WAKTU itu bulan berbentuk bulat penuh. Arkana saat itu masih berumur 16 tahun dan Isabela berumur 10 tahun. Mereka sangat menyukai bulan, sampai-sampai setiap malam mereka melihat bulan di angkasa. Isabela menggambar fase bulan setiap hari dengan buku gambarnya. Mungkin bakat menggambarnya mewarisi dari Ibu mereka. Arkana selalu menemani Isabela menggambar, terkadang mengganggunya sesekali dan akhirnya membuat Isabela menangis. Jika itu terjadi, maka Ayah atau Ibunya akan datang ke loteng dan menjewer pelan telinga Arkana. Lalu Arkana akan pura-pura kesakitan agar Isabela berhenti menangis.
Keluarga mereka begitu harmonis, dengan rumah sederhana yang mereka tempati setiap hari. Rumah mereka berada jauh dari pemukiman penduduk. Katanya, Ayahnya dulu menjanjikan rumah yang tenang yang jauh dari keramaian sebelum menikah dengan Ibu mereka. Maka dari itu, rumah ini dibangun dengan penuh kebahagiaan sebelum Arkana lahir. Sekolah pun, mereka harus diantar oleh Ayah mereka setiap hari dengan naik motor butut namun menyenangkan untuk mereka.
Arkana selalu bangga dengan Ayahnya yang bekerja di salah satu pabrik plastik yang berada di ujung kota. Menggunakan pakaian yang seadanya, sepatu lusuh dengan topi yang itu-itu saja. Membawa bekal makanan yang sama dengan Arkana dan Isabela—masakan Ibunya yang tiada duanya. Mereka menikmati makanan itu setiap kali istirahat di sekolah atau tempat kerja masing-masing. Ya, hidup sederhana tidaklah sesulit itu. Hanya butuh saling pengertian saja.
Ibu mereka tidak bekerja, hanya saja rajin merawat kebun sayur-sayuran disamping rumah. Banyak sekali tanaman bunga dan sayur yang ditanam di sana. Sesekali mereka akan menggunakannya untuk memasak, jadi hanya beberapa bahan makanan saja yang mereka beli dari warung yang tentu saja lumayan jauh dari rumah. Terkadang Ayahnya yang akan membeli beberapa bahan makanan dari kota. Menumpuk beberapa persediaan agar sang Ibu tidak perlu capek-capek pergi ke warung.
Kehidupan Arkana begitu sangat sempurna. Dia anak SMA yang sangat disayang keluarganya. Walaupun dia termasuk golongan siswa miskin, tetapi dia tidak pernah merasa kekurangan apapun di dalam hidupnya. Teman-temannya juga sangat baik kepadanya. Tidak ada yang merendahkan. Mungkin itulah yang membuat kehidupan Arkana tampak sangat sempurna.
Sampai hari itu tiba... Ketika Arkana dan Isabela sedang berada di loteng, sibuk mengamati bulan dan Isabela yang sedang menggambar bentuk bulan. Mereka saling menatap satu sama lain. Ketika Arkana meminta Isabela untuk tidak membuka mulut atau mengatakan apapun, ketika Arkana mulai melongok untuk melihat apa yang terjadi di depan matanya. Mulutnya terkunci rapat, bahkan semua itu refleksnya sendiri.
Arkana menoleh ke arah Isabela dengan wajah yang berurai air mata. Remaja laki-laki berumur enam belas tahun itu masih sempat-sempatnya untuk menyuruh adiknya diam dengan memberikan isyarat telunjuk yang diletakkan di depan mulutnya. Waktu itu, tubuh Arkana begitu menggigil ketakutan. Namun ada sesuatu di dalam dirinya yang terus memaksa untuk segera pergi dari sana. Memberikannya kekuatan untuk bergerak dan mendekati Isabela yang terdiam, tidak tahu apa-apa.
Sebuah tali tambang yang berada di loteng dia turunkan lewat jendela atap. Arkana meyakinkan Isabela untuk keluar dari rumah mereka walaupun hanya dengan tatapan. Mereka seperti bicara dari hati ke hati, seperti ada telepati diantara mereka. Keduanya berhasil turun dengan selamat. Kabur bersama, masuk ke dalam hutan-hutan gelap. Samar-samar mereka melihat cahaya yang amat terang dari kejauhan. Bukan cahaya lampu atau cahaya senter atau cahaya lainnya. Tetapi sebuah cahaya dari nyala api yang membakar habis rumah mereka.
Terdengar deru mobil itu hilang ditelan jalanan berkelok-kelok. Arkana dan Isabela menatap ke rumah yang sudah berkobar, akan habis terbakar sebentar lagi. Ada sesak yang menjalar di hati keduanya. Namun Arkana lebih berkobar api dendam dan amarahnya. Mereka telah membumi hanguskan semua kebahagiaannya. Menghancurkan segala yang dirinya miliki.
Arkana begitu mengingat tangisan Isabela setelah hari itu. Bahkan tangisan itu setiap hari. Disaat tidur pun, Isabela masih meracau tidak jelas. Memanggil-manggil kedua orang tua mereka yang mungkin jasadnya sudah habis terbakar di rumah mereka. Arkana sendiri tidak pernah bisa memejamkan mata. Dia selalu awas kepada siapapun, takut jika ada orang yang akan berbuat jahat kepada dirinya dan Isabela.
Setelah beberapa hari berada di hutan, memakan buah-buahan yang ada di sana. Buah-buahan yang memang ditanam kedua orang tua mereka dulu. Dulu Arkana heran mengapa Ayahnya menanam buah di dalam hutan, rupanya sangatlah berguna untuk mereka berdua. Mereka akhirnya memilih untuk kembali ke rumah mereka yang sudah tidak berbekas. Hanya ada abu-abu kayu yang membuat Isabela terbatuk-batuk. Arkana menatap sekelilingnya, habis semuanya. Orang-orang itu telah membuat kedua anak ini menjadi yatim-piatu. Orang jahat yang masih diingat Arkana bagaimana wajahnya.
Hari berlalu dan Arkana mengajak Isabela untuk pergi ke kota. Untuk mencari tempat tinggal yang baru, sedangkan Arkana berusaha untuk mencari kerja. Waktu itu, sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Apalagi Arkana belum lulus dan tidak ada satupun ijasah yang dimilikinya. Semuanya habis terbakar, namun tidak ada yang mempercayainya. Arkana takut kembali ke tempat mereka yang lama, tidak kembali ke sekolah lama juga karena tidak mau orang-orang jahat itu menemukan mereka berdua.
Arkana yang kepayahan karena kelaparan namun tidak kunjung mendapatkan kerja akhirnya melakukan perbuatan terlarang. Dengan mencuri makanan di pasar lalu ketahuan dan dipukuli oleh beberapa orang di pasar. Dengan wajah babak belur, dia kembali ke sebuah gorong-gorong saluran air untuk bertemu Isabela yang dia suruh untuk menunggu di sana. Arkana mengeluarkan sebungkus roti dari dalam bajunya, pedagang roti itu luput memeriksa bajunya, sehingga dia bisa membawakan makanan kepada Isabela.
Isabela menangis melihat Arkana yang terluka. Namun Arkana selalu meyakinkan Isabela bahwa dirinya baik-baik saja. Mereka kembali berpindah tempat, tidur pun disembarang tempat. Arkana diam-diam mempelajari cara pencuri-pencuri di kota itu beraksi. Arkana melihat trik mereka dan mempraktekkannya. Sekali dua kali masih babak belur karena ketahuan, namun lama-kelamaan dia mulai mahir. Selama aksinya mencuri, Arkana menitipkan Isabela di sebuah rumah belajar yang diadakan oleh beberapa relawan.
Tentu saja Isabela menjadi murid yang paling pintar karena memang dirinya pernah duduk di bangku sekolah. Namun Isabela yang cerdas itu tidak mengatakan darimana dirinya berasal. Persis seperti yang selalu Arkana ajarkan. Mereka harus menyembunyikan identitas mereka dan asal mereka dari orang lain. Mereka tidak mau jika ada orang jahat yang mengetahui identitas mereka dan memanfaatkannya.
Kehidupan mereka pun berjalan seperti itu sampai dua tahun ke depan. Ketika mereka akhirnya berusia 18 tahun dan 12 tahun. Tentang Arkana yang harus mencuri sekotak pembalut untuk Isabela yang pertama kali mendapatkan menstruasi. Bagaimana perjuangan seorang Kakak yang berusaha untuk mencarikan obat pereda nyeri dan bagaimana dirinya memberikan makanan untuk adiknya setiap hari.
Sesekali Arkana akan menangis sendirian di kolong jembatan yang tidak akan diketahui Isabela. Dia mengeluh sendirian sambil bercucur air mata. Berharap kehidupannya yang dulu kembali lagi, dengan orang tua yang akan menjaganya dan Isabela, yang akan memberikan makanan yang layak untuk Isabela, memberikan pendidikan yang semestinya kepada Isabela. Arkana tidak pernah meminta untuk dirinya sendiri. Bahkan pekerjaan keji seperti mencuri pun yang dulu sangat dia benci akhirnya dilakukannya. Demi satu-satunya orang yang paling dia sayangi, Isabela.
Tiba-tiba matanya terbuka, cahaya matahari menerobos celah-celah jendela kamarnya. Arkana menatap jam yang berada di atas mejanya. Laki-laki itu beranjak dari ranjang empuknya, memijit tengkuknya yang pegal. Dia mimpi lagi, bukan mimpi sebenarnya. Lebih tepatnya seperti kilasan masa lalunya dan Isabela yang terus-menerus berulang seperti kaset rusak setiap kali dia tidur. Ingin rasanya melupakan semuanya. Tetapi Arkana tidak bisa. Dia terus mimpi hal yang sama setiap hari. Bisa dibayangkan betapa depresinya dirinya sekarang? Hampir sembilan tahun kejadian itu berlalu, dan hampir sembilan tahun pula dirinya dihajar kepahitan sampai babak belur.
Arkana mengusap air mata yang jatuh di pipinya tanpa sengaja. Mungkin karena efek dari tidurnya semalam yang tidak sadar sampai membuatnya menangis. Ini hal yang wajar dan lumrah menurut Arkana. Dia selalu begini, bangun dengan ketakutan, air mata, keringat, dan sakit kepala. Mungkin itulah alasan terbesarnya tidak ingin tidur.
Setelah sedikit tenang, laki-laki itu memilih untuk membuka jendela kamarnya dan membereskan seluruh sudut ruangan kamarnya. Barulah dia keluar dari kamar, berjalan menuju ke dapur di mana aroma masakan tercium sangat nikmat.
"Masak apa?" Tanya Arkana begitu melihat sosok Isabela yang sibuk memotong sayuran.
Isabela tersenyum sekilas, "selamat pagi, Kak. Hari ini masak sop ayam dan perkedel saja. Mau?"
"Apapun yang kamu masak, Kakak mau." Jawab Arkana yang membuat tawa terdengar dari bibir Isabela.
Isabela sibuk bicara, namun isi kepala Arkana ribut dengan memori buruk yang selalu muncul di dalam mimpi tidurnya. Walaupun dia tahu jika sekarang kehidupan mereka sudah membaik, namun Arkana masih merasa takut. Dia takut jika ada yang berusaha menyakiti Isabela. Seperti saat mereka berada di jalanan dulu.
"Kak!" Panggil Isabela karena merasa diabaikan oleh Arkana.
"Hah?" Kaget Arkana dengan wajah pucatnya.
Isabela mendekat ke arah Arkana karena khawatir, "Kakak beneran sakit? Kok pucat gitu mukanya."
"E-enggak, kok! Kakak cuma sedikit pusing aja." Jawab Arkana yang tidak sepenuhnya berbohong. Dia sedikit sakit sebenarnya, sakit yang tidak bisa dia jelaskan seperti apa.
"Mau aku ambilkan sopnya dulu?" Tawar Isabela yang mendapatkan anggukan kecil dari Arkana.
Mungkin menyantap sop yang baru saja matang akan sedikit membuat badannya enakan. Apalagi ada misi yang harus segera dia selesaikan. Semakin cepat timnya menyelesaikan misi, semakin cepat uang mereka akan cair. Bagian kali ini akan cukup banyak. Dia bisa membeli apapun yang dia inginkan.
"Beberapa hari ini Kakak akan lembur. Kamu tidak apa-apa kan di rumah sendirian? Kamu mau Kakak belikan apa besok?" Tawar Arkana kepada Isabela.
Isabela menggeleng sambil meletakkan semangkuk sop di atas meja, "tidak perlu repot-repot, Kak. Yang paling penting kesehatan Kakak."
Arkana terdiam lalu mengangguk.
"Dimakan sopnya." Ucap Isabela akhirnya.
Arkana menatap Isabela dari belakang. Semua akan dia lakukan untuk masa depan adik kesayangannya. Apapun itu.
~~~~~~~~~~