Chapter 4

1073 Words
Tok tok tok! "Andini! Hei Andini! Ayo bangun, shalat subuh, sudah jam berapa ini? Hei!" Ibu Andini sejak 5 menit yang lalu sudah di depan pintu kamar Andini, membangunkan putrinya yang belum juga keluar dari kamar itu untuk membersihkan muka lalu mengambil wudhu, shalat subuh. Andini masih terhanyut dalam mimpi indahnya. Saat ini Andini hampir sampai di akhir cerita cinta bahagianya. Laki-laki dengan wajah yang tidak terlalu jelas, karena cuma mimpi, sulit mengingat wajah orang yang tidak kita kenal dan tiba-tiba ikut jadi aktor dalam mimpi kita. Tapi Andini tau, wajah laki-laki itu tampan, dia juga baik dan gentleman. Mana mungkin Andini mau sadar ke dunia nyata jika dunia mimpi serasa seperti surga untuknya? Laki-laki itu kini menghambat langkah Andini, mendorong tangan kirinya ke dinding, Andini tersudut. Seperti adegan-adegan romantis di dalam novel atau film, setelah ini sang laki-laki akan mencium si perempuan dengan mesra. Adegan ini adalah salah satu dari banyak hal yang ingin Andini lakukan dengan suami sahnya di masa depan nanti. Tapi karena ini hanya mimpi, tidak apa lah dicoba. Begitu isi pikiran Andini. Di dalam mimpi pun, setan tetap saja menggoda kita. Aduh, setan benar-benar sibuk ya, jahat-jahat begitu setan amanah dalam sumpahnya pada Tuhan untuk menyesatkan manusia-- eh, apa itu iblis ya? Ibu Andini terus memanggil, sudah 10 menit dia berdiri di depan pintu kamar putrinya itu. Andini selalu saja mengunci pintu kamarnya, padahal di kamarnya tidak ada barang berharga apa-apa, juga tidak ada yang perlu disembunyikannya dari ibu dan ayahnya. Ada-ada saja si Andini. "Belum bangun juga dia, Bu?" Ayah Andini yang hanya memakai singlet putih dengan celana selutut datang, mengunyah pisang. Lemak-lemak perutnya jelas walau sudah memakai singlet, kalau berlari itu lemaknya bergetar hebat, mengalahi getaran angkot Padang yang ngebut di jalan berbatu dengan musik rock super duper memekakkan telinga. Ibu Andini menghela nafas, menggelengkan kepala. "Belum." "Apa malaikat Izrail baru saja datang ke rumah kita ya?" Ayah Andini bertanya santai, menduga malaikat sudah mencabut nyawa putrinya itu sampai tak bangun-bangun diteriaki ibunya selama 10 menit. Ibu Andini mengertakkan giginya, kesal mendengar pertanyaan suaminya. Ibu Andini tidak berkomentar, memukul-mukul pintu kamar Andini lagi. "Lewat jendela kamarnya aja, Bu. Dia gak pernah ngunci jendela kamar itu," ucap ayah Andini mengingatkan. Ibu Andini langsung melangkah keluar rumah, ke halaman belakang untuk masuk ke kamar Andini lewat jendela. Ayah Andini balik ke meja makan, mengambil satu pisang lagi. Setelah sampai di halaman belakang, tepatnya di belakang kamar Andini. Ibu Andini langsung membuka jendela yang ada di hadapannya, menarik keras, terbuka. Benar, jendela itu tidak dikunci. Ibu Andini langsung mengangkat satu kakinya, masuk ke kamar Andini, mengangkat kaki satu lagi, sempurna berada di kamar Andini. Ibu Andini menutup kembali jendela. Melangkah ke ranjang Andini. Bantal guling yang berada di lantai langsung menjadi pusat perhatian ibu Andini, bantal guling itu terjatuh karena Andini bergerak-gerak saat tidur. Akhirnya, bantal guling itu terjun bebas dari ranjang, berguling-guling selayak namanya, bantal guling. Sedangkan Andini masih senang berada di alam mimpinya, tak merasakan hawa mengerikan, karena tidak tau bahwa di dunia nyata, sudah berdiri Mak lampir di sampingnya saat ini, memegangi bantal guling, siap menabok Andini dengan bantal guling itu. "Andini..." Suara laki-laki di mimpi Andini memelas, wajahnya merah padam, malu. Keringat mengalir dari leher laki-laki tampan yang wajahnya tersamarkan itu, tapi entah kenapa Andini bisa tau dia tampan. Andini menelan ludah, nafsu. Laki-laki itu menelengkan kepalanya beberapa derajat, mendekatkan wajahnya ke wajah Andini, sampai akhirnya... Bruk! Brak! Bruk! Sempurna! Bantal guling mendarat dengan keras tepat di wajah Andini, ga tanggung-tanggung, langsung tiga kali hantaman-- ibu yang baik. Andini mengernyitkan keningnya, kembali ke dunia nyata, sudah bangun. "Hei! Kamu dari tadi diteriakin tapi gak bangun-bangun. Lihat jam sana! Udah mau terbit matahari ini, cepat shalat subuh! Nanti waktunya habis!" Ibu Andini marah besar, berkacak pinggang. "Aduh Bu, ngerusak mimpi indah aku aja sih. Padahal tadi hampir bagian bahagianya loh." Andini mengeluh, kesal juga. "Mimpi-mimpi kamu kata, sudah sana! Cepat sadar!" Andini langsung cemberut, memonyong-monyongkan bibirnya, menggerutu, turun dari ranjang, berjalan sempoyongan ke pintu. "Eh?" Andini kaget, menoleh ke arah ibunya. "Ibu masuk lewat mana tadi?" Andini menyadari pintu kamarnya masih terkunci, dari mana pula ibunya yang mak lampir itu bisa masuk. Pikir Andini heran. "Udah sana cepat!" Ibu Andini masih berkacak pinggang. Andini langsung memutar kunci, menarik gagang pintu. Keluar dari kamar, masih berjalan sempoyongan, setengah tak sadar karena masih ingin melanjutkan adegan indah di mimpinya tadi, tapi sayangnya sudah mustahil-- untuk saat ini tentunya. Andini langsung mencuci muka, menggosok gigi, buang air kecil, dan terakhir berwudhu. Air muka Andini sudah lebih cerah dibanding saat dia baru bangun tadi, Andini pun baru sadar ayahnya berada di meja makan, sedang makan pisang, tepatnya memakan pisang ke-20. Tak lama lagi ayahnya bakal ke toilet, diare. "Di mana ibumu? Kok belum balik?" tanya ayah Andini memegangi perutnya. Ternyata lebih cepat dari dugaan. "Ibu masih di kamarku, mungkin. Oh iya Yah, ibu masuk ke kamarku lewat ma--" "Aduh Ayah udah gak tahan!" Ayah Andini langsung berlari ke kamar mandi, masih memegangi perutnya. Andini mendengus kesal, tidak ada yang mau mendengar perkataannya. Andini kembali ke kamar, ternyata ibu Andini sudah tidak ada di kamarnya. Andini langsung menutup pintu, tidak lagi menguncinya. Andini meraih mukenah yang tergantung di dinding balik pintu, mengenakannya, membentangkan sajadah, mulai salat subuh. Selesai salat subuh Andini baru sadar bahwa tas-tas besar yang sebelumnya ada di dalam gudang, kini sudah terletak di atas meja belajarnya. Andini langsung tau siapa pelaku yang meletakkan 2 tas besar itu di kamarnya ini. Andini melipat cepat sajadah, melepas mukenah, menggantungkan di tempat semula. Andini membuka pintu kamar, keluar untuk mencari ibunya. "Ayah, Ayah, Ayah. AYAAH!" Andini berseru keras karena ayahnya tak kunjung menyahut. Ayah Andini mana dengar, dia sedang bertapa di kamar mandi, akibat memakan pisang berlebihan, si buah pencahar kotoran. Andini menghela nafas, bersungut-sungut meninggalkan kamar mandi. Andini hendak bertanya pada ayahnya kemana ibunya, tidak kelihatan sejak dia balik dari kamar mandi tadi. Andini kembali menghela nafas, baru sadar kalau bertanya pada ayahnya adalah hal yang sia-sia. Sebab ayah Andini masih belum meninggalkan kamar mandi sejak berpapasan setelah selesai berwudhu' Andini kembali ke kamar ibunya, melangkah ke dapur, masuk ke gudang, tapi ibunya masih belum kelihatan. "Ibu, oh Ibu. Yuhuuuu..." Andini membuka lemari foto di ruang tamu, tidak ada ibunya di dalam. Andini beranjak membuka laci meja di bawah televisi, juga tidak ada ibunya. "Oh Ibuuu, di manakah ibu berada?" "Oh ibukuuuu, engkaulah wanita, yang tak kusukaaaa." Andini mulai bersenandung ria, lepas, terus memeriksa tempat-tempat yang sangat mustahil dimasuki manusia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD