BAB 1

2786 Words
Geografi. Afi. Si perawan yang memiliki perawakan tampan dan cantik sekaligus. Lahir dari keluarga serba bermasalah, Afi menjauhkan diri dari sana. Keluarga bermasalah. Diri yang juga sudah bermasalah, Afi tidak mau menambah masalah lagi dengan hidup bersama keluarganya. Bagian dalam dirinya adalah mengikis sedikit demi sedikit sisi feminim yang terlalu merugikan, hingga habis. Dimana sikap terlalu sensitif atau rumit pemikiran perempuan terlalu mendominasi hidupnya. Afi membentuk sikap terlalu—keras—tomboy dengan tidak mengatakan pada Thunder—rekannya dalam pekerjaan—mengenai jenis kelaminnya. Afi pikir, Thunder lambat laun akan sadar jika dirinya adalah perempuan karena memang untuk ukuran lelaki tubuh Afi terlalu kecil. Namun, ternyata Thunder terlalu d***u mengenali mana perempuan dan lelaki cantik. "Ngerokok mulu!" Thunder menarik lepas batang rokok dari jepitan jemari Afi. "Bang!" seru Afi tak terima. Mencoba mengambil rokoknya yang dengan cepat Thunder buang ke bawah serta menginjaknya sampai hancur. "Bosen saya lihat kamu ngerokok. Kalo tidur bau rokok, Fi! Saya enggak suka." Memutar bola mata, Afi kembali duduk di kursi yang ada di atap tempat biasanya para anak properti menjemur berbagai kreasi. Dia mengambil bungkus rokok, mengambil satu batang lagi dan Thunder tidak berhenti merecoki kegiatan Afi. "Bang!" Afi menggeram ketika Thunder sengaja merapatkan tubuh mereka hanya untuk mengambil bungkus rokok dan pemantik api. Afi sudah biasa dipepeti tubuh Thunder, tapi selalu merasa takut saja. Takut kalau Thunder menyadari dirinya perempuan. Padahal, d**a super rata milik Afi sudah menjelaskan betapa dia bisa disebut sebagai laki-laki. "Bang, ah!" keluh Afi. Pada akhirnya dia mengalah dengan melepaskan kedua benda kesayangannya karena Thunder kurangajar menghidu wajahnya hingga Afi gemetar sendiri. Thunder memundurkan tubuhnya. Dia melihat sekitar, baru saja Dego terlihat dari pintu lalu Thunder semangat memanggil anak properti itu. "Kenapa, Bang Unde?" "Nih! Bawa." Thunder menyerahkan sebungkus rokok dan pemantik api milik Afi. Sebelum Dego menerimanya, Afi sudah lebih dulu pergi dari sana. Kalau sudah jelek mood-nya, Thunder tahu Afi lebih suka tidur di mobil. Karena Thunder yang suka sekali mengganggu waktu menyendiri Afi, jadilah setiap kesempatan yang ada dia selalu mengikuti Afi. "Bang Unde. Ini punya defi, ya??" teriak Dego pada Thunder yang ingin segera menyusul Afi. Defi adalah nama panggilan Afi selama di lokasi syuting, yang berarti dedek Afi. Tampang imut Afi yang membuat para kru gemas hingga memanggilnya dedek. "Iya! Ambil aja!" Terus berlari kecil meninggalkan Dego, Thunder buru-buru menubruk tubuh Afi dari belakang ketika sampai di parkiran, tepat di depan pintu mobil. "Bang Under!" "Kenapa manggil-manggil, sih, Fi. Bikin merinding aja." "Lo mulai enggak waras, ya?!" Afi menoleh, membuat wajahnya mengenai Sisi wajah Thunder. Mengecup bibir Afi, Thunder menarik pintu mobil dan memaksa Afi masuk dengan mengambil kunci mobil lebih dulu. Kebiasaan! Afi menggerutu dalam hati. Dia masa bodo dengan sikap Thunder yang suka sekali melakukan skinship dengannya, karena kalau Afi bersikap berlebihan menanggapinya, Thunder akan terus menggodanya dengan mengatakan kalau Afi memiliki rasa pada Thunder. "Suka enggak sama naskahnya?" tanya Thunder ketika mobil yang mereka naiki sudah keluar jalanan. "Belum gue baca." "Baca, dong, Fi. Saya setuju banget kalo kamu lawan main saya, Fi." "Gue enggak mau." Thunder ini adalah bintang AV(adult video) yang lebih sering mendapat peran sebagai penyuka sesama jenis. Meski sebenarnya dia tidak benar-benar memiliki ketertarikan dengan sesama jenis, tapi berdekatan dengan Afi dia merasa berbeda. "Kenapa enggak mau?" "Ya enggak aja. Enggak ada alasan lain." Thunder berdecak. "Main sama saya, lho, Fi." "Ya... terus?" "Ya... kita, kan deket. Enggak susah gali kemistri gitu." "Tetap enggak." Thunder menghela napas. "Kenapa, sih?? Kamu aja belum baca naskahnya—" "Gue enggak mau, ya, enggak mau!" karena gue takut lo tahu gue cewek. * "Fi." Merasakan punggungnya diusap-usap, Afi tahu siapa pelakunya. "Fi...." Masih dengan usaha yang tak kalah keras dari sebelumnya, Thunder terus mengerahkan berbagai cara agar Afi mau bangun dari tidurnya. "Fi, saya mau berangkat, nih." Berdecak. Afi bergumam sebelum kembali menelungkupkan wajahnya di bantal. "Pergi, tinggal pergi aja, sih! Ribet!" Thunder sulit untuk diajak kompromi kalau sudah menginginkan atensi Afi padanya. Ketika hendak pergi syuting ke wilayah kota lain, dia akan meminta Afi menemani sampai bandara. Bukannya menyusahkan tim manajemennya, malah sibuk menyusahkan Afi. "Fi, bangun! Antar ke bandara." Afi tidak mau mendengarkan lagi. Dia semakin mengambil bantal, menekan supaya suara rengekan Thunder bisa berkurang ditelinganya. Thunder menggunakan cara lain. Dia bergerak untuk mendekap tubuh Afi, menciumi setiap jengkal dari tubuh Afi—terutama tengkuk—untuk membuatnya benar-benar terjaga dan menuruti kemauan Thunder. Menggeliat sembari melayangkan lengannya untuk membuat Thunder mundur dan tetap dalam mode tidur memang sulit. Thunder membuat mood Afi memejamkan mata dengan pulas menjadi hilang. Lelaki itu kalau sudah ada mau terus saja mengganggu. "Sana, kek!" sambar Afi yang memaksakan duduk masih dengan mata terpejam. Menggaruk-garuk bagian tubuh mana saja yang sudah menjadi kebiasaan Afi, Thunder menunggu. Sampai Afi bangun dan bergegas bersiap mengantarnya, maka Thunder akan keluar dari kamar itu. "Bangun, Fi. Siap-siap cepetan, saya bisa telat." Berdecak, Afi beringsut menuju kamar mandi seraya bergumam, "Bodo amat!" Thunder yang seolah menulikan pendengarannya pun meneriaki Afi, " Jangan mandi, Fi! Nanti kamu bikin horn—" Tak menyelesaikan ucapannya karena Afi langsung melemparkan botol sampo dari pintu kamar mandi yang dibuka dengan cepat. Lelaki itu tertawa melihat wajah kesal Afi dipagi hari. * Mengantar Thunder jelas bukan kebiasaan yang Afi biasakan sendiri, pria itu adalah pendorong—pemaksa—utamanya mengapa Afi tiba-tiba saja memiliki pekerjaan tambahan layaknya manajer. "Jangan cemberut gitu lah, Fi. Nganterin begini masa ngambek? Cowok tuh enggak tukang ngambekan." Afi tidak menggubris ucapan seniornya itu. Selama tinggal dengan Thunder yang selalu Afi simpulkan adalah pembicaraan yang selalu mengarah pada intuisi pria itu sendiri mengenai lelaki sebenarnya. Bukannya bodoh, Afi tahu kalau Thunder sebenarnya tertarik dengannya. Hanya saja Afi ingin melihat, seberapa berani Thunder menerima ketertarikan itu. Sebab pria itu pasti berpikir kalau dirinya sendiri sudah tidak waras menyukai Afi, yang hanya diketahuinya sebagai laki-laki. "Fi, jadi bintang AV ternyata enggak begitu dikenal orang, ya." Terus menerus Thunder akan mengoceh agar Afi membalas. "Kirain saya bakalan terkenal gitu, Fi. Ternyata enggak juga. Malah sekarang kamu yang dilihatin banyak orang." Iya. Memang justru Afi yang menjadi pusat perhatian menunggui Thunder ke bandara seperti ini. Afi yang lebih banyak tampil sebagai sampul majalah untuk brand fashion terkenal memang tidak main-main, meski begitu, Geografi terlalu menutup rapat kehidupan pribadinya. "Nih." Thunder menaruh naskah tebal yang covernya berwarna hitam polos. Afi memutar bola mata malas. "Lagi, Bang?" ucap Afi seraya menaikkan alis menyindir. "Apapun jawaban kamu, saya mau tetap kamu baca naskahnya. Masalah kontrak nanti menyusul, Fi. Pokoknya kamu harus jadi lawan main saya di video yang ini. Saya maunya kamu." "Enggak akan berhasil, Bang. Yang ada videonya jadi gagal nanti—" Thunder lebih dulu mencium bibir Afi dan berjalan meninggalkan Afi yang terkejut. Bukan karena dicium Thunder, melainkan karena setelah ciuman itu Thunder menjilat bibirnya di tempat umum. "Baca! Pulang dari Bali praktek sama saya, Fi!" teriak Thunder yang otomatis membuat banyak pasang mata melihat ke arah mereka. Dasar Thunder sinting! * Menarik kausnya hingga terlepas dari kepala, Afi mengambil tempat di kursi malas balkon kamarnya. Setiap Thunder tak ada, Afi akan bertelanjang d**a sembari merokok di sana. Karena kalau Thunder ada di rumah, Afi lebih memilih kamar mandi sebagai tempatnya bersarang dan menghabiskan banyak rokok. Buah dadanya yang memang sangat rata—tetapi tetap agak menonjol—tidak begitu penting baginya. Bertelanjang d**a layaknya laki-laki dan celana dalam tetap milik wanita, Afi merasa lebih leluasa bernapas tanpa sehelai benang—sebenarnya—karena ini rumah bersama jadi dia masih menutup area intimnya dengan kain pelapis yang sebenarnya memberikan kesan seksi dari sisi perempuan yang dia miliki. Asap yang mengepul dari bibirnya membawa bagian angan yang diam-diam Afi selalu idamkan. Sedangkan angan adalah bentuk kebahagiaan, Afi tak merasa perlu menggapai angan. Mengedarkan pandangan yang entah kemana fokusnya, Afi mengingat lagi bagaimana dirinya bisa bertemu dengan Thunder. Saat itu usianya lima belas tahun. Hidupnya sudah tak bahagia dalam keluarga. Thunder adalah bintang p***o yang memang Afi tahu karena lingkungan pergaulannya sejak dulu sangat bebas. Konsumsi video p***o bagi Afi memang tontonan sehari-hari. Dia sering ikut ke warnet saat lingkungan pertemanannya b****k dan ikut menonton video p***o yang teman-temannya—yang tentu lebih tua—saksikan dibalik layar komputer yang tarifnya perjam. Sejak kecil, Afi-pun tidak diperlakukan selayaknya anak perempuan. Dia suka ikut-ikut, terbiasa, dan akhirnya menjadi yang paling paham. Thunder adalah bintang p***o yang dia tahu dari hasil menonton itu. Aksi pria itu di depan kamera adalah konsumsi khalayak ramai yang memang suka, dan Thunder memang lebih sering dipasangkan dengan sesama lelaki. Tak heran kalau Thunder ada kecenderungan main keras ketimbang main dengan passionate memanjakan lawannya.   "Bang bagi rokok." Thunder saat itu begitu gampang mengeluarkan lembaran uang tanpa banyak bicara. "Gue mintanya rokok, bukan duit." "Beli rokok sendiri sana!" balas Thunder. "Gue enggak mau pake duit cuma-cuma. Gue minta rokok, Bang. Kalo duit gue harus kerja sama lo, Bang." "Yaudah, kerja kalo gitu. Jadi asisten saya. Kamu dapet duit, enggak perlu mintain rokok dan ganggu orang nongkrong." Afi pikir bekerja dengan Thunder bukanlah pilihan buruk. Dia bisa menjadi apa yang dia mau dengan keluar dari rumah keluarga bobroknya. Jadi, jawabannya saat itu langsung iya. Begitu bekerja dibawah naungan Thunder, Afi malah langsung ditawari menjadi model brand baju terkenal dan Thunder mau tidak mau memperkerjakan orang lain. Afi memiliki nasib mujur dengan setuju bersama Thunder. Uang bukan lagi tanggungan sulit, tapi Afi jelas membatasi tawaran yang ada agar tidak semakin terlihat sisi perempuannya. "Defi!" Tergeregap, Afi buru-buru kembali ke kamar dan mengambil pakaian santai. Dia tahu kalau Dego memang cukup akrab hingga bisa keluar masuk rumah milik Thunder tersebut. "Defiiii... I'm coming!" Sialan. Afi merutuki Dego dalam hati, lelaki itu sama sekali tidak memiliki rasa sungkan. Bahkan Dego sepertinya lebih peka terhadap gender- nya. "Defiiii..." "Oy!" Selesai menggunakan bajunya Afi langsung keluar. Dego membawa bingkisan yang sepertinya berisi pakaian. "Defiiii...." Dego merentangkan lengannya, bergerak untuk memeluk Afi yang tentu saja dihindari oleh Afi. "Giliran sama bang Unde dinikmati. Giliran sama bang Dego ngehindar melulu." Protes Dego. "Udah, deh... ke sini mau ngapain?" "Mau ini!" tunjuk Dego dengan bingkisannya. Afi mengernyit dan mengambil bingkisan tersebut. "Apaan?" "Ada pemotretan private, diajak bang Nusa. Jangan sampe bang Unde tahu." Afi semakin penasaran. Dia buka bingkisan tersebut dan terkejut melihat isi dalamnya yang ternyata bukan pakaian biasa, melainkan banyak lingerie. "Go..." "Let's go, baby Afiiii!" * Keterkejutan Afi tidak berhenti sampai disitu saja. Dia kebingungan harus menyikapi ajakan pemotretan private dari Danusa Roedjati itu. Bayaran yang pria itu tidak bisa dibandingkan dengan pihak lain yang selama ini Afi terima kerjasama. Nusa jelas berasal dari keluarga super kaya yang tidak diketahui banyak orang. Jika Nusa menginginkan pemotretan, maka bukan tidak mungkin pihak tinggi turun tangan. Namun, Afi tidak suka diposisikan seperti sekarang. Nusa terlalu terobsesi untuk bisa melihat lekuk tubuhnya. "Bang, ini terlalu..." "Gue jamin enggak ada yang akan tahu ini, Fi. Lo paham gimana gue, Fi. Gue enggak akan main-main sama ucapan gue." Menghela napasnya, Afi memejamkan mata sesaat. "Gue tahu lo selalu pegang janji, tapi pemotretan ini bukan cuma lo yang tahu, Bang!" Nusa mengambil jarak lebih rapat dengan Afi. Pria itu hampir sama gilanya berhadapan dengan Afi. Tidak paham apa yang dimilikinya, para pria yang dekat selalu mencari cara lebih dekat dan dalam melihatnya. "Gue jamin apapun yang lo minta, Fi. Apapun." Keseriusan Nusa membuat Afi agaknya goyah. Bagaimanapun, Afi juga selalu menyimpan rasa penasaran untuk memakai pakaian seksi perempuan itu. Hanya saja, dia enggan banyak pihak mengetahuinya. "Sebentar." Afi memundurkan diri, menatap Nusa lekat. "Lo tahu sesuatu, kan, Bang?" cecar Afi. "Maksud lo tahu tentang gender lo?" Afi tidak mengangguk, hanya menatap Nusa saja, tapi itu sudah jelas sekali. Nusa menjawab dengan anggukan. "Terus lo minta gue pemotretan begini buat apa? Lo mau bikin skandal baru tentang gue? Lo mau naikin nama agensi lo?" "Bukan. Sama sekali bukan, Fi." "Terus?!" tuntut Afi. "Gue mau lo tampil cantik, Fi. Gue..." "Jawab yang jujur, Bang. Kalo lo jujur gue setuju, dengan syarat dan ketentuan lain pastinya." Nusa agak terkejut, tapi langsung mengangguk. "Gue tertarik sama lo. Sebagai laki-laki ke perempuan, dan pemotretan kali ini, gue juga pengen turut andil di dalamnya. Ada sesi gue sama lo, foto berdua." Geografi mendapat pernyataan hati seorang Roedjati? Apa dunia sudah gila? Roedjati menaruh rasa padanya? "Lo enggak lagi sandiwara, kan, Bang? Lo tahu gue bukan tipe yang bakal langsung tersanjung dapet pernyataan cinta begini." Nusa kembali mengangguk-angguk. Pria itu jelas serius dengan ucapannya sendiri. "Ini album yang bakal gue jadiin koleksi di mini galeri gue, Fi. Tentang lo. Kalo lo ngasih kesempatan nantinya, gue pengen sesuatu yang lebih diantara kita..." "Jangan ngaco, Bang! Udah, sekarang urus ketentuannya. Gue mau ini cepet selesai." * Banyak sesi melelahkan dari pemotretan yang memang digarap Nusa tersebut. Bagi Nusa yang turunan Roedjati, menyiapkan set dengan konsep yang diinginkan memang mudah. Dan bagi Afi yang diminta untuk bergaya di depan kamera tentu tidak menyiakan kesepakatan. Dia akan mendapat bagian sangat tinggi karena ini. "Lo suka, ya, diem-diem." Ucap Nusa yang berada di belakang tubuh Afi. Berpose mesra dan dekat dengan Afi. Pri itu juga bisa mendapat kesempatan menyentuh kulit Afi secara langsung. "Jangan ngaco melulu, Bang!" desis Afi. "Gue suka lo yang asli gini. Walaupun rambut lo super pendek, tapi lo tetep seksi. Cantik." Photographer kembali mengarahkan keduanya. Afi melakukan tugasnya dengan profesional. Sedangkan Dego melirik sinis kepada Nusa yang ternyata mengambil banyak kesempatan. Dego kira Nusa hanya akan melihat penampilan Afi dengan pakaian super tipis dan super transparan, ternyata malah ikut di dalamnya. Yang paling penting, hari itu, harus menjadi rahasia dari Thunder. * Afi memantik kembali api untuk sebatang rokok yang dia simpan di dalam kantong celananya. Usai dengan sesi pemotretan, Afi langsung berganti pakaian. Jelas risih sekali rasanya dilirik banyak lelaki di dalam ruangan pemotretan, apalagi Nusa yang jelas-jelas sadar betul adanya ciri fisik wanita dalam postur tubuh Afi. "Belum pulang?" Afi menoleh sekilas, dia tahu Danusa Roedjati sedang mencari celah berbasa basi dengannya. "Kenapa enggak jawab? Lo enggak suka gue nanya, Fi?" Berdecak singkat, Afi sadar kalau dirinya tidak bisa marah dan bersikap layaknya anak kecil pada Nusa. "Lo juga kenapa belum balik, Bang?" balas Afi. "Kalo gue sih jelas, nungguin Dego. Dia yang jemput dan bawa gue ke sini." Nusa melihat jam tangannya, sudah menunjukkan angka satu dini hari. Dia tidak bisa membiarkan Afi yang pastinya membuat Dego terbayang akan lekuk perempuan itu pulang bersama. "Pulang sama gue, Fi." Kata Nusa setelah menyelesaikan chat- nya pada Dego. "Hah?" Nusa menatap Afi dengan datar. "Pulang sama gue. Lo denger tadi." "Gue balik sama Dego, Bang. Lo yang enggak denger kali," ucap Afi agak ngotot. "Lagian lo balik aja duluan, gue masih nungguin Dego. Jangan sok baik gitulah, Bang. Gue tahu lo lagi nyari cara buat nyogok gue biar enggak ngambek, kan? Gara-gara lo t***k gue nampang di kamera—" Nusa yang gemas dengan bibir Afi membungkamnya cepat dengan ciuman keras. Afi tak menolak, dia sendiri ingin memastikan sesuatu dalam dirinya. "Woo... woo... wooo! Sadar tempat woy!" Dego mengeraskan suara karena terkejut melihat Afi dan Nusa yang berciuman hebat. Catat, berciuman yang artinya entah itu Nusa atau Afi lebih dulu yang memulai keduanya jelas saling membalas gerakan bibir masing-masing. Keduanya sudah melepaskan tautan bibir sejak suara Dego menginterupsi. Afi menekan bibirnya yang terasa bengkak menggunakan punggung jari telunjuknya sembari melirik ke arah lain. Jantungnya berdebar karena reaksi dari ciuman super cepat dari Nusa. Berbeda dengan Nusa yang santai saja meski sama berdebarnya. "Jadi, lo balik sama siapa, Fi?!" tanya Dego agak menyentak. Afi kebingungan. Dia ingin menjawab, tapi Nusa lebih dulu menyahut. "Tadi, kan gue udah chat, Go. Afi balik sama gue," Nusa melirik Afi. "lo balik duluan aja." Dego sebenarnya sudah kesal dari tadi dengan Nusa. Sayangnya Dego tak bisa banyak protes, bagaimanapun Nusa adalah ladang uang yang siap memberinya banyak kocek demi mendapatkan gambar apik seorang Afi. Yang Dego tak sangka adalah Nusa yang mencari kesempatan saja dengan Afi. "Yaudah, gue duluan. Ati-ati, Fi. Awas ketahuan." Afi melambaikan tangan pada Dego serta mengucapkan kata hati-hati juga kepada lelaki itu walau bagian awas ketahuan itu menjadi misteri. "Ayo!" Nusa berjalan lebih dulu, sedangkan Afi berjalan seraya melamun. Rasa bibir Nusa sama Thunder jelas beda. Afi mengusap bibirnya bergantian. Tapi jenis ciumannya juga beda. Thunder enggak sampe lumat-lumatan. Iya, Afi menilai sendiri bagaimana Nusa dan gerakan bibirnya membuai Afi. Ciuman yang seperti itu adalah yang ingin Afi coba, karena selama menonton video p***o yang dibintangi Thunder, Afi tidak bisa merasakannya sendiri. Apa gue setuju aja main sama Thunder? Dia bahkan sering menanyakan dalam benaknya untuk bermain film dewasa dengan Thunder. Namun, kewarasannya kembali menyentak, bahwa Thunder tak boleh tahu. Selama Thunder belum mau menerimanya apa adanya maka Afi tidak akan membiarkan Thunder tahu bagian dalamnya. "Jangan ngelamun jorok!" hardik Nusa. "Terserahlah, Bang." Afi menanggapi seadanya. Nusa tersenyum miring. "Kalo lo ngelamun jorok, gue yang enggak tahan liat lo, Fi." Afi hanya berdeham. Dia rasa melibatkan Nusa untuk mengetahui perasaan yang sebenarnya mungkin tidak terlalu buruk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD