Mas Cantiiik!

3952 Words
Chua: Mas Cantiiik! Gue memandang nelangsa koper dan barang-barang bawaan gue. Menghela napas hingga belasan kali sambil mikir—di mana gue tidur malam ini? Uang nggak punya, tempat tinggal nggak punya. Ya iyalah. Gue barusan aja diusir dari tempat kos gara-gara nunggak uang kos sampe dua bulan lamanya.  Barang-barang gue dilempar keluar sama Ibu kos. Ibu kos bilang udah ngasih kelonggaran sampe dua minggu lebih katanya. Ya emang sih. Gue aja yang bandel. Abis gimana dong? Gue emang lagi nggak ada uang. Jangankan buat bayar uang kos, buat makan aja gue sering dibayarin sama Deta. Gue menatap ponsel di tangan. Ini ponsel punya perempuan yang gue  tolongin tadi sore di jalan. Nggak tahu namanya, kenal juga nggak. Tapi begonya gue bawa ke rumah sakit karena emang lagi panik. Mau gue bawa ke mana lagi selain ke rumah sakit? Kan, gue diusir dari tempat kos! “Mbak Chua, ya?” Suara maskulin membuyarkan lamunan gue seketika. Pertama kali gue lihat wajah laki-laki itu, gue akuin terpana. Orangnya cakep, badannya tinggi, enak buat sandaran waktu gue ngelirik bahunya yang lebar. Eiii. Mulai nggak waras. “Iya, Mas.” Gue berdiri agak kesusahan karena kelamaan duduk. “Mas ... suaminya?” tanya gue. “Keadaannya gimana, Mbak? Mbak yang nemuin Klari, kan?” Laki-laki itu nggak menjawab pertanyaan gue, malah balik nanya. Gue nggak tahu laki-laki ini siapanya si perempuan yang gue tolong. Entah kakaknya, pacarnya, atau suaminya. Yang gue yakinin, jelas laki-laki di depan gue ini keluarga si pasien. “Saya nggak tahu, Mas. Saya nemuin Mbak Klari udah pingsan di jalan.” jawab gue pelan lalu menyodorkan ponsel. “Ini punyanya Mbak Klari, kan? Tadi jatuh waktu Mbak Klari pingsan.” Laki-laki itu menerima benda tipis dari tangan gue. Wajahnya kelihatan cemas banget. Berkali-kali menghela napas lalu berjalan mendekati pintu perawatan Klari. “Mbak Klari masih diperiksa Dokter, Mas.” Kemudian laki-laki itu mundur dari pintu perawatan Klari dan bergabung duduk di samping gue. Gue duduk lagi. Kita berdua cuma saling diam satu sama lain. Kalau gue jelas canggung karena emang kita nggak saling kenal. Masa iya gue ngajak ngobrol orang asing---apa lagi orang itu lagi khawatir sama kondisi pasangannya. Eh. Bener pasangannya bukan, ya? Kita duduk ada sekitar sepuluh menit lamanya. Dan selama itu nggak ada obrolan sama sekali kecuali embusan napas laki-laki ini kemudian menoleh ke arah pintu yang tertutup. Gue nengok beberapa detik, menundukkan kepala sembari memandangi sepasang kaki gue yang dibalut sama sepatu hitam yang warnanya udah pudar. Baru aja gue mau nanya-nanya, ponsel laki-laki di samping gue ini berdering. Gue telan lagi suara gue ke tenggorokkan. Oke. Itu artinya gue harus diem. “Halo, Kka. Iya ... gue lagi nunggu Klari diperiksa. Lo di mana? Ah, iya. Makasih ya, Kka.” Obrolan kurang dari lima menit itu pun berakhir. Gue noleh lagi, dan kali ini laki-laki itu ikutan noleh kemudian tersenyum canggung. “Maaf, Mbak. Saya jadi lupa bilang terima kasih,” katanya memasukkan ponselnya ke dalam saku. “Sekali lagi terima kasih sudah mau menolong Klari.” Gue ngangguk-angguk pelan. “Iya, Mas.” “Nama saya Ado, nama Mbak, Chua, kan?” tanyanya, menyodorkan tangan kanannya ke gue. Gue membalasnya, lalu buru-buru menarik tangan gue. Takut baper diajak salaman sama orang ganteng. “Chua aja, Mas. Panggil Chua.” Ado tersenyum kecil kemudian duduk lagi. Gue nggak berhenti memerhatikan sosok Ado yang lagi duduk di samping gue dan masih memasang wajah khawatirnya itu. Gila aja sih. Baru kali ini gue lihat orang seganteng Ado. Orangnya tinggi, badannya tegap, bahunya lebar. Bukan cuma karena posturnya aja yang bikin mata berbinar-binar. Tapi wajah dan sikapnya yang sopan bikin gue jadi gagal fokus. “Mas Ado!” Seruan seseorang bikin gue sama Ado otomatis menoleh. Saat sepasang mata gue tertuju kepada sosok laki-laki yang lebih pendek dari Ado itu bikin gue terkejut. Mata gue membelalak nggak percaya. Dari sekian banyak orang yang hidup dan tinggal di Jakarta, kenapa harus ketemu dia lagi. Dia mulu. Pertemuan gue sama cowok cantik ini terhitung empat kali kayaknya. Dan pertemuan-pertemuan itu bisa dibilang nggak enak. Pertama, ketemu di kafe. Dan itu pertemuan perdana gue sama cowok cantik ini. Dari pertemuan pertama gue udah bikin kesan buruk. Jelas ajalah! Gue kenal nggak, tahu-tahu ngajakkin ini cowok buat jadi pacar gue di saat kafe lagi banyak orang. Ini semua gara-gara saran dan ide gila si Deta! Bertahun-tahun gue kenal Deta, harusnya gue paham kalau apa yang keluar dari mulut temen laknat gue itu nggak selalu benar. Masa iya dia menyarankan buat nembak cowok yang nggak gue kenal! Begonya, gue mau-mau aja. Waktu itu kafe cuma diisi banyak pengunjung cewek. Nggak tahu emang takdir gue harus ketemu ini cowok, atau emang cuma kebetulan aja cowok-cowok lagi mager buat ngopi di kafe. Sehabis gue curhat habis-habisan sama Deta soal novel cinta-cintaan gue, Deta bilang, gue cuma butuh pacar. Gue bingung, nyambungnya di mana sih? Gue cuma butuh sesuatu supaya gue lancar menulis genre tersebut. Deta bilang, “Lo tuh butuh pacar supaya lo bisa tahu gimana rasanya disayang. Dari situ lo bisa nulis deh tuh pengalaman-pengalaman lo. Paling nggak, lo bisa menyampaikan perasaan lo ke pembaca.” Oke. Waktu itu Deta ada benernya. Gue ngangguk aja. “Gue ada ide nih.” Deta memajukan kepalanya. “Apaan?” Pandangan mata Deta tertuju ke pintu kafe. Di situ gue lihat ada satu cowok, badannya nggak terlalu tinggi, tapi dari kejauhan udah kelihatan cakep banget. Cowok itu masuk sambil menenteng tas item kemudian jalan ke meja kasir buat pesan minuman. “Lo tembak tuh cowok. Jadiin pacar sana!” “Mulai gila lo?” Gue otomatis ngegas. Gila aja! Masa gue disuruh nembak cowok asing, sih? Deta mendorong badan gue sampe berdiri lalu memberi isyarat supaya gue deketin si cowok cantik yang sudah selesai menerima minumannya dan tinggal menunggu kembalian kayaknya.  Gue melotot, Deta dengan semangat mendorong gue ke dekat cowok cantik tersebut. Omong-omong, kenapa gue panggil dia cowok cantik. Karena dia emang cantik anjir! Rambutnya punya model yang agak keriting di depan, nggak rapi, diwarnain cokelat terang yang cocok sama kulit putih pucatnya. Gue berdiri di belakang dia, memerhatikan seluruh wajahnya yang makin sempurna dilihat dari dekat begini. Aduh ... matanya cantik banget dong! Sial. Gue minder. Gue ngikutin dia sampe dia dapet tempat duduk sambil mainan ponsel. Jujur aja gue deg-degan. Ini pertama kalinya gue nembak cowok. Mana cowoknya nggak gue kenal lagi! Oke. Nggak masalah. Ini demi keberlangsungan hidup gue sebagai penulis. Gue butuh tantangan. Gue harus menyelesaikan novel cinta-cintaan gue apa pun caranya meskipun harus mempermalukan diri sendiri. Yang keluar dari mulut gue pertama kali adalah. “Jadi pacar gue. Mau, nggak?” Dia mengangkat kepala. Gue setengah membungkuk, sebelah tangan gue menyentuh meja si cowok cantik ini.  “Hah?” Dia bengong beberapa detik. Gue menarik diri menjauh. Baru sadar orang-orang pada lihatin gue sama cowok cantik ini. Dari meja di ujung—tempat duduk gue sama Deta. Temen laknat gue itu malah memberi gestur sambil berseru tanpa suara. “Semangat!” Kemudian cekikikan. “Lo salah orang?” tanyanya. Auranya nggak enak. Dari nada bicara sampe raut wajahnya mendadak jadi mistis. “Jawab aja! Mau apa nggak?” Gue menegakkan badan. Cowok cantik itu berdiri setelah memakai tas dan menenteng gelas minumannya. “Nggaklah!” katanya ketus. “Gue nggak doyan laki-laki berwujud perempuan.” Selain raut wajahnya yang nggak enak dilihat. Ini cowok judesnya minta ampun. Suara dia yang kayaknya sengaja digedein bikin orang-orang noleh ke gue sama dia. Malah ada yang asyik videoin terus cekikikan sama temen-temennya.  Sialan si Deta! “Sinting!” Cowok cantik itu jalan dan menabrak bahu gue dengan sengaja. Gue syok anjir. Baru kali ini gue nemuin cowok bermulut sadis. Tampilan sama cara bicaranya kontras banget. Wajahnya soft, cakep, cantik secara bersamaan. Tahunya bangke banget sekali ngomong! Masa gue dibilang laki-laki berwujud perempuan, sih? Gue perempuan, bodoh! “Lakka.” Suara Ado membuyarkan lamunan gue seketika. Gue memalingkan wajah. Kenapa harus ketemu mahluk cantik ini lagi sih! Nggak cukup mempermalukan diri gue di kafe, pertemuan kedua, ketiga dan keempat selalu sukses bikin malu setiap kali ketemu sama dia. Gue tahu Lakka lagi memperhatikan keberadaan gue di samping Ado. Bukannya geer ya. Tapi wajahnya waktu lihat gue udah horor banget. Bisa dipastikan sebentar lagi dia bakal bilang sesuatu yang pedes. “Oh ya, Kka," Ado berdiri menghampiri Lakka. Semakin mendekat, aura Lakka makin nggak enak. Kalau aja ini salah satu acara TV, mungkin di sekitaran tubuh Lakka muncul asap hitam. “Kok ada dia, Mas?” Gue ngelirik Lakka yang lagi menunjuk gue. “Ini Chua, Kka. Dia yang udah bawa Klari ke rumah sakit.” “Beneran?” Nada bicara Lakka kayaknya sangsi. “Bukan dia yang bikin Mbak Klari masuk rumah sakit, kan?” Gue melotot. Tangan gue gatel pengin nampol mulut pedasnya itu. Bisa-bisanya dia nuduh gue yang bikin Klari masuk rumah sakit. Heiii. Muka gue boleh kayak preman. Tingkah gue juga. Tapi gue nggak mungkin bikin orang pingsan! Lagian nih, ya. Kalau gue penyebab Klari pingsan, mana mungkin gue juga yang bawa dia ke rumah sakit! “Kka," Gue diem-diem ngelirik Ado. “Jangan gitu ah.” “Terus, Mbak Klari gimana keadaannya? Baik-baik aja kan, Mas?” “Masih diperiksa Dokter, Kka.” Setelahnya Lakka ikut duduk di samping Ado. Mereka ngobrol sebentar. Kebanyakan si Ado yang nanya-nanya. Beberapa kali dia menyebut nama Rei dan dua orang lagi yang jelas nggak gue kenal. Lakka menimpali sesekali lalu mengangguk sebagai jawaban. Yang gue perhatiin dari Lakka, ini orang kayaknya nggak banyak ngomong. Irit gitu. Waktu Ado bicara pun dia jawabnya sekali, dua kali aja pake senyum tipis. “Lo balik aja, Kka. Tapi sebelum balik ke apartemen, lo makan dulu ya. Ajak Chua sekalian.” Gue sama Lakka kompak menatap Ado. “Gue bisa makan di apartemen, Mas.” sahut Lakka melirik gue sinis. “Dia juga bisa makan di rumah dia sendiri.” katanya menunjuk gue pake dagunya. Ado melirik gue beberapa detik. Kemudian beralih ke koper dan tas yang gue pangku. “Kok bawa koper? Kamu mau ke mana?” tanya Ado kelihatan bingung. Ya masa gue harus bilang habis diusir dari kosan karena nunggak bayar, sih? Malu dong ya. Gue cuma nyengir. Mau nolak makan gratisan yang ditawarkan Ado. Tapi ... Sialan! Ado tertawa kecil. Dan cowok cantik di samping Ado mendengus nggak suka. “Udah sana makan.” Ado menarik Lakka dan gue sampe berdiri dari kursi. “Bawa Chua makan ya, Kka. Nggak perlu di sini. Di luar aja nggak apa-apa.” Ado merogoh kantong celananya. Kali ini dia mengeluarkan sebuah dompet. “Bayar pake ini aja.” Ado menyodorkan dua lembar uang kemerahan ke Lakka. Lakka melirik gue sebentar. Gue nggak tahu deh maksudnya Lakka apaan. Dia mau nolak, atau malah ngasih uang itu ke gue dan nyuruh makan sendirian. “Nggak usah, Mas.” Lakka menolak. “Gue bayar pake uang gue sendiri.” katanya sambil menjejalkan sebelah tangannya ke dalam kantong jaketnya. “Kalau perlu apa-apa, telepon gue aja ya.” “Makasih ya, Kka.” kata Ado pelan.  “Chua ...” Ado menyebut nama gue kalem banget. Enak aja dengernya. “Sekali lagi makasih udah mau nolong Klari, ya. Saya berhutang sama kamu.” “Nggak apa-apa, Mas. Nyantai aja.” kata gue menggerakkan tangan gue ke kanan dan ke kiri. “Lakka ...," seru Ado menatap Lakka. “Bisa anterin Chua pulang sekalian, kan?”  *** Entah gue harus berterima kasih atau malah mengeluh karena bertemu Lakka. Ini pertemuan kelima gue sama cowok cantik ini. Dan pertemuan-pertemuan itu selalu nggak sengaja. Gue juga yang salah sih. Pertama kali ketemu udah bikin kesan yang nggak bagus. Wajar kalau Lakka jadi sinis sama gue. Tapi, harusnya dia nggak musuhin gue dong ya. Lagi pula dia udah nolak gue—di depan banyak orang lagi!  Memang nggak cukup, ya? Pertemuan pertama di kafe. Lalu pertemuan kedua kita ketemu di acara hajatan orang. Kalau dibandingin sama yang di kafe. Gue lebih malu lagi waktu ketemu Lakka di hajatan orang. Percaya atau nggak. Gue ke sana bukan karena diundang si pemilik acara itu. Gue aja nggak kenal siapa yang nikah. Jadi ceritanya gue lagi kepepet banget. Dompet lagi kosong. Saat itu gue lagi jalan sehabis ketemu sama salah satu temen gue. Kita ngopi bentaran dan itu pun dibayarin. Pulang dari nongkrong dan ngopi, gue lihat ada acara di salah satu kampung sebelah tempat gue ngekos. Perut keroncongan, uang udah limit banget. Mau minta makan sama Deta kayaknya nggak enak. Tuh anak udah keseringan gue repotin. Selama gue lagi nggak ada uang, dia yang jajanin gue. Dia dengan secara cuma-cuma ngasih gue ini-itu tanpa mengeluh sama sekali. Acara hajatan di kampung sebelah cukup rame sih. Banyak banget tamu yang datang. Gue ngelirik dari luar. Mata gue langsung berbinar. Wah. Banyak makanan! Kalau gue masuk ke sana dan pura-pura jadi salah satu tamu undangan, ketahuan nggak, ya? Gue ngelus perut yang belum berhenti berbunyi. Aduh. Malu. Tapi kalau nggak masuk, gue nggak dapet makan dong. Ya udahlah ya. Orang cuma tinggal masuk, terus makan, abis itu cabut. Bentaran aja sih. Nggak sampe sepuluh menit gue kelar makan. Gue ngeluarin ponsel untuk melihat dadandan gue sebentar. Untung aja hari ini gue kelihatan cakep. Baju gue masih oke untuk dikenakan di sebuah acara hajatan. Celana jins, kaus polos, kemeja kotak-kotak sama sepatu warna putih pemberian Deta kemaren. Gue siap masuk dengan perasaan deg-degan takut ada yang menyadari kalau gue bukan salah satu tamunya. Gue jalan masuk ke dalam berusaha sesantai mungkin. Gue yang dari sananya emang sableng, berasa makin sableng waktu dengan pedenya menyapa orang-orang yang papasan sama gue. Waktu melewati meja yang diisi dua terima tamu, gue udah disodorin sama kotak kardus kecil sama air mineral gelas. Gue senyum sebentar, terus buru-buru masuk ke dalam. Makanaaaan I'm comiiiiiing! Sabar ya cacing-cacing di dalam perut. Sebentar lagi kalian makan, Nak! Sabar aja ya. Tinggal ambil piring, terus jalan ke meja prasmanan sambil ngantre sama orang-orang. Gue udah sampe ke meja yang diisi makanan banyak banget. Ada berbagai menu yang bisa bikin iler gue netes. Ada sate, bihun, ayam bakar, acar kuning, es buah, dan lain-lain. Kalau aja bisa gue bungkus pulang, udah gue masukin ke kantong kresek, deh! Keadaan di sekitar gue rame banget. Orang semakin banyak yang masuk dan nggak jarang gue kena dorong. Namanya acara di kampung ya. Bukan di gedung. Wajar aja kalau tempatnya bakal sesak begini. Tapi ini menguntungkan gue sebagai orang yang lagi kelaparan. Bodo amat dibilang gila. Daripada perut gue keroncongan sampe besok pagi. Gue asyik makan sambil berdiri karena kursi-kursi pada penuh. Sambil makan, gue ngelirik di sekitaran. Takutnya aja ada yang merhatiin gue. Entah itu saudara atau temen-temen si pengantin yang ngerasa nggak mengenali gue sebagai salah satu tamu. Gue ngunyah nasi beserta ayam bakar dengan potongan gede dengan buru-buru. Waktu