Chapter 5

1034 Words
"Heh, apa katamu tadi?" Kerongkongan Andini serasa dimasuki tulang besar yang tajam, tersendat, mau mengeluarkan paksa tapi takut bagian yang tajamnya menyakiti kerongkongan sampai berdarah, jadi terpaksalah Andini diam lalu menoleh dengan tubuh sedikit bergetar ke belakang. "Ah, I... Ibu. Haha. Dari tadi putri semata wayangnya ibu yang tercinta ini sedang mencari ibu," jelas Andini, tersenyum kaku, patah-patah. "Huh, alasan terus kamu!" Ibu Andini mendengus, menyodorkan 2 kantong plastik berwarna merah pada Andini. Andini menerimanya dengan muka bingung. "Ibu habis beli sayur sama mamang di depan, itu sayur harus dibeli pagi-pagi sebelum diserbu habis sama emak-emak kampung," jelas Ibu Andini tanpa perlu ditanyai. "Sekarang kamu masak itu sayur untuk sarapan kita, sama goreng tempenya. Tapi sebelum itu jangan lupa bersihin dulu ikannya." Andini mengernyitkan keningnya, tidak suka disuruh-- apalagi memasak pagi-pagi begini, padahal Andini mau melanjutkan mimpi indahnya. Ibu Andini langsung berkacak pinggang melihat kening putri semata wayangnya itu berkernyit. "Kenapa!? Mau protes!?" "Eh?" Andini kaget, menggeleng cepat. "Ta... tapi Bu, ikan ini bau, amis! Aku ga--" "Itu ikan cuman amis aja. Kamu pikir selama ini yang beresin pup kamu, yang bersihin celana kamu yang kuning-kuning itu siapa!?" seru ibu Andini ngegas. "Itu kan kewajiban ibu sebagai orangtua. Lagian itu waktu aku masih bayi, aku aja ga ingat, jadi ibu ga bisa ngarang gitu dong, kasih buktinya!" balas Andini berseru, menolak keras membersihkan ikan bau amis sampai rela melawan ibu tercintanya yang paling baik sejagat raya itu. "Hah!? Kamu minta bukti!?" seru ibu Andini naik pitam, sudah berdiri tegak dengan kuda-kuda siap memelintir leher korban. "Lalu kewajibanmu sebagai anak apa!?" "Ti... tidak Bu, Andini hanya bercanda haha!" Andini langsung berlari ke dapur, tertawa kaku. Melirik ke belakang, takut dikejar ibunya. "Kenapa Nak?" tanya ayah Andini yang baru keluar dari kamar mandi, menarik karet celananya ke atas. Andini menatap datar ayahnya, menutup hidung. "Ayah bau." Ayah Andini nampak kaget, kembali ke kamar mandi. "Ayah lupa cuci tangan!" jawabnya di dalam kamar mandi. Andini menghela nafas. Bekerja mati-matian dengan rasa penuh ketidakikhlasan untuk menyiapkan sarapan. "Pagi-pagi udah makan pisang sekodi. Pakai acara lupa cuci tangan pula habis cebok tuh," gerutu Andini, mencaci ayahnya. "Hei! Suara bathinmu kedengaran tuh!" seru ayah Andini di balik pintu kamar mandi. Andini refleks menutup mulutnya-- "Bau!" teriak Andini, ia lupa baru saja memegang kantong plastik berisi ikan, yang mana air ikannya menempel di pegangan kantong plastik. Andini sampai mual karena masih mencium aroma amis itu. 15 menit dihabiskan Andini untuk membersihkan ikan amis sebersih-bersihnya. Setelah itu membumbui ikan dengan rempah giling yang sudah ada di dalam kulkas, menyemprotkan jeruk nipis banyak-banyak ke ikan agar bau amisnya hilang, Andini menyeringai lebar dengan tatapan membunuh pada ikan yang sudah mati itu. Selesai membumbui ikan, Andini mengiris-iris tempe menjadi 10 potong, membumbui dengan garam, gantian memotong sayur kangkung sekehendak hati, mencuci sayurnya lalu dimasukkan ke dalam tempat berbentuk baskom tapi ukurannya kecil dan berlubang-lubang, meniris air kangkung bekas cucian. Andini berkacak pinggang, melirik keluarga bawang yang ada di keranjang di sebelah kulkas, beranjak dari meja makan, mengambil 5 siung bawang putih dan 3 siung bawah merah kembar, mengelupas kulit bawang dan mengirisnya tipis-tipis. Selesai itu meletakkan kuali yang sudah dituangkan minyak goreng ke atas kompor, memutar benda bulat yang tertancap di tubuh kompor itu, dalam waktu yang bersamaan setelah benda bulat diputar 90 derajat, api biru langsung menyala di bawah b****g kuali. Andini lagi-lagi berkacak pinggang, melirik bergantian ikan full jeruk nipis dan tempe garam yang ada di atas meja. Sambil menunggu minyak panas, Andini mengambil lada merah yang ada di dalam kulkas, mencucinya sebentar lalu memasukkannya ke dalam blender, dicampur sedikit air, sedikit minyak, dan seperempat bawah merah yang sudah diiris Andini-- karena Andini malas jika harus mengelupas kulit bawang lagi. Andini menekan tombol hijau di blender, blender itu langsung mengeluarkan suara yang berisik, seketika Andini sudah berada di depan kompor, memasukkan ke sepuluh tempe yang sudah dipotongnya tadi ke dalam minyak panas. Sepertinya Andini memang benar bisa memasak. Durhaka-durhaka begitu ia tetaplah seorang anak yang tak bisa membatah perintah ibunya, sebagai seorang anak gadis satu-satunya di keluarga, nampaknya sifat ibu Andini yang lumayan bisa memasak jatuh ke Andini. 30 menit kemudian semua hidangan untuk sarapan sudah tersaji di atas meja. Ayah Andini sudah dari 10 menit yang lalu duduk tenang di meja makan, mencium aroma ikan goreng yang menggoda selera. "Aku panggil ibu dulu, Yah." Ayah Andini mengangguk pelan, matanya hanya fokus menatap ikan goreng yang berwarna hitam keemasan itu. "Jangan dimakan dulu, Yah!" seru Andini melotot pada ayahnya yang sudah menjangkau piring ikan goreng. Ayah Andini menarik tangannya dari piring ikan goreng, menyeringai kecil. "Ayah tak akan makan sebelum kalian duduk kok, tenang saja. Haha." Andini masih melotot, menatap tajam ayahnya yang sudah duduk diam dengan tenang seperti semula. Andini menghela nafas, buru-buru menemui ibunya yang sedang melanjutkan tidur di kamar. "Bu... Ibu.... Ibu!" panggil Andini di luar pintu kamar. Mengetuk pelan pintu kamar orangtuanya itu. Ibu Andini tak kunjung membukakan pintu, bahkan menyaut pun tidak. Rasa-rasanya seperti tidak ada orang di dalam kamar itu. Tapi Andini mendengar dari ayahnya bahwa ibunya sedang berada di dalam kamar. "Bu! Sarapannya udah siap!" seru Andini sedikit berteriak. Tak kunjung ada sahutan dari ibunya. "Innalilahi wa innailaihi raji'un!" seru Andini kemudian, mengucapkan kalimat yang biasanya diucapkan saat mendengar kabar buruk dari orang lain, misalnya saja kecelakaan dan kematian. Andini berpikir terjadi apa-apa di balik pintu kamar ini sampai ibunya tak kunjung keluar, biasanya kalau Andini memanggil-manggil dengan berteriak di balik pintu, ibu Andini sudah buru-buru keluar, mencubit pipi anak gadisnya yang kurang adab itu dengan keras. "Siapa yang meninggal, Nak!?" tanya ayah Andini yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Andini dengan muka pias, pucat, kaget. Andini menoleh heran pada ayahnya. "Siapa Yah?" balik bertanya. "Tadi kamu ngucap innalilahi," ujar ayah Andini bengong. Andini menepuk jidatnya, menghela nafas berat lagi-lagi. "Tidak semua ucapan innalilahi itu berkaitan dengan kematian, Yah. Seharusnya Ayah belajar banyak-banyak deh pemahaman umum dengan ucapan dan penyebutan-penyebutan kalimat Allah itu," jelas Andini selayaknya seorang ustazah, mengangguk-anggukkan kepala dengan mata tertutup dan bibir tersungging, senyum. "Kayak kamu belajar aja," sindir balik ayah Andini. "Belajar kok, implementasinya aja yang jarang-jarang," jawab Andini tanpa merasa sedang disindir. Andini menyenderkan punggung ke pintu kamar orangtuanya, kembali mengetok pintu, bedanya kali ini lebih kencang dan lebih keras.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD