Tempat Baru

1038 Words
    Baru pertama ini Dani merasakan kebahagian setelah sekian lama, mungkin lebih tepatnya kepuasan. Hari-harinya yang sangat melelahkan dan penuh tekanan terbayar dengan tiga angka barusan. Dia mulai menemukan setitik cahaya yang ia rasa akan semakin terang seiring waktu.     Game kedua berakhir. Tangan semua orang bertemu untuk bersalaman walau basah oleh keringat.     “Good game!” Rizky memberikan selamat pada juniornya yang sudah berjuang.     “Thanks, Kak.”     Rizky mengangguk ramah. Tim Dani benar-benar terbantu oleh rencana Rizky. Setelah berterima kasih, Dani memuaskan tenggorokan keringnya. Latihan hari ini tidak akan ia lupakan, suasana pertandingan pertamanya yang benar-benar berbeda dari dugaannya. Karena kaosnya basah, ia memilih untuk t*******g d**a sambil melihat teman-temannya yang bermain di game terakhir.     “Gimana?” Rizky duduk di sebelah Dani.     “Maksudnya?”     “Pertandingan pertama mu, kan?”     “Lumayan.” Dani tertawa bodoh, ia bingung harus berkata apa.     Rizky terkekeh, ia mengharapkan jawaban yang lebih panjang dari itu. “Tapi beneran aku gak nyangka kamu bisa main bagus di babak terakhir.”     Dani terdiam, ia menoleh ke arah seniornya. “Dibanding yang lain, aku cuma beban, sih.”     Lagi-lagi Rizky tertawa puas. Ia rasa bocah di depannya tidak sadar akan kemampuannya sendiri. “Nggak salah, tapi ada sesuatu di dalam diri kamu … butuh waktu agar kamu sadar.”     “Apa?”     Rizky bangun dari posisinya, ia tidak menjawab pertanyaan Dani. Setelahnya laki-laki itu kembali ke kerumunan kelas sebelas. Ketika berjalan, punggung Rizky terlihat sangat keren di mata Dani. Ia melihat sosok Rizky sebagai orang yang bisa diandalkan, pintar, dan memotivasi orang di sekitarnya. Tidak heran jika dia punya begitu banyak teman.     Latihan hari ini selesai dengan rasa puas yang tergambar di wajah semua anak. Pak Agoy memberikan apresiasi pada murid-murid kelas sepuluh. Untuk hari ini Dani menemukan sebuah tempat yang benar-benar nyaman.     Sebelum pulang, Dani bertemu Rizky di parkiran. Seperti biasa Rizky di kerumuni teman-temannya. Apa dia nggak pernah sendiri? Dani sedikit iri dengan sosok yang ia pandangi.     Rizky yang merasa sejak tadi diawasi menoleh ke Dani. Dia mengangkat kepalanya untuk menyapa. Dani memberikan jempol untuk menjawabnya. Di atas motor, Dani menunggu seniornya yang bergerumbul menghalangi jalan keluar. Ia tak enak hati menegur. Motor Dani bergerak maju untuk antre keluar. Di depannya ada Kak Rizky dengan motor sport yang terlihat gagah.     Udah good looking, humble, kaya lagi. Emang gak adil dunia ini. Dani tersenyum sinis pada orang itu. Tiba-tiba tangan Rizky memberi kode agar Dani maju ke sampingnya. Dani memutar gas untuk maju.     “Denger-denger kelas kamu ada siswa pindahan, ya?”     Dani menjawab iya, ia sempat berpikir Rizky akan mengatakan sesuatu yang penting, tapi ternyata hanya basa-basi.     “Cewek?”     Dani mengangguk.     “Siapa namanya?”     Dani menyelidik tujuan Rizky bertanya akan hal itu. Atau mungkin Rizky tertarik pada Aneta karena wajahnya yang memang tidak bisa dianggap remeh. “Aneta,” jawabnya singkat.     “Ohh, Aneta ….” Rizky mengalihkan pandangannya ke depan. Sekarang mereka berdua bisa keluar dari parkiran. Motor Rizky melesat cepat sambil dirinya berteriak, “Duluan!”     Motor Dani ikut keluar dari parkiran. Pikirannya sudah melayang ke hal lain. Ia bermaksud untuk menceritakan pengalamannya hari ini pada Farhan dan menulisnya di blog.     Lima belas menit ia sudah sampai di rumah. Di dapur, ibunya sudah memulai aktivitas masaknya. Dani menyapa ibunya dengan hangat dan dibalas sapaan yang penuh kasih sayang. Seperti biasa ibunya tampak sangat letih setiap pulang dari tempatnya bekerja. Memang ibunya sejak dulu gampang sekali terbaring lemah karena bekerja terlalu keras.     Dalam dirinya, ia tak tega membiarkan ibunya seperti itu. Untuk beberapa kasus ketika weekend, ia ikut ibunya ke katering untuk membantu meringankan pekerjaannya. Biasanya pada perayaan hari-hari besar, katering ibunya akan mendapat banyak pesanan. Dan sebentar lagi Hari Kemerdekaan.     “Buruan mandi, nanti makan bareng, ya?”     Dani hanya tersenyum, tidak memberikan jawaban pasti. Ia masih terbayang-bayang sosok ayahnya terakhir malam. Ia melempar tasnya ke sembarang tempat. Tubuhnya terasa sangat lengket. Ia berjalan menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri.     Setelah selesai mandi dirinya mengambil piring. Diambilnya nasi dan ikan yang terhidang di atas meja. Malam ini ia memutuskan makan sendiri di kamarnya. Moodnya sedang baik, ia tak mau itu hilang ketika melihat ayahnya. Ibunya tidak melarang Dani, ia tahu anaknya butuh waktu sendiri.     Dani menyuap makanannya sambil mengetik cerita baru yang akan ia unggah di blog-nya.     Hari yang menyenangkan,     Cerita baru kali ini akan berbeda dengan yang kemarin.     Dulu aku berpikir sekolah adalah satu-satunya tempat untukku kabur dari gerimis yang selalu turun di saat yang tidak tepat. Setiap hari, selalu berharap diri ini bisa hidup di tempat yang jauh. Hidup tenang dan bahagia.     Tapi sejak kujadikan sekolah itu sebagai tempat berteduh, aku melupakan sesuatu yang penting. Aku terlalu fokus bersandar. Lupa akan mencari kebahagiaan. Dan sialnya gerimis tetap mengguyur ketika aku pulang.     Hari ini. Aku menemukan tempat baru. Tempat yang masih sama, tapi sangat berbeda. Di sini, ada orang-orang yang hebat. Sedangkan aku yang paling payah. Tapi hari ini, kami bermain bersama. Permainan yang seru, aku merasa disinilah tempat paling nyaman untuk berteduh. Setidaknya,untuk saat ini.      Dani menekan tombol publish. Laptopnya ia matikan setelah memastikan tulisannya sudah terpasang pada halaman blog. Ia berjalan kearah jendela, langit malam ini di penuhi bintang. Hari yang begitu damai, pikirnya.     ***     Ibu Dani menuangkan sayur ke piring yang ada di depan suaminya. Laki-laki itu mengangkat tangannya, ia merasa cukup. Hari ini mereka berdua sendirian di meja makan yang cukup untuk empat orang. Sebenarnya situasi seperti inilah yang membuat wanita itu sedih.     “Ayah ….” Wanita itu ingin mengatakan sesuatu, tapi mulutnya terasa kaku. Ia menimbang-nimbang apakah ia harus mengatakan ini.     Suaminya hanya diam dalam hening. Ia tahu apa yang ingin disampaikan istrinya.     “… mau sampai kapan nyembunyiin ini dari Ken?”     “Sampai dia lulus dari SMA.” Laki-laki itu menundukkan kepalanya. Tangannya mengepal ringan.     “Memang apa tujuan Ayah?”     “Dia, dia harus hidup tanpa beban.”     Sekarang wanita itu menahan air matanya keluar. Dia tidak pernah bisa memahami keinginan suaminya yang keras kepala. Sejak menikah, ia tak pernah mengira laki-laki di sampingnya akan menjadi se-putus asa ini.     “Maaf,” ucap lirih laki-laki itu.     Perkataan itu sekaan pergi seperti angin lalu. Tidak ada respon dari wanita di sampingnya yang sedari tadi pikirannya berlabuh jauh ke masa lalu. Batin mereka berdua seperti di tusuk-tusuk oleh kenyataan yang pahit.     Istrinya tidak bisa melarang keinginan sang suami. Ia berharap, ada jalan lain yang bisa mereka tempuh.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD