Eps 4.

1362 Words
“Yang mulia, bagaimana perasaan anda sekarang?” pelan, Wang Shen bertanya dengan tubuh yang sedikit membungkuk. Kening Gantan berlipat, menatap Wang Shen dengan sejuta heran. Omongan yang benar-benar tak ia pahami. Bahasa aneh, tapi dia masih bisa mengerti apa arti ucapan itu. Beruntung di sekolahannya dulu ada beberapa pelajaran bahasa, hingga kini dia sedikit tau sepatah kata yang mereka katakan. “Tang’er,” kembali kaisar Zhao memegang bahu Gantan. Menatapnya penuh kekhawatiran. “Apa yang terjadi padanya?” tanyanya pada Wang Shen yang diam menatap wajah Pangeran Zhao. Wang Shen sedikit menunduk dengan kedua tangan bertumpu dalam kepalan. “Saya tak begitu yakin, kaisar.” Wang Shen menatap tepat di manik mata Kaisar, lalu menatap kearah beberapa pelayan dan penjaga yang masih mengelilingi mereka. Kaisar menyentak nafas dengan sedikit kasar. “Tinggalkan kami.” Perintahnya. Semua, termasuk kasim, membungkukkan sedikit badan. Melangkah mundur lalu berbalik untuk keluar dari kamar pribadi Pangeran Zhao Gantang. Setelah pintu di tutup dengan rapat, Wang Shen kembali menghadap kearah kaisar dengan serius. “Ada dua kemungkinan. Yang pertama, bisa saja kali ini Pangeran Zhao Gantang tengan ada dalam ilusi. Sedangkan kemungkinan kedua, yang sekarang ada didalam tubuh pangeran bukanlah jiwa pangeran Zhao Gantang, melainkan orang lain yang telah menempati.” Gantan menarik nafas dalam, lalu membuangnya dengan sangat kasar. Mendongak, menatap kedua lelaki yang menatapnya dengan penuh keheranan. “Sekarang gue tanya, siapa yang bawa gue kesini? Siapa yang udah nyelamatin gue dari amukan binatang malam itu? Elo?” menunjuk kearah Wang Shen. Wang Shen mengerjab beberapa kali, memahami ucapan Pangeran Zhao yang tentu tak ia tau. “Yang mulia, bisakah anda berbicara dengan bahasa yang wajar?” “Huufftt ….” Gantang mengangkat satu tangan, bermaksud akan mengacak rambutnya yang dulu sedikit panjang. Namun, justru ia terkejut kala mendapati rambutnya yang benar-benar telah memanjang sebatas punggung dan terikat rapi di tengah, selayaknya drama kolosal yang paling tak ia sukai. “Astaga,” keluhnya, menyapu wajah dengan tangannya. Kini wajah tampan itu terlihat sangat frustasi. “Ini gue beneran tersesat di dunia abu-abu. Ya lord,” “Yang mulia, anda … anda berasal dari mana?” kembali Wang Shen bertanya. “Tang’er, apa kau benar-benar tak mengenal ayah?” kaisar Zhao menunjuk di dirinya sendiri. Gantan menggeleng dengan wajah frustasinya. “Gue … maksudnya, aku tidak mengenak kalian semua.” Wang Shen dan kaisar Zhao saling berpandangan. “Aku tidak tau, kenapa aku bisa berada disini? Seingatku, malam itu … aku tak sadarkan diri setelah beberapa hewan buas itu mengigit seluruh tubuhku. Lalu … begitu bangun, aku sudah berada disini. Ini … ini aku ada dimana? Lalu … kalian ini siapa?” tutur Gantan, menceritakan semua kejadian yang ia ingat. “Uumm, jadi … jadi begini, yang mulia. Kemungkinan memang anda adalah orang lain yang sudah menempati raga Putra mahkota di negara kami. Sekarang, anda berada di Hunan, tepatnya ada di istana Yongheng. Di sini, anda adalah seorang pangeran. Putra tunggal kaisar Zhao Chuan.” Tutur Wang Shen dengan kedua tangan yang bertumpu, lalu memberi tanda penghormatan kearah kaisar. “Tang’er, ayah tidak tau apa yang telah terjadi padamu. Tapi, seperti apa pun keadaanmu, kau adalah putra tunggalku. Kau adalah harapan ayah satu-satunya untuk meneruskan kepemimpinan di istanaku.” Kaisar Zhao menatap Gantan dengan begitu banyak harapan. ** Seperginya kaisar dan Wang Shen, Gantan hanya diam. Memilih kembali membaringkan tubuh diatas ranjang. Luka tusuk memang telah mengering, bahkan dia sudah bisa bergerak, hanya belum bisa bebas. Matanya awas meneliti kesekitar ruangan yang benar-benar asing, aneh dan … ini memang terlihat mewah. Mewah di versi zaman kuno. Merasa bosan berbaring, ia mulai beranjak bangun. Melangkah mengamati beberapa barang antik milik pangeran Zhao Gantang. Ada beberapa giok dan rempah yang biasa Pangeran Zhao gunakan untuk berendam di pemandian. Lemari yang tak terlalu besar, tapi ada banyak buku kuno yang tersimpan disana. Kening Gantan berlipat dengan kedua alis yang saling bertaut. Tulisan China yang sangat rapi terukir di kayu halus dengan warna kuning. Ada lebih dari satu, bahkan ini sangat banyak. “Gila!” umpatnya lirih. Ia mengambil satu gulungan kayu itu, membukanya dengan sangat hati-hati. Melangkah, membawanya duduk di kursi kecil yang ada didepan lemari, lalu duduk dengan nyaman dikursi itu. “Generasiku penengah. Hukum yang licik, basmi penjahat. Menyelamatkan rakyat dari bencana. Menegakkan keadilan dunia. Tak butuh reputasi hingga ratusan generasi. Tak masalah jika disalah pahami. Namun, tak akan mengecewakan langit, bumi dan diri sendiri.” Lagi-lagi kening Gantan berlipat, diam memahami rentetan kalimat yang baru pertama kali ia baca. “Cck, kirain bacaan apa gitu. Ternyata Cuma quotes.” Dia menyunggingkan senyum. Kembali berdiri, mengembalikan buku itu ditempat semula. Tok! Tok! Tok! “Yang mulia, waktunya makan malam.” Suara seorang wanita, yang tentu begitu asing di telinga Gantan. Ia menggenggam satu tangan di belakang, melangkah turun dari panggung kecil. “Masuk.” Detik kemudian pintu kamarnya terbuka dari luar. Wu weiwei membungkukkan sedikit badan, lalu melangkah masuk dengan nampan di tangannya. “Yang mulia, ini menu makan malamnya.” Ucapnya setelah menaruh nampan itu di meja yang tak jauh dari tempat Gantan berdiri. Kedua alis Gantan saling bertaut, ia duduk di kursi kecil itu, menatap makanan yang tersedia didalam mangkuk berwarna coklat dengan lukisan kijang disisinya. Satu tangan terulur, mengambil sumpit yang tersedia. “Ini makanan apa?” tanyanya dengan sangat heran. “Ini sup gingseng, yang mulia.” Gantan mengambil akar gingseng yang ada didalam mangkuk itu. Membolak balikkan akar yang memang adalah akar dari tanaman gingseng. “Cckk, makanan apa ini.” Menjatuhkan kedua sumpit dengan begitu kasar, membuat Weiwei sedikit terkejut, lalu bersimpuh dan menunduk. Ini adalah obat yang selalu diminum oleh Pangeran Zhao saat dia tak enak badan, tapi kenapa sekarang dia menolaknya? Gantan mendudukkan bokongg di tepi tempat tidur. Menatap tajam wanita yang bekerja melayani putra mahkota yang sekarang raganya tengah ia pakai. “Nama lo siapa?” tanyanya, terdengar sangat santai. Weiwei mengangkat kepala, wajah manisnya terlihat takut. “Ada … ada yang bisa saya bantu, yang mulia?” tentu saja dia nggak paham apa yang kini dikatakan oleh Gantan. Gantan menggaruk pelipis, dia lupa kalau lagi ngomong sama orang dunia aneh. “Maksud gue, uumm … kau, namamu siapa?” mengulangi pertanyaannya lagi. Kedua mata Weiwei melotot, terkejut tentunya. Pangeran Zhao, lelaki pertama yang selalu ia prioritaskan. Bahkan dia telah menyerahkan keprawanannya pada sang pangeran. Hampir selalu menjadi penghangat ranjangnya. Bagaimana bisa dia bertanya ‘siapa namamu?’. “Pang—Pangeran, eemm, yang mulia.” Menunjuk dirinya sendiri dengan wajah kecewa, merasa terlupakan. “Saya Wu Weiwei. Saya yang selalu melayani yang mulia dari pagi sampai kembali pagi lagi. Bahkan … bahkan kita … hubungan kita … yang mulia, apa yang telah terjadi?” Weiwei beranjak, melangkah mendekat, kembali ia bersimpuh dilantai, tepat didepan Gantan. “Yang mulia, apa kau baik-baik saja?” Kedua mata Gantan menyipit, menatap Weiwei dengan begitu heran. Tatapan mata Weiwei menunjukkan ada banyak cinta disana, dan seorang Gantan, sudah pasti tau itu. “Apa … apa kita memiliki hubungan sepesial?” Weiwei menggigit bibir bawah, lalu ngangguk untuk menjawab pertanyaan Pangeran Zhao. “Kita … kita sering menghabiskan malam berdua, yang mulia.” “Maksudmu … kita ini … suami istri? Kita pernah menikah?” tanyanya tak paham. Weiwei menggeleng pelan dengan tanpa beralih tatap. “Tak ada yang tau tentang hubungan kita, yang mulia.” Untuk beberapa menit, keadaan hening. Keduanya diam dengan mata yang beradu. Palan, satu tangan Gantan terulur, menyentuh wajah Weiwei yang putih bersih. Sangat cantik. Kedua mata yang lentik dengan hidung bangir. Bibir tipisnya berwarna merah muda dengan dagu lancip. Ah sempurna sekali. Terlebih … bentuk tubuhnya yang begitu sexi dengan ukuran dadaa yang lebih besar dari milik Tantri. Gantan menelan ludah ketika tanpa sengaja tatapannya menangkap belahan dadaa Weiwei. Ia memilih memalingkan wajah, menarik kembali tangan yang tadi sempat meraba bibir tipis Weiwei. “Keluarlah.” Kedua mata Weiwei melotot dengan mulut yang menganga. Tangannya mencengkram erat kain baju berwarna biru yang ia kenakan. Aliran darah yang tiba-tiba terasa panas membuat seluruh tubuhnya menegang. Marah, kecewa dan … bingung tentunya. Embun mulai terlihat dikedua matanya. “Yang mulia ….” Gantan beranjak, melangkah menjauh dari jangkauan Weiwei. “Maaf, aku belum bisa mengingat … siapa dirimu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD