Mantan Pacar Lakka

2242 Words
Chua: Mantan Pacar Lakka Tadinya gue pikir Lakka cowok yang cerewet, banyak maunya, bakal nyuruh-nyuruh gue supaya nggak betah tinggal lama-lama di apartemennya. Namun, semuanya itu nggak benar. Lakka jauh dari bayang-bayang jelek yang ada di kepala gue.  Semalaman gue mikir, besok Lakka bakal ngerjain kayak gimana ya? Soalnya dari luar si Lakka ini judes banget orangnya. Ngomongnya juga pedes. Dan ternyata itu semua nggak benar. Lakka nggak banyak ngomong orangnya. Waktu gue tanya dia sukanya makanan yang kayak gimana, dia cuma bilang, "Gue bisa makan apa pun. Asal ada nasi." oke. Kita satu selera. Bagi gue, belum bisa dibilang makan kalau bukan sama nasi. Gue tanya lagi. Dia ada alergi atau nggak, dia bilang nggak punya alergi apa pun. Dia bisa makan apa aja asal bukan makanan basi. Ya iyalah, anjir! Gue juga nggak bakal ngasih dia makanan basi. Lakka baik kok. Selain baik, wajahnya juga cakep banget. Gue emang ketemu dia beberapa kali—sebelum akhirnya gue tinggal seatap sama dia. Tadi pagi—entah dapat keajaiban darimana gue bisa bangun pagi. Semalam Lakka nyuruh gue bikin sarapan jam tujuh tepat. Tapi begitu bangun dan lihat jam di dinding, ternyata masih jam enam kurang. Gue berdecak, antara heran sama bangga ke diri sendiri. Ini sejarah dalam hidup gue, man! Gue yang kalau tidur kayak kebo, susah dibangunin biarpun sampe diguyur air seember juga nggak bakalan bangun—kecuali perut keroncongan—sama kebelet pipis. Udah. Deta aja suka ngomel-ngomel tiap bangunin gue pas main ke tempat kos. "Lo ikut gue ntar." Gue menoleh ke sumber suara di belakang, Lakka barusan keluar kamar lalu menutup pintu kamarnya. Gue mendongak, memandangi penampilan santai Lakka—yang sialnya malah bikin dia kelihatan ganteng plus cantik. Kacamata? Nggak pernah ketinggalan. Baju garis merah, topi, sama celana pendek di atas lutut. Dia mau ke mana, sih? "Ke mana?" tanya gue, dia duduk di sofa. "Belanja." "Lo mau belanjain gue?" "Emang lo siapa gue sampe harus belanjain lo?" Gue cemberut. "Kan gue nanya." "Belanja bulanan." dia menjawab. "Bahan dapur udah habis." Kepala gue manggut-manggut mengiakan ajakan Lakka. Ya emang bener. Gue baru ingat kalau bahan makanan di kulkasnya udah menipis. Masa waktu gue mau bikinin dia sarapan, gue cuma nemu sayur, telur dua butir, sama mi instan. Gue nggak terlalu jago masak. Seperti yang gue bilang sama Lakka. Gue bisanya masak yang gampang-gampang aja. Karena kebetulan stock makanan Lakka nggak banyak, gue bikinin aja omlet mi sama nasi hangat. Lakka nggak protes, dia cuma lihatin bentar, terus makan tanpa komentar apa-apa lagi. Oke. Gue udah berburuk sangka sama Lakka. Ternyata dia cukup baik dan pengertian buat gue yang nggak bisa apa-apa selain menulis novel. *** Sekarang gue sama Lakka ada di sebuah supermarket. Gue ngikut aja di belakang cowok itu sambil mendorong trolley. Gue memperhatikan Lakka yang serius memilih keperluan dapur. Kadang yang bikin gue heran, Lakka kayaknya cukup pemilih soal bahan-bahan makanan. Mungkin dia cari mana yang paling segar, atau mana yang timbangannya yang paling berat kali, ya? Eh. Nggak ding. Lakka nggak banyak ngomong atau sekadar minta saran mana yang harus dia beli. Semua Lakka yang milih lalu memasukkannya ke dalam trolley, terus dia jalan lagi dan gue cuma ngintilin dia dari belakang. Sepanjang gue jalan sama Lakka, dari parkiran sampe dorong-dorong trolley gini. Orang-orang sibuk memperhatikan gue sama Lakka. Mereka melirik gue awalnya, lalu beralih ke Lakka yang kelihatan sibuk sendiri sama bahan makanan. Gue mah cuek aja orangnya. Nggak terlalu peduli sama komentar orang. "Pacarnya?" Diam-diam gue menajamkan pendengaran sesekali mendorong trolley lebih lambat. Gue sempat menoleh ke belakang, dan dua orang Ibu-ibu di belakang gue langsung kicep kemudian membungkam bibirnya sendiri. "Sayang, ya." Masih aja, astaga. Gue cuma geleng-geleng doang. Biarin ajalah. Toh gue nggak kenal sama Ibu-ibu itu. Lagi pula gue sama Lakka juga bukan siapa-siapa—selain pembokatnya Lakka. "Lo mau?" tanya Lakka yang tahu-tahu ada di depan gue sambil menunjuk rak camilan. Sontak gue tarik trolley agak mundur. "Apaan?" tanya gue menaikan sebelah alis. "Camilan." Lakka membalikkan badan lalu jalan lagi. "Ambil aja. Gue bayarin." Mata gue melebar, penuh binar-binar. "Yang bener lo?" tanya gue nggak yakin. Biarpun Lakka masih memunggungi gue, gue bisa lihat dia mengangguk-angguk sambil jalan ke rak lain. Nggak tahu Lakka ada di mana sekarang. Gue lihat di depan gue nggak ada. Apa mungkin ada di rak sebelah? Soalnya tadi dia bilang mau cari s**u kental manis—iya, Lakka sukanya sama s**u kental manis ketimbang s**u literan yang kalau minum tinggal dituang. Waktu di perjalanan kemari, Lakka bilang apa aja yang dia suka sama nggak. Padahal nggak susah juga kalau bikinin dia makanan. Lakka suka apa aja, asal makanannya dalam keadaan hangat. Tapi, lucunya si Lakka nggak suka minum s**u pake air panas. Dia sukanya pake air dingin. Lucu ya. "Mbak, Mbak!" seru Ibu-ibu di belakang gue. Gue nengok, sambil memasukkan camilan ke dalam trolley, Ibu-ibu yang dari tadi ngegosipin tahu-tahu menghadang langkah gue buat mencari Lakka yang belum gue temuin. Entah mau senyum atau gue cemberutin ini Ibu-ibu. Masalahnya dua wanita ini dari tadi ngomongin gue sama Lakka, sih. "Saya, Bu?" gue nunjuk diri sendiri, terus celingak-celinguk. "Saya bukan SPG-nya, Bu." Salah satu Ibu-ibu itu menggeleng, terus matanya berkeliaran ke mana-mana kayak lagi mencari sesorang. "Tadi pacarnya atau bukan?" Dahi gue mengernyit. "Dibilangin bukan." Ibu-ibu yang rambut pendek menyahut. "Bukan, kan, Mbak?" terus menatap gue penuh harapan—seolah nunggu gue bilang iya. Maaf ya, gue nggak b**o. Gue tahu banget yang dimaksud Ibu-ibu ini tuh gue sama Lakka. Kan dari tadi kerjaan dua Ibu ini emang ngomongin gue sambil nunjuk ke Lakka. "Pacarnya atau bukan, Mbak? Jawab dong," katanya nggak sabaran. Gue menggaruk pipi kanan gue pelan. Ibu-ibu ini kompakkan menatap gue. Cuma, yang gue tangkep ada sedikit perbedaan. Kalau si Ibu yang rambutnya disanggul ini seolah pengin ngeyakinin temennya—Ibu berambut pendek—kalau gue emang pacarnya si Lakka. Gue bilang iya atau bukan, nih? Otak gue suka lancar kalau disuruh ngerjain orang. Tapi mereka orang tua. Dosa nggak, ya? Gue mau jawab. Tapi seketika gue menelan lagi kata-kata dusta tanpa rancangan itu ke dalam kerongkongan. Mengingat gue sekarang tinggal di apartemen Lakka—sebagai pembokatnya—membuat gue mikir ulang. Kalau Lakka marah karena gue ngaku-ngaku jadi pacarnya, ntar yang ada malah gue diusir lagi. Nggak ah. Untuk sementara gue simpen dulu otak jahil gue. Demi keberlangsungan hidup gue, juga tempat tinggal serta makan gratis. "Ayo dong, Mbak, jawab ih." "Tahu nih, si Mbak, lama banget jawabnya! Tinggal bilang, 'iya atau nggak' aja lama bener." Ini Ibu-ibu ngajak ribut banget, ya? Gue udah berusaha supaya nggak kepancing, lho, Bu! "Udah?" Seruan cowok di belakang punggung gue bikin atensi Ibu-ibu ini jadi beralih ke sosok Lakka. Cowok itu berdiri di samping gue sambil membawa dua kaleng s**u kental manis lalu memasukkannya ke dalam trolley. "Udah apa belum?" Lakka nanya lagi. "Mas pacar Mbak ini, bukan?" Yailah. Gue baru mau buka mulut, tapi Ibu-ibu berambut pendek ini nanya-nanya lagi. Mana nanyanya langsung ke Lakka. Bikin gue mendengus sendiri. "Iya apa bukan, Mas? Mbak ini ditanyain diem aja." sahut Ibu-ibu bersanggul. "Emang kenapa?" Lakka malah nanya balik. "Ya pengin tahu aja, Mas. Dari tadi kami perhatiin kalian terus soalnya." Lakka melirik gue sebentar, gue geleng-geleng sambil memasang muka melas. Takutnya aja si Lakka malah menuduh gue bilang aneh-aneh ke si Ibu-ibu sampe mereka penasaran sama gue dan Lakka ada hubungan apa. "Jadi, beneran pacarnya atau bukan?" Mereka masih nanya-nanya, ya Tuhan! "Saya mau tanya," Lakka menatap kedua Ibu-ibu di depan kita. Hawanya udah nggak enak, nih, si Lakka. Auranya mendadak mistis. "Mau tanya apa, Mas?" "Kalau mau nanya saya punya anak gadis apa nggak, saya punya, Mas! Jelas lebih cantik dari Mbak ini." si Ibu-ibu menunjuk gue. "Saya cuma mau nanya," Lakka mengembuskan napas pelan. Ibu-ibu di depan kita kayak nunggu banget Lakka mau nanya apaan. Jangan berharap Lakka bakal mengakui gue sebagai pacarnya biarpun cuma pura-pura—karena itu nggak bakalan mungkin. Kalau aja ini salah satu adegan dalam sebuah novel romance, gue yakin si Lakka bakal merangul gue, terus bilang, "Iya. Dia pacar saya." sambil memasang ekspresi penuh kebanggaan. Karena nyatanya adalah.... "Ibu nggak punya kerjaan di rumah sampe cari kerjaan di sini?" Tuh, kan! Ibu-ibu tadi diam sebentar. "Mending Ibu pulang ke rumah, urusin suami sama anak Ibu," kata Lakka datar. "Takutnya karena Ibu terlalu sibuk sama urusan orang, suaminya jadi nyaman sama Bibi-bibi di rumah." Abis itu dia balik badan dan berlalu meninggalkan gue yang ikutan cengo kayak dua Ibu-ibu di depan gue ini. Nggak habis pikir sama mulut Lakka. Udah bilangnya ketus, ekspresinya judes, terus malah jalan gitu aja. "Eh, eh!" jerit gue secara nggak sadar karena tahu-tahu Lakka balik lagi dan narik hoodie gue sampe menghilang dari hadapan Ibu-ibu tadi. *** "Apaan?" Lakka berhenti menarik gue ke rak yang isinya dari ujung sampe ke ujung—pembalut! "Gue yakin lo perlu itu." satu jari Lakka menunjuk ke rak di kanan gue. Gue memperhatikan sekitar, takutnya ada modelan Ibu-ibu kayak tadi. Bisa aja kan ada yang julid gara-gara gue berdampingan sama sosok Lakka yang cakepnya emang keterlaluan. "Gue nggak mau direpotin sama lo cuma karena tamu bulanan ya." katanya, sinis. Gue tahu maksud Lakka, tuh, baik. Cuma harus banget dia memasang wajah sejudes itu sama gue, sih? Atau modelan emang Lakka begini? "Lo punya stock apa nggak?" tanya Lakka lagi. Dia sibuk memandangi sebagian merk pembalut di depannya tanpa risi. "Ada, sih." gumam gue ikut memandangi isi rak. "Tapi nipis banget." "Ya buruan ambil makanya!" Gue mendengus pelan. Lakka seolah nggak peduli sama ekspresi sebal yang gue tunjukin. Dia berdiri di samping gue sambil memainkan ponselnya. "Udah nih." kata gue memasukkan dua bungkus pembalut ke dalam trolley. "Cuma ini doang keperluan cewek, kan?" tanya Lakka mengantongi ponsel ke dalam saku celananya. "Kalau gue sih cukup." jawab gue siap mendorong trolley. "Nggak tahu kalau cewek lain." Lakka mengerutkan dahi. "Nggak sekalian minuman buat peredanya gitu?" Ganti gue yang mengerutkan dahi. "Kayaknya lo tahu banget soal cewek sih, Kka," kata gue menunjuk Lakka. "Gue jadi makin yakin kalau lo tuh sebenernya cewek." "Sembarangan!" Lakka balas menatap gue horor. Selain nggak terima dipanggil 'Mas cantik' dia paling senewen dikira cewek. "Abis lo tahu semua hal tentang cewek!" seru gue nggak mau kalah. "Lo beneran cowok, atau cewek?" Lakka menarik dirinya, jalan beberapa langkah mendekati gue. "Bibir lo belum pernah didisplinin, ya?" tanyanya, lebih ke bisikkin sih. Sebenernya jarak berdiri gue sama Lakka nggak terlalu deket. Jangan berpikir kayak di film-film ya. Sekali lagi, ini yang ngomong Lakka. Bukan karakter cowok di dalam novel atau pun film. Selain tatapan horor, ya, cuma kata-kata pedesnya doang yang selalu mewakili. "Bibir didisplinin yang kayak gimana, Kka?" gue berjinjit, balas berbisik ke Lakka. "Lakka?" Sapaan dari seseorang membuat gue sama Lakka jadi kompak memandang lurus—kepada perempuan cantik dengan perut buncit. Perempuan itu kelewat cantik menurut gue. Matanya bulat, bibirnya kecil tapi penuh, dan rambutnya panjang coklat-kemerahan. "Lomi..." Lakka balas menyapa si perempuan. Gue lihat ada gerak-gerik yang canggung di antara Lakka sama Lomi. Nggak tahu siapanya Lakka. Tapi kalau dilihat-lihat sih, kayak ada sesuatu di antara mereka. "Sendiri aja, Mi?" tanya Lakka menghampiri Lomi kemudian bersalaman layaknya teman yang udah lama nggak ketemu. "Bareng Mas Endra, kok." Lomi senyum lalu menarik tangannya menjauh. Mereka asyik mengobrol sesekali tertawa kecil. Sedangkan gue masih berdiri di antara kedua orang ini. Berasa obat nyamuk gue mah. "Mi...," seorang lelaki bergabung di antara kita bertiga, tapi begitu melihat sosok Lakka, lelaki itu malah mendadak diam. "Mas, sapa Lakka, dong!" seru Lomi mengapit lengan Endra. Gue jadi makin bingung. Kedekatan Lomi sama Lakka kelihatan bikin Endra nggak nyaman. Dari raut wajah Endra, serta Lakka yang tiba-tiba jalan mundur sampe berdiri di samping gue. "Halo, Kka," seperdetik kemudian Endra merubah ekspresinya lebih ramah. "Ya, Ndra," Lakka sedikit mengangguk. "Kalian apa sih! Canggung banget." Lomi menepuk bahu Endra. "Kamu udah janji sama aku, ya, Mas! Kamu harus tepatin pokoknya." "Iya, Mi. Iya." Endra merangkul bahu Lomi lalu mengusap puncak kepala perempuan itu dengan sayang. "Kka, gue minta maaf ya." gumam Endra pelan. Lakka melongo selama beberapa detik. "Hah? Oh, iya..." balas Lakka. "Gue juga minta maaf. Gue nggak tahu kalau lo secemburuan itu." kata Lakka, tapi lebih ke sindiran. Lomi tertawa. "Biasanya Mas Endra tuh santai-santai aja, Kka. Tapi pas gue hamil, Mas Endra mendadak jadi posesif banget!" "Nggak apa-apa, Mi. Gue maklumin suami lo, kok. Lagian Endra juga lebih muda dari lo kan." Yang gue perhatiin dari dua cowok di depan gue—Lakka sama Endra kayak nggak niat buat saling minta maaf deh. Endra setengah hati pas bilang maaf. Sedangkan Lakka—kelihatan gatel banget mulutnya buat ngejulid. Sebenernya, ada apakah di antara mereka bertiga di masa lalu? "Eh, Kka, ini siapa?" Lomi tiba-tiba menatap gue. Gue berdiri selama itu, dan si Lomi nggak nyadar keberadaan gue? Gue tahu, gue cuma dijadiin bahan peralihan ketegangan di antara Lakka sama Endra. "Pacar lo, Kka?" Lomi menarik dirinya menjauh dari Endra, kemudian menghampiri gue. "Gue Lomi, adik kelasnya Lakka di SMA dulu." dia mengulurkan tangannya ke gue. Gue membalas uluran tangan Lomi. "Chua." "Pacarnya Lakka?" Gue menggeleng. Lomi sama Lakka jadi lihat-lihatan. Mereka yang ada sesuatu, kenapa gue jadi ikut-ikutan tegang, bangke! "Calon." sahut Lakka melirik gue. "Calon pacar, atau calon istri, nih?" tanya Lomi dengan tatapan jahil. "Apa aja. Pokoknya calon gue." jawab Lakka senewen. Lomi menaikan sebelah alisnya. Endra sendiri cuma memandangi gue tanpa ekspresi—dan Lakka? Cowok itu nggak ngomong apa-apa lagi setelah mengklaim gue sebagai calonnya. Enaknya, gue apain nih si Lakka?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD