Segelas Kopi

1161 Words
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa … Suara teriakan terdengar menggema di kamar mandi, membuat Tridy dan Isabel saling bertukar pandangan ketika sedang sarapan bersama, Tridy dan Isabel bangkit dari duduk mereka dan menghampiri Villia yang berteriak dari dalam kamar mandi, mereka sangat panik dan khawatir, jika terjadi sesuatu pada Villia didalam kamar mandi, apalagi kemarin baru saja putus cinta. “Ada apa, Villia?” teriak Tridy. Villia masih berteriak dan tidak memedulikan ketukan pintu kamar mandi yang terdengar tak sabaran. Villia membuka pintu kamar mandi seraya memegang ponselnya. Melihat kakak dan sahabatnya itu menatapnya penuh kepanikan. “Ada apa denganmu, Bodoh?” tanya Tridy memukul pelan kepala adiknya. “Kamu membuat kami panik saja. Ada apa sih?” Giliran Isabel yang bertanya. “Bagaimana ini?” tanya Villia. “Harusnya kita yang bertanya, ada apa denganmu dan bagaimana denganmu? Apa kamu sudah gila? Jangan-jangan kamu mau bunuh diri dan meninggalkan dunia ini? Putus cinta itu sudah biasa, Villia, mengapa terlalu memikirkannya?” “Aku diterima bekerja,” kata Villia memperlihatkan pengumuman diponselnya. Tridy dan Isabel membaca pengumuman itu dan berteriak bersamaan. Mereka memeluk Villia, ketiganya berteriak membaut rumah kontrakkan mereka seperti akan meledak saja. Tridy menggendong adiknya dan memutarnya. “Apaan sih, Tridy?” tanya Villia. “Ternyata adikku sudah dewasa,” jawab Tridy mencubit kedua pipi Villia. “Sakit,” kata Villia. “Kamu terbaik, Villia,” sambung Isabel. “Selamat,” kata Tridy memeluk adiknya. “Makasih buat kalian berdua,” jawab Villia. “Kamu harus mentraktir kami,” sambung Isabel membuat Villia mengangguk. “Tenang saja. Aku akan mentraktir kalian dan membereskan rumah hari ini.” “Benarkah?” Tridy dan Isabel bertanya bersamaan membuat Villia mengangguk dan melintasi kakak dan sahabatnya. “Tapi hari ini aku harus ke kantor itu dulu untuk menemui managernya,” kata Villia. “Ah sama saja kamu tidak akan membereskan rumah,” geleng Isabel membuat Villia menjulur lidahnya dan masuk ke kamarnya. “Aish. Anak itu meresahkan.” Tridy menggelengkan kepala. Satu bulan yang lalu Villia melamar pekerjaan untuk membantu kebutuhan hari-harinya bersama kakaknya, ia awalnya hanya iseng dan semoga saja diterima, apalagi ketika melihat CV miliknya yang tertulis bahwa ia sedang kuliah di jurusan keuangan. Tak butuh waktu lama setelah mendaftar, Villia mendapatkan panggilan tes dan wawancara, setelah itu ia menunggu kabar diterima atau tidak. Karena sudah dua bulan setelah ia melamar pekerjaan dan tidak kunjung mendapatkan kabar, Villia pun memilih tidak mengharapkan pekerjaan itu dan berpikir bahwa ia tidak di terima. Namun, hari ini ia membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia bisa bangkit dari Amrie dan memiliki pekerjaan bagus di perusahaan jasa keuangan yang besar. Meski ia hanya magang, namun setidaknya ia akan mendapatkan gaji dari pekerjaannya. Villia membuka lemarinya dan mengeluarkan seluruh isinya, ia menyusunnya di atas ranjangnya dan mencoba memilih dari beberapa pakaian yang sudah ia keluarkan. “Aku pakai apa?” teriak Villia membuat Isabel melangkah masuk ke kamar Villia. “Mau pakai apa maksud kamu?” tanya Isabel. “Aku akan bertemu dengan manager hari ini, sependengaranku … manager tempatku akan bekerja mulai besok adalah wanita yang cantik dan modis.” “Pakai yang feminim saja,” jawab Isabel. “Yang mana?” tanya Villia. “Aku akan membuatmu memilih pakaianku hari ini.” “Ini saja,” kata Isabel mengambil setelan jas. “Ini pakaian yang aku beli untuk wawancara sebulan yang lalu, aku akan mengenakannya besok. Hari ini aku hanya akan perkenalan dan menemui manager, jadi pilih pakaian yang santai saja.” “Ish. Aku sudah memilih tapi kamu tidak suka, ya sudah pilih sendiri,” geleng Isabel. “Jangan lupa untuk membereskan kamarmu setelah selesai memilihnya, jangan membuat kamar ini terlihat seperti baru di masuki maling.” Isabel melangkah keluar dari kamar Villia. “Aku pakai ini saja,” kata Villia memilih pakaian yang lebih santai namun terlihat rapi. “Ada apa lagi dengannya?” tanya Tridy membuat Isabel mengangkat kedua bahunya, lalu duduk di kursi untuk melanjutkan sarapannya. “Aku bangga pada Villia, meski dia tidak peka terhadap sifat orang, tapi dia menemukan pekerjaan sekarang, mana pekerjaannya di perusahaan besar,” kata Isabel menggigit roti bakarnya yang sudah Tridy buat. “Iya. Aku juga bangga padanya. Aku tidak menyangka adikku itu sudah dewasa.” “Apa kamu menganggap dia masih kecil?” geleng Isabel. “Dia itu manja sekali, Isabel, dia tidak bisa hidup tanpaku,” kekeh Tridy. “Apa selanjutnya yang akan kita lakukan? Villia sudah mendapatkan pekerjaan, kita bagaimana?” “Kita tunggu pengumuman saja,” jawab Tridy. “Aku yakin tidak akan diterima di hotel itu. Aku pernah memarahi manager hotel.” “Ya cari pekerjaan yang lain,” sambung Tridy menggigit kecil roti yang sudah ia bakar dan ia berikan toping strawberry. “Aku juga akan mencari pekerjaan lain, Villia beruntung dan kita berdua pasti akan beruntung juga seperti dirinya.” “Kamu tidak ada jadwal mata kuliah?” tanya Isabel. “Tidak. Aku akan berkencang dengan Fabiano hari ini,” jawab Tridy cengengesan. “Lalu? Aku?” “Kamu di rumah saja. Lagian Villia tidak akan lama kok.” *** “Bagaimana? Cantik?” tanya Clarisa ketika memanggil Dave ke ruangannya. Clarisa berdiri dihadapan Dave dan berputar-putar didepan temannya itu. Dave menautkan alis. “Jadi kamu memanggilku kemari karena ini mendengar penilaianku dari penampilanmu?” “Iya. Aku ingin mendengar penilaianmu.” “Ya ampun, Clarisa. Kamu mau kemana memangnya?” “Aku mau bertemu dengan karyawan baru yang akan magang.” “Kan hanya magang, kenapa terlalu berlebihan?” tanya Dave membuat Clarisa marah dan duduk dihadapan Dave. “Aku ingin terlihat cantik dan tegas, karena itu aku berpenampilan seperti ini.” “Apa pun yang kamu kenakan itu cocok, dan … meski aku mengatakan itu bagus dan menarik, yang harus kamu utamakan adalah kenyamananmu sendiri mengenakan pakaian apa pun. Jika nyaman ya sudah, jika tidak nyaman ya jangan paksakan.” “Apa itu jawaban darimu?” “Iya,” jawab Dave bangkit dari duduknya. “Aku sedang bekerja, jadi jangan menggangguku.” “Aku juga akan memilih staf untukmu yang dapat membantumu.” “Terserah padamu saja,” jawab Dave lalu melangkah keluar dari ruangan Clarisa. Clarisa menghela napas panjang dan meraba dadanya yang mengeluarkan detak jantung yang memburu. Clarisa sangat menginginkan Dave, namun ia menghargai pertemanan mereka. Jika Dave nyaman seperti ini, dia akan melakukan seperti apa keinginan Dave. Dave duduk di kursi kerjanya dan kembali melihat dokumen diatas mejanya, banyak pekerjaan yang tertunda dan selisih selama ia di Roma, Dave harus menyelesaikan ini dan akan melaporkannya nanti. Di raihnya botol minuman mineral yang ada didekat monitornya, lalu diteguknya hampir saja tandas. Dia lelaki yang tampan dan menarik, semua wanita tertarik padanya, namun ia tidak pernah tertarik oleh siapa pun. Seorang wanita datang dan menaruh gelas kopi diatas meja Dave, lelaki itu mendongak dan melihat wanita cantik kini tersenyum ragu padanya. “Ini untukmu,” kata wanita itu lalu melangkah meninggalkan Dave yang masih menautkan alis keheranan. Dave menggeleng dan mengangkat kedua bahunya. Ia memang populer dikalangan kantor. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD