BAB 2

3295 Words
Selama rentang waktu yang tidak keduanya hitung, ada banyak jumlah tanya serta rasa penasaran menjadi satu. Kalau saja Thunder bisa bermain-main dengan banyak perempuan lain—bahkan para pria—untuk memuaskan hasratnya yang ditutupi dengan profesional kerja menjadi bintang AV, perempuan jadi-jadian macam Afi juga merasa berhak melakukan hal yang sama. Nusa tertarik padanya, mana ada kesempatan lainnya jika Afi menyiakannya? Toh, belum ada yang namanya kata cinta diantara dirinya dan lawan jenis manapun. "Gue mau beli makan dulu, Fi." Afi tahu itu hanya akal cerdik Nusa untuk membuat waktu mereka bersama lebih lama. Cara pria itu begitu kentara, mana bisa Afi bersikap naif layaknya gadis remaja. "Lo bawa gue kencan begini bang, sama aja lo nyari mati buat kantong lo!" Afi membuka pintu mobil dan turun tanpa banyak bicara. Garis bibir Nusa terangkat, dia berhasil menarik Afi lebih dekat dengannya sebagai lawan jenis yang mencoba saling menjajaki. "Lo paling paham kantong gue enggak akan pernah habis isinya. Yang harusnya nyari mati itu lo, Fi. Main-main sama pawangnya macan." Afi tidak mengerti kenapa Nusa mengibaratkan dirinya sendiri sebagai pawang macan. Dia memilih mengabaikan ocehan kacau Nusa itu. Lebih baik mencari kursi ternyaman dan segera memesan hidangan. Nusa membiarkan Afi memesan yang dimaui perempuan itu. Setelahnya, Nusa menyodorkan ponselnya pada Afi. Kening perempuan itu mengerut tak mengerti. "Buat apaan, Bang?" tanya Afi masih membiarkan ponsel Nusa tanpa berniat mengambil. "Tulis nomor hape lo, Fi. Gue kan belum punya nomor hape lo yang pribadi." Iya, Afi memang paling jarang membagi nomor pribadinya pada orang lain. Yang paling ramai dia bagikan adalah kontak khusus kerja. Menghela napas sejenak, Afi pada akhirnya mengambil ponsel tersebut dan menekan layar dengan nomor pribadinya. Nusa mengembangkan senyuman ketika sudah mendapat apa yang dia incar. "Boleh nanya, Fi?" Afi mengangkat bahunya, dia tidak yakin kalau melarangpun Nusa akan mengalah. "Gue anggap itu jawaban boleh." Nusa mengucapkannya agar Afi mendengar dan tidak keberatan. "Kenapa lo tinggal bareng Thunder?" "Karena gue butuh tempat tinggal." Jawab Afi tanpa merasa aneh sama sekali. "Iya. Gue kasih apartemen buat lo, mau pindah dari tempat Thunder?" tanya Nusa tidak mau kalah bersikap biasa saja seperti Afi. "Kenapa juga gue harus mau lo kasih apartemen, Bang?" "Kenapa lo harus enggak mau?" balas Nusa membuat Afi bingung sesaat. Perempuan itu menggaruk kepala yang dihiasi rambut pendeknya, lalu beralih menggaruk alis. "Maksud gue gini, loh, Bang. Buat apa lo baik hati banget ngasih gue apartemen? Emangnya gue simpenan lo?" tuding Afi dengan nada yang lebih terdengar tak terima. "Bukan, Fi. Lo jelas bukan simpenan gue. Gue mau lo pindah dari tempat Thunder, karena gimanapun, lo ini cewek, Fi. Tabiat Thunder yang bisa main sama siapa aja justru bikin gue takut kalo lo bakalan di..." Nusa memandang gamang ke arah Afi. "Diapain, Bang? Lo mikirnya kejauhan, Bang. Thunder itu baik. Dia yang bawa gue sampe bisa kenal lo sekarang. Gue bisa hidup enak, bisa beli rokok tanpa harus minta orang lain, hidup mewah, semua karena Thunder. Kenapa lo malah mikir sekotor itu, sih, Bang?" Nusa hendak menjawab, tapi pelayan sudah lebih dulu memutus dengan membawa pesanan mereka masing-masing. Nusa hanya bisa diam membiarkan Afi dan dirinya mengisi perut lebih dulu. Pembahasan mereka tentu saja akan lebih serius. * Afi tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Sejak tawaran Danusa dan pembicaraan panjang yang akan menjadi rahasia keduanya seminggu yang lalu, Afi tak tenang sendiri. Gagal memahami pilihan mana yang harus dirinya turuti. Pagi ini Afi bangun lebih awal. Jadwalnya tidak padat semalam, dia memiliki waktu tidur lebih panjang dan akibatnya tenggelam dalam lamunan dipagi hari. "Aw—" Afi terpekik terkejut sebenarnya, karena tiba-tiba saja bahunya digigit gemas dari belakang. "Kebiasaan!" gerutu Afi. Memutar mata malas, Afi tahu kalau Thunder sudah kembali semalam juga, meski sengaja dirinya tak menyapa Thunder sama sekali. "Seru banget ngeliat kamu bengong, Fi. Bikin horn—" Afi membekap mulut Thunder agar tidak melanjutkan ucapannya. Selalu saja ada kata bikin h***y kala pagi mereka saling berpapasan. Sebenarnya, tanpa melihat Afi-pun, Thunder memang sudah terangsang sejak bangun tidur. Gairah pria itu jika tenaganya kembali memang dahsyat. Itu mengapa Thunder sering dipakai banyak pembuat film dewasa. "Sesekali enggak h***y kenapa, sih, Bang?! Baju gue lengkap, masih mode bangun tidur pula. Lo bisa-bisanya bilang h***y melulu kalo liat gue pagi-pagi." Thunder tertawa. Dia mengambil barbel ukuran sedang—yang tidak Afi hapal jumlah kilogramnya—dan membawanya ke halaman belakang dekat kolam renang. "Siapa bilang h***y- nya cuma pas pagi-pagi?" balas Thunder santai. Afi mengernyit. Dia tahu kalau Thunder akan mengoceh lebih kacau lagi, jadi dia putuskan menggeleng pelan dan membawa es krim menuju ruang tv. "Mau ke mana? Enggak mau ikut olahraga bareng saya, Fi?" Thunder ini, entah bagaimana tidak risih menggunakan panggilan yang sopan pada Afi. Bahkan Nusa saja yang lebih normal selalu menggunakan kata panggilan gue–lo dengan Afi. "Enggak suka olahraga. Capek, bikin keringetan, lengket di badan!" teriak Afi menjawab tanya Thunder sembari melenggang dari dapur yang tersambung dengan halaman belakang. Thunder tidak mau memaksa. Dia berolaharaga sendiri karena itu adalah salah satu cara mempertahankan karirnya sebagai pria bertubuh bagus dan stamina kuat, lebih menjurus lagi... kuat bertahan lama gulat ranjang. "Fi!" panggil Thunder. "Iya!" Afi selalu menurut pada Thunder. Bagaimanapun, Thunder adalah penyelamatnya dari dunia miskin serta kotor secara tingkat sosial, tak ada elit-elitnya. "Kenapa?" Afi melongo dari pintu kaca geser dan mendapati Thunder sudah berada di dalam kolam. "Mau coba salah satu adegan di black script, enggak?" tawar Thunder. Coba? Bahkan Afi belum membukanya sama sekali. Dia tahu isi dari naskah tersebut hanya adegan m***m yang harus bisa membuat denyut intim penikmatnya bisa terangsang panjang. "Bang... udahlah... gue belum siap jadi bahan percobaan lo dan kru lainnya." Thunder sepertinya tidak suka dengan ucapan Afi. Pria itu keluar dari kolam dan mendekati Afi meski lantai dapur basah karena sisa air dari tubuhnya. Afi agak tidak fokus dengan bentuk gagah milik Thunder. Melihat di kamera dengan asli pastilah beda sensasinya. Pria itu mengamati gerak gerik mata Afi. Meski hanya sesaat, Thunder tahu Afi tertarik dengan bumbungan dibalik kain mahal yang membungkus harta karunnya. "Kamu bisa coba pegang, Fi." "Ha?" sahut Afi linglung. Ketika tangannya disentuh Thunder dan membimbingnya untuk menyentuh bagian itu... Afi tersengat. "Bang—" Afi mencoba melepas, tapi Thunder menariknya hingga jarak tubuh keduanya lebih terkikis. "Kenapa? Kamu enggak mau melakukan hubungan dengan sesama pria, Fi?" Bego! Masa lo enggak bisa bedain body cewek, sih?! Afi sejujurnya gemas dengan ketidakpekaan Thunder, tapi sisi lain merasa lega. "Bu–bukan gitu..." Thunder merapatkan jarak wajah mereka. Membimbing Afi untuk duduk di kursi berjemur. Pipi Afi terasa panas karena pandangan Thunder yang tak lepas darinya. "Bang Under... enggak geli sama gue?" tanya Afi lirih. "Saya baru nemuin laki-laki secantik kamu, Fi." Bisik Thunder tepat di depan bibir Afi. "Saya bahkan nolak banyak tawaran dengan lawan pria karena saya selalu nyari yang mirip sama kamu." Thunder mulai mengecupi bibir Afi. Perempuan itu tidak menolak, dia memang menginginkan Thunder, tapi tidak dengan cara yang begini. "Bang, lo bakal nyesel kalo nolak banyak tawaran cuma karena nyari yang mirip gue." "Enggak akan nyesel, Fi. Apalagi kalo kamu mau terima naskah itu, saya akan main sama kamu aja. Saya janji." Oh. Afi tergiur. Jika memang Thunder hanya akan main dengannya saja, Afi akan menyetujui itu. Apa terlalu cepat? Batin Afi. Dia ingin membuka fakta mengenai dirinya secara langsung. Dia bosan pura-pura dikira laki-laki oleh Thunder. "Kalo gue terima... kita ada latihan atau sejenis percobaan dulu?" tanya Afi. Thunder mengangguk. "Jadi, kamu mau?" sahut Thunder dengan semangat. Afi menggigit bibir bawahnya. "Tapi bang Under enggak boleh narik ucapan. Kalo gue mau lo cuma main sama gue, Bang!" Thunder mengangguk setuju, dan napas memberat pria itu membawa Afi untuk menyadarkan Thunder seutuhnya. Bahwa Afi bukan anak lelaki yang ditemukan Thunder dan dirawat begitu saja, tapi Afi adalah anak perempuan penggemar film p***o yang dibintanginya. Semoga lo enggak kabur karena kaget, Bang. * Yang pertama kali Afi lihat setelah sesi pemanasan mereka selesai adalah wajah memerah Thunder. Entah menahan napsunya atau amarah yang memuncak sampai Afi sendiri takut melihat wajah pria itu. Thunder benar-benar menghentikan kegiatannya begitu mendapati diri Afi yang sebenarnya. "Fi—" "Gue izinin. Lakuin apapun yang lo mau, Bang." "Bukan itu!" Thunder terpaku dan tidak bisa berkata sesuai dengan pikirannya. "Fi..." Tidak ada kata bencana bagi Afi sebelum ini. Dia sudah sangat kepalang tanggung sekaligus malu karena fakta yang sebenarnya terkuak. "Kamu- bukan laki-laki???" pekik Thunder. Bagi sebagian orang, menerima bahwa dirinya sendiri bertransisi memiliki kecenderungan orientasi seksual menyimpang hal yang sulit mau tidak mau harus dirinya terima. Namun, bagi Thunder, dia menentang penerimaan penyimpangan itu. Lalu, satu ide tercetus untuk merasakan sensasi 'penyimpangan' yang terjadi dalam dirinya sendiri dengan mengajak Afi melepas hasrat. Sayangnya, begitu bagian bawah Afi tidak seperti yang dibayangkan karena d**a rata Afi cukup menjelaskan bagi Thunder, ternyata salah kaprah. "Kenapa nanya sekarang, sih??!" "Karena kamu—" "Minggirlah kalau enggak mau lanjut!" "Eh—jangan..." Thunder membelalak tak percaya pada ucapannya sendiri. "Yang bener yang mana, Bang? Lo mau kita lanjut atau enggak?" tantang Afi. Pikiran Thunder bercabang karena berbagai pertanyaan muncul. Bahkan mencoba mencocokkan antara gaya bicara Afi dengan 'sesuatu' di bawah sana yang dihiasi sesuatu juga... Thunder tak percaya. "Fi... saya—" "Lanjut atau enggak. Cuma itu pilihan jawaban lo, Bang." Thunder tidak memilih dua dari apa yang Afi sebutkan, tapi Thunder memilih merasakan langsung bibir Afi lebih dalam... lebih liar. Geografi. Afi. Little Sugar milik Thunder. * Sebelum memikirkan perdebatan apa yang akan dia lakoni dengan Afi, Thunder sama melepaskan segala pemikiran rumitnya dan memilih menikmati sesi berdua dengan Afi. Meski tak seperti bayangannya, justru Thunder merasa dibohongi dengan hal itu. Selama ini Thunder selalu memercayai apa yang terlihat dari luar, setelah mendapati Afi tidak seperti— "Nyesel, Bang?" Lamunan Thunder buyar begitu Afi memasuki kamar sehahis mandi dengan kemeja milik Thunder. Memandangi tubuh Afi yang memang rata, tetapi jika ditilik lebih lama ternyata Afi memiliki postur tubuh perempuan itu... seketika saja membuat Thunder kecewa. "Kenapa enggak bilang kalo kamu..." "Lo aja yang emang dasarnya b**o, ya, Bang. Bahkan banyak kru di lokasi yang nyadar kalo gue itu cewek, meskipun gue bohong soal itu." "Tapi seharusnya kamu enggak bohongin saya begini!" "Apanya yang enggak seharusnya? Bang, gue harus jujur ke lo, dari awal yang duluan tertarik itu lo, kan? Kenapa gue harus jujur soal gender gue kalo ternyata lo bisa sayang sama gue apa adanya?" Thunder tak bisa melepaskan tatapannya dari Afi. Mau tak mau mulai sekarang dia harus menyebut Afi sebagai perempuan. Dia merasa senang akhirnya bisa merasakan diri Afi yang sebenarnya. Namun, sebagian lagi merasa terkhianati. "Kenapa? Lo lebih suka kalo gue cowok beneran?" Thunder menumpukkan sikunya pada lutut, menunduk, dan mengusap wajahnya dengan kasar. Kentara sekali jika dia mengiyakan pertanyaan Afi. Menunggu lama, Afi sedikit terkejut dengan balasan Thunder yang pada akhirnya melayang dengan enteng. "Kamu keberatan jika saya menjawab iya?" Sekarang, Afi yang merasa agak kecewa. Padahal sebelumnya dia menyukai saja fakta jika Thunder menerimanya sebagai pasangan sesama jenis, awalnya. Kenapa sekarang rasanya beda? * Dalam pikiran Afi saat ini adalah terserah apa maunya Thunder saja dalam memikirkan konflik yang sebenarnya terjadi dalam batin masing-masing dari keduanya. Fakta bahwa seorang Geografi perempuan tak akan bisa mengubah apapun, termasuk rasa nyaman Thunder jika Afi adalah seorang laki-laki. Meski agaknya kecewa mendapati jawaban Thunder memilih menganggap masalah itu enteng saja. "Ya, terserah lo aja, Bang. Gue enggak mau punya rasa keberatan semacam itu." Afi melenggang dari tempat yang sama dengan Thunder. Memilih keluar dari kamar dan mengambil minuman dingin dari lemari pendingin walau cuaca sedang hujan. "Fi... Afi!" panggil Thunder yang mengikuti Afi ke dapur. Afi tidak bertingkah selayaknya gadis yang baru diperawani. Dia tidak begitu beredukasi soal apapun yang menyangkut perempuan yang baru lepas perawan. Yang dia pahami tentu saja soal kegiatan ranjang yang nikmat. Afi hanya Afi, bukan sosok perempuan intelektual tinggi yang harus melakukan tarik ulur dengan pria matang semacam Thunder. Dari awal dia tak banyak berekspektasi selayaknya Thunder. Jadi, kalaupun Thunder tak berkenan melanjutkan hubungan mutual mereka... tak akan menjadi masalah bagi Afi. Begitu Thunder berada di depan perempuan itu, Afi hanya menaikkan kedua alisnya seperti bertanya. Meneguk bir kalengnya, Afi menunggu kalimat apa yang akan Thunder keluarkan dari bibir s*****l itu. "Ini yang pertama buat kamu, kan?" tanya Thunder begitu saja. "Ya. Kenapa?" balas Afi dengan enteng. "Apa enggak apa-apa?" Afi menghela napasnya, menyandarkan bahu pada kulkas hingga menjadi tumpuan tubuhnya. "Bang... gue enggak ada urusan sama drama lepas perawan atau apapun itu. Menurut lo, apa gue harus bahas apa-apanya soal rasanya lepas perawan sama lo???" Thunder tak pernah sebingung ini menghadapi seorang perempuan? Setahunya, perempuan adalah jenis makhluk yang suka membuat segalanya sesuatunya sulit. Namun, lihatlah Afi sekarang ini. Membuat Thunder yang terlihat lebih rumit daripada perempuan sebenarnya(Afi). "Sori, bukan maksud saya untuk seperti ini, Fi." Afi semakin menaikkan kedua alisnya. Mendengkus dengan kesal. "Ini? Cuma gini aja rasa tertarik lo sama gue, Bang?" "Afi... saya enggak mau kamu--" "Oke. Gue udah paham sekarang, lagian gue juga mau bilang makasih. Karena lo udah ngajarin gue buat bikin pasangan tidur gue nantinya puas." "Pasangan tidur?" "Hm. Habis ini gue nggak mungkin nggak kangen buat nge-s*x. Ternyata rasanya enak, kok. Bikin nagih. Gue kayaknya nggak akan puas kalo cuma pake s*x toys." Afi bisa melihat rahang Thunder mengetat seiring dengan setiap kalimat yang keluar dari mulut Afi yang membuat telinga pria itu berdengung, menghantarkan sinyal bahaya yang jelas sekaligus menaikkan emosi Thunder dalam waktu yang cepat. Mendekati Afi, pria yang memiliki tubuh liat dengan otot yang sengaja dibentuk agar memenuhi standar bintang film dewasa itu menarik pinggang Afi dengan cepat. Wajah mereka begitu dekat, hingga setiap deru napas pria itu ketika berkata rendah menyapa kulit bibir Afi hingga bulu tengkuk perempuan setengah lelaki cantik itu berdiri. "Siapa yang memberi kamu izin untuk punya teman tidur lain, hm?" Kedua belah bibir Afi tanpa niatan membuka, matanya mengamati bibir dan mata Thunder secara bergantian. Afi mengakui betapa pesona Thunder membuat lututnya mudah lemas. Dengan spontan juga Afi menumpukkan berat tubuhnya pada lengan kekar Thunder, sedangkan tangannya mengerat pada bahu pria itu. "Enggak ada yang harus gue mintain izin, anyway." Balas Afi sengaja membuat Thunder semakin kesal. "Saya yang enggak mengizinkan kamu dengan yang lainnya, paham?" Afi menggelengkan kepalanya seperti anak kecil. "Enggak. Gue enggak paham. Kenapa gue harus nurutin kata lo? Kenapa gue harus dapet izin dulu buat tidur sama cowok lain?" Telapak Thunder yang gagah menangkup wajah Afi, menghantarkan sensasi hangat sekaligus mendebarkan pada Afi yang masih terhitung amatir. Untungnya saja Afi belajar cepat dari video dewasa yang dulu dikonsumsinya, jadi tidak memalukan dirinya sendiri ketika lidah Thunder tiba-tiba menyapu kulit wajahnya seolah sedang menjilati es krim yang begitu manis. Mata Afi memejam, bibirnya semakin terbuka merasakan bahwa dirinya memang makanan yang sedang Thunder nikmati. Kaleng bir sudah lenyap dari genggaman tangan Afi entah sejak kapan, karena tangan perempuan itu sudah berada dibahu Thunder sedari tadi. Tanpa merasa gugup, Afi menerima ciuman Thunder. Yang tidak Afi ketahui adalah bibir pria itu tidak kosong, melainkan memberikan bir menuju mulut Afi. Ciuman yang mengandalkan lumatan itu membuat Afi tak tahan sendiri. Begitu tautan bibir mereka terlepas Afi menggunakannya untuk membalas. Bibirnya mencari leher pria yang membawanya pada sesi panas ini. Lalu dengan tak kalah sensualnya, Afi menelanjangi bagian bawah Thunder menggunakan giginya. Inisiatif itu berlanjut hingga Afi menggerakan kepala serta tangannya untuk Thunder junior. Dan mereka menghabiskan sisa hari di rumah dengan u*****n yang datangnya dari kegiatan nikmat mereka sendiri. * Mendengar suara berisik dari arah dapur, Afi bangun dengan menggosok kelopak matanya untuk menyesuaikan cahaya. Tubuh telanjangnya dibalut dengan selimut tipis berwarna abu yang diketahui milik Thunder. Pria yang semalam menindih tubuhnya habis-habisan mulai dari atas, bawah, depan dan belakang itu sudah tidak ada disampingnya. Bed sofa yang luas untuk dua orang tempat itu memberi ruang Afi untuk berguling kesana kemari dalam lelapnya lebih luas. "Bang?" panggil Afi yang menyadari tak ada d**a bidang   serta harum khas keringat Thunder. Gosh. Baru pagi ini saja Afi sudah rindu akan aroma serta tubuh Thunder. Bagaimana dia bisa menjalani hidup normalnya kembali jika dikepalanya penuh dengan bayang kepuasaan bersama pria itu? "Hm. Dapur, Fi." Jawab pria itu. Afi mendudukan diri. Karena dapur tak jauh dari sofa dimana Afi berada, perempuan itu bisa melihat jelas otot punggung Thunder. Otomatis saja matanya langsung terbuka. "Baaannggg...." panggil Afi lagi, kali ini dengan nada manja. Thunder berbalik, dilihatnya sang objek dengan lamat. Thunder tidak banyak berkata. Pria itu menyelesaikan masakannya, lalu berjalan kembali menuju Afi berada. Bukannya mengajak sarapan karena makanannya sudah siap, Thunder justru memberi ciuman panjang untuk Afi. Kecap bibir mereka kali ini diiringi geraman. Thunder yang gemas mengarahkan mulutnya pada d**a Afi, menggigit serta mengisapnya keras. Afi yang semula duduk harus kembali telentang, sebab tak kuat menahan serangan brutal Thunder. "Ehm... enggak capek?" tanya Thunder usai bibirnya terlepas dari p****g Afi. Tetap memertahankan posisi menindih si perempuan androgini itu. "Capek. Tapi pengin lagi gara-gara bang Unde masak tadi." "Kenapa aku masak?" "Seksi. You are hotter than the stove, I guess." Thunder tertawa. "Emang pernah kamu rasain si kompor?" Thunder menuruni setiap bagian. Dia kecup dan sisakan bagian basah pada tubuh Afi yang masih telanjang, berbeda darinya yang sudah mengenakan celana panjang. "Hanya tebakanku—eungh... hahh. Shoot!" erang Afi Yang merasakan tubuh bagian bawahnya diserang oleh Thunder, si ahli memuaskan lawan mainnya. Jemari Afi dengan cepat meremas apa saja yang bisa digapai, termasuk rambut Thunder yang terhitung panjang. Lenguhannya tak henti karena dari semalam Thunder menemukan kelemahan Afi yaitu bagian klitorisnya. Tubuh Afi akan sangat lemas, tetapi bersemangat. Merasakan geli yang justru tak mau Afi lepaskan. Sensasinya membuat Afi ketagihan. "Ahh... s**t!" teriak Afi karena terkejut Thunder menggigit k******s yang ukurannya bisa dikatakan sebesar kacang polong itu. "Please... hng... please!" Lebih lagi, Afi merasakan jemari pria itu juga memberikan godaan dahsyat. Afi tak mau menanggung tanggung, dia memohon agar segera diberi kesempatan untuk memuntahkan cairannya pagi ini. "Please? What for, Bebe?" Thunder sengaja. Dia pelankan ritme getaran dari jemari dan lidahnya. Mengamati wajah Afi yang sudah memerah, bibirnya digigit dengan keras. Efeknya bibir itu menjadi memerah dan agak membengkak, sontak saja Thunder gemas. Naik ke atas, melumat Afi rakus. "Give mehh, please...." Thunder bisa melihat bagaimana Afi berjuang keras ingin mendapatkan pelepasannya. Namun, pria itu menggunakannya sebagai kesempatan lain. "Akan aku terusin. Asal kamu berhenti menggunakan panggilan lo-gue ke saya." "Hm?" Afi mulanya merespon bingung. "Berhenti berkata lo-gue dengan saya, Geografi." "Ya, ya, okeee!" Kata Afi ingin segera mendapatkan apa yang ditunggunya. Thunder mulai kembali mengocoknya. Memasukkan, mulanya dua jari, lalu perlahan menjadi tiga. Ekspresi Afi sudah tak karuan. Perempuan itu memegang tangan beroto Thunder yang sibuk masuk Dan keluar memberi suara antara dua benda alami mereka. Lenguhan dan desahan Afi juga sudah tak karuan, tetapi Thunder suka mendapatinya. Bayangan akan Afi yang bukan lelaki malah membuatnya senang. Begitu cairan Afi semakin banyak dan kental, Thunder mendekatkan mulutnya. Menjilati apa yang membasahi milik Afi yang mungil dan cerah menggoda. Tanpa merasa jijik, Thunder mengambil cairan milik Afi meratakannya pada s**********n perempuan itu, memijatnya selama Afi bergetar hingga usai. "Puas, Bebe?" Afi mengangguk lemas tetapi tersenyum lebar. Thunder mengecup bibirnya. Diambilnya tisu dimeja, membersihkan jemarinya dan Afi. Momen seperti ini membuat Afi senang. Dia amati setiap bentuk perhatian kecil Thunder, lalu Afi akan memberikan hadiah kecil berupa ciuman dikening pria itu. "Ayo!" Kata Thunder. "Kemana?" "Bersih-bersih. Habis itu sarapan." Disematkannya kembali kecupan untuk Afi. "Masih capek." Thunder berkacak pinggang mulanya, lalu menyelipkan tangan dilipatan kaki dan punggung Afi. Digendongnya perempuan itu seperti tak membawa berat tubuh manusia. "Bang!" "Aku mandiin. Biar bisa istirahat lagi, terus tempur lagi." Afi memprotes dengan menepuk d**a pria itu. "Kuat banget, sih mainnya?" Alis Thunder naik. "Kamu lupa kerjaanku apa?" Saat itu juga Afi seperti ditarik kembali pada dunia nyatanya. Thunder bukan pria dengan pekerjaan biasa saja. Afi harus menerima fakta bahwa Thunder pernah mencicipi perempuan diluar sana, bahkan sampai laki-laki. "Bang, aku mau nanya." "Ya. Apa?" "Kalo main sama laki-laki difilm, apa adegannya beneran? Apa... bang Unde bisex?"  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD