BAB 11 | Pertanyaan Isabela

1502 Words
ISABELA meletakkan sketchbook miliknya di atas meja ruang tamu. Perempuan itu sesekali menatap ke arah keluar jendela, menunggu sang Kakak yang tidak kunjung pulang. Hari semakin larut, hujan mulai turun walaupun masih rintik saja. Isabela merasa khawatir setiap kali Kakaknya pulang larut. Apalagi beberapa hari ini banyak sekali terdengar berita-berita yang tidak mengenakkan. Tentang pembunuhan, tentang geng-geng motor yang sering mencegat korbannya di gang sepi. Menurut Isabela, Arkana adalah pengganti orang tuanya yang terus menjaganya dan memberikan banyak sekali kebahagiaan untuknya. Isabela selalu mengatakan kepada Arkana untuk tidak mengambil lembur di bar. Bukan apa-apa, Isabela hanya tidak mau jika Kakaknya sampai jatuh sakit karena terus-menerus mencari uang untuknya. Dia juga ingin bekerja, namun Arkana selalu mengatakan bahwa Isabela tidak boleh bekerja sama sekali. Isabela hanya boleh belajar dan belajar. Itu pun dengan cara homeschooling. Arkana lebih memilih untuk mengeluarkan uang yang sedikit banyak hanya untuk mengundang dosen ke rumah. Berusaha agar Isabela mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya tanpa perlu datang ke kampus. Arkana memberikannya perlindungan kepada Isabela dengan sangat berlebihan. Namun itulah cara agar Arkana tidak kehilangan Isabela seperti ketika mereka kehilangan kedua orang tua mereka. Isabela mengingat dengan jelas apa yang terjadi kepada kedua orang tua mereka. Sebuah penembakan yang dilakukan oleh orang yang tidak dikenal kepada Ibu dan Ayahnya. Namun Arkana berhasil untuk membawanya kabur waktu itu. Isabela mengingat semuanya, saat dirinya menangis sendirian di dekat parit sambil menunggu Arkana mencari makanan untuk mereka. Semua masa terberat itu begitu sangat menyakitkan. Arkana datang membawa makanan walaupun wajahnya babak belur. Klek. Arkana masuk ke dalam rumahnya dengan membawa sebuah kantung plastik berlogo sebuah minimarket yang lumayan terkenal di kota ini. Isabela mendekat, menatap sang Kakak yang tampak baik-baik saja. Senyumnya mengembang, untung semua baik-baik. Untunglah Arkana tidak mendapatkan masalah selama di jalan. "Kenapa?" Tanya Arkana penasaran. Isabela menggeleng pelan, "enggak pa-pa, Kak. Aku senang lihat Kakak pulang dengan selamat. Aku cuma khawatir." Arkana memberikan plastik itu kepada Isabela, "Kakak bawakan Frozen food. Daripada kamu harus repot-repot memasak besok." "Wah, makasih banyak, Kak." Ucap Isabela senang. "Kalau gitu, biar aku masukin ke kulkas dulu." Sambung Isabela lalu beranjak ke dapur. Diam-diam Arkana menatap Isabela dari belakang. Laki-laki itu tidak tahu apa yang harus dia katakan kepada Isabela tentang siapa dirinya yang sebenarnya. Arkana tidak tahu cara meminta Isabela untuk berhenti mengkhawatirkannya. Harusnya dirinyalah yang mengkhawatirkan Isabela, takut jika adiknya itu akan terkena masalah karena profesinya yang sebenarnya. Arkana takut jika ada orang yang tahu siapa dirinya sebenarnya dan melukai Isabela. "Kak, mau teh?" Teriak Isabela dari arah dapur. Arkana mengangguk, "tanpa gula." "Oke, sebentar ya. Aku panaskan air dulu." "Termos?" "Rusak," jawab Isabela yang muncul dari pintu dapur. Arkana menggeleng-gelengkan kepalanya heran, "baru ganti dua Minggu yang lalu. Sudah rusak lagi?" "Hm," dehem Isabela menjawab pertanyaan Arkana. "Mungkin kita harus berhenti membeli termos!" Sambung Isabela lagi. "Ya, ide yang bagus." Ucap Arkana mengiyakan. Selama Isabela di dapur, Arkana menatap sebuah ponsel aneh yang berada di dalam tasnya. Ponsel ini adalah ponsel rancangan Happy. Hanya bisa digunakan ketika ada panggilan tugas saja. Selebihnya, ponsel ini akan mati. Happy memang sudah mengoneksikannya dengan masing-masing anggota Jendela Kematian. Jadi, tidak ada yang bisa menggunakannya selain mereka. Tidak lama kemudian, Isabela datang dengan membawa nampan yang diatasnya ada secangkir teh untuk Arkana. Perempuan itu meletakkan secangkir teh itu di atas meja. Lalu meminta Kakaknya untuk meminumnya. "Bagaimana dengan festival itu? Apakah menyenangkan?" Tanya Arkana kemudian. Tiba-tiba wajah Isabela menegang karena dia ingat dengan satu hal. Dirinya pernah mengatakan kepada Arkana bahwa tidak akan bertemu dengan Arond lagi. Tetapi dengan tidak sengaja, mereka bertemu. Itu tidak salah, 'kan? Bukankah itu namanya kebetulan. Perempuan itu terdiam cukup lama lalu menatap Arkana yang menunggu jawabannya. "Ada yang kamu sembunyikan?" Tanya Arkana penasaran karena melihat wajah panik Isabela. Isabela menggeleng pelan, "hm, festival itu cukup menyenangkan." "Oke," jawab Arkana namun masih penasaran dengan ekspresi dari adiknya itu. Arkana sebenarnya penasaran dengan perubahan wajah Isabela. Namun dirinya tidak mau memperpanjang. Karena bisa saja itu hanyalah perasaannya. Dia tidak mau membuat Isabela seperti terkurung di dalam sangkar. "Kalau begitu, Kakak akan pergi ke kamar. Kamu juga tidur, ya." Ucap Arkana yang beranjak dari duduknya. "Kak," panggil Isabela sebelum Arkana benar-benar menaiki anak tangga rumahnya. "Tadi ada yang aneh saat aku ke festival." Sambung Isabela. Arkana menoleh ke belakang dan mengerutkan keningnya, "apa yang aneh?" "Awalnya, aku kira orang itu Kakak. Tetapi setelah aku perhatikan lagi, hanya style saja yang sama. Aku melihat orang itu mengenakan pakaian yang sangat mirip dengan Kakak. Pakaiannya pun sam—" "Itu bukan Kakak!" Tandas Arkana sebelum Isabela melanjutkan ucapannya. Isabela terdiam sejenak lalu mau tidak mau mengangguk, "baiklah, Kak. Mungkin aku salah lihat. Atau memang orang yang sekilas mirip dengan Kakak." Arkana tersenyum kikuk, "tidur, sudah malam." Setelah mengatakan itu, Arkana beranjak dari tempatnya berdiri. Berjalan menaiki anak tangga di rumahnya untuk segera sampai ke kamarnya. Apakah mungkin Isabela mulai mencurigainya? Arkana mengumpati dirinya dalam hati. Mengapa dia bisa seceroboh itu? Mengapa dia harus melewati festival itu dengan menggunakan pakaiannya sendiri? Arkana memang ingin mengintai Isabela dari jauh. Namun, bukannya dia yang melihat Isabela. Malah Isabela yang melihatnya. Untunglah Isabela tidak mendekatinya atau paling parah memanggilnya dengan sebutan 'Kakak'. Bisa-bisa Arkana dikenali oleh orang yang mengincar kelompoknya. Apalagi saat Isabela tahu yang sebenarnya, bahwa selama ini Arkana tidak hanya menjadi bartender atau bekerja serabutan. Tetapi ada hal luar biasa lainnya seperti menjadi seorang pembunuh yang membuat nominal uang yang dimilikinya membeludak. Laki-laki itu duduk di ranjangnya setelah mengunci pintu. Matanya yang tadinya mengantuk mulai terbuka kembali. Arkana memilih untuk mengamati sebuah foto yang terpajang di kamarnya. Fotonya dan Isabela saat kelulusan SMP adiknya itu. Sayangnya, setelah itu Arkana memutuskan agar Isabela melakukan homeschooling saja setelah dirinya masuk ke dalam pekerjaan haram ini. Pekerjaan yang membuat kehidupan dirinya dan Isabela membaik. Disisi lain, ada Isabela yang sedang menatap bulan dari balkon kamarnya. Perempuan itu sesekali bicara kepada angin malam atau bercerita kepada dirinya sendiri tentang betapa bahagianya dirinya hari ini. Isabela tersenyum samar, mengingat bagaimana kebersamaan antara dirinya dan Arond tadi. Ya, mungkin dia merasa sangat bersalah kepada Arkana karena sudah berbohong. Dia hanya ingin punya teman dan berbicara dengan orang baru. Isabela juga berharap bahwa suatu saat nanti, Arkana akan mengijinkan dirinya untuk keluar dari rumah dan berjalan-jalan sesuai dengan langkahnya mengajak. Isabela ingin mengatakan kepada Arkana, bahwa dirinya bukan anak kecil lagi. Dia bisa menjaga dirinya sendiri. Jadi, Arkana tidak perlu khawatir terhadap dirinya. Tetapi setiap kali melihat wajah Arkana yang baru pulang kerja, Isabela akhirnya mengurungkan niatnya. Isabela menjaga perasaan Arkana. Sampai sebuah pesan masuk ke ponselnya. Pesan dari seseorang yang sedang dipikirkannya. Ya, mereka sempat bertukar nomor. Tetapi tentu saja Isabela akan sembunyi-sembunyi bertukar pesan dengan Arond. Walaupun sebenarnya Isabela merasa tidak enak kepada Arkana. "Belum tidur?" Isabela sontak langsung mematikan ponselnya saat Arkana masuk ke dalam kamarnya tiba-tiba. "Ada apa?" Tanya Arkana bingung. Isabela menggeleng pelan, "enggak pa-pa, Kak. Aku selalu kaget kalau ada yang datang tiba-tiba. Mungkin aku masih trauma dengan kejadian saat kita masih kecil." Arkana mengangguk-anggukkan kepalanya lalu tersenyum tipis. Laki-laki itu memilih untuk duduk di tempat tidur Isabela. "Kakak tidak bisa tidur?" Tanya Isabela yang memilih meletakkan ponselnya di atas meja dan mendekat ke arah Arkana. Arkana mengangguk, "selalu sulit tidur." "Kakak sakit?" Tanya Isabela yang mulai khawatir. Sibuk mengecek suhu tubuh Arkana. Arkana menarik tangan Isabela, memegangnya erat-erat. "Kakak enggak sakit sama sekali." "Kakak pasti capek banget kerjanya, ya? Aku 'kan udah bilang, jangan pernah memforsir tubuh Kakak terus-menerus. Hidup kita sudah lebih baik dari sebelumnya. Apa Kakak enggak mau bersantai dulu?" Arkana tersenyum, "Kakak akan selalu berusaha untuk membuat kehidupan yang lebih baik untuk kita berdua. Kakak akan mewujudkan semua mimpi-mimpi kita ketika masih kecil dulu. Kakak janji 'kan sama kamu." "Tapi enggak dengan cara kerja terus-terusan dan bikin Kakak jadi kesulitan." Ucap Isabela yang kali ini mulai menangis. Arkana mengusap air mata yang jatuh di pipi Isabela, "Kakak enggak capek sama sekali. Kakak cuma enggak bisa tidur aja. Kamu enggak perlu khawatir, oke?" Isabela mengangguk, "tapi kalau Kakak lagi sakit, harus bilang. Kalau Kakak capek, Kakak harus istirahat. Kakak sudah berjuang terus untuk membahagiakan aku selama ini. Kakak enggak perlu memaksakan diri lagi karena aku udah bisa bantu Kakak sekarang." "No! Kakak enggak mau kamu kerja. Kakak enggak mau kamu keluar dari rumah. Terlalu berbahaya, terlalu banyak orang jahat diluaran sana. Kakak enggak mau kamu celaka." Tandas Arkana dengan wajah tegas seperti biasa. "Kak," "Enggak! Kalau Kakak bilang tidak, tidak!" Ucap Arkana dengan tegas. "Kakak akan kembali ke kamar, kamu tidur. Sudah malam." Pamit Arkana yang keluar dari kamar Isabela. Perempuan itu hanya mengangguk walaupun masih banyak sekali pertanyaan yang ingin dirinya tanyakan kepada Arkana. Isabela menghela napasnya panjang dan mendekat ke arah ponselnya. Di mana ada pesan dari Arond di sana. Isabela mengunci pintu kamarnya lalu kembali membalas pesan dari laki-laki itu. Diam-diam Isabela tersenyum dan menikmati bertukar pesan dengan orang yang beberapa hari ini dikenalnya. Arond orang yang baik dan menyenangkan menurut Isabela. Bahkan tanpa terasa, Isabela tertidur karena sudah terlalu malam. Sebuah pesan pun muncul di ponselnya. Selamat tidur Isabela. Semoga mimpi indah. ~~~~~~~~~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD