Bab 2

801 Words
Bintang sudah berjanji akan bangkit dari rasa sakit hatinya kepada Geno. Namun yang terjadi adalah, dia menangis ketika Cici telah pulang setelah mengantarnya. Sebelumnya, Bintang tersenyum biasa saja, saat ia sampai di kamar, "Hua! Geno jahat sama Bintang, pacaran tiga tahun tapi kata jodoh gak kepincut di antara kami berdua." Teriakannya membangunkan sang ayah yang sedang tidur siang, membuat pria paruh baya tersebut mengetuk pintu kamar anaknya. "Bintang, kamu kenapa teriak-teriak, Nak? Kamu pikir rumah ini hutan, atau kamu temannya monyet?" Bintang membuka pintu, menampakkan matanya yang memerah dan membengkak karena menangis, dirinya pun memeluk sang ayah dengan tersedu-sedunya kemudian berkata, "Bapak, itu si Geno, dia nikah sama yang lain pas aku lagi sayang-sayangnya." Dia mengadu layaknya anak kecil, Erlan sebagai ayah hanya dapat menghela napas. "Kalau dia nikah sama yang lain, yah berarti kalian gak jodoh, udah, udah ... daripada nangis terus, mending kamu bantuin ibu di bawah yang lagi masak, lagi enak-enaknya tidur, malah keganggu sama suara trenggiling," ujar Erlan kemudian meninggalkan Bintang yang melongo. "Bapak tega banget, sih?!" "Gak peduli!" Bintang mengusap air matanya menggunakan sarung, kemudian turun dari kamarnya menuju dapur untuk membantu sang ibu. Saat Bintang berada di sana, boro-boro dia bantuin ibunya, bukan menolong, malah gadis tersebut sedang curhat. "Mak, kapan sih Bintang bisa dapetin pangeran berkuda yang tampan, kaya, juga setia? Keknya di dunia ini, Bintang ditakdirkan untuk jomlo dan sakit hati," ucapnya, Suratih-Ibu Bintang-menyubit lengan anaknya yang asal berbicara. "Mak, kok dicubit sih? Kan sakit." "Untung lenganmu yang Mamak cubit, bukan mulutmu! Ngomongnya ngawur gitu, pengen jadi perawan tua, yah?" "Ish, gak mau dong, Mak." "Terus kenapa nangis-nangis kek orang gak pernah makan setahun?" "Itu tuh, Mak. Geno, dia nikah sama yang lain, Bintang cuman bisa ngelus d**a dan bersabar, bahwa jodoh tak akan ke mana nantinya," jawab Bintang yang membuat Suratih tidak mengerti. "Sok bijak kamu, Mamak sampai heran, tadinya sakit hati dan meraung-raung kek orang gila, lalu tiba-tiba berubah seperti itu, kamu ini kenapa, Nak? Pengen dibawa ke rumah sakit jiwa? Atau ke psikiater gitu?" Heran Suratih, Bintang sendiri juga heran, kenapa orang tuanya kompak membuatnya tambah sedih hari ini? Mendukung tidak, bikin kesal iya, tapi ... Bintang selalu beristigfar karena dirinya bukan anak durhaka. "Sana, salat terus minta doa ke Allah biar dikasih jodoh cepat, Nak. Atau, nanti kamu ngomong di Bapakmu biar dicariin jodoh, sekalian ngasih tau kalau kamu itu gak laku-laku, ha ha ha." Bintang menatap datar mamaknya, kemudian pergi begitu saja tetapi sebelum itu, tentu dia pamit terlebih dahulu, jika tidak, Suratih akan menghukumnya dengan menyikat lantai kamar mandi. Seperti saran sang mamak, Bintang menuju ayahnya dan bertanya, "Pak, beneran nih kalau Bapak bisa cariin Bintang cowok yang baik-baik, terus ganteng, kaya, dan juga setia?" Erlan menyemburkan kopi yang baru dia minum, tanpa salam putrinya langsung bertanya tentang laki-laki, apa dia tidak salah dengar? "Kenapa baru minta? Dulu, Bapak udah tanya ke kamu, mau gak dicariin laki-laki? Mumpung Bapak punya banyak teman yang punya anak laki-laki, tapi kamu langsung nolak tanpa lihat paras dan sifatnya dulu, gimana tuh?" "Ya Allah, Pak. Kan Bintang udah jelasin kalau dulu itu tuh, Bintang masih pacaran sama Geno," jawab Bintang, menjelaskan ke bapaknya agar mengerti alasan penolakannya pada waktu itu. "Oh, okey. Insya Allah Bapak bakalan carikan, tapi ingat ... jangan ngadi-ngadi kalau calonnya udah datang, paham?!" tegas Erlan agar anaknya tak ada niatan untuk mempermainkan calonnya nanti. "Siap dong, Pak. Pokoknya harud GANTENG!" "Bodo amat, Nak. Nanti Bapak carikan yang giginya kuning, biar kamu jual di toko emas dan langsung kaya." Mendengar permintaannya diterima walau dengan sedikit candaan ngawur dari bapaknya, Bintang sangat senang, dia pun kembali kamar dengan cepat lalu memberitahukan hal ini kepada Cici. CI, BESOK HARUS DENGER CERITA GUE! ADA KABAR YANG BAGUS BANGET, HUA! Setelah mengirimkan pesan tersebut, dirinya pun mematikan ponsel kemudian mengisi daya, karena baterainya lemah. Bintang memang kejam yang tak peduli dengan balasan Cici nantinya, yang jelas ... sahabatnya itu harus tahu dan menyimak dengan baik. Ke esokan harinya, di kampus pada saat jam istirahat, Cici ingin sekali menampol Bintang mengenai pesannya semalam. "Seenak jidat lo ninggalin hp gitu aja, padahal gue asyik-asyiknya lagi main game, karena lo gue langsung kalah dan dibentak-bentakin sama tim." "Cuma game doang, lebay lo." "Sini anak lidah lo, pengen gue tarik terus sentil, gemes banget soalnya, Bin," balas Cici. "Sekarang, apa yang ingin lo kasih tau?" lanjutnya penasaran, mengubah mimik wajah dalam mode menyimak-serius-. "Tegang banget muka lo, Ci. Kek tiang listrik kesambar petir." "Ish, cepetan bego, gue enggak sabar." "Iya, buaya betina, sabar dikit napa," kesal Bintang, kemudian melanjutkan ucapannya, "oke, kemarin tuh yah, gue minta ke bapak buat dicariin cowok yang ganteng, tajir, dan setia, lo tau apa responnya?" "Iyah gue tau, bapak lo gak mau karena anaknya terlalu burik untuk mereka yang tampan dan istimewa, puas?!" "Lama-lama hidung lo pengen gue masukin pulpen, Ci!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD