BAB 34 | Obrolan Dini Hari

1556 Words
SEBUAH mobil memasuki halaman rumah. Isabela dengan terburu-buru keluar dari rumah dan melebarkan payungnya; menjemput sang kakak yang baru saja pulang dari bekerja. Arkana yang peka, langsung turun dari mobilnya dan berlari mendekat ke arah Isabela. Agar adiknya itu tidak terlalu basah. Laki-laki itu pun juga mengambil alih payung yang dipegang Isabela dan memayungi perempuan itu lebih banyak. Tidak peduli pada lengan bajunya yang basah karena melindungi Isabela agar tidak terkena tetesan air hujan sedikitpun. Isabela menatap kakaknya dengan seulas senyum. Rasanya tidak tega setiap kali melihat Arkana pulang larut dalam keadaan basah kuyup. Terkadang, Isabela ingin mengatakan bahwa dirinya tidak meminta apapun kecuali kesehatan kakaknya. Dia tidak mau Arkana sakit, apalagi sampai meninggalkannya. Bagi Isabela, seluruh dunianya juga Arkana. Laki-laki itu bukan hanya sosok seorang kakak untuknya. Namun sosok dari seluruh sosok yang dia butuhkan di dunia ini; ayah, ibu, teman, sahabat, pacar, dan semua orang. Arkana bisa menjadi apapun yang dibutuhkan Isabela. Apapun! Bahkan, saat ini pun, Isabela tidak diijinkan untuk melindungi Arkana. Laki-laki itu tetap basah karena tidak mau Isabela kehujanan. Arkana selalu mengorbankan segalanya untuknya—untuk adik kesayangannya, untuk satu-satunya keluarga yang dirinya punya. Arkana memprioritaskan Isabela di atas segalanya. Bahkan lebih penting dari dirinya sendiri. "Jangan sampai sakit," itu kata-kata yang selalu keluar dari bibir Arkana sambil memberikan handuk untuk Isabela, mengabaikan fakta bahwa dirinyalah yang lebih membutuhkan handuk itu untuk dirinya sendiri. Isabela tersenyum tipis, "niatnya 'kan memang mau jemput Kakan supaya enggak basah. Kenapa jadi aku yang dikhawatirkan? Kakak seharusnya membiarkan aku sekali saja untuk membantu Kakak." Arkana menggeleng pelan, mengelap wajah Isabela dan tersenyum tulus. Setelah itu, Arkana beranjak setelah menepuk kepala adiknya beberapa kali untuk masuk ke dalam kamarnya. Isabela sendiri hanya terpaku dengan tatapan sedihnya; mengapa mereka harus seperti ini? Maksudnya, mereka tidak bisa menikmati masa muda. Isabela yang terkurung di dalam rumah dan Arkana yang harus rela membanting tulang siang dan malam tanpa memikirkan kebahagiaannya sendiri. Sedangkan Arkana yang baru saja masuk ke dalam kamarnya hanya bisa termenung. Laki-laki itu melepaskan pakaiannya yang basah, meletakkan pakaian itu disembarang tempat. Mungkin saja Isabela akan marah karena dirinya asal meletakkan pakaian kotornya. Helaan napasnya terdengar kasar, suara berisik memenuhi kepalanya. Terdengar ribut dengan suara orang yang berteriak dan terdengar seluruh suara orang-orang yang mulai panik dengan apa yang mereka lihat. Kali ini, Arkana memang keterlaluan—tetapi jika tidak begitu, orang-orang dungu yang ada di kantornya tidak akan pernah mendengarkannya. Arkana benci dengan mereka yang membangkang dan melanggar peraturan di kantornya. Padahal, dirinya sudah memberikan segala yang terbaik. Namun mereka seperti anjing yang menggigit tuannya. "Jika mereka tidak berbuat sejauh itu, aku tidak akan membunuh mereka! Tapi mereka mencoba untuk tidak peduli kepada apapun yang sudah aku katakan! Sialan!" Tandasnya dengan diakhiri umpatan kasar. Dia hanya memantau semuanya dari tab yang dibawanya, memastikan jika semuanya sudah diurus dengan baik oleh orang kepercayaannya. Ah, dia tidak begitu yakin tentang; orang kepercayaan itu. Dia hanya tengah menamainya, bukan mempercayai dirinya. Tentu saja Arkana tidak bisa percaya kepada siapapun, kecuali kepada dirinya sendiri. Dia sudah bergabung menjadi pembunuh bayaran selama bertahun-tahun dan tentunya dia tahu bagaimana karakter orang yang begitu dekat. Mereka cenderung menjadi seorang pengkhianat karena mengetahui kelemahan orang terdekatnya. "Apa yang Kakak lakukan?" Tanya Isabela yang membuka pintu kamar Kakaknya tanpa permisi sama sekali. Arkana sontak langsung beranjak dari duduknya, "apa kamu lupa caranya mengetuk pintu?" "Iya, ... baiklah! Tapi aku penasaran dengan apa yang Kakak lakukan. Jadi, aku langsung masuk saja. Apa terjadi sesuatu?" Tanya Isabela yang masuk ke dalam kamar kakaknya dengan raut wajah penasarannya. Arkana menggelengkan kepalanya pelan, "tidak ada! Kakak hanya lelah. Kamu bisa keluar terlebih dulu, biar Kakak mandi dan kita bisa ngobrol setelah itu. Setuju?" Dengan berat hati, Isabela hanya menganggukkan kepalanya setuju. Meskipun sebenarnya, dia tidak mau mengganggu waktu istirahat Arkana dengan mendengarkan ceritanya. Tetapi, laki-laki itu selalu mau meluangkan waktunya untuk sekedar mendengarkan cerita Isabela setiap harinya. Arkana tidak pernah bosan mendengarkan kegiatan Isabela atau apapun yang menarik di hari itu tentang adiknya. Arkana tetap menjadi pendengar yang baik, meskipun didera rasa lelahnya bekerja. Isabela menyiapkan dua gelas cokelat panas dan meletakkan beberapa kue di atas piring. Sembari menunggu Arkana, Isabela hanya bertukar pesan dengan Gala. Laki-laki itu tiba-tiba meminta maaf padanya karena sempat meninggalkannya di cafe sendirinya. Sebenarnya Isabela tidak merasa kesal atau marah. Namun tetap saja, tindakan Gala terhadap dirinya, tidak bisa dibenarkan. "Hai, ..." Sapaan canggung itu keluar dari bibir Gala yang sejak tadi tidak mengirimkan pesan apapun kepada Isabela. Begitu pula Isabela yang tak mengirimkan pesan kepada Gala juga. Isabela menghela napas panjang kembali, "kenapa belum tidur? Ada yang mengganggu pikiran Kakak?" "Ya, ... kurang lebih!" Jawab Gala diseberang sana. "Kamu juga belum tidur? Adakah yang mengganggu pikiranmu?" Sambung Gala dengan hati-hati, berharap bahwa Isabela tidak bisa tidur karena menunggu kabarnya. "Hm, ... kurang lebih." Jawab Isabela yang tidak jauh beda dengan jawaban Gala tadi. "Aku menunggu Kak Arkana pulang, seperti biasa." Sambungnya lagi. Terdengar helaan napas panjang dari seberang, mungkin Gala yang merasa kecewa dengan jawaban Isabela. Kali ini, dia tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Walaupun dirinya yang salah, namun Gala merasa jika dirinya juga benar. Sebagain egonya memang menguasai, terlebih Isabela jarang atau bahkan tidak pernah marah kepadanya. "Aku tutup teleponnya?" Tandas Isabela dengan suara yang lebih datar. "Apa kamu marah?" Tanya Gala dengan hati-hati. Isabela tersenyum masam, "aku, ... marah? Bukannya Kak Gala yang tadi meninggalkan aku sendiri? Memang jarak cafe dengan rumahku sangatlah dekat. Tapi, apa benar meninggalkan aku sendirian tanpa kata? Kak, aku tidak mengerti perasaan Kakak. Jadi berhenti bermain kode-kodean denganku. Karena itu tidak akan pernah berhasil." Sambungan telepon terputus. Isabela sebenarnya tidak mau membahasnya lagi. Namun mulutnya memang sudah terlanjur disetel sedemikian rupa untuk marah. "Wah, ... pertengkaran macam apa itu?" Ucap Arkana yang entah sejak kapan muncul di dapur dengan dua lengannya yang dilipat di depan d**a. Isabela merenggut sebal karena ejekan sang Kakak, "sejak kapan Kakak di sana? Jangan meledekku! Aku sedang tidak ingin bicara tentang hal apapun apalagi tentang hubungan kami." Arkana tersenyum tipis, menarik salah satu kursi di ruang makan dan duduk di sana—berhadapan dengan Isabela yang terlihat sangat kesal. Dia memang tidak tahu apa yang terjadi kepada keduanya. Namun jika Isabela sudah begini, maka ada sesuatu yang tidak baik. Mungkin hal kecil yang menjadi besar. "Dalam semua hubungan, pasti ada fase di mana kita kesal dengan orang itu. Tapi walaupun begitu, kita akan merasa membutuhkannya di waktu yang berbeda. Mungkin Gala sedikit membuat kesalahan. Tapi di waktu yang lain, dia sadar bahwa sangat membutuhkan kamu sekarang ini." Ucap Arkana dengan serius. "Pesan Kakak, apapun masalahnya, jangan selesaikan dengan emosi. Tentu saja kamu boleh marah, tapi marah lah dengan serius. Berpikir tentang apa yang akan terjadi nanti akan jauh lebih menenangkan." Sambungnya. Isabela menganggukkan kepalanya pelan. Dia selalu mendengarkan Arkana. "Kak, ... apa Kakak yakin tidak punya pacar?" Tanya Isabela menggoda sang Kakak yang baru saja menasehatinya tentang hubungan. Arkana menarik gelas cokelat panas yang dibuatkan Isabela lalu dengan pelan-pelan meminumnya. "Jika Kakakmu ini punya pacar, apa kamu tidak akan cemburu?" Tanya Arkana seperti menampar dirinya. Arkana benar, memangnya dirinya tidak cemburu? Memangnya dirinya tahan jika Kakaknya fokus kepada pacarnya? Melihat Arkana akrab dengan temannya dulu saja, Isabela sudah sangat kesal dan beberapa hari memutuskan untuk mendiamkan kakaknya itu. "Cemburu, 'kan?" Tandas Arkana dengan tatapan mengejek. "Itu lah mengapa Kakakmu ini tidak punya pacar. Lagipula, Kakak hanya bisa menjaga satu orang saja. Kakak tidak mau menjaga perempuan lainnya. Jika nantinya Kakak menyukai seseorang, Kakak akan langsung mengatakannya kepadamu. Bagaimana?" Sambungnya lagi. Isabela menganggukkan kepalanya lagi, "jadi, ... bagaimana perasaan Kakak ketika tahu aku punya pacar?" Arkana menatap kedua mata Isabela yang berbinar. Sebenarnya, Arkana ingin meminta Isabela untuk selesai dengan Gala. Namun, dia baru saja memberikan nasehat kepada Isabela untuk mempertahankan hubungan dengan Gala karena melihat wajah kesal adiknya itu. Isabela sangatlah menyukai Gala, tapi bagaimana dengan semuanya? Bagaimana dengan segala konsekwensinya? Apakah dia mampu nantinya? "Apa sebenarnya Kakak tidak setuju dengan hubungan kami? Kakak, ... melakukannya untukku?" Tanya Isabela dengan menatap Arkana serius. Arkana menggeleng pelan, "Kakak setuju! Mungkin kamu akan lebih bahagia karena mempunyai dua laki-laki yang menjaga kamu." Isabela tersenyum senang dan berhambur memeluk Arkana. Dia tidak mengerti tatapan khawatir yang selalu Arkana sembunyikan. Isabela hanya tahu bahwa Kakaknya selalu mendukungnya dan Gala. Tanpa tahu apa yang sebenarnya Arkana berusaha sembunyikan darinya. Isabela selalu berpikir bahwa Kakaknya adalah orang yang baik dan tidak pernah melakukan kejahatan apapun. Siapa sangka jika orang yang baik, ramah, seperti Arkana adalah seorang pembunuh bayaran yang sangat menakutkan? "Sudah larut malam, kamu tidak mau tidur?" Tanya Arkana sambil mengelus kepala Isabela sayang. Isabela menggeleng pelan, "kita jarang sekali bisa seperti ini, Kak. Aku ingin berjalan-jalan bersama dengan Kakak lagi seperti dulu. Semenjak kita beranjak dewasa, waktu mudah sekali habis. Kita terkadang melewatkan waktu bersama karena kesibukan kita. Aku jarang bicara pada Kakak karena sibuk bersama dengan Kak Gala. Lalu, Kakak jarang pulang dan membuat aku menunggu lama . Padahal kita satu rumah." Arkana hanya tersenyum pahit. Dia memang sudah lama tidak memberikan waktunya untuk Isabela dan menghabiskan waktunya untuk pekerjaannya sendiri. Pekerjaan yang berbahaya namun menghasilkanbanyak sekali uang. Tentu saja semua hasil kerja kerasnya itu membuahkan hasil yang banyak.  Arkana menarik tangan Isabela sebelum perempuan itu beranjak dari duduknya, "bagaimana Kakak bukan seperti orang yang kamu bayangkan saat ini?"  "Memangnya bayanganku seperti apa?"  Arkana terdiam sejenak, "orang baik! Kakakmu bukan orang baik."  ~~~~~~~~~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD