Satpam Madrasah yang bertugas menghampiri Andini di depan gerbang, bertanya perihal Andini memasuki gerbang sekolah agama tempat mereka berdiri sekarang.
Andini melirik ke belakang sesaat setelah si bapak satpam yang kurus berotot, berjanggut, berkumis, kulit sawo matang, perawatan ala laki-laki Sumatera yang tegas dan garang tersebut bertanya. Andini menatap bingung ke jalanan antara padang rumput luas yang nampak kosong. Kembali menghadap pak satpam.
"Pak, bukanlah ini tahun ajaran baru? Kenapa saya tidak melihat calon penghuni asrama madrasah?" tanya Andini heran. Yang datang nampaknya baru Andini seorang.
"Oh, jadi adek murid baru yang mau tinggal di asrama ini? Kenapa datangnya cepat kali? Pembukaan asrama untuk murid baru, baru dimulai besok," jelas pak satpam.
"Hah!?" Andini menghidupkan layar ponselnya, membaca tanggal di layar ponsel. "Sekarang hari Rabu kan, Pak?" tanya Andini memastikan.
Bapak satpam itu ke mengangguk pelan. "Dan pembukaan asrama untuk murid baru hari Kamis," jelas pak satpam yang membuat Andini langsung terduduk di rumput hijau tepat di samping besi gerbang besar.
"Apa saya harus pulang lagi, Pak?" tanya Andini dengan nada suara yang lemah, kelelahan mendengar dia salah jadwal.
"Oh tak payah kalau macam itu. Anak kelas 2 dan 3 ada beberapa yang tetap tinggal di asrama, adek bisa langsung ke asrama, minta antar dengan senior-senior adek itu saja. Menemui pengawas asrama bisa besok saja, hari ini kebetulan ibuk pengawas sedang pulang kampung, ada kabar duka," jelas pak satpam rinci.
Andini menghela nafas lega, mengangkut tasnya ke bahu. "Boleh saya tau arah ke asrama, Pak?" tanya Andini sedikit lebih bersemangat.
"Belok kiri di sana, nanti lurus saja Dek, cari bangunan warna abu-abu garis hitam, itu asrama perempuannya." Bapak satpam mengacungkan telunjuknya ke arah yang dia sebut.
Andini mengikuti jari telunjuk pak satpam, mengangguk paham. "Terima kasih, Pak!"
Pak satpam balas mengangguk. "Maaf, Bapak tak bisa mengantar karena lagi bertugas di pos ini, mana tau nanti ada anak yang kayak adek lagi." Pak satpam menyeringai, ternyata jahil juga.
Andini merasa tersindir, tersinggung, balas tersenyum tipis. "Gigi Bapak mahal ya?" tanya Andini, masih belum beranjak meninggalkan gerbang.
"Eh?" bingung pak satpam.
"Itu... warna emas." Andini melangkah santai meninggalkan gerbang setelah menyindir gigi pak satpam yang kuning itu. Wajar saja sebenarnya, itu gigi sudah lama dipakai, maklumlah kalau warnanya tak lagi putih, dilihat dari perawakannya, pak satpam itu nampak sudah berusia di atas 40 tahun.
Pak satpam menatap heran Andini yang perlahan menjauh dari pandangannya. "Adek yang tadi itu menyindir saya ya?" gumam pak satpam bingung. Berbalik, masuk kembali ke dalam pos satpamnya.
Andini melangkah mengikuti penjelasan pak satpam sambil mengandeng kedua tas besarnya. Andini melirik-lirik sekitar, mencari bangunan dengan warna abu-abu bergaris hitam. Setelah kurang lebih 20 meter melangkah dari pos satpam, Andini akhirnya menemukan sebuah bangunan bertingkat 3 berwarna abu-abu dengan tiang penyangga berwarna hitam-- mungkin garis hitam yang dimaksud pak satpam adalah warna cat tiang asrama yang berdiri tegak di antara pintu masuk asrama.
Andini yakin bahwa saat ini dia sedang berdiri di depan asrama perempuan adalah karena membaca plang nama yang ada di bawah atap asrama 3 tingkat itu. Tertulis besar-besar di sana "Asrama Perempuan"
Tanpa ragu Andini melangkah ke teras, menurunkan kedua tas besarnya di atas lantai keramik, menghela nafas, berkacak pinggang. Andini mengetok 3 kali pintu asrama dengan pelan, tak lupa mengucap salam. "Assalamu'alaikum."
Tiga ketokan dan satu salam masih belum ada tanggapan dari dalam. Andini kembali mengetok pintu, melihat gandakannya dua kali. Enak ketokan dan tiga salam, tiap dua ketokan Andini berteriak mengucapkan salamnya.
Tok tok. "Assalamu'alaikum."
Tok tok. "Assalamu'alaikum."
Tok tok. "Assalamu'alaikum."
Sayangnya tetap belum ada jawaban.
Andini menarik gagang pintu, terkunci. Rupanya situasi sekarang tidak seperti di film-film atau novel-novel, di mana saat si karakter utama terkurung di luar suatu bangunan, tak mendapat jawaban dari orang di dalam bangunan, saat iseng mencoba membuka pintu... dan jreng-jreng, pintu bangunan itu ternyata tidak terkunci sama sekali, jadilah si karakter utama masuk ke dalam bangunan itu, istirahat, mandi, sampai bisa memasak di bangunan yang didapatinya.
Andini lagi-lagi menghela nafas, bergumam pelan. "Ini orangnya pada ke mana sih? Kata pak satpam tadi anak kelas 2 sama 3 ada di asrama. Apa mereka pada b***k ya!?"
Saat menggumamkan keluhannya itu, Andini mendengar suara hentakan kaki dari dalam, bergerak cepat, semakin lama semakin terdengar jelas. "Wa'alaikumsalam! Aduh maaf, tadi kami sedang makan siang, suara kamu tidak kedengaran!" ujar seorang gadis berwajah bidadari dengan balutan kerudung yang terulur sampai ke pinggangnya.
Andini sampai mundur 2 langkah karena tak sanggup melihat kilauan bidadari itu, sempat terlintas di benak Andini. 'Oh, ternyata begini rupa bidadari, ada ya bidadari di dunia?' Andini segera menampik pikirannya, menggeleng-geleng, kembali realistis.
"Kenapa?" tanya gadis itu nampak bingung melihat Andini yang tiba-tiba mundur, menjauh darinya.
Andini terkesiap. "Ah, ha... halo Kak," sapa Andini segera, tersenyum.
"Halo," balas si gadis ikut tersenyum.
"Kamu anak kelas 10 ya, Dek?" tanya gadis itu memastikan.
Andini mengangguk. "Saya Andini Salsabila Kak, boleh dipanggil Andini. Anak baru yang tidak tau jadwal masuk asrama, jadi saya kecepatan satu hari," jelas Andini sebelum ditanyai alasan dia datang tidak sesuai waktu.
Gadis itu tertawa kecil mendengar keteledoran Andini. "Salam kenal ya Andini. Nama Kakak, Nur Hastia, bisa dipanggil Kak Nur, kelas 12. Hari ini Kakak menggantikan sementara tugas ibu pengawas yang lagi pulang kampung karena ada kabar duka," jelas gadis bidadari bernama Nur itu. Nur artinya cahaya, malaikat berasal dari cahaya. Benar-benar kombinasi nama dan rupa yang luar biasa, namanya Nur, artinya cahaya, wataknya bak malaikat, parasnya bak bidadari.
Senior Andini itu melirik kedua tas besar Andini yang tergelatak di atas lantai, dia tersenyum tipis-- sungguh manis. Mengambil kedua tas besar Andini. "Mari Andini, Kakak antar ke kamar baru kamu, sekalian makan siang bersama dan kenalan sama senior-senior kamu!" seru senior Nur bersemangat.
Andini langsung mengangguk, sampai abai dengan kedua tas besarnya yang sedang dibawakan oleh senior Nur, sebab Andini masih terpana dengan kecantikan dan keramahan senior Nur nya itu, suara senior Nur pun amat merdu dan menenangkan. Beruntung sekali calon imamnya nanti, pikir Andini ke mana-mana.
"Ini kamar baru kamu, Dek. Besok juga akan ada 3 penghuni lagi." Senior Nur membawa masuk tas Andini ke dalam kamar baru Andini, meletakkan kedua tas besar berisi pakaian itu ke atas meja.
Andini tersentak kaget, baru sadar sejak tadi senior Nur yang membawakan tasnya. "Ah maaf Kak, Andini sampai lupa bawa tas. Sekali lagi maaf merepotkan, Kak!" Andini menunduk, gelagapan. Baru kali ini ia melihat perempuan secantik senior Nur, sampai pangling Andini. Jika Andini laki-laki, ia pasti sudah menargetkan senior Nur sebagai calon ibu dari anak-anaknya kelak.
Senior Nur tertawa kecil. "Tak masalah, Dek. Pasti berat kan bawa tas ini dari rumahmu ke sini? Jadi biar Kakak aja yang bawa. Oh, omong-omong, Andini mau istirahat dulu atau mau makan siang bareng Kakak? Kenalan sama senior Andini lainnya sekalian," tawar senior Nur.
"Boleh makan siang bareng aja, Kak?" pilih Andini yang merasa lapar tiba-tiba.
Senior Nur tertawa kecil kembali. "Ya sudah, ayo!" ajak senior kembali bersemangat, memimpin jalan ke meja makan.