Perhatian

1189 Words
    “Pagi, Dani!”     “Pagi,” jawab laki-laki yang ia sapa.     “Nggak kesiangan lagi?” salah satu tangannya berusaha menutupi mulut, berpura-pura menggoda lawan bicaranya.     Laki-laki itu sekarang tersenyum, atau lebih tepatnya senyuman tidak ikhlas. Tapi itu sudah cukup membuat hati gadis ini berbunga-bunga. Suasana hatinya akan menjadi lebih baik jikalau lawan bicaranya mau memperpanjang percakapan. Tapi sejak dulu, ia belum pernah melihat laki-laki ini tertarik secara emosional pada orang lain.     Apa sudah ada gadis lain di hatinya? Pertanyaan yang masih terpaku dalam benaknya sejak pertama kali mereka bertemu.     Tapi hati seorang Lisa tidak pernah menyerah secapat itu, ia percaya hari demi hari, minggu demi minggu, pasti ia akan mendapatkan hatinya.     Lisa berjalan kebelakang mendekati tempat duduk Dani. Di lihatnya laki-laki itu memainkan ponsel di genggamannya. Ia membuka pesan chat seperti biasanya, entah pesan dari siapa yang harus ia check setiap paginya.     Tangan Lisa meraih gagang sapu yang tergantung di tembok. Hari ini gilirannya menyapu kelas. Suasana kelas masih sangat sepi, di dalam kelas ada sekitar delapan sampai sepuluh anak. Beberapa gadis  sibuk mengobrol tentang drama korea, sepertinya ada berita hangat di kalangan k-pop. Lisa tidak terlalu suka dengan hal semacam itu.     “Permisi,” ucap Lisa pada Dani. Ia ingin menyapu bagian bawah bangku Dani.     Laki-laki itu segera berdiri dan duduk di kursi lain. Pandangannya masih tetap tertuju ke layar ponsel. Ia seperti tidak mempedulikan sekitarnya, asik pada dunianya sendiri.     Lisa cemberut, paling tidak ia berharap Dani membantu menggeret kursi agar dirinya bisa menyapu dengan mudah. Memang terdengar egois, tapi wanita mana yang tidak ingin diperhatikan oleh pujaan hatinya?     “Lis-” suara Dani ragu-ragu.     “Ya?” Lisa reflek menghadap Dani.     “Eh, nggak, itu …”     Lisa menunggu Dani menyelesaikan kata-katanya dengan sabar. Padahal dalam hati ia ingin sekali melayangkan sapunya ke tangan laki-laki di depannya. Kenapa dia membuatnya penasaran.     “Soal pentas seni, kira-kira latihannya kapan?”     Lisa menngerutkan bibirnya, mencoba berpikir. “Nggak tahu, sih. Tapi antara hari sabtu-minggu atau sepulang sekolah.”     Ekspresi laki-laki itu berubah sedikit cemas. Gelagatnya mengatakan jawaban Lisa persis seperti apa yang ia tebak.     “Tapi belum tentu, kan, belum dibahas.”     “Oke.” Dani beranjak ke tempat duduknya semula.     Dani tersenyum pada Lisa karena sudah membersihkan bangkunya. Lisa adalah teman yang baik, ia bertanggung jawab. Biasanya orang lain yang piket tidak akan sampai membersihkan sampai se-detail Lisa.     Tujuan pertanyaanya tadi berhubungan dengan ibunya. Weekend ini Ibu Dani meminta dirinya menyisihkan waktu untuk membantu di katering. Ada beberapa bahan makanan dan hal lain-lain yang harus mereka siapkan untuk pesanan yang mulai membludak menyambut Hari Kemerdekaan.     Jika waktunya bertabrakan, ia tetap akan mendahulukan ibunya. Tapi jika masih sempat, ia akan datang terlambat ke kegiatan kelasnya.     Guru yang mengajar pelajaran bahasa Indonesia di jam ke tiga ternyata berhalangan untuk hadir, oleh karena itu Kiki memanfaatkan kesempatan ini untuk membahas lebih lanjut tentang pentas seni mereka. Drama seperti apa yang akan mereka tampilkan.     “Drama ngerebut kemerdekaan dari penjajah,” usul salah satu anak.     “Drama perang? Mainstream!” yang lain tidak setuju.     “Kelas lain juga mungkin bakal nampilin drama perang. So, kita butuh sesuatu yang beda.”     “Kalau event Hari Kemerdekaan, ya, identik sama peperangan,kan?”     “Tapi harus ada yang beda dari kelas lain.”     “Ya, apa?”     Suasana kelas menjadi hening, masing-masing dari anak sedang berpikir keras untuk mendapatkan ide yang bisa dilbilang unik.     “Kalau nggak ada ide, kita fix drama perang, nih?”     “Bentar, jangan buru-buru.”     “Lama, keburu tanggal 17.”     Dani tahu, jika diskusi ini terus-menerus berjalan tanpa ada ide yang masuk, kemungkinan besar mereka akan sepakat pada ide pertama. Atau kemungkinan kedua, ketika hasil akhir sudah ditentukan dan beberapa anak tidak sepenuh hati berkata iya, maka drama kelas mereka hanya akan setengah-setengah.     “Kalau mau beda, nampilin cerita snow white atau cinderella gimana?” celetuk salah anak dengan nada yang dibuat-buat entah tujuannya mengejek atau apa.     “Jangan bercanda dulu,” Kiki menjawab candaan yang tidak pada waktunya itu.     Itu dia! Dani mengancungkan tangannya karena mendapat ide dari celetukan temannya tadi. “Kita bikin drama perang, tapi ceritanya kita gabung dengan princess disney!”     “Ha?” Semua anak dalam kelas kebingungan mendengar kata-kata Dani barusan.     “Apa nyebutnya … crossover?” Dani berkata tidak yakin.     “Ohh, nggabungin dua konsep cerita jadi satu!” Lisa paham akan maksud Dani.     “Itu dia!” Dani menambahkan.     “Maksudnya?” beberapa anak masih tidak paham.     “Simpelnya, kita nampilin drama, terserah apa, bisa snow white, atau frozen, atau yang lain. Terus ceritanya kita tambah-tambahin nilai perjuangan, mungkin ada rakyat Indonesia yang lagi di siksa, atau tiba-tiba ada serangan dari tentara sekutu.”     “Itu bukannya malah absurd.” Semua orang setuju ide Dani sangat konyol, tapi ada sesuatu yang menarik dari ide tersebut.     “Nggak, kalau kita bisa nggabungin cerita yang pas. Mungkin ceritanya masih bisa diterima.” Lisa yakin ide Dani layak dicoba. Kemungkinan orang lain memikirkan ide ini sangat kecil.     “Oh, ya? Siapa yang akan buat konsep ceritanya?” Kiki masih tidak yakin dengan ide tersebut.     “Aku!” Lisa berkata dengan penuh keyakinan. Disampingnya, Dani hanya diam terkagum melihat Lisa memperjuangkan ide yang bahkan pencetusnya sendiri tidak yakin.     “Oke!” Kiki tersenyum, ia percaya pada Lisa. “Siapa yang tidak setuju?”     Semua anak menggeleng. Ide ini mungkin lebih baik daripada menampilkan drama yang biasa-biasa saja. Sekarang mereka harus menentukan peran tokoh utama.     “Kita perlu cowok dan cewek sebagai tokoh utama, ada yang mencalonkan diri?” Lisa bertanya pada seluruh anak dalam kelasnya.     Mana mungkin ada yang mau, Dani membayangkan saja tidak mau. Seketika ia menyupahi dirinya yang telah membuat ide bodoh seperti ini. Bagaimana jika dirinya di paksa menjadi tokoh utama laki-laki?     “Kita acak pakai kertas, yang dapat kertas tulisan P dan L jadi tokoh utama, ya!”     Dani menghembuskan nafas lega, setidaknya ia punya pelung lebih besar untuk tidak jadi tokoh utama. Kertas mulai dibagikan pada setiap anak. Setelah terbagi rata mereka akan membukanya bersama-sama. Setiap anak harus mengaku jika ia yang mendapat peran tokoh utama.     “F**k!” kata-kata kotor itu keluar dari mulut Dani ketika dirinya membuka kertas. Spontan temannya yang berada di dekat Dani berteriak bahwa Dani-lah yang mendapatkan peran itu. Dari sekian banyak anak kenapa mesti aku. Dirinya masih belum bisa menerima kenyataan yang pahit.     “Terus siapa yang jadi ceweknya?” tanya Kiki.     Tangan seorang gadis yang selalu duduk di bangku paling depan terangkat. Tangan Aneta mengambil perhatian seluruh anak dalam kelas. Aneta hanya mengangkat tangannya tanpa mengatakan sesuatu. Kiki mengambil kertas yang di pegang Aneta untuk memastikan. Memang benar bahwa Aneta-lah yang akan menjadi pasangan Dani.     “Nggak, jangan, Dia!” Dani berteriak kencang sambil menunjuk Aneta dengan tangan kirinya.     Dia memang tidak ingin menjadi tokoh utama, apalagi jika harus berpasangan dengan gadis yang membuatnya kesal dua hari lalu. Dani sudah bersumpah tidak akan mencari perkara lagi dengan Aneta.     Semua anak memandang Dani dengan bingung.     “Pokoknya jangan Aneta.” Dani mencoba meluruskan perkataannya.     “Kenapa?” tanya Kiki padanya.     Mulut Dani terasa kaku, ia tidak bisa mengatakan alasan sebenarnya. Matanya tertuju pada gadis di depan, Aneta hanya melihat Dani dengan diam.                         
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD