Dua

2149 Words
Gavin melangkahkan kakinya memasuki sebuah restoran cepat saji. Karena seorang half-demon, Gavin masih membutuhkan makanan. Dia bahkan bisa merasakan makanan dengan sangat baik. Gavin juga terkadang bisa tertidur saat malam hari. Penampilan Gavin yang memang masih di usia remaja membuat beberapa remaja perempuan meliriknya. Gavin yang melihat itu hanya mengulas senyum tipis, membuat mereka heboh karena itu. "Gue yang disenyumin!" "Gue!" "Gue!" Para gadis itu sampai tidak menyadari Gavin yang sedang membawa nampannya menghampiri mereka. "Ehem… Permisi." Para gadis itu menahan napas, mereka serempak menoleh perlahan ke arah sumber suara. "Boleh gabung?" "O-oh, y-ya, b-boleh." Salah satu gadis menyahuti. Gavin pun mendudukkan diri di dekat gadis itu. "Tempat lain penuh." Tambahnya. Suasana menjadi hening. Gavin sibuk memakan burger-nya dan sesekali meminum cola-nya. Sedangkan para gadis itu hanya menatapnya. "Hmh," Gavin mengelap mulutnya dengan tisu, "Kalian nggak lanjut makannya?" "E-eh, iya." Mereka tersentak nyaris bebarengan, kemudian mereka pun mulai kembali makan. Gavin hanya menyungging senyum, namun diam-diam ia menyerap jiwa para gadis itu. Perlahan, sedikit, namun pasti. Setelah menghabiskan makanan, para gadis itu meminta nomor ponsel Gavin. Gavin pun hanya tersenyum dan mengangguk, dia memberikan sebuah nomorㅡ yang tentu saja bukan miliknya, melainkan milik Darrenㅡ temannya. Gavin memang sering melakukan hal ini dan Darren biasanya hanya akan memarahinya. Selepas keluar dari restoran cepat saji itu, Gavin memilih untuk menuju kedai es krim favoritnya. Selagi menunggu es krimnya siap, Gavin melihat-lihat sekitar. Pengunjung cukup ramai dan Gavin melancarkan aksinya, ia menyerap jiwa semua manusia yang ada di kedai itu. Namun, Gavin merasa ada manusia yang sekarat di sekitar kedai itu. Gavin menghentikan kegiatannya itu, dia menoleh ke kanan dan ke kiri, ia tidak melihat sesuatu yang janggal. Ia pun meninggalkan ponselnya di atas meja dan mengatakan pada pemilik kedai untuk menaruh es krimnya di meja. Setelah itu Gavin keluar dari kedai. Ia melihat sebuah g**g masuk di samping kedai itu, Gavin pun pergi ke sana. Gavin menutup kepalanya dengan hoodie yang ia kenakan, tangannya masuk ke dalam saku, ia berjalan dengan sangat tenang. Saat ia melihat seorang ibu-ibu paruh baya yang diikuti iblis sambil terus diserap jiwanya, Gavin sedikit mempercepat langkahnya untuk menepuk bahu iblis itu dan menghentikan langkahnya. "Jangan membunuh manusia." Iblis yang saat itu tidak mengenali Gavin, menepis tangannya kasar. "Bukan urusanmu." Iblis itu pun hendak pergi, namun Gavin kembali mencegahnya. "Jangan ikut campur, bocah." "Kembali ke neraka atau mati?" "Memangnya kau siapa berani mengatakan itu hah?!" Gavin menyungging senyum miring, tangan kanannya terangkat membentuk bola api. Di dalam bola api itu terdapat sebuah bunga lily, iblis itu pun membelalakkan matanya dan segera membungkuk hormat. "T-tuan Muda..." "Kembali ke neraka atau mati?" "S-saya akan kembali ke neraka." "Serahkan dirimu, katakan apa kesalahanmu. Kau harus dipenjara karena nyaris membunuh manusia." "B-baik, Tuan Muda." Iblis itu pun segera membuat portal dan pergi ke Neraka. Gavin berdecak pelan dan kembali menyimpan bola apinya. Setiap keturunan bangsawan memiliki ciri khasnya sendiri dalam membuat bola api. Isi bola api Gavin adalah bunga lily putih, sedangkan milik ayahnya berwarna merah. Dari semua anak ayahnya, hanya Gavin dan Farrel yang memiliki bunga lily di dalam bola api mereka. Bunga lily dalam bola api milik Farrel sendiri berwarna kuning. Bunga lily putih dalam bola api Gavin memiliki arti kesucian, kemurnian, ketulusan, kemuliaan, kehidupan baru, dan persahabatan. Bunga lily merah dalam bola api ayahnya adalah lambang keberanian, sumber kekuatan, gairah, dan energi yang besar. Sedangkan bunga lily kuning milik Farrel mempunyai arti yang melambangkan kesan ceria, riang gembira.  Tapi, Gavin mengetahui satu hal. Bunga lily kuning juga melambangkan palsu atau kebohongan. Gavin mengibaskan tangannya saat kembali mengingat hal itu. Ia pun mempercepat langkahnya untuk kembali ke kedai karena takut es krimnya akan meleleh. Gavin memakan es krim itu sambil memainkan ponselnya, ia tidak lagi melanjutkan kegiatannya untuk menyerap jiwa manusia. Setelah menghabiskan es krimnya, Gavin mencari tempat sepi untuk membuka portal dan kembali. Tiba di apartemennya, Gavin hanya tersenyum tipis saat melihat Davian yang tengah bermain dengan hellbunny.  "Di mana kau mendapatkannya?" "Ah, Tuan Muda." Davian melepaskan hewan liar itu, hewan itu pun menghilang setelahnya. "Dia muncul dan menghilang sejak tadi di bawah ranjang, jadi saya ambil saja." Gavin hanya mengangguk, dari semua hewan liar yang ada di Neraka, Gavin sendiri sangat menyukai hellbunny. Tapi, dia tidak pernah memeliharanya karena kelinci-kelinci itu bisa benar-benar menghilang dengan sendirinya. Mati setelah mati, Gavin memberikan julukan itu pada hewan neraka yang menghilang dan tidak lagi kembali. Saat Gavin tengah memainkan ponselnyaㅡ benda pipih pintar andalan manusiaㅡ seseorang tiba-tiba muncul, ia keluar dari portal membawa panasnya hawa Neraka. "Yo, bro." Itu Darren Dexlannor. Dia adalah seorang keturunan bangsawan, keluarganya dulu pernah menduduki kerajaan. Darren adalah satu-satunya teman Gavin dari kalangan iblis. Sebenarnya, tidak bisa juga dikatakan teman karena Darren hanya sering mengikuti Gavin. "Lu nggak punya kerjaan lain?!" tanya Gavin kesal. Darren hanya tertawa, dia mendudukkan diri di sebuah single sofa. "Kerjaan gue banyak, salah satunya ngintilin elo." "Apa faedahnya coba?" "Gue jadi lebih terkenal di kalangan iblis lah. Jadi banyak yang segan ke gue gara-gara nempel lo terus." "s****n, numpang tenar." Darren lagi-lagi tertawa. "Coba ya, Vin. Sekali aja lo dateng kek ke acara-acara apa gitu di dunia iblis. Pasti banyak yang mau temenan sama lo." "Tapi, gue nggak mau temenan sama iblis. Apalagi semodelan lo gini." Darren melempar sebuah buku, Davian dengan sigap menangkap buku itu. Gavin hanya menyungging senyum miring. "Bodoh banget pengawal gue malah gue bunuh." Gavin mengangguk menyetujui, "Sadar diri ternyata." Darren mendengus, ia memilih membuka ponselnya dan berdecak saat melihat banyak pesan baru yang masuk, bahkan ada beberapa panggilan dari nomor tidak dikenal. "Lo ngasih nomer gue ke siapa coba. Kebiasaan banget ngasih-ngsih nomer orang sembarangan. Ngajak berantem?" Gavin tersenyum miring sambil menggeleng, "Lumayan tuh banyak nomer cewek. Lo kan pucekboi kelas atas." Darren meletakkan ponselnya cukup keras. "Sumpah ya, Vin. Lu tuh ngeselin banget. Iblis ter-arrgh." Gavin tertawa, "Makanya nggak usah deket-deket. Gue juga males deket sama lu terus." "Tapi, lu deket sama Davian! Dia sering tuh ke mana-mana sama lo." "Dia pengawal gue, setan." "Enak aja dibilang setan, gue ini keturunan bangsawan. Iblis kelas atas." Gavin mengibaskan tangannya, "Terserah. Udah, diem, ya. Diem lu berdua di sini. Gue mau pergi." "Anda ingin ke mana lagi, Tuan?" Gavin menghentikan langkah, ia menghampiri Davian lalu menepuk kepalanya. "Ke atap bentar. Diem aja di sini." Gavin pun membuat portal dan segera menghilang. Darren masih tidak percaya karena Gavin memperlakukan Davian seperti hewan peliharaannya. Mungkin terdengar buruk. Tapi, para bangsawan iblis yang lain malah memperlakukan para pengawal jauh lebih burukㅡ buruk dalam artian yang sebenarnya. Mereka juga tidak segan membunuh para pengawal itu walaupun mereka tidak melakukan kesalahan. Darren sendiri contohnya. Dia membunuh pengawalnya hanya karena malas melihat wajahnya. "Hey." Panggil Darren pada Davian. Davian pun menoleh. "Ada apa Tuan?" "Lu udah lama jadi pengawalnya Gavin?" Davian mengangguk, "Sejak Tuan Muda berumur sepuluh tahun." "Umur manusia?' Davian kembali mengangguk. "Kalo perbedaan umur kita sama umur manusia yang sebenernya kan sepuluh tahun. Kalo Gavin gimana? Dia kan half-demon, jadi, separonya umur kita?" Belum sempat Davian menjawab, Gavin kembali. Dia menatap Darren dan Davian bergantian. "Kenapa kalian?" ia pun berjalan mengambil ponselnya yang tertinggal di atas kasur. "Barusan gue liat bintang jatoh, keren banget. Sayangnya ni hp malah ketinggalan." "Lo tau kan kalo bintang jatoh itu iblis yang mau balik ke langit tapi dipanah pake mata air dari Surga sama malaikat? Mereka dilempar balik ke Dunia dalam keadaan nyaris mati." Gavin hanya terkekeh dan mengangguk, "Iya, iya, gue tau. Gue nggak sebodoh itu. Lagian gue punya google berjalan." Tunjuknya pada Davian. Darren pun terkekeh, "Lu mau balik ke atap lagi?" "Yoi, nggak usah ikut lu pada. Di atas adem, entar kalian ke sana jadi pengap. Hawa-hawa Neraka." Darren kini meraih lampu belajar, nyaris melempar itu pada Gavin. Namun, Gavin tertawa. Setelah menyimpan ponselnya dalam saku, ia membuat bola api di tangan kanannya. "Sini, lempar sini. Gue bakar lo, ya." Darren mendengus, ia meletakkan kembali lampu itu. Kemudian bangkit dan mengeluarkan bola apinya juga. Bola api Darren berisi bunga mawar berwarna merah. Dia satu-satunya keturunan iblis yang memiliki lambang sama persis dengan milik ayahnya. "Ayo duel. Davian taruhannya." Davian membelalakkan matanya, terkejut karena Darren mengikutsertakan dirinya dalam pertarungan mereka. Gavin menoleh pada Davian, ia melihat sosoknya memelas. Namun, Gavin hanya menyungging senyum miring sambil menatap Darren. "Oke. Kalo lo menang, Davian buat lo, terserah mau lo apain. Tapi, kalo gue yang menang, lo jadi babu gue seminggu." Darren tertawa mendengar itu. "Oke, deal." Mereka pun segera membuat portal menuju atap. Davian menyusul keduanya, dia menonton di sudut atap yang dekat dengan pintu menuju atap itu. "Dua iblis ituㅡ kurang kerjaan." Davian menumpu kepalanya pada lipatan tangan yang ia letakkan di atas lutut, ia tidak benar-benar ingin melihat pertarungan tidak penting itu. "Terakhir kali gue nyuruh lo lompat ke air. Dan ujung-ujungnya lo bener-bener lakuin itu. Sekarang masih mau lanjutin? Yakin harga diri lo nggak tercoreng? Kalo lo kalah, Darren Dexlannor bakalan jadi babu seorang Gavino Arlenka Leoniel." "Banyak omong lo ya." Darren melemparkan bola apinya lebih dulu. Gavin tentu saja dengan gesit menghindar. Pertarungan itu sangat sengit, mereka benar-benar melakukan pertarungan yang sebenarnya. Bagian bawah hoodie Gavin sedikit gosong karena terbakar bola api milik Darren saat sosoknya berusaha melindungi Davian yang nyaris terkena bola api yang dilempar asal oleh Darren. Darren sendiri masih baik-baik saja. Dia bahkan tertawa senang karena Gavin teralihkan fokusnya. Gavin mendengu, emosinya tiba-tiba memuncak karena melihat tingkah Darren. Dia melenyapkan bola apinya, manik merahnya berubah menjadi putih dan di dalamnya terdapat pancaran bunga lily. Darren yang melihat itu nyaris terjungkal karena tersandung sepatunya sendiri saat ingin melangkah mundur. Sedangkan Davian segera berlari, berusaha menghentikan Gavin sebelum tuannya itu benar-benar membunuh temannya. "Tuan!" Gavin nyaris melemparkan bola apinya yang berwarna biruㅡ masih dengan bunga lily putih di dalamnya. Bola api yang berwarna biru lebih panas daripada yang berwarna merah. Namun, sosoknya lebih dulu pingsan. Darren menelan ludahnya gugup, sosoknya berada di tepian atap. Ia sempat menoleh ke belakang, melihat betapa tingginya apartemen yang didiami Gavin sebelum membantu Davian membantu memapah Gavin yang pingsan. "Tuan Dex, tolong rahasiakan ini dari sang Raja. Rahasiakan ini dari siapapun yang ada di istana." Davian berucap sebelum membuka portal dan membawa Gavin ke kamarnya. Darren hanya memperhatikan saat Davian merebahkan Gavin. Tangannya bersedekap, bersiap mengajukan pertanyaan. "Dia kenapa?" Davian menghela napas, "Tuan Muda belum bisa mengontrol kekuatannya." Darren menatap Gavin lama, "Jujur saja dia mengerikan. Rasanya, kekuatannya bahkan lebih besar dari ayahnya sendiri." Davian hanya mengulum bibir, tidak mengelak maupun mengiyakan. "Sebentar lagi dia seratus tahun, ya? Umurnya benar-benar separuh umur kita?" Davian mengangguk. "Iya, Tuan." "Aku tidak bisa membayangkan saat dia benar-benar seratus tahun. Kuharap tidak ada yang membuatnya emosi dan menghancurkan Neraka." Davian tertawa. "Tuan Muda belum bisa mengeluarkan kekuatannya yang ini saat di Neraka. Di Dunia Manusia pun kekuatan ini hanya keluar saat dia benar-benar marah." "Kekuatan aslinya belum sempurna. Dia harus mencapai umur seratus tahun untuk bisa mengendalikan kekuatannya itu." "Benar, Tuan." "Aish…" Darren berdecak pelan, "Gue jadi serius gini kan. Pake bahasa iblis segala." Davian tertawa, "Jujur saja Anda lebih cocok menggunakan bahasa iblis, Tuan." "Gue tau. Apalagi gue dulunya anak raja kan. Bahasa yang gue pake terpilih banget gitu rasanya." Davian lagi-lagi tertawa dan mengiyakan saja. "Tapi, ada yang aneh sama kekuatan Gavin." Ucap Darren setelah beberapa saat hening. Davian hanya menatap Darren, berharap Darren tidak benar-benar mengetahui apa yang salah dengan tuannya sendiri. "Perasaan gue aja kali, ya." Ia pun mengibaskan tangannya dan terkekeh. Davian hanya tersenyum tipis, sedikit merasa lega. Lalu perhatian keduanya teralih pada Gavin yang mulai sadar. "Es krim, es krim." Darren menendang kasur yang Gavin tiduri, "Orang baru bangun pingsan yang dicari tu air! Bukan es krim!" Gavin berdecak melihat Darren, ia berdehem setelah mendudukkan dirinya. "Cariin gue es krim," ucapnya pada Davian. Davian sempat menatap tuannya lama, namun akhirnya mengiyakan saja. Setelah kepergian Davian, Darren mendudukkan diri di tepi ranjang. "Lo oke?" "Jangan bilang siapa-siapa." Darren mengangguk, "Gue nggak ember kok. Santuy." "Kekuatan gue belum stabil." "Ya iya lah, masih proses. Lo baru mau seratus tahun. Entar juga kalo umur lo udah pas segitu, lo bisa ngendaliin kekuatan lo sendiri." Gavin hanya mengangguk. "So, gue kalah?" tanyanyaㅡ membahas pertarungan mereka yang sebelumnya. Darren tertawa, "Nggak lah. Nggak fair banget kalo gitu. Kan lo-nya pingsan. Ntar kita duel ulang aja, kapan-kapan." Gavin pun terkekeh sekilas dan mengangguk. Davian pun kembali sambil membawa banyak es krim. Gavin langsung berbinar melihatnya. Ia membuka plastik yang Davian bawa, lalu mulai memakan es krim itu. "Makan aja." Gavin menyodorkan es krim itu pada Davian dan Darren, namun tentu saja keduanya menggeleng. Para iblis lebih baik menghindari air karena mereka akan melemah. Inti dari iblis adalah api, jika api terkena air, tentu saja api akan mati. Tapi, iblis hanya akan melemah, tidak langsung mati. "Ini enak lho. Kalian yakin nggak mau?" Davian menggeleng sopan, sedangkan Darren mendecak malas. Gavin hanya tertawa, ia pun menghabiskan semua es krimnya sendiri karena Davian dan Darren tidak bisa ikut menikmati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD