Apakah Ini Sebuah Akhir?

1592 Words
Akhir pekan kembali tiba. Seperti biasa, Hana sudah selesai menyiapkan segala keperluan untuk menyambut Nathan. Mulai dari memasak, menyiapkan pakaian ganti untuknya, menyiapkan rencana kegiatan apa yang akan mereka lakukan nanti, Hana bahkan juga mengganti sprei kamarnya dengan yang bersih dan wangi. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 18.00 sore. Biasanya Nathan sudah sampai, namun kali ini sepertinya dia akan datang terlambat. “Mbok sudah menyiapkan air hangat untuk mandi Nathan?” tanya Hana. Mbok Asih mengangguk cepat. “Sudah, Non... semua persiapan sudah oke. Tapi... kenapa Tuan belum datang, ya Non?” Hana tersenyum tipis. “Mungkin dia datang terlambat. Tidak masalah... aku akan menunggunya.” Satu jam... Dua jam... Tiga jam... Waktu terus berlalu, akan tetapi Nathan tidak kunjung menampakkan dirinya. Hana menatap langit kelam yang terlihat kosong tanpa bintang maupun bulan. Semilir angin malam yang dingin terus menyapu wajahnya. Bibir Hana bahkan sudah membiru karena dingin, tapi dia tetap saja berdiri di sana. Hana berdiri di balkon kamarnya dengan sorot mata yang terus teruju pada gerbang di depan sana. Hana meneguk ludah. Dia memeluk tubuhnya sendiri yang mulai menggigil kedinginan. “Tunggu sebentar lagi... aku akan menunggunya sebentar lagi....” _ Di tempat berbeda, Nathan dan Samanta kesulitan menerobos awak media yang tiba-tiba datang bergerombolan. Mereka berdua baru saja keluar dari hotel untuk mencari makan malam, tetapi begitu sampai di parkiran, tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh kemunculan awak media yang langsung memburu mereka dengan rentetan pertanyaan, “Kenapa kalian berdua keluar dari hotel ini?” “Apakah kalian berdua benar-benar berkencan?” “Tolong berikan klarifikasinya?” Berbagai pertanyaan dan kilatan lampu kamera pun terus menerpa Nathan dan Samanta. Nathan dan Samanta hanya diam dan terus berusaha berjalan menembus kerumunan itu. Nathan benar-benar merasa cemas. Samanta sendiri juga terlihat malu dan terus menundukkan wajahnya. Langkah mereka pun terus tersendat karena para wartawan berusaha menghalangi mereka. Hingga kemudian salah satu wartawan yang saling dorong itu menyenggol Samanta cukup keras dan membuat perempuan itu terjatuh. “Ya....!!! apa-apaan kalian ini, ha!?” bentak Nathan sambil membantu Samanta untuk kembali berdiri. Semua awak media yang tadinya berisik itu pun terdiam. Mereka semua cukup terkejut karena bentakan Nathan. Wajar saja, selama ini Nathan selalu menampilkan image yang lembut dan ramah di depan kamera. Wajah penuh amarah itu tentu saja membuat semua orang merasa terkejut. “Sebenarnya apa mau kalian, ha?” tanya Nathan. “Kami hanya ingin penjelasan... kenapa anda dan Samanta keluar dari hotel pada malam hari seperti ini?” salah satu wartawan menjawab pertanyaan itu. “Benar! Apakah kalian memang memiliki hubungan spesial?” “Apa yang kalian lakukan di hotel malam-malam seperti ini?” Pertanyaan lainnya pun datang secara bergantian. Nathan diam dan tidak menjawab. Sedangkan Samanta kini melepas topinya, lalu menatap gusar. “Ayo Samanta... jelaskan ada apa diantara kalian berdua?” Samanta meneguk ludah. Sesaat kemudian dia beralih menatap Nathan. Pria itu pun mennggeleng pelang mengisyaratkan agar Samanta ttap diam, namun Samanta malah bersuara. “Iya... saya dan Nathan memang sedang berkencan,” jelas Samanta. _ Berita tentang terciduknya Nathan dan Samanta, serta pengakuan tentang hubungan mereka berdua itu sukses menggemparkan seluruh negeri. Acara televisi, koran, majalan dan semua media sosial berlomba-lomba menyiarkan tentang peristiwa itu. Hal itu pun juga mmembuat pihak agensi cukup kelimpungan menangani skandal yang menimpa Nathan. Mbak Yessy selaku CEO memang pernah mengatakan bahwa dia tidak keberatan jika media mengetahui hal itu, namun ternyata semua di luar dugaannya. Pada kenyataannya tidak semua orang menyukai berita itu. Banyak yang mendukung hubungan Nathan dan Samanta, tapi tidak sedikit pula yang menentangnya. Followers Nathan di ** bahkan menurun drastis. Komentar-komentar jahat kini memenuhi semua akun media sosialnya. Selain itu tiba-tiba banyak pihak produksi film, iklan, musik yang tiba-tiba membatalkan kontraknya. Hal itu tentu saja membuat mbak Yessy frustasi. “Jadi kamu benar-benar berkencan dengan dia?” mbak Yessy menatap nanar. Nathan hanya diam tertunduk. “BN-bukannya waktu itu Mbak tidak mempermasalahkan hal ini?” sela Ari. Mbak Yessy memejamkan matanya sejenak, lalu mengembuskan napas perlahan. “Tapi saya tidak menduga semua akan berakhir seperti ini. Kerugian karena masalah ini benar-benar membuat saya sakit kepala.” “Mampus sekalian.” umpat Ari dalam hatinya. Mbak Yessy bangun dari duduknya, lalu beralih menatap keadaan di bawah sana yang masih ramai dipadati awak media. Kepala wanita itu oun terasa semakin pusing melihat pemandangan itu. Dia beralih menatap Nathan. Yessy sebenarnya benar-benar murka, tapi dia juga tidak bisa berkata apa-apa karena sebelumnya dia memang tidak mempermasalahkan hal itu. “Sekarang lebih baik kamu bersembunyi dulu,” ucap mbak Yessy kemudian. Nathan hanya mengangguk lemah. Dia sendiri juga amsih syok dengan apa yang baru saja terjadi. Nathan benar-benar tidak menyangka hari seperti itu akan datang di kehidupannya. Dia mengira hubungannya dengan Samanta akan terus berjalan mulus seperti sebelumnya. “Harusnya kemarin itu aku mengunjungi Hana... apakah semua ini hukuman atas dosa yang sudah aku lakukan?” tanya Nathan dalam hatinya. “Ari sekarang kamu antarkan Nathan ke apartement-nya dan pastikan  dia tidak ke mana-mana,” ucap mbak Yessy lagi. “B-baik Mbak!” Nathan dan Ari pun bersiap untuk segera pergi dari gedung agensi. Untuk mengecoh para wartawan. Sebuah mobil van yang biasanya digunakan oleh Nathan telah keluar lebih dulu. Para wartawan itu pun segera bergegas pergi mengikuti mobil itu. Barulah Nathan dan Ari keluar menggunakan mobil yang lain dengan tenang. Nathan menghela napas lega begitu mobil melaju di jalan raya. Dia melepas masker yang menutupi wajahnya, lalu menyandarkan tubuhnya yang terasa lelah. Ari yang duduk menyetir di sebelahnya juga merasa tenang. “Kamu sih... sampai detik ini aku masih tidak mengerti kenapa kamu jadi seperti ini,” ucap Ari. Nathan tersenyum tipis. “Aku juga tidak tau. Toh, jatuh cinta juga bukan sebuah dosa.” “Tapi kamu sudah menikah, Nath! Kamu sudah punya istri yaitu Hana!” bantak Ari. “Aku juga tidak mengerti bagaimana perasaanku pada Hana. Sepertinya aku sudah terlalu lama terbiasa tanpanya. Tidak ada lagi rindu yang menggebu. Tidak ada lagi keinginan untuk menghabiskan waktu bersama. Aku bahkan merasa baik-baik saja tanpanya,” aku Nathan. Pengakuan itu membuat Ari tertegun. “Kamu tidak bisa seperti itu Nath... kamu tidak boleh menyakiti perasaan Hana. Kalau kamu merasa seperti itu... kenapa selama ini kamu masih mempertahankan dia?” Nathan tersenyum tipis. “Mungkin... karena aku merasa kasihan kepada dia.” _ Hana menatap nanar ke arah gerbang. Tanpa terasa satu minggu lagi pun berlalu dan Nathan tidak juga datang mengunjunginya. Hana pun sudah merasa resah. Minggu kemarin dia masih bisa berpikir positif dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan dia tidak bisa datang. Mungkin Nathan sibuk karena syuting, mungkin karena dia kelelahan dan sebagainya. “Apa jangan-jangan dia sakit,” desis Hana.  Hana menjadi semakin khawatir jika seandainya Nathan benar-benar sakit. Tiba-tiba Hana merasa panik dan bergegas mencari mbok Asih yang sedang bekerja di dapur. Setiba di dapur Hana rupanya tidak menemukan siapa-siapa. Dia segera berlari mencari keberadaan mbok Asih. “Mbok...!” “Mbok Asih...?” Ketika keluar melalui pintu belakang, Hana pun melihat mbok Asih sedang berbincang dengan pak Wadiman. Raut wajah mereka terlihat begitu serius. Hana segera berlari mendekat dan kedua pasangan suami istri itu pun sontak terkejut. “N-Non Haha,” ucap mbok Asih dengan wajah cemas. Hana menatap heran. “Kenapa Mbok kaget seperti itu?” “Nggak apa-apa kok, Non... Mbok cuna kaget aja karena Non munculnya tiba-tiba.” Hana pun beralih menatap pak Wadiman. “Pak... apa di sini benar-benar tidak ada akses untuk berkomunikasi sama sekali?” Pak Wadiman menelan ludah. “T-tidak ada Non... memangnya kenapa?” “Aku ingin menghubungi Nathan... sudah dua minggu berturut-turut dia tidak datang,” jawab Hana. Pak Wadiman dan Mbok Asih saling pandang, lalu kompak menelan ludah. “Tuan Nathan baik-baik saja kok, Non... hanya saja jadwal pekerjaan beliau saat ini terlalu padat, makanya beliau tidak bisa datang berkunjung.” “I-iya Non... nanti pasti Tuan Nathan akan kembali datang,” timpal mbok Asih. Hana menatap heran. “Dari mana Mbok Asih sama Pak Wadiman tahu kalau Nathan sedang sibuk? Toh kita di sini sama-sama tidak bisa mendapatkan informasi?” Deg. Pak Wadiman dan mbok Asih terlihat salah tingkah. “I-itu... salah satu pengawal kemarin sempat pergi ke kota dan bertemu Nathan,” jawab pak Wadiman kemudian. Hana pun mengangguk paham. Menurutnya alasan itu cukup masuk akal. Dia memang tahu bahwa para penjaga itu datang silih berganti karena mereka juga bertanggung jawab untuk menjemput segala kebutuhan hidup ke kota. “Kalau memang seperti itu ya sudahlah... aku bersyukur kalau dia baik-baik saja,” pungkas Hana. Untuk mengusir kejenuhan, Hana pun akhirnya memutuskan untuk memasak puding. Aktivitas di dapur memanglah sebuah kegiatan menyenangkan untuk membunuh waktu. Sejenak Hana bisa melupakan tentang Nathan. Setelah beberapa waktu berselang, puding itu pun akhirnya matang. Hana membuatnya dalam jumlah yang lumayan banyak karena dia juga ingin membaginya dengan semua orang yang ada di sana. Cetakan yang tersusun di meja pun kini sudah terisi dan hanya menunggu pudingnya dingin dan mengeras. Hana tersenyum puas. Dia tidak sabar ingin membagi hasil kreasinya itu dan meminta pendapat semua orang mengenai rasanya. “Semoga mereka semua suka,” bisik Hana. Selagi menunggu puding yang masih panas, Hana pun melanjutkan aktivitas bersih-bersih di dapur. Meskipun mbok Asih sebenarnya sudah melarang, tapi Hana tetap saja melakukan semua pekerjaan itu. Terlepas dari harta yang kini berlimpah, Hana memang tetaplah seorang perempuan sederhana. Dia bahkan tidak pernah meminta ini itu kepada Nathan. Dia juga tidak tertarik pada pakaian bagus, tas mewah, sepatu mahal. Hana tidak peduli pada itu semua. Dia tidak peduli pada merek suatu barang. Baginya kenyamanan ketika menggunakan benda itu adalah yang terpenting. “Nah... sekarang waktunya memberikan ini sama Mbok Asih dan Pak Wadiman.” Hana menyiapkan puding untuk pasutri itu, lalu segera mencari keberadaan mereka. Hana pun melangkah hati-hati mendekati pintu kamar mbok Asih. Dia bersiap menyentuh gagang pintu yang sedikit terbuka itu, namun Hana tertegun ketika mendengar mbok Asih yang berbisik pelan. “Aku juga ndak menyangka Tuan Nathan seperti itu,” bisik mbok Asih. “Iya, Buk... wong aku juga terkejut waktu melihat berita ini.” pak Wadiman mengangkat sebuah koran di tangannya. Deg. Hana melotot kaget. Sedetik kemudian dia langsung menerobos masuk. Mbok Asih dan pak Wadiman pun tegelinjang kaget. Mbok Asih melotot dengan wajah pucat pasi, sedangkan pak Wadiman segera menyembunyikan koran itu di belakang punggungnya. “Sini korannya!” pinta Hana. Pak Wadiman menelan ludah. “I-ini—” “AKU BILANG SINI KORANNYA!” Hana pun merebut koran itu dengan gusar. Matanya pun langsung sibuk meneliti tulisan di sana, hingga kemudian... Deg. Hana menatap nanar. mbok Asih dan pak Wadiman kini menatapnya dengan sorot khawatir. Bola mata Hana bergetar membaca barisan kalimat judul berita. ‘NATHAN DAN SAMANTA MENGAKUI HUBUNGAN ASMARA MEREKA’ _ Bersambung...        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD