Ngerepotin!

2950 Words
Lakka: Ngerepotin! "Gue diusir dari tempat kos." gumam Chua menundukkan kepalanya. "Sekarang gue nggak punya tempat tinggal. Di sini gue nggak punya siapa-siapa." Gue memiringkan badan sambil memperhatikan kepalanya yang menunduk sembari meremas jari-jarinya sendiri. Entah lagi sedih beneran atau cuma modus supaya bisa lebih lama deket-deket gue. Nggak bermaksud besar kepala ya. Tapi emang cewek ini udah aneh dari awal ketemu. Kenal nggak, tahu namanya juga nggak, tahu-tahu dia nyamperin gue, ngintilin gue sampe dapet tempat duduk, terus ngajak gue pacaran di tempat umum. Tadinya, gue pikir ini cewek salah orang. Bisa aja dia salah cowok, mungkin juga gue mirip sama cowok yang dia suka. Waktu gue tanya dia salah orang atau nggak, dia nggak jawab, dan malah mengulang pertanyaannya pake gaya super sengak. "Jawab aja! Mau apa nggak?" dalam hati gue bergumam, ini cewek waras apa nggak sebenernya? Gue sama dia tuh bener-bener baru ketemu. "Di rumah lo nggak ada kamar kosong, gitu?" tanya dia mendongakkan kepalanya. Mata gue menyipit. Gue sampe nggak sadar mendengus keras begitu mendengar pertanyaan yang keluar dari cewek yang lagi duduk di samping gue. Hebat banget ini cewek ya. Setelah ngerecokin hari-hari gue, sekarang dia malah secara terang-terangan nanya ada kamar kosong di rumah gue atau nggak. Gue jadi mikir sekali lagi. Ini cewek baik-baik atau bukan? Nggak peduli alasan dia diusir dari tempat kos kek. Nggak punya keluarga kek. Harus banget dia bilang gitu ke cowok yang bukan apa-apanya? "Tolong dong, gue nggak tahu harus tidur di mana." Chua memohon, wajahnya memelas. "Apa lagi tangan sama kaki gue luka gini." dia menunjuk kaki dan tangannya yang diperban. Gue menghela napas. Lagi-lagi gue merasa sial setiap ketemu sama dia. Nggak berhenti bertemu di kafe, pertemuan kedua, ketiga, keempat, lalu ketemu lagi di rumah sakit—dan akhirnya—mau nggak mau harus nolongin dia yang keserempet motor. Harusnya tadi gue tinggal aja ya. Harusnya gitu. Ngapain gue berdiri sambil lihatin dia dikerubungin sama orang-orang. Dia nunjuk gue, manggil gue pake sebutan menggelikan. "Mas cantiiiik!" wajahnya memelas, antara menahan sakit karena luka-lukanya, atau memang lagi berakting supaya gue nyamperin dia. Gue denger orang-orang berspekulasi kalau gue ini cowoknya. Beberapa orang mau bantuin gue bawa dia ke rumah sakit, tapi gue tolak. Kalau orang-orang ikut bantuin, gue yakin si Chua makin drama. "Lo sadar apa yang lo bilang barusan?" tanya gue menatap Chua dingin. "Sadarlah. Orang gue nggak mabok!" Gue menghela napas lagi. "Lo cewek, gue cowok. Lo nggak takut emang?" Tiba-tiba Chua ketawa, sebelah tangannya yang nggak luka memukul lengan gue pelan. "Akhirnya lo ngakuin gue cewek, ya." katanya terus tertawa memukul lengan lalu ke bahu gue. "Turun." Chua berhenti ketawa. Matanya membeliak, mulutnya menganga seolah nggak percaya kalau gue nyuruh dia keluar dari mobil gue. "Lo beneran nyuruh gue turun?" "Ya." kata gue tenang, tapi jelas lagi jengkel. "Jangan dong! Gue tidur di mana malam ini?" "Bukan urusan gue." sahut gue judes. Bukannya bersikap kasar sama cewek, apa lagi cewek ini habis diserempet sama motor. Tangan sama kakinya luka. Cuma, yang bikin gue nggak habis pikir, segampang itu dia nanya ada kamar kosong atau nggak di rumah cowok yang nggak ada hubungan apa pun sama dia? Masih mending dia nanya gue, kalau seandainya dia nanyanya sama cowok m***m, gimana? Dia nggak takut jadi p*********n kayak di teve-teve, gitu? "Mas cantiiiik!" dia ngerengek, jari-jarinya menarik kaus gue sampe ke bahu. Gue melotot, mendorong tangannya pelan menjauh dari bahu gue. Nggak peduli dia mau merengek, mau nangis, mau guling-guling juga bukan urusan gue. Adek gue juga bukan. Jadi, yang gue lakuin sekarang—adalah nyeret dia keluar dari mobil gue secepat mungkin sebelum dia bikin gue makin gila sama tingkah aneh dia. "Turun." ulang gue begitu membuka pintu mobil. Dia merengek, matanya berkaca-kaca mirip kayak anak kucing nggak dikasih makan. "Mas cantiiiik, kok jahat, sih!" Yang paling bikin gue sebel sama tingkah dia, karena juga panggilan Chua yang menurut gue annoying, banget! Apa sih manggil-manggil kayak begitu? Dia manggil gue di setiap kesempatan. Di depan orang-orang, dan jelas bikin gue malu. Jujur aja, gue merasa nggak nyaman setiap kali ada orang yang mengomentari wajah gue—yang menurut mereka cantik untuk seukuran cowok. Salah gue emang kalau punya muka begini? Dan harus banget mereka manggil-manggil gue dengan sebutan 'cantik'. Oke. Gue bersyukur karena dianugerahi wajah tampan dan cantik sekaligus. Tapi, ayolah, gue nggak nyaman. Cukup mereka bilang gue ganteng aja. Nggak usah pake embel-embel cantik. Bikin senewen! Chua turun dari mobil, dia berdiri di atas trotoar menunggu koper dan barang-barangnya masih ada di dalam mobil gue. "Nih." kata gue menarik tangannya lalu mengalihkan pegangan koper. "Mas cantik beneran nggak mau ngasih gue tempat tinggal? Semalem aja deh! Ya?" Gue nggak menggubris rengekkan Chua. Sebelum gue ninggalin dia, gue membuka dompet dan ngasih dia beberapa lembar uang. Emang nggak banyak, paling nggak bisa jadi pegangan dia. "Gue butuhnya tempat tinggal." dia mengangsurkan uang pemberian gue, "Kalau emang nggak mau bantuin, ya udah." dia mendongak, mengusap air matanya di pipi. Dia nggak mau, kan? Ya udah. Gue ambil lagi uangnya, dan gue kantongin. Gue nggak bilang apa pun kemudian masuk ke dalam mobil bersiap pergi meninggalkan Chua. Kali ini gue berharap, ini bener-bener pertemuan terakhir gue sama Chua. Nggak akan ada pertemuan lagi, lagi, dan lagi. *** Gue nggak tahu ada masalah apa sama otak gue sampe bodoh banget nyusulin Chua yang jelas-jelas udah gue tinggalin. Ini bukan gue banget. Gue cenderung cuek, nggak peduli sama orang-orang sekitar. Apa lagi dia orang asing. Sehabis gue ninggalin di jalanan gitu aja. Gue yakin dia sendiri nggak tahu ada di mana. Sepanjang perjalan menuju pulang, gue nggak berhenti memikirkan Chua. Saat itu lagi gerimis, gue lihat para pejalan kaki di atas trotoar dan menyebrang sibuk berlarian mencari tempat berteduh karena gerimis mulai berubah menjadi hujan deras. Jalanan macet, gue noleh ke kanan dan ke kiri. Nggak jauh dari mobil gue, gue lihat pengendara motor pada pake jas hujan. Mereka-mereka yang punya tujuan aja pada panik karena kehujanan. Gimana Chua yang nggak punya tempat buat pulang? Gue mulai gelisah. Nggak sadar kalau dari tadi mencengkram setir sambil menunggu jalanan lebih lenggang. Oke. Gue tarik napas panjang lalu gue embuskan perlahan. Gue nggak boleh gini. Chua cewek yang beda dari cewek-cewek lain kok gue lihat. Walaupun gue nggak kenal secara baik, cuma dari pertemuan-pertemuan nggak sengaja gue, gue tahu dia cewek yang kuat dan nggak menye-menye. Jadi, gue meyakinkan diri gue sekali lagi. Dia bakal baik-baik aja. Lagi pula, Chua pasti punya banyak temen yang bisa bantu dia, kan? Jalanan mulai lenggang, tapi hujan tambah deras. Gue berusaha tenang, untuk mengalihkan pikiran jelek yang membayang-bayangi isi kepala gue soal Chua, gue menghidupkan radio. Plis, gue nggak mau khawatir nggak jelas sama orang asing. "Bagaimanapun dia cewek, Kka!" Shit! Kalimat ini kayak racun banget. Mungkin karena Chua juga bilang hal kayak barusan sambil memasang wajah melasnya. Jadi gue kebayang mulu. "Gue kan cewek. Kalau gue diapa-apain sama orang, gimana?" Sialan. Wajah melas Chua, caranya bicaranya dengan mata berkaca-kaca bikin gue bimbang seketika. Gue samperin atau nggak? Kalau gue samperin lagi, gue harus bilang apa sama dia? Masa iya gue bilang, kalau gue kepikiran dia, sih? Besar kepala dong si Chua ntar! "Mas cantiiiik!" serunya saat gue membuka kaca mobil gue. "Masuk!" perintah gue tanpa menoleh ke Chua. Chua bengong. "Masuk!" ulang gue menoleh ke dia sekilas. "Hah?" "Mau tetep di situ atau gue tinggal sekarang!" Entah gue harus bersyukur atau malah membenturkan diri ke tembok. Lihat dia nggak jauh dari tempat gue tinggal tadi bikin gue sedikit lega. Seenggaknya gue masih nemuin dia masih baik-baik aja—walaupun tubuhnya basah kuyup karena kehujanan. "Mas cantik hatinya juga cantik ya." dia noleh gue sambil nyengir. Matanya menyipit lucu. "Nih!" gue nggak merespons apa pun selain melempar handuk kecil ke arah dia. "Makasih, Mas cantiiiik!" Gue noleh, menatap dia tajam. Antara kesal, jengkel, sama pengin nabok diri sendiri karena mau-mau aja peduli sama cewek ini. "Panggil gitu lagi, gue dorong lo keluar!" Dia langsung kicep. Jari-jarinya sontak menyentuh bibirnya untuk diam. "Lakka," kata dia pelan. "Terima kasih, Lakka," *** "MAS CANTIIIIK SABUNNYA MANAAA?" "TOLONG AMBILIN HANDUK DOOONG!" Belum ada sepuluh menit Chua di sini, dia udah bikin keributan dengan suara cempreng dia. Baru nyampek apartemen, dia langsung nanya di mana kamar mandinya, boleh nggak numpang mandi sekalian? Bentar deh. Kalau pun gue bilang nggak boleh, emang Chua bakalan nurut gitu aja? Sepengamatan gue nggak bakalan. Kalau gue bilang nggak, dia pasti punya banyak cara hingga akhirnya gue pun bilang iya—terus gue nyesel karena mau-mau aja dibegoin sama dia. Abis masuk kamar mandi, gue tinggal bentar buat beres-beres kamar dan mengambil bantal sama selimut buat Chua. Apartemen ini terbilang biasa. Bukan tempat tinggal mewah kayak di film-film atau novel yang tokoh utama cowoknya punya tempat tinggal layaknya istana. Apartemen yang gue tinggalin cuma ada dua kamar. Satu kamar untuk tidur, dan satunya lagi gue jadiin tempat kerja. Ada kamar mandi, dapur, tempat buat cuci, tempat menjemur pakaian, sama ruang tamu yang diisi sama sofa, meja kecil, dan televisi. Berhubung gue nggak ada kamar tamu, Chua gue suruh tidur di sofa aja. Dia kan numpang, jadi harus tahu diri. Mau gue suruh tidur di sofa, di lantai, yang penting dia nggak kepanasan, nggak kehujanan. "Segeeer!" Chua keluar kamar mandi, "Mas cantik—" Gue melotot. Chua nyengir sampe matanya menyipit. "Sori, sori!" dia ketawa sambil menggosok rambutnya yang basah. "Gue ganti baju di mana, ya?" tanyanya. Gue lihat dia sebentar, ternyata dia pake baju kotornya, padahal dia baru aja selesai mandi? "Ke kamar gue sana!" seru gue menunjuk pintu kamar yang terbuka. Chua cengengesan lalu menarik kopernya masuk ke dalam kamar gue. Gue nunggu dia selesai ganti baju sambil mengamati majalah fashion di tangan gue. Nggak lama, Chua keluar dari kamar dengan pakaian bersih. Dia celingak-celinguk kayak mencari sesuatu. "Cari apaan?" tanya gue melirik Chua sekilas. "Tempat baju kotor di mana?" Tanpa jawab, gue nunjuk ke keranjang baju kotor dekat pintu kamar mandi. Dia mengangguk-angguk sambil cengengesan seolah ada sesuatu yang lucu. Setelah menaruh baju kotornya ke dalam keranjang, dia bergabung duduk di sofa—di depan gue. "Makanannya boleh buat gue nggak?" Chua menujuk snack di atas meja dengan dagunya. "Makan aja." Chua tampak girang. Segera dia meraih satu bungkus snack kentang dari atas meja. Sebenarnya, itu snack punya adek gue yang ketinggalan—waktu menginap beberapa hari yang lalu. Karena gue nggak terlalu doyan nyemil, gue biarin aja Chua memakannya. "Gue boleh minta minum, nggak?" dia menatap gue dengan wajah polosnya. "Ambil aja sendiri." sahut gue yang masih fokus sama majalah yang gue pegang. Chua beranjak dari tempat duduknya kemudian melenggang pergi meninggalkan gue sendirian di ruang tamu. Gue lihat Chua belum ada balik lagi, nggak lama dia teriak dari dalam dapur. "LO MAU GUE BIKININ COKELAT JUGA, NGGAK?" Ini kita lagi berdua doang. Dan jarak dari ruang tamu ke dapur tuh nggak sejauh dari kelas belajar sampe ke lapangan. Tapi Chua nggak ada capeknya teriak-teriak. Gue nggak b***k. Gue bisa denger biarpun sambil bisik-bisik. Sepuluh menit kemudian dia keluar dapur sambil membawa cangkir dan duduk ke tempatnya lagi. "Punya gue mana?" tanya gue waktu Chua akan menempelkan bibirnya ke cangkir. "Oh, lo mau? Gue kirain lo nggak mau. Abis lo nggak jawab sih." katanya, lalu menyeduh minumannya. Gue menghela napas. Cewek ini, selain teriak-teriak, dia juga jago bikin orang senewen. "Lo, lo nggak punya pembantu ya?" "Nggak." "Kenapa?" dia menaikan kedua kakinya di atas sofa dan menuangkan sisa snack-nya ke dalam mulut. "Turunin kaki lo." kata gue datar. "Eh, ya. Maaf deh." Chua menurunkan kakinya ke lantai. "Lo belum jawab pertanyaan gue. Lo kenapa nggak punya pembantu?" "Lo nanya-nanya punya tujuan, kan?" Chua nyengir lagi. "Kok tahu?" "Gue tinggal sendiri." kata gue membalikkan halaman majalah. "Nggak perlu." Gue lihat dari ekor mata gue, Chua meletakkan cangkirnya dan bersiap membuka bungkusan snack selanjutnya. "Lakka," panggil Chua sembari mengunyah makanannya. "Kalau gue numpang di sini, boleh nggak?" Sontak gue menutup majalah di tangan. Gue meletakkan majalah tersebut ke atas meja. "Kok lo ngelunjak?" Chua buru-buru menggelengkan kepalanya. "Gue nggak numpang secara gratis!" katanya, kedua tangannya bergerak ke kanan ke kiri. "Gue mau-mau aja tidur di mana pun asal nggak kepanasan, nggak kehujanan. Tapi ya gitu, lo mau ngasih tumpangan nggak? Lo boleh nyuruh-nyuruh gue apa aja deh. Nggak lo bayar juga nggak apa-apa. Cukup lo ngasih tempat tinggal sama makan aja gue udah terima kasih banget." "Nggak!" "Yaaahh!" dia memberengut. "Beneran nih? Lo kan tinggal sendiri, pasti suka kerepotan buat bersih-bersih, masak, atau bersihin kamar mandi." "Lo bisa bersih-bersih emang?" tanya gue pada akhirnya. Kalau dilihat dari tampangnya, Chua nggak meyakinkan. "Bisa!" jawabnya semangat. "Masak?" Gue nunggu jawaban yang satu ini. Kira-kira, dia bisa masak nggak? "Hehe... nggak." Kan, gue bilang juga apa! "Mm, maksud gue masak yang berat-berat nggak bisa. Kalau cuma masakan rumahan yang gampang gue bisa kok. Kayak sayur asem, sayur bayem, sop, ayam goreng, tahu, tempe, sama—" "Gue mau tanya deh," sela gue. Dia menegakkan badan, menyembunyikan anak rambutnya ke belakang telinga seolah menunggu pertanyaan gue. "Apa? Mau nanya apa?" "Lo nggak lagi mau modus sama gue, kan?" Dia melongo. "Modus apaan?" katanya, membeo. "Jangan bilang lo pura-pura diusir dari tempat kos, ngotot tinggal bareng gue karena ada maunya." Beberapa detik Chua diam, nggak jawab apa-apa selain menatap gue tanpa ekspresi. Gue jadi nggak yakin kalau ini cewek waras. "HAHAHA!" Dia ketawa! Keras banget lagi ketawanya, sambil memukul pahanya sendiri. "Anjir!" serunya heboh. "Ini pasti gara-gara kejadian di kafe waktu itu kan? Seriusan, lo ngira gue suka sama lo?" Lah, kalau bukan suka sama gue, apa dong? Bukannya sombong sih. Tapi sekadar ngasih tahu aja kalau yang naksir sama gue tuh banyak. Dari jaman remaja sampe di usia gue yang ke dua puluh delapan tahun masih ada aja cewek yang ngejar-ngejar gue, modus inilah, itulah, cuma belum ada yang ekstrem kayak Chua. Makanya, kalau Chua bilang bukan suka sama gue, terus ngapain dia nembak gue di depan banyak orang? "Jadi, gini...," Chua memposisikan duduknya agar lebih nyaman. Gue jadi ikut-ikutan mengambil posisi duduk lebih enak sambil mendengarkan Chua bercerita asal mulanya dia bisa nembak gue di kafe beberapa waktu yang lalu. Jadi, ceritanya si Chua ini seorang penulis novel. Nggak tahu penulis beneran atau nggak. Chua bilang kalau dia nulis di salah satu aplikasi—yang dia sebut-sebut sebagai dunia oranye. Chua cerita panjang-lebar, bahkan dia menyebutkan judul-judul novelnya yang sebagai sudah terbit. Dari semua novel Chua tulis, semuanya non romance. Kebanyakan malah komedi dan berbau horor. Chua bercerita dengan ringan banget seolah gue adalah temen deket dia. Gue dengerin aja, toh cukup menarik. "Lo cari pacar cuma buat bahan lo nulis?" gue menaikan sebelah alis gue tinggi-tinggi. "Ya gitu." jawabnya sambil mengunyah snack di dalam mulut. "Gue stress banget. Di antara semua genre yang pernah gue tulis, cuma romance doang yang belum gue coba." "Tapi lo nulis komedi." komentar gue. Chua berdecak. "Komedi ya komedi! Romance ya romance! Beda dong. Gimana sih lo." "Menurut gue, cerita-cerita komedi nggak jauh dari cinta-cintaan juga kok." Chua memasukkan remahan snack-nya. Sambil mengunyah, cewek itu melanjutkan ceritanya. "Gue tuh orangnya receh. Gampang nyengir tiap lihat yang lucu-lucu. Buat menciptakan sesuatu yang lucu, otak gue lancar banget bayanginnya." dia ganti ke bungkusan snack yang ketiga. "Eh, gue abisin boleh nggak nih?" gue angguk-angguk. Dia membuka bungkusan cokelat, "Nggak tahu ada masalah apa sama otak gue. Tiap bayangin yang manis-manis, tuh, gue rasanya pengin mual. Gue selalu gagal menciptakan imajinasi gue sendiri." "Lo pernah pacaran?" gue tanya, masalahnya gue penasaran kenapa Chua bisa datar banget soal cinta. "Nggak." Chua geleng-geleng. "Pernah patah hati?" "Pacaran aja nggak pernah! Gimana gue mau patah hati?!" Ganti gue yang berdecak sekarang. "Buat merasakan patah hati lo nggak butuh pacaran dulu!" "Masa?" sahut Chua nggak percaya. Gue menaikan kacamata, "misalnya aja lo lagi suka sama seseorang, terus orang yang lo suka ternyata punya pacar." "Itu bisa dibilang patah hati, ya?" Gue manggut-manggut. "Masalahnya gue nggak pernah suka sama cowok selama ini." "Hah?" gue melongo nggak percaya. Ya kali dia hidup di usia setua ini nggak pernah suka sama seseorang. Kalau nggak pernah pacaran, gue sih maklum. Lagian siapa yang mau sama cewek yang modelannya kayak Chua. Tapi, masa iya dia nggak punya rasa tertarik sedikit pun sama lawan jenisnya? "Ayah lo suka KDRT Ibu lo, ya?" Bukkkk! Sialan. Umpat gue. Chua dengan kasar menimpuk bantalan sofa ke arah gue sampe kacamata gue hampir lepas dan jatuh. "Amit-amit anjir! Ayah gue penyayang tahu! Mana pernah mukul anak atau istrinya. Buat nginjek kecoa aja Ayah gue nggak mau." "Ya terus masalah lo apa dong?" Gue geregetan lama-lama sama Chua. Kalau kehidupan dia baik-baik aja. Nggak ada sejarahnya dia disakitin, kenapa bisa sedatar itu sama persoalan cinta? Salah kalau gue ngira ayahnya tukang KDRT emang? Biasanya kan gitu. Kebanyakan korban kekerasan dalam keluarga berpengaruh sama pandangan seseorang soal cinta-cintaan atau masalah mencari pasangan hidup. "Ah, tahu ah!" Chua mencak-mencak dari tempat duduknya. "Cerita sama lo nggak guna juga." Gue mendelik, tapi kayaknya dia nggak peduli. "Gimana? Gue boleh numpang di sini nggak?" "Tergantung." jawab gue siap-siap berdiri dari sofa. "Gue nggak tahu kinerja lo mengurus apartemen gue. Bisa aja lo malah ngerepotin gue nantinya." gue ngelirik dia sekilas. "Kalau lo emang mau tinggal di sini dan ngelakuin kayak yang lo maksud tadi. Lakuin tugas-tugas lo mulai besok pagi." Chua ikutan berdiri dan mengekor di belakang gue. "Maksudnya gimana nih?" Gue diem sebentar, lalu nengok ke arah Chua. "Siapin sarapan gue tepat jam tujuh!" "JADI GUE DIBOLEHIN TINGGAL DI SINI, NIH? SERIUSAN? GUE TINGGAL DAN MAKAN GRATIS KAN, LAKKA?" "Ya." jawab gue dari balik pintu. Gue yakin, dia nggak bakalan denger apa yang gue bilang. "MAKASIH MAS CANTIIIK!" Harus gue apain mulutnya Chua supaya nggak teriak-teriak dan berhenti memanggil gue dengan sebutan—Mas cantik! Harus gue apain diaaaa!  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD