Chapter 7

1431 Words
Waktu berlalu dengan cepat dan tak terasa hari ini Andini sudah berdiri di depan rumah dengan membawa 2 tas besar yang terletak di hadapannya saat ini. Ibu Andini tersenyum merekah, ayah Andini menyeka ujung matanya, tak tega melihat putri semata wayangnya pergi meninggalkan rumah demi menggapai pendidikan. Andini menghela nafas, tak menginginkan dia lulus dengan lancar masuk di Madrasah itu. 'Habis sudah kehidupanku yang tenang. Bye-bye Andini di masa lalu,' pikir Andini saat ini. "Jaga diri baik-baik ya, Nak. Jangan lupa makan tepat waktu, olahraga, belajarnya yang rajin." Ayah Andini memeluk putri semata wayangnya itu dengan penuh kasih layaknya seorang bapak yang amat menyayangi putrinya. "Jangan main cinta-cintaan dulu, kalau ada yang ngedeketin kamu, tonjok aja!" seru ayah Andini memberi wasiat. Andini mengangguk mantap dengan muka serius. Ibu Andini langsung menepuk bahu suami dan putrinya itu, menggelengkan kepala. "Jangan asal main tonjok anak orang! Paham!?" seru ibu Andini melotot. Andini mengangguk cepat dengan muka pias. Saat itu pula muncul sebuah mobil avazen hitam berhenti di depan rumah. Seorang laki-laki tampan yang punya kharisma ala aktor-aktor romance atau action yang menggoda itu keluar dari bangku kemudi, diringi 2 wanita cantik dengan tampilan elegan. "Assalamualaikum Kak," salam si lelaki tampan. "Assalamu'alaikum," salam kedua wanita cantik. "Wa'alaikumsalam," jawab Andini sekeluarga. "Sudah mau pergi saja Andini? Bukankah ini masih jam 8?" tanya lelaki tampan itu, melirik jam tangannya, menatap matahari yang baru muncul. Andini mengangguk, bergantian melirik ibunya. "Karena kereta ke madrasah hanya 2 kali jalan, pagi ini dan sore nanti, dia tidak akan bisa berberes kalau naik kereta sore," jelas ibu Andini menjawab pertanyaan lelaki tampan yang tidak lain adalah adik kandungnya sendiri, paman Andini, si kepala sekolah. Dan 2 wanita cantik tadi adalah tante Andini, istri 1 dan istri 2 pamannya. Andini menyalimi tangan tante 1, lanjut ke tante 2, setelah itu baru menyalimi tangan pamannya yang tidak lain juga mantan kepala sekolah di SMP nya. "Ayo Paman!" seru Andini, meminta pamannya segera mengantarnya ke stasiun. Paman Andini mengangguk, menciumi kening masing-masing istrinya yang memilih tinggal di rumah ibu Andini sampai suami mereka datang kembali setelah mengantar Andini. Andini melempar kedua tas besarnya di kursi tengah, menutup pintu, memutar ke kursi depan di samping kemudi, sudah duduk seperti anak yang sopan dan penurut di dalam mobil. Paman Andini ikut masuk, menutup pintu, menurunkan kaca mobil, menganggukkan kepala pada kakak dan kakak iparnya. Andini melambaikan tangan pada keluarganya. Seketika mobil langsung melaju meninggalkan pekarangan rumah, menghilang di sudut g**g. "Ayo masuk dulu, Ayu, Dewi," ajak ibu Andini pada kedua adik iparnya, istri 1 dan istri 2 adik laki-lakinya. Ayu dan Dewi, kedua tante Andini itu mengangguk. Menyusul kakak ipar mereka ke dalam. Andini melompat turun setelah sampai di stasiun, mengambil kedua tas besarnya yang ada di bangku tengah, menghampiri pamannya yang tetap duduk di kursi kemudi, tanpa mengenal malu Andini menengadah tangannya, menyeringai lebar. "Paman, minta biaya hidup." Kening paman Andini langsung terlipat. "Memang ibumu nggak ngasih?" Andini menggeleng. Ibunya memang benar tidak memberinya uang, tapi ayah Andini sudah memberi Andini uang biaya hidup di asrama nanti. Walau asrama tidak memperbolehkan muridnya keluar dan makanan sudah tersedia di asrama, jadi sebenarnya Andini tidak memerlukan uang jajan dan biaya hidup. "Ayahmu?" tanya paman Andini kembali, menatap malas keponakannya yang suka memalak isi dompetnya itu. Andini tetap hanya menyeringai. Paman Andini menghela nafas, mengambil dompetnya, mengeluarkan 2 lembar uang merah, menyerahkannya pada Andini. Andini buru-buru mengambilnya, memasang wajah kecewa. "Yah... kurang, Paman," keluh Andini, cemberut. "Paman sudah dengar dari ibumu kalau semua keperluan sudah disiapkan oleh asrama, jadi jangan banyak alasan," jelas paman Andini dengan muka serius. "Kalau begitu, selamat tinggal keponakan Paman tersayang, semoga bahagia di sana." Paman Andini menyeringai, punya maksud terselubung untuk menyindir Andini yang tak bisa lagi merasakan kebebasan. Mobil Paman Andini sudah menjauh meninggalkan stasiun, meninggalkan Andini yang melotot dengan muka cemberut. Andini menghela nafas, pergi ke tempat antrian untuk menaiki kereta yang akan berangkat 30 menit lagi. Andini menghidupkan ponselnya sebelum masuk kereta 10 menit lagi, membuka maps. Jarak tempuh kereta ke stasiun yang dekat menuju Madrasah itu butuh waktu 1 jam 30 menit. Turun dari kereta nanti, Andini akan naik ojek pangkalan sampai ke madrasah yang terletak di area padang rumput, satu kawasan dengan Madrasah Ibtidaiah Negeri) MIN, Madrasah Tsanawiyah (MTS) dan Madrasah Aliyah (MA) Sebanyak 30 persen murid madrasah di sana tinggal di asrama, selebihnya di rumah keluarga mereka masing-masing. Walau sekolah agama itu terletak di padang rumput yang luas, tetap saja sekolah agama tersebut tidak jauh dari rumah-rumah warga, transportasi umum seperti angkot dan becak ada di sana, melewati padang rumput indah tempat sekolah agama berasrama itu berdiri. Asrama hanya diperuntukkan untuk Madrasah Aliyah (MA) yang setingkat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Aturan madrasah tidak seketat aturan di pesantren. Banyak murid-murid madrasah berbagai tingkatan yang punya sikap melawan. Kerudung-kerudung rata-rata yang dikenakan murid MTS dan MA pun juga tidak terulur menutupi d**a seperti kerudung santriwati-santriwati pesantren. Walau termasuk sekolah agama, Madrasah tetap membuat tata terbit selayaknya sekolah umum, hanya saja syarat masuk madrasah memang harus beragama Islam. Satu lagi perbedaan jelas antara madrasah dengan sekolah umum dan pesantren adalah cara mengenakan kerudung, biasanya di sekolah umum dan pesantren, kerudung yang digunakan murid dan santriwati adalah kerudung segi empat, sedangkan di madrasah wajib mengenakan pashmina, ujung jilbab tidak dibuat runcing, tapi melengkung membentuk garis di kening. 1 jam 30 menit perjalanan, akhirnya Andini sampai di stasiun pemberhentian, Andini melangkah dengan menyandang satu tas besarnya dan memegang satu tas besar lainnya keluar dari stasiun. Andini akan melangkah ke jalan besar mencari becak menuju sekolah agama di padang rumput yang luas itu. "Pak!" panggil Andini pada tukang becak yang duduk ala bapak-bapak tongkrongan warung kopi sambil menghisap rokok yang nyempil di jari tangannya. "Antar ke madrasah bisa, Pak?" tanya Andini dengan kening terlipat karena kepanasan, terik matahari tak mengenal ampun siang ini. "Madrasah mana, Neng?" tanya bapak tukang bejak. "Memang di sini madrasah ada berapa, Pak?" tanya balik Andini. Bapak tukang becak menyeringai. "Satu sih, Neng." Andini menyunggingkan bibirnya dengan muka masam. "Ayo Neng!" seru bapak tukang becak sebelum Andini mengomel. Bapak itu langsung menghidupkan motor model lamanya tersebut, Andini naik ke dalam becaknya setelah meletakkan kedua tas besarnya di alas becak motor itu yang terbuat dari aluminium tebal bermotif lubang-lubang timbul. 20 menit perjalanan akhirnya becak motor itu sampai di sebuah padang rumput yang luas, di depan mata Andini kini berdiri sebuah bangunan dengan gerbang besar yang tinggi. Dalam gerbang itu terdapat sekolah, dari MIN, MTS, MA sampai asrama siswa khusus Madrasah Aliyah. Andini membaca plang nama di atas gerbang besar itu. Madrasah Padang Rumput. Andini menyeringai kaku membaca nama sekolah yang terpajang besar-besar dengan tulisan Times New Roman yang model hurufnya biasa dikenakan untuk membuat makalah oleh mahasiswa yang kebagian tugas makalah setiap hari oleh dosen yang tak kenal perikemanusiaan, dipikir mudah apa bikin makalah. Dasar. Yang bikin seringai Andini semakin lebar dan semakin kaku adalah warna huruf Times New Roman yang hijau, sama seperti warna rumput yang diinjak Andini saat ini. Andini menghela nafas, balik badan, mengambil kedua tas besarnya dari alas becak motor si bapak tukang becak. Meletakkannya di atas rumput tepat di depan kaki Andini sekarang. "Berapa Pak?" tanya Andini sambil membuka tas kecil sandang sampingnya. "50 ribu aja, Neng." Tangan Andini langsung terhenti di dalam tas, mengernyitkan kening pada bapak tukang becak. "Berapa tadi, Pak?" tanya Andini memastikan pendengarannya. Takut dia sudah b***k. "50 ribu, Neng." "Mahal amat Pak! Bapak nipu saya ya!?" ketus Andini, menutup kembali tas sandang sampingnya, tak jadi mengeluarkan uang. Bapak tukang becak itu menggeleng ringan. "Serius atuh Neng, Bapak mah. Dari stasiun ke sini banyak habisin ongkos bensin Neng, Eneng pikir sekarang bensin murah apa?" "Ya gak 50 ribu juga lah Pak! Orang cuman 20 menit perjalanan. Itu 10 ribu aja udah cukup, Pak. Saya ga bodoh, Pak! Sampai ga tau harga segala," protes Andini. "Lah masa 10 ribu, Neng. Coba aja Neng bawa ini motor buat ngebecak dari stasiun ke sini, pasti sampai 80 ribu, ini Bapak udah kasih harga sahabat Neng, cuman 50 ribu," jelas bapak tukang becak bersikukuh. "Halah! Alasan aja mah Bapak!" Andini buru-buru membuka tas kecil sandang sampingnya kembali. "Ini Pak saya kasih 20 ribu!" ujar Andini sambil menempelkan uang hijau ke tangan si bapak tukang becak. "Kalau Bapak ga mau ya udah, antar balik saya ke stasiun. Saya bisa naik angkot sendiri, Pak! Lebih murah!" jelas Andini, berkacak pinggang dan menatap kesal si bapak tukang becak. "Owalah owalah, masa iya 20 ribu Neng? Bensin aja mah ini ga cukup," protes bapak tukang becak. "Tau dah!" Andini mengangkat kedua tas besarnya, meninggalkan si bapak tukang becak bersama uang 20 ribunya. Melangkah ke gerbang madrasah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD