Hadirnya Seperti Candu

1544 Words
Ternyata Nathan memang menepati janjinya. Tanpa terasa sudah satu bulan lebih berlalu dan dia selalu mengunjungi Hana setiap akhir pekan. Nathan selalu datang dengan membawa berbagai kejutan setiap minggunya. Pernah suatu ketika dia datang dengan membawa banyak boneka. Pernah juga dia datang dengan membawa banyak sekali barang-barang mahal seperti tas, sepatu dan pakaian untuk Hana. Terakhir kali dia datang dengan memboyong satu truk kecil yang berisi aneka jenis bunga karena Hana mengatakan kalau dia ingin memiliki sebuah kebun bunga. Hana tentu saja merasa bahagia. Dia tidak lagi mempermasalahkan statusnya yang terisolasi dari dunia luar. Toh, ini semua lebih baik daripada terkungkung di tengah gemerlapnya kota, namun selalu merasa sepi. Hana mulai menikmati kehidupan barunya itu. Hari demi hari bahkan terasa bergulir cepat karena sekarang dia mempunyai banyak kesibukan. Akan tetapi... walaupun dia merasa tenang dan damai setiap harinya, tetap saja ada pertanyaan besar yang selalu bergelayut di benaknya. Bagaimana Nathan di luar sana?” Karir Nathan kian meroket tajam. Popularitasnya tetap melejit pesat. Belum lama ini dia juga merilis single terbaru yang menjadikan Samanta sebagai model video klipnya. Selain itu, Nathan juga membintangi sebuah sinetron kerjar tayang yang merupakan remake dari film yang dibintanginya dengan Samanta. Nama kedua bintang itu terus bergaung di dunia hiburan. Wajah mereka menghiasi seluruh sudut Ibukota. Disamping urusan pekerjaan, hubungan cinta terlarang antara Nathan dan Samanta terus berlanjut. Bahkan beberapa media sudah menyorot perihal kedekatan mereka berdua. Sudah mulai ada desas-desus kalau kedua bintang itu sedang berkencan. Beberapa potret mereka yang tengah bertemu secara diam-diam bahkan mulai dipublish oleh media gosip. Hari ini akhirnya mbak Yessy memanggil Nathan untuk menanyakan perihal rumor yang beredar di luar sana. Nathan hanya duduk dengan wajah datar, sedangkan mbak Yessy masih menatap layar tabletnya memeriksa foto-toto Nathan dan Samanta yang sudah tersebar luas. “I-ini semua tidak benar, Mbak... Mbak tahu sendiri kan, Nathan sudah menikah. Nathan dan Samanta hanya sekedar berteman saja.” Ari berusaha menjelaskan dengan sedikit takut-takut. Ari menyenggol bahu Nathan untuk ikut mengklarifikasi, namun pria itu hanya menatap sekilas, lalu kembali diam seribu bahasa. “Hmmm....” mbak Yessy meletakkan tabletnya, lalu beralih menatap Nathan. “Di mana Hana sekarang? apa benar kamu sudah mengasingkannya di tempat yang aman?” Pertanyaan itu membuat pupil mata Nathan tersentak. “Sudah... dia sudah berada di tempat yang aman. Anda tidak perlu lagi mengkhawatirkan hal itu.” “Baguslah... lalu bagaimana dengan rumor ini?” tanya mbak Yessy. Nathan meneguk ludah. “A-aku akan lebih berhati-hati. Mbak Yessy tersenyum. “Tidak perlu!” Deg. Nathan terkejut, Ari yang duduk di sampingnya pun menatap heran. “M-maksud Mbak Yessy?” tanya Ari. Mbak Yessy tersenyum, lalu bangun dari kursinya. “Semua ulasan tentang Nathan dan Samanta itu bernada positif... jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kalaupun memang kalian menjalani hubungan yang istimewa sekali pun... itu tidak akan menjadi masalah. Malahan jika di manage dengan baik bisa mendatangkan keuntungan yang berkali-kali lipat.” Ari menggeleng pelan sambil menelan ludah. Dia tahu mbak Yessy adalah sosok wanita ambisius, namun dia baru sadar bahwa mbak Yessy sepicik itu. Dia jelas-jelas melarang Nathan mengutarakan status pernikahannya, tapi mengapa dia malah merestui rumor hubungan Nathan dan Samanta. “T-tapi itu juga nggak mungkin Mbak... Mbak kan, tahu sendiri Nathan sudah menikah.” Ari tidak tahan untuk menyampaikan pendapatnya. Mbak Yessy tersenyum kecut, lalu beralih menatap Nathan. “Saya penasatan akan satu hal... bolehkah saya menanyakan sesuatu tentang kamu dan Hana?” “A-apa Mbak?” tanya Nathan. “Apa kamu masih mencintai istri kamu itu?” Nathan merasakan kupingnya berdengung mendengar pertanyaan seperti itu. Sesaat dia bahkan tidak bisa Mbak Yessy yang masih berbicara. Dia hanya bisa melihat bibir itu bergerak-gerak, tapi tidak mendengar apa yang sedang diucapkan. Lama kemudian barulah Nathan kembali tersadar. “Apa kamu masih mencintai dia?” mbak Yessy kembali mengulangi pertanyaannya. Ari pun menatap Nathan gelisah. “Ya... kamu kenapa bengong seperti itu. ayo lekas jawab! Bukankah itu sebuah pertanyaan yang mudah untuk dijawab?” sergah Ari.   Hening. Bukannya menjawab, Nathan malah tertunduk. Entah kenapa pertanyaan itu terasa begitu sulit untuk dijawab. Bibirnya kini terasa kelu. Mbak Yessy pun mengulum senyum melihat ekspresi Nathan. Sedangkan Ari kini menggeleng pelan dengan raut wajah kecewa. “Hahaha.... kenapa kamu kesulitan menjawab pertanyaan itu?” mbak Yessy menatap dengan mata segaris. Ari meneguk ludah, sedangkan Nathan kini mengangkat wajahnya, lalu tersenyum, “Entahlah...  aku juga tidak mengerti kenapa rasanya terlalu sulit untuk menjawab pertanyaan seperti itu,” jawab Nathan. _ Jarum jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Nathan sudah bersiap-siap keluar dari apartement-nya untuk menemui Hana. Seperti biasa, Nathan sudah siap dengan topi, masker dan hodie yang menutup wajahnya. Untuk tidak menimbulkan kecurigaan, dia juga sudah memesan sebuah taksi online sebagai media transportasinya. Nathan memasukkan tangannya ke dalam kantong hodie karena cuaca yang sangat dingin. Untunglah tidak lama setelah itu taksi yang dia pesan pun datang. Nathan pun bergegas masuk. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Samanta. Tiga hari belakangan Samanta memiliki jadwal pemotretan di Selandia Baru dan baru saja pulang kembali ke Indonesia. Taksi pun terus melaju menembus malam yang sunyi. Di sepanjang perjalanan Nathan sibuk berbalas pesan dengan Samanta. Cahaya handphone yang menerpa wajahnya memperlihatkan jelas bagaimana raut bahagia yang terpancar di wajah itu. Aku mau kita bertemu di taman Andelton.... Nathan mengernyit membaca pesan itu. Kenapa Hana mengajak bertemu di sana? Kenapa dia tidak menunggu di hotel tempat mereka biasa? Nathan sempat merasa bingung, tapi kemudian dia tidak mempermasalahkan itu. “Ke taman Andelton, ya Pak!” ucap Nathan pada sopir taksi. Taman Andelton adalah sebuah taman yang terletak di pusat kota. Taman itu dihiasi oleh lampu-lampu yang berbentuk seperti pohon kelapa di sekelilinginya. Di tengah-tengah taman terdapat aneka bunga yang diselingi oleh tempat bermain seperti ayunan, perosotan dan juga jungkat-jungkit tang terbuat dari kayu. Sayangnya beberapa waktu terakhir taman itu sudah sepi pengunjung. Rumpu liat pun terlihat sudah tumbuh tinggi diantara rerumputan dan bunga yang indah. Nathan berjalan pelan memasuki taman sambil menempelkan handphone di telinganya. Dia terus melangkah, tetapi tidak melihat tanda-tanda keberadaan Samanta. Sialnya lagi, panggilan telepon itu sudah terhubung, namun Samanta tidak juga menjawab panggilan itu. “Kamu di mana sih?” desis Nathan. “DOOR...!!!” Seketika Nathan tergelinjang kaget. Handphone yang ada digenggamannya pun melayang di udara, terjun bebas, kemudian terhempas di antara bebatuan. Nathan menelan ludah menatap handphone-nya yang sudah pecah. Sedangkan Samanta yang tadi begitu bersemangat mengejutkan Nathan kini terlihat merasa bersalah. “M-maafin aku... aku hanya bermaksud untuk mengagetkan kamu dan—” Deg. Samanta membelalak kaget. Nathan tiba-tiba saja menatiknya, lalu mendekapnya erat. Padahal Samanta sempat berpikir Nathan akan marah kepadanya karena sudah membuat hanphone itu pecah. “Aku benar-benar kangen sama kamu,” bisik Nathan. Samanta pun tersenyum dalam pelukan itu. “Aku juga.” Nathan mendekap Samanta lebih erat lagi dan merebahkan kepalanya ke bahu perempuan itu. Setelah cukup lama, barulah dia melepaskannya dan menatap Samanta dengan tatapan lembut. “Kamu sih... harusnya kita bisa bertemu setiap akhir pekan, tapi sekarang kamu tidak pernah bisa lagi bertemu di waktu weekend. Sebenarnya ada apa?” tanya Samanta. Raut wajah Nathan berubah gugup. “A-aku....” “Apa kamu juga berkencan dengan perempuan lain?” Pertanyaan itu sukses membuat Nathan membeku. Sedangkan Samanta kini membelai pipinya dengan pelan, lalu menyeringai. “Aku adalah tipikal perempuan yang tidak bisa memaafkan lelaki brengsek... aku akan menghancurkan siapa saja yang membuat aku kecewa!” Deg. Wajah Nathan berubah pucat pasi mendengar kalimat itu. Dia tidak bisa berkata-kata. Samanta pun masih menatapnya dengan tatapan tajam. Hingga kemudian raut wajah perempuan itu berubah 180 derajat. Samanta tersenyum memamerkan deretan giginya yang putih bersih. “Itu adalah salah satu dialog aku untuk sinetron kita yang akan tayang besok,” ucap Samanta. “Hahahaha.... hahahahaa....” Nathan pun tertawa canggung. Dia merasa lega karena ternyata itu hanyalah sebuah dialog skenario. “Kamu sudah makan?” tanya Samanta. Nathan mengangguk. “Kamu sendiri?” Samanta mendesah sambil beranjak duduk di ayunan yang sudah berkarat. “Aku harus menurunkan berat badan untuk pemotretan minggu depan.” Nathan menatap heran. “Menurut aku penampilan kamu baik-baik saja.” “Aku terlihat lebih gemuk di kamera,” tukas Samanta. Nathan pun ikut duduk di ayunan sebelah Samanta. Mereka berdua menghabiskan waktu dengan mengobrol tentang banyak hal. Keduanya sama-sama mengeluhkan pekerjaan mereka di dunia entertainment yang terasa tak pernah berujung. Lelah dan penat sudah seperti makanan sehari-hari. “Aku benar-benar lelah,” ucap Samanta. Nathan mengembuskan napas panjang. “Aku juga merasa seperti itu.” “Apa sebaiknya kita lari saja?” Nathan menatap Samanta lekat-lekat. “Kamu yakin?” Samanta mengangguk. “Aku mau jika melakukannya sama kamu.” Keduanya saling tatap untuk waktu yang cukup lama, lalu kompak tertawa pelan. “Hahahah....” “Hahahah....” Setelah itu keheningan kembali menyebar. Samanta sibuk menatap rerumputan yang bergoyang pelan diterpa angin. Sedangkan Nathan kini menatap sosok perempuan itu lekat-lekat, lalu menelan ludah. Sebenarnya Nathan sedang berada dalam dilema. Separuh dirinya mulai dilanda resah karena menjalin hubungan terlarang itu. Tidak dapat dipungkiri bahwa sosok Hana selalu melinta diingatannya saat dia sedang bersama Samanta. Tapi di sisi lain, dia tidak ingin jauh dari perempuan itu. Gila? Ya... sepertinya Samanta benar-benar sudah membuatnya gila. Nathan bahkan tidak pernah berpikir akan melalui fase yang seperti ini dalam hidupnya. Namun sosok Hana juga bukanlah seseorang yang mudah untuk dia tinggalkan. Kebersamaan mereka yang sudah berlangsung begitu lama ketika mereka kecil dan tinggal di panti asuhan tidak bisa dilupakan begitu saja. “A-aku ingin menanyakan sesuatu sama kamu,” ucap Nathan memecah keheningan. Samanta menoleh. “Apa?” “Aku punya seorang teman... dia sudah mempunyai pasangan, namun akhir-akhir ini dia dekat dengan orang lain dan merasa lebih nyaman dengan orang itu.” “Lalu masalahnya apa?” tanya Samanta. “D-dia ingin mengakhiri hubungannya dengan pasangannya yang lama, tapi dia tidak bisa melakukan itu,” lanjut Nathan. Samanta menatap heran. “Apa dia masih mencintai pasangannya itu?” Nathan meneguk ludah. “Itulah yang membuatnya bimbang... dia sendiri merasa perasaannya sudah berkurang, tapi dia tidak bisa meninggalkannya.” “Mungkin karena dia merasa kasihan,” sahut Samanta. “K-kasihan?” “Iya... kebanyakan orang sulit membedakan antara rasa cinta dan kasihan. Jadi mereka memilih bertahan karena merasa kasihan saja,” jelas Samanta. Nathan pun tertegun. Dia masih mencerna arti kalimat Samanta itu. “Apa aku hanya merasa kasihan terhadap Hana?” tanya Nathan dalam hatinya. _ Bersambung...      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD