bc

Call Me Papa, Della! [INDONESIA]

book_age16+
15.5K
FOLLOW
145.2K
READ
possessive
family
love after marriage
second chance
drama
bxg
others
friendship
wife
husband
like
intro-logo
Blurb

Insiden kecil yang menimpa Dave, ternyata membawanya pada tujuan terbesar dalam hidupnya. Menemukan istri dan sang buah hati.

Walau penantiannya sudah berakhir, Dave belum bisa bernapas lega, sebab sang anak yang dia rindukan memanggilnya Papa malah menyebutnya Om. Mendengar lidah kaku putrinya saat mengeja panggilan Papa untuknya, membuat rasa terluka dan kecewa memenuhi rongga d**a Dave. Namun, dia tidak berhak menyalahkan sang anak, sebab dirinya sendirilah yang membuat buah hatinya seperti ini.

Terlepas dari rasa kecewa dan terlukanya, Dave lebih bersyukur karena sang anak tumbuh sehat dan ceria. Dave sangat mengutuk pemikirannya dulu yang sempat meragukan anak ini sebagai darah dagingnya sendiri. Tanpa melakukan tes DNA pun, dia atau orang-orang bisa memastikan bahwa mereka memiliki hubungan darah yang kental, apalagi wajah mereka bagai pinang dibelah dua.

Dave sadar, ini merupakan balasan atas perbuatan pengecutnya dulu, terutama kepada sahabat sekaligus istrinya yang dia perlakukan sangat tidak adil. Dia harus berusaha keras melakukan pendekatan kepada anak yang kini bernama Della, agar segera fasih melafalkan kata Papa untuknya. Apalagi setelah mendengar Della tidak mengalami kesulitan, bahkan lidahnya sangat lentur mengeja kata Papa untuk sahabatnya sendiri.

Apakah usaha Dave dalam mendekati dan membuat Della memanggilnya Papa berjalan lancar?

(Baca juga Love for My Baby Girl & Not Just An Escape)

chap-preview
Free preview
Chapter 1
Rengekan balita tiga tahun berhasil menghentikan langkah ibunya yang hendak berangkat kerja. Tatapan memelasnya lambat laun meluluhkan hati wanita yang tengah menatapnya tersebut, sehingga dengan berat hati sang ibu pun menganggukkan kepala. Melihat usahanya berhasil, balita tersebut pun bersorak kegirangan, “Yeay! Terima kasih, Mama. Della janji akan jadi anak yang baik dan tidak nakal.” Sang ibu hanya bisa tersenyum sambil membelai kepala anaknya yang tengah memeluk erat kedua kakinya. “Janji?” tanyanya memastikan. Anggukan kepala pun dengan cepat diberikan sang anak, sehingga rambutnya yang dikuncir dua ikut meliuk-liuk. “Kalau begitu, Mama berangkat kerja dulu ya, Sayang.” Wanita semampai itu berlutut agar tingginya sama dengan sang buah hati. “Mana ciuman untuk Mama?” pintanya sambil memegang kedua pundak sang anak dengan lembut. Balita yang dipanggil Della pun menangkup wajah wanita yang sangat disayanginya. Dengan cekatan balita mungil itu mencium bergantian kedua pipi dan bibir wanita di hadapannya. “Sudah semua, Ma. Sekarang ciuman untuk Della mana?” pintanya balik dengan manja. Dengan gemas hal serupa pun dilakukan wanita itu terhadap wajah anaknya. Usai memberikan ciuman yang merupakan ritual mereka setiap hari, sang ibu memeluk anaknya penuh cinta dan kasih sayang. “Mau Mama antar ke rumah Tante Zelda?” tanyanya sambil meresapi aroma tubuh mungil yang setiap saat didekapnya. Meski masih berada di pelukan ibunya, Della tidak kesulitan menggelengkan kepalanya. “Biar Nenek saja yang mengantar Della ke rumah Tante Zelda, Ma,” ujar sang anak setelah melepaskan pelukan nyaman milik ibunya. “Baiklah, tapi Della harus ingat, tidak boleh merepotkan Tante Zelda. