Malam milik kita
Gaun putih yang membalut tubuh Cellin bukan hanya indah—ia seperti mahakarya. Tubuh semampai, wajah teduh dengan garis-garis keturunan kelas atas, dan senyum yang dilatih sejak kecil untuk menenangkan, memikat, dan menyembunyikan. Ia berdiri di tengah aula mewah yang disewa dari dana "tabungan" yang, tentu saja, bukan berasal dari Bryan.
Semua tamu memuji kecantikan dan kelembutan Cellin. Mereka bilang Bryan pria beruntung. Tapi mereka tak tahu apa-apa.
Cellin menatap pria yang kini sah menjadi suaminya. Bryan. Dulu dia pria sederhana, anak dari keluarga bangsawan tua yang kini hanya tinggal kenangan. Ayahnya wafat, dan bisnis keluarga hancur. Bryan harus memulai segalanya dari nol, mengais beasiswa, kerja sambilan, menekan harga diri.
Cellin mencintainya justru karena itu. Karena hatinya yang dulu tulus. Karena ketekunan dan impian polos yang belum ternoda.
****
Dan karena Cellin tahu, hanya dia yang bisa membuat pria ini bangkit. Maka ia bergerak... dalam diam.
Kamar hotel bintang lima itu sunyi. Hanya suara lembut musik jazz dari speaker tersembunyi yang mengisi ruang, seolah ikut menjaga keintiman malam.
Cellin duduk di ujung ranjang dengan gaun tidur sutra putih yang membalut tubuhnya bak kabut tipis. Cahaya lampu kuning temaram memantulkan kilau kulitnya yang mulus. Matanya menatap Bryan, gugup tapi hangat. Ia belum pernah terlihat begitu rapuh—dan begitu cantik.
Bryan, masih dalam jas pengantin, berdiri beberapa langkah di hadapannya. Ia menatap wanita yang kini sah menjadi istrinya. Wajah itu, tubuh itu, cara Cellin menunduk malu-malu—semuanya seperti mimpi yang terlalu indah untuk jadi nyata.
"Aku masih nggak percaya kamu sekarang istriku," bisik Bryan, suaranya nyaris tenggelam dalam desir AC.
Cellin tersenyum kecil, manis dan tenang. "Jangan percaya. Nikmatin aja."
Mereka tertawa kecil. Tegangan mencair, digantikan oleh sesuatu yang lebih dalam—keinginan, dan rasa memiliki.
Bryan mendekat, duduk di sampingnya, lalu menyentuh pipi Cellin dengan punggung tangannya. Lembut. Hati-hati. Seolah Cellin bisa pecah jika disentuh terlalu keras. Ia menatap ke mata istrinya, dan melihat sesuatu yang tak pernah ia sadari sebelumnya: keberanian yang diam, dan cinta yang tak bersyarat.
"Aku janji, aku akan bahagiakan kamu," ucap Bryan, dengan kesungguhan yang belum ternodai waktu.
Cellin tidak menjawab. Ia hanya menarik Bryan perlahan mendekat. Bibir mereka bertemu, ringan di awal, lalu lebih dalam. Tak ada kata, hanya napas yang mulai terputus-putus dan tubuh yang saling mencari hangat.
Jas Bryan jatuh ke lantai. Gaun tidur Cellin meluncur turun di pundaknya, nyaris tanpa suara. Jari-jarinya menyusuri leher Bryan, lalu meremas tengkuknya dengan kelembutan yang menggetarkan.
Malam itu, tubuh mereka menyatu dalam gelombang emosi dan hasrat. Bukan sekadar kenikmatan fisik, tapi sesuatu yang lebih rumit: rasa syukur, rasa takut kehilangan, dan keyakinan semu bahwa cinta akan cukup untuk menaklukkan segalanya.
Namun di dalam hati Cellin, ada sekelumit rasa yang tak bisa dia hilangkan. Sebuah bisikan kecil:
"Semoga ini bukan cinta yang akan kau sesali suatu hari nanti."
Bryan menatap wajah Cellin yang setengah tersembunyi dalam cahaya redup. Nafas istrinya tersengal, bukan karena takut—tapi karena campuran rasa gugup dan rindu yang telah lama dipendam. d**a mereka saling menyentuh, ritme jantung keduanya berlomba tanpa pemenang.
"Sayang," bisik Bryan lembut di telinganya, "kalau kamu ragu… kita bisa tunggu."
Cellin menggeleng pelan. "Aku bukan ragu… aku cuma ingin malam ini jadi awal yang nggak akan pernah aku lupakan."
Bryan menggenggam tangan Cellin erat, dan mencium ujung jemarinya satu per satu. Tak ada yang terburu-buru. Tak ada yang perlu dibuktikan. Hanya dua manusia, saling menyerahkan diri dalam kejujuran paling murni.
Ketika akhirnya mereka menyatu, Cellin meringis—bukan karena Bryan kasar, tapi karena tubuhnya yang belum pernah mengenal rasa ini. Bryan memeluknya erat, menahan gerak, menatap mata istrinya seolah berkata, “Aku di sini. Aku tahu ini berarti untukmu. Untuk kita.”
Butuh waktu. Butuh kesabaran. Tapi ketika peluh bertemu dengan peluk, dan rasa sakit berganti hangat, Cellin menutup mata dan membiarkan dirinya hanyut dalam pelukan pria yang ia yakini akan mencintainya selamanya.
Malam itu, bukan hanya tubuh yang menyatu. Tapi jiwa, harapan, dan janji-janji yang hanya bisa diucap lewat tatapan.
Dan ketika mereka akhirnya tertidur dalam dekapan satu sama lain, tidak ada yang tahu… bahwa malam itu, yang terasa sempurna, akan menjadi kenangan pahit di kemudian hari.
Bryan menatap dalam ke mata istrinya. Satu tarikan napas panjang darinya, dan dunia seakan mengecil. Hanya ada Cellin di hadapannya—wanita yang kini menjadi miliknya seutuhnya.
Cellin menggenggam tangan Bryan, menuntunnya dengan tenang. Jantungnya berdebar cepat, bukan karena takut, tapi karena momen ini adalah awal dari segalanya. Ia memejamkan mata, menyerahkan seluruh dirinya, bukan dengan ketakutan… tapi dengan percaya.
Ketika Bryan mencium pundaknya, perlahan turun ke lekuk tubuhnya, Cellin menggigil. Rasa hangat menjalar seperti aliran listrik halus. Ia tak lagi memikirkan siapa dirinya, siapa keluarganya, atau masa lalu Bryan. Saat ini, yang ada hanya mereka berdua.
Perlahan, Bryan membisikkan namanya. Sekali. Lalu lagi. Dan ketika tubuh mereka akhirnya menyatu, rasa sakit kecil menghentak, namun segera dibungkus oleh pelukan yang begitu erat. Cellin menggigit bibir, menahan air mata—bukan hanya karena rasa perih, tapi karena perasaan yang terlalu penuh dalam d**a.
"Aku di sini," bisik Bryan, menyentuh pipinya yang basah. "Kalau sakit… kita pelan-pelan."
Cellin mengangguk, dan untuk sesaat, ia merasa utuh. Tak ada lagi dinding antara mereka. Tak ada rahasia. Tak ada jarak.
Malam itu, cinta mereka menandai tubuh dan hati. Sebuah awal baru. Sebuah janji diam-diam, meski tak diucapkan dengan kata.
Ciuman mereka memanas, namun tetap lembut. Nafas keduanya mulai berat, namun penuh kehangatan. Cellin menggenggam tangan Bryan dan menaruhnya di dadanya—di atas detak jantung yang berlari tak terkendali.
"Aku belum pernah…" bisik Cellin, lirih. Wajahnya memerah, bukan karena malu semata, tapi karena keberanian untuk jujur.
Bryan terdiam sejenak, matanya menatap Cellin dalam-dalam. "Aku tahu," katanya pelan. "Dan aku akan pelan-pelan."
Tak ada dorongan kasar malam itu, tak ada nafsu buta. Yang ada hanya dua tubuh yang saling mengenal, saling memeluk ketidaksempurnaan, dan saling berjanji diam-diam untuk saling menjaga.
Bryan mencium setiap inci kulit Cellin dengan penuh rasa syukur, seperti membaca kitab yang suci. Ia membisikkan namanya berulang kali, seakan takut lupa, seakan ingin mengukirnya dalam-dalam di setiap bagian dirinya.
Cellin memejamkan mata. Sedikit rasa sakit, tapi lebih banyak rasa percaya. Ini bukan sekadar malam pertama—ini adalah penyerahan total. Bukan karena kewajiban, tapi karena cinta.
Dan ketika akhirnya mereka menyatu, waktu seolah berhenti. Dunia di luar kamar itu lenyap. Yang ada hanya mereka berdua—di tengah ranjang, dalam satu pelukan panjang, basah oleh peluh, hangat oleh air mata kecil yang tak sengaja jatuh dari mata Cellin.
Bryan memeluknya erat, dan dalam pelukan itu, Cellin merasa untuk pertama kalinya: dia dimiliki. Secara utuh. Secara nyata.
Namun jauh di lubuk hatinya, suara kecil yang tadi hanya bisikan, kini mulai terdengar lebih jelas:
"Apa cinta ini akan tetap seindah ini… saat dunia nyata mulai ikut campur?"