotor terkena lumpur yang menempel di alas kaki. Ada juga yang berpayung namun tidak bisa menghalau air hujan untuk mengenai pakaiannya.
Belum lagi beberapa kendaraan yang tetap melaju kencang ketika hujan dan membuat genangan air itu pun berpindah kepada para pejalan kaki yang menggunakan payung tersebut. Suara umpatan dan makian terdengar nyaring dari beberapa bibir pejalan kaki yang akhirnya basah kuyup dan bercampur lumpur karena cipratan mobil yang baru saja melaju dengan kencang. Beberapa lagi memakai jas hujan warna-warni dan berjalan santai tanpa takut air membasahi pakaiannya.
Seseorang menyeberang dengan asal-asalan. Membuat pengemudi mobil warna putih itu mengerem secara mendadak. Orang itu hanya diam menatap si pengemudi tanpa berniat untuk meminta maaf. Sang pengemudi yang kesal pun langsung keluar dari mobil, tidak peduli pada derasnya hujan yang membasahi pakaian mahalnya.
"Apa kamu ingin mati? Ha?" Bentak sang pengemudi dengan geram dan menatap orang di depannya yang tidak bergerak sama sekali. "Dasar perempuan gila! Jika mau mati, sana cari mobil yang lain!" Sambungnya dengan kasar dan kembali masuk ke dalam mobilnya.
Perempuan itu hanya berdiri tepat disamping mobil itu, menatap mata sang pengemudi yang berada dalam mobilnya.
"Pergi sana! Jangan mati di sini. Di tempat lain saja!" Ucapnya sambil tertawa-tawa dan akhirnya mobil itupun melaju dengan kencang meninggalkannya.
"Hei, Beauty, apa yang sedang kamu lakukan? Aku mendengar suara rem dan makian. Apa yang kamu lakukan di sana. Lebih baik kembalilah kesini jika tidak berjalan lancar. Kamu bisa mendengarkan aku?" Teriak orang dari seberang sana, Happy.
"Jangan berbuat macam-macam, Beauty! Aku bisa sangat marah padamu. Kamu tahu 'kan bagaimana kalau orang sabar sepertiku ketika marah?" Kali ini King yang bicara.
Perempuan itu, Beauty, hanya bisa menghela napas panjang ketika dia berhasil mendapatkan ceramah dan omelan gratis kedua temannya itu. Walaupun Beauty tahu bahwasanya keduanya sangat khawatir, namun semua ini adalah cara terbaiknya untuk mendapatkan informasi. Meskipun dirinya tahu, tidak akan mudah untuk menembus sesuatu yang telah didesain, direncanakan, dan diposisikan dengan baik.
"Aku memasang alat pelacak lokasi di bawah mobilnya. Tapi sepertinya aku membuat kesalahan yang tidak bisa dibilang kecil." Tandas Beauty yang menggigit bibir bawahnya sambil menatap ponselnya.
Terdengar suara tawa Happy yang menyebalkan untuk Beauty dengar. Perempuan itu menghentakkan kakinya ke genangan air. Dia tidak peduli dengan guyuran hujan yang intensitas airnya semakin banyak. Bahkan dirinya sudah mirip dengan kucing masuk ke dalam got. Beberapa kendaraan bahkan dengan teganya melaju dengan kencang, mengenai tubuh Beauty dengan air dan juga lumpur.
"Kamu menyebalkan sekali!" Kesal Beauty kepada Happy yang bahkan tidak menghentikan tawanya sama sekali.
Happy terdengar menghentikan tawanya, "maafkan aku! Tapi kamu sangat lucu ketika mengatakan soal alat pelacak itu. Sekarang lebih baik kamu berteduh lebih dulu. Biarkan aku menjelaskannya kepadamu."
Dengan raut wajah kesal, Beauty hanya bisa menuruti Happy. Dia pun melangkah ke pinggiran gang yang gelap dan menepi di pinggir tembok antara rumah penduduk agar bisa berteduh sedikit dengan atap yang menjorok ke samping.
"Seberapa kerasnya kita menempel pelacak lokasi di mobil itu, kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Seperti yang sudah aku jelaskan waktu itu. Mobil-mobil jaman sekarang sudah mempunyai sensor privasi—mereka akan menonaktifkan semua kegiatan yang mereka curigai melanggar dan mengganggu privasi orang lain. Dan mobil seperti itu, hanya beberapa saja yang memiliki. Tentu saja orang yang mempunyai uang banyak dan mampu untuk membelinya lah yang dapat memakai mobil seperti itu. Sensor semacam itu sudah dikembangkan sejak lama. Kemungkinan, mobil itu juga bersensor." Jelas Happy yang kembali serius.
Beauty menyandarkan punggungnya pada tembok dan menghela napas panjang.
"Kalau begitu, ... aku gagal?" Tanya Beauty dengan wajah lelahnya.
Happy terkekeh pelan, "bersyukurlah karena temanmu adalah Happy. Aku bisa menelusup lewat jaringannya. Kamu berhasil, Beauty. Terimakasih. Tapi kali ini aku dan King yang akan mengurus semuanya."
"APA? TIDAK!" Bentak Beauty yang tidak mau mundur dari keinginan besarnya.
King kembali bersuara, "kamu sudah melakukan tugasmu. Sekarang kami lah yang akan mengambil alih tugas penting untuk menangkap Dafollo dan membunuhnya. Kamu cukup menunggu kabar dari kami atau mungkin kamu bisa istirahat—"
"Tapi aku tidak mau! Aku akan ikut kalian dengan atau tanpa persetujuan kalian." Tandas Beauty keukeuh.
King menghela napas panjang sekali lagi, "selamat malam, Beauty. Kamu harus tidur nyenyak malam ini. Maaf karena Happy akan mematikan kontak kita untuk sementara."
"TIDAK! Jangan lakukan ini." Ucap Beauty yang khawatir kepada kedua temannya. "Kalian bisa membawaku juga. Jangan melakukannya berdua saja! Kita bisa bersama-sama untuk mengalahkan Dafollo. Aku janji tak akan meng—" ucapan Beauty pun terputus begitu saja.
Perempuan itu hanya bisa terdiam dengan jantung yang bergemuruh. Dia berusaha untuk bertahan dan kembali mencoba bicara kepada keduanya. Namun tidak berhasil. Happy benar-benar memutuskan kontak mereka. King dan Happy mengambil bagian penting untuk mengalahkan Dafollo. Padahal ini semua salahnya, itu yang selalu ada dalam pikirannya. Dia menyalahkan dirinya sendiri. Marah karena tidak bisa mempertahankan semuanya.
Beauty mendudukkan dirinya di depan tembok itu, bersandar dan berulangkali menahan air matanya yang hendak jatuh. Dia berusaha tak menangis lagi karena menangis itu adalah simbol kelemahannya. Dia tidak ingin menjadi perempuan dengan image lemah lagi. Ujian hidupnya terlalu pahit untuk selalu ditangisi. Dan sekarang, semua teman-temannya sedang berjuang untuk menghilangkan kesialan yang dibuatnya.
"Apa yang harus aku lakukan? Ah, kenapa aku tidak bisa memikirkan apapun sekarang? Kenapa otakku ini tidak mau berfungsi sama sekali? Aku harus melakukan apa? Beauty, tolong berpikir lah! Jadilah Beauty seperti biasanya. Jangan membuat semua temanmu menunggu." Tandasnya dengan menyemangati dirinya sendiri. "Tapi, ... aku harus kemana sekarang? Aku tidak tahu harus pergi kemana." Sambung Beauty sekali lagi.
Perempuan itu beranjak pergi dari sana. Meninggalkan tempatnya dan berjalan sesuka hatinya, menyusuri jalanan yang lenggang untuk sampai di tempat tujuannya. Beauty seperti tidak mempunyai arah sama sekali. Tidak tahu kemana dia harus pergi karena aksesnya diputus oleh Happy agar mereka tidak bisa berhubungan sama sekali. Beauty hanya memeluk dirinya sendiri, membayangkan apa yang akan terjadi kepada kedua temannya. Berharap mereka akan baik-baik saja dan kembali kepada dirinya.
~~~~~~~~~~
Di sebuah gedung itu sebuah mobil memasuki basement. Ada beberapa bodyguard yang langsung membuka mobil laki-laki itu, mengecek semua sudut dan setelah dinyatakan aman, mereka baru mengijinkan orang itu untuk masuk ke dalam lift. Laki-laki itu tersenyum puas, menatap gedung putih itu dengan tatapan takjub dan bangga. Apalagi ketika melihat dua bodyguard berbadan besar dengan kacamata hitamnya itu membuat laki-laki itu memasang wajah yang menyebalkan.
Mereka masuk ke dalam lift untuk menuju ke sebuah tempat. Laki-laki itu mengamati setiap inci ruangan yang dilewatinya—benar-benar gedung yang sangat menakjubkan. Akhirnya mereka sampai di depan sebuah ruangan di mana kedua bodyguard itu menyuruhnya untuk masuk sendiri. Karena tidak ada satupun orang yang diperbolehkan masuk selain orang yang mereka kehendaki.
"Wah, ... sebuah kejutan untukku ketika melihat kalian berdua." Ucap laki-laki itu, Dafollo, sambil bertepuk tangan ketika melihat dua orang yang sangat dikenalnya berada di ruangan yang sama. "Aku pikir, kalian sudah tidak berhubungan lagi! Ternyata kalian tetap saudara yang saling mendukung satu sama lain. Aku senang karena mendengar kabar kalian dari dua bodyguard di depan. Mereka mengatakan bahwa Tuan mereka ingin bertemu denganku." Sambung Dafollo yang menatap keduanya secara bergantian.
Laki-laki yang tengah duduk di kursi putarnya itu hanya menghela napas panjang, memperhatikan dua orang menyebalkan yang berada di dalam ruangannya—Dafollo dan Kakaknya sendiri. Mereka seperti pengganggu yang ingin sekali dirinya usir tetapi tidak bisa. Laki-laki itu, Gala, hanya berusaha bersikap biasa saja untuk melihat informasi apa yang mereka punya sejauh ini. Setidaknya dirinya tahu sedikit saja tentang apa yang terjadi sebenarnya di sini.
"Aku tidak menyangka bahwa kamu akan ikut dengan misi seperti ini. Ah, kamu pasti sangat marah karena para b******n itu membunuh Ayah kalian. Seharusnya aku sudah menghabisi mereka. Sayangnya, mereka berhasil meledakkan tempat itu." Ucapnya sambil tersenyum menyebalkan.
Kakak dari Gala itu mengangkat tangannya untuk menghentikan ucapan Dafollo yang membosankan.
"Aku memberikanmu info tentang Jendela Kematian bukan hanya untuk mendengarkan omong kosongmu dan meminta pendapatmu. Tentu saja aku membutuhkan informasi yang harus kamu bagi dengan kami." Sambung Kakak Gala dengan tegas.
Dafollo menggeleng pelan, "lalu, ... hadiah apa yang bisa aku dapatkan untuk informasi yang sangat-sangat penting ini? Kamu pasti penasaran dengan siapa pemimpin kelompok Jendela Kematian? Bahkan kamu sangat ambisius dan membuatku terlibat dalam masalah ini karena ingin membalas dendam, bukan? Kalau memang begitu, kita berada dalam pihak yang sama. Karena apa? Musuh dari musuh kita adalah rekan. Kita harus bekerjasama."
"Tidak! Aku akan membereskannya sendiri. Kamu sudah menyebabkan banyak kesalahan dan aku tidak akan menggunakan orang sepertimu lagi untuk misiku yang lain." Tandasnya dengan melipat kedua tangannya di d**a.
Dafollo bertepuk tangan dengan sangat keras, "baiklah! Kalau begitu aku juga tidak akan membagikan informasi itu denganmu."
Kakak dari Gala itu hanya tertawa dengan keras. Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali dan terus tersenyum.
"Aku mengeluarkanmu dari situasi yang dapat membuatmu terbunuh. Aku memberikan fasilitas untuk datang kesini dan bahkan sudah memberikanmu apartement yang mewah. Belum lagi aku yang akan mengurus pelarianmu ke luar negeri. Apakah kamu tidak berniat untuk membalas budi?" Sambungnya dengan memainkan sebuah pisau berukiran unik dari saku jasnya.
Percayalah, pisau itu adalah pisau yang sangat mematikan karena telah dibuat oleh orang yang memastikan juga. Walaupun kecil dan unik, tapi bisa membunuh dan membuat orang yang terkena mengalami pendarahan hebat.
Tentu saja Dafollo mengeluarkan pistolnya dari balik bajunya dan tertawa-tawa, "sebelum pisau yang kamu pegang mengenaiku. Aku yang akan menembakmu lebih dulu."
"Hm, ... bagaimana kalau kita lihat? Siapakah yang akan mati lebih dulu? Aku atau kamu? Pistolmu atau pisau cantik yang aku pegang." Sambung Kakak Gala itu dengan wajah serius.
Sedangkan di depan pintu, dua orang bodyguard berkacama hitam masih berjaga dengan sangat serius. Dan kedatangan dua bodyguard lainnya tidak membuatnya merasa terganggu sama sekali. Salah satunya hendak mengeluarkan pistol, namun begitu saja ditahan oleh orang yang satunya. Mereka tidak lain adalah King dan Happy yang berhasil menyusup masuk. Kejadian itu seperti langsung diketahui oleh dua bodyguard yang berjaga di depan pintu. Namun dengan sigap, mereka langsung menyuntikkan cairan ke dalam tubuh keduanya. Seketika mereka terdiam tanpa perlawanan sama sekali.
"Kita hanya membawa dua cairan pelumpuh syaraf sementara. Kita hanya mempunyai waktu dua puluh menit untuk menyelesaikan semua masalah ini. Jadi, kita harus masuk untuk mengetahui siapa dalang yang lainnya. Selain itu kita harus segera membunuh Dafollo sebelum dirinya memberitahu tentang identitas dari Big Boss. Semakin banyak orang yang tahu, maka akan semakin mudah untuk mengincar Big Boss." Tandas Happy kembali.
King hanya menganggukkan kepalanya.
"Berikan pistolmu!" Tandas Happy yang hanya ditanggapi dengan pemberian pistol dari balik jas yang King kenakan.
"Ah, apa yang kamu lakukan? Jang—" ucapan King terpotong begitu saja saat Happy hendak menembakkan pistolnya ke udara.
Namun tidak ada apa-apa. Suara dor yang biasanya keluar pun tidak ada. Bahkan peluru itu masih tersimpan rapi di dalam sangkarnya. Happy tersenyum menatap pistol yang dibawa King sambil menggelengkan kepalanya dan memberikannya kembali kepada pemiliknya.
"Ayo kita kembali ke markas!" Ajak Happy yang melepaskan kacamata yang dikenakannya dan membuat asal. "Seharusnya kepergian kita meninggalkan markas tidak harus sedrama itu. Aku jadi malu ketika menghadapi Beauty karena sengaja memutus koneksi diantara kita." Sambungnya sambil tertawa seperti ada yang lucu.
King yang tidak mengerti hanya membuntuti Happy dari belakang dengan banyak pertanyaan yang ada di dalam kepalanya.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Apa yang kita lakukan sekarang? Apakah kita akan menyerah begitu saja? Kita akan keluar tanpa hasil? Membunuh Dafollo juga bagian dari rencana kita. Apa yang kita lakukan? Jelaskan padaku!" Bentak King yang merasa seperti orang bodoh karena memang tidak tahu apa-apa.
Happy menghela napas panjang, menepuk pundak King beberapa kali sebelum mereka akhirnya masuk ke dalam mobil yang mereka kendarai tadi. Mereka seperti pecundang yang sudah menyerah sebelum berperang.
"Tenanglah! Kita sudah berhasil membunuhnya." Ucap Happy yang bertindak sebagai pengemudi kali ini, menggantikan King yang masih blank karena keadaan yang menurutnya aneh. "Orang di dalam sana, pasti sudah tahu kalau kita akan datang. Mereka juga tahu bahwa kita akan membunuh Dafollo. Gedung itu tak bisa ditembus peluru. Aku yakin bahwa Dafollo membawa pistol dan orang yang bersangkutan membawa pisau. Mereka lalu saling beradu argumen, saling membunuh. Orang itu akan bertanya terus-menerus dan Dafollo akan tetap diam." Sambung Happy menjelaskan.
King mengerutkan keningnya, "jika dia hampir mati. Kenapa tidak jujur saja tentang apa yang diminta orang itu?"
"Hm, ... karena penjahat seperti kita hanya punya harga diri sampai akhir. Kita tidak memerlukan uang ataupun apapun di dunia ini setelah merasa akan mati di tangan seseorang. Hal yang sama yang dilakukan Bear. Dia tidak akan membuka suaranya atau apapun itu karena berada diujung kematian. Karena Bear juga tahu, memberitahu atau tidak, akan sama-sama mati. Jadi, Bear akan mempertahankan keyakinannya. Mungkin semua itu sama dengan Dafollo. Mengingat dirinya adalah kalangan keluarga penjahat. Semua orang tahu itu." Ucap Happy yang mencoba menjelaskan.
"Kira-kira, ... apakah kita juga akan sama seperti Bear? Aku kadangkala merasa ragu pada diriku sendiri. Apa aku bisa tetap diam ketika seseorang mengancam nyawaku. Apakah aku bisa memilih menyembunyikan tentang Jendela Kematian atau memilih untuk tetap hidup. Aku selalu berpikiran itu setiap hari. Apa aku akan menjadi pengkhianat?" Tandas King sambil mengusap wajahnya.
Happy tersenyum, "kita tidak akan saling menghakimi atas semua itu. Kita berhak menentukan mau hidup atau mati. Aku tidak akan memaksa untuk tidak mengatakan tentang kelompok kita ketika terdesak. Tapi kadangkala yang tidak masuk akal untuk saat ini, belum tentu tidak masuk akal di masa depan."
~~~~~~~~