gue noleh ke samping, gue baru sadar ada yang merhatiin gue. Dalam hati, semoga dia nggak tahu kalau gue cuma mau numpang makan. Orang itu ngelihatin gue sampe alisnya nyureng. Gue pura-pura cuek, padahal dalam hati mah udah deg-degan. Akhirnya, sambil makan gue jalan meninggalkan meja prasmanan dan menyusup di antara para tamu. Gue noleh ke belakang, anjir. Tuh orang ngikutin gue dong. Aduh! “Kamu datang, Kka!” seru seorang bapak-bapak kepada salah satu tamu. Gue berhenti. Masih pegang piring dan mengunyah nasi di mulut. Masalahnya gue mau jalan ke depan buat menghindar orang yang sedari tadi merhatiin gue. Sialnya. Kalau gue jalan ke depan, gue bakal mentok ke panggung pelaminan. Gue nggak bisa kabur ke mana-mana selain berdiri di belakang punggung seorang cowok yang lagi ngobrol sama bapak-bapak. “Iya, Pak. Tapi maaf, saya nggak bisa lama-lama.” Samar-samar gue denger suara si cowok. “Makan dulu, Kka. Jangan langsung pulang.” gue lihat bapak-bapak itu  merangkul bahu si cowok. Waktu cowok itu membalikkan badan dan melihat ke gue. Gue otomatis melotot. Lah, ini kan cowok yang gue tembak di kafe! Cowok itu sama terkejutnya, tapi nggak lama dia memasang wajah judes. Gue diem sebentar buat mikir. Ini cowok masih inget gue nggak, ya? Dia tahu gue numpang makan di sini nggak, ya? Sedangkan di posisi lain, tepat di belakang gue. Orang yang dari tadi merhatiin gue makan jadi makin dekat. Gue ngelirik Lakka memelas. Sebodo amatlah! “MAS CANTIK!” seruan gue cukup lantang sampe bikin beberapa tamu menoleh bingung. Buru-buru deh gue mendekat ke Lakka lalu mengapit lengannya sok kenal. “Loh, siapa ini, Kka?" tanya si bapak-bapak nunjuk ke gue. “Saya—" “Saya pacarnya Mas Cantik, Om!” kata gue sedikit menunduk mengenalkan diri sebagai pacar Lakka. Gue bisa ngerasain wajah kaku Lakka. Cowok cantik yang tingginya nggak jauh beda dari gue itu sempat menunduk dan melotot nggak terima karena gue mengaku-aku sebagai pacarnya. “Pacarnya Lakka?” Bapak-bapak tersebut menatap gue sebentar, kemudian beralih ke Lakka. “Kok baru dikenalin, Kka? Wah, selamat ya. Semoga bisa menyusul anak saya.” Oh ... jadi Bapak ini yang punya hajatan. “Iya, Om. Terima kasih. Kalau saya sama Mas Cantik nyusul, kita pasti sebar undangan kok.” Bodoh. Mulut gue makin licin aja rasanya. “Harus ya. Saya pasti nunggu undangan kalian.” Bapak pemilik hajatan itu tertawa. “Tapi, kok ... kamu manggil dia Mas Cantik? Kenapa nggak Mas Lakka aja?” Waktu itu gue nggak tahu nama dia. Sempet disebut-sebut sama si bapak ini. Tapi gue udah lupa. “Panggilan sayang, Om," Gue mendongak, mau memastikan gimana keselnya Lakka sama gue sekarang. “Pak, saya permisi ya.” kata Lakka berpamitan pada bapak-bapak pemilik hajatan. Gue ditarik sama Lakka menjauh dari keramaian tamu yang makin lama makin rame. Nggak tahu deh pemilik hajatan ini punya jabatan apa sampe tamunya membeludak gitu. Harusnya kalau tamunya sebanyak ini, kenapa ngga nyewa gedung aja? Iya kan? “Lo cewek di kafe waktu itu, kan?!” tunjuk Lakka tepat di hidung gue. “Pasti lo ngintilin gue ke mana-mana sampe ke sini. Lo penguntit, ya!” tuduhnya marah. Dasarnya gue aja yang g****k. Lihat orang marah bukannya takut, tapi malah masih aja ngunyah makanan. “Nggak. Gue nggak tahu lo di sini juga.” kata gue. “Gue tadi juga nggak maksud ngaku-ngaku jadi pacar lo. Abis tadi gue—" “Alesan!” Eh. Anjir. Gue belum kelar ngomong, dia udah bilang alesan aja. Gue aja belum selesai ngasih penjelasan kenapa gue ngaku-ngaku jadi pacarnya. “Denger ya. Gue berharap ini pertemuan terakhir kita. Kalau sampai gue ketemu lo lagi, terus ngaku-ngaku pacar gue, awas aja!” Gue cuma ngangguk-angguk. Capek lihat dia ngomong pake urat begitu. Lakka jalan ninggalin gue yang masih asyik makan. Untungnya aja dia nggak nanya-nanya gue lagi ngapain di sini. Kalau gue jawab numpang makan, kira-kira reaksinya gimana ya? “Buruan pesen!” seru Lakka duduk di kursi depan gue. Bayangan memalukan di acara hajatan orang beberapa waktu lalu buyar seketika gara-gara suaranya yang ngebass. Gue melihat ke sekeliling dan menyadari kalau cowok cantik ini membawa gue ke sebuah warung makan sate ayam. Dari asap yang menjalar ke mana-mana bisa gue rasakan aroma wangi sampe ke hidung. Gue laper. “Buruan!” Bisa kalem sedikit jadi cowok nggak, sih? Muka sama kelakuannya kontras banget. Nyesel gue bilang dia cakep. Gue menyebutkan pesanan gue ke si penjual. Sepuluh tusuk sate ayam super pedes, pake irisan bawang merah yang banyak, dua porsi nasi dan nggak lupa es teh manis dua gelas juga. Dibayarin kan, ya? Kebetulan gue lagi kelaperan. Ya sekalian aja makan yang banyak. “Lo nggak pesen?” tanya gue setelah kembali ke meja. “Nggak!” Etdah. Galak bener sih. Kita berdua sama-sama diem. Gue duduk sambil menikmati aroma wangi dari sate yang lagi dibakar, sedangkan Lakka cuma mainan ponsel. Gue ngelirik dia sesekali, begitu dilirik, Lakka langsung noleh ke gue kayak yang sadar banget dilihatin. Gue meringis. Dia nggak bilang apa-apa selain balas melihat terus mendelik galak. Ini orang bener-bener galak ya. Pesanan gue datang. Sesuai yang gue sebutin sama si penjual. Lakka memandangi tiga piring sama dua gelas es teh manis di atas meja. "Kan gue bilang, gue nggak pesen!" Gantian gue yang natap dia galak. “Ini buat gue sendiri! Geer banget sih lo!” Lakka kicep. Tapi nggak lama dia mainan ponsel lagi. Gue asyik sama makanan gue. Tadinya gue agak ngeri karena porsi nasinya banyak banget. Kalau dalam keadaan perut normal, mungkin bisa dimakan dua atau tiga kali. Tapi berhubung gue lagi kelaperan, ya abis juga akhirnya. Malah gue kurang puas sama minumnya.  Masih haus. Lakka menarik selembar uang dari dompetnya dan meletakkannya di atas meja. “Lo bayar nih.” Lakka berdiri dari kursinya. “Kembaliannya ambil aja buat ongkos naik ojol.” Gue narik tangan Lakka. “Lo mau ninggalin gue di sini?” “Iya.” “Lo kan disuruh Ado nganterin gue pulang juga!” “Pulang aja sendiri!” Lakka menarik tangannya yang gue pegangin dari tadi. Cowok cantik itu bener-bener ninggalin gue di warung makan sate ayam tanpa perasaan. Ya emang sih, dia ngasih uang lebih buat ongkos naik ojol. Tapi, kan, gue nggak ada tempat buat tidur malam ini. Buru-buru gue bayar makanan gue kemudian berlari menyusul Lakka sambil menggeret koper gue yang lumayan berat. Di sana ada barang-barang berharga gue. Jadi nggak mungkin gue ninggalin cuma karena Lakka. Langkah cowok cantik itu cepet banget. Sampai-sampai rasanya gue kesulitan buat mensejajarkan langkah kita berdua. Gue teriak, tapi Lakka nggak denger, atau lebih tepatnya pura-pura nggak denger. “MAS CANTIK, TUNGGUIN DONG!” b**o banget gue. Udah tahu dia sensi parah, mulut gue licin banget manggil dia dengan sebutan itu. Eh ... tapi dia noleh, loh. Gue senyum lebar sambil dadah-dadah dari tempat gue berdiri. Lakka melengos, abis itu ninggalin gue di seberang jalan. “Hei, Mas Cantik! Tungguin gue---” Brakkkk! Dalam keadaan sadar gue bisa ngerasain tubuh gue diserempet sama sebuah motor dari arah berlawanan. Gue syok. Bahkan saat orang-orang berbodong-bondong mendekati gue, gue masih bengong hingga akhirnya sosok Lakka menghilang di balik tubuh orang-orang yang mengelilingi gue. Apa ... gue pura-pura pingsan aja biar ditolong sama orang? Siapa tahu ada orang yang mau berbaik hati membawa gue ke rumahnya. “Mbak nggak apa-apa? Mbak?” Seseorang berseru heboh sambil menepuk bahu gue. “Mas Cantik ...” Gue pura-pura nangis, terus menunjuk lurus ke depan. Orang-orang yang tadinya mengelilingi gue sontak minggir. Di situ gue bisa lihat Lakka berdiri di atas pembatas penyebrangan dengan ekspresi wajah yang minim. “Mas Cantik bantuiiiin!” rengek gue mirip kayak anak bayi. Orang-orang jadi ikut memperhatikan Lakka yang masih berdiri. Dari sekian banyak orang di sana, mereka malah fokus ke Lakka sekarang. Beberapa cewek yang mengerubungi gue, jadi heboh dan berdecak menunjuk Lakka. “Pacar si Mbak ini kayaknya." “Cakep ya.” “Saking cakepnya, sampe kelihatan cantik ya.” “Si Mbak pake pelet apa sih? Kok bisa dapetin cowok secakep itu.” Kata-kata terakhir bikin kuping gue panas dong. Emangnya gue sejelek itu sampe dia heran kalau gue bisa dapet pacar kayak Lakka? Gue lihat Lakka jalan mendekat ke arah gue. Orang-orang pada melongo. Gerombolan cewek di belakang gue heboh jejeritan sambil mukul-mukul bahu temennya. “Mas cantiiiik!” Lakka berdiri di hadapan gue persis. Wajahnya masih judes. Gue berusaha sebodo amat sekarang. “Mas, kasian pacarnya. Buruan dibawa ke rumah sakit!” seru seorang ibu-ibu kepada Lakka. “Ayo, saya bantuin Mas.” sahut seorang bapak-bapak. “Nggak usah, Pak.” Dalam hitungan detik, perubahan raut wajah Lakka bikin gue terkesima. Dia mendadak ramah sama bapak-bapak sama ibu-ibu tadi. “Saya bisa bawa dia sendiri. Terima kasih.” kata Lakka kemudian menarik sebelah tangan gue dan meletakkannya ke bahunya. “Ayo, gue anter ke rumah sakit.” Gue sama Lakka tatap-tatapan sebentar. Dan seketika bulu kuduk gue meremang.  Lakka ... kok horor ya?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD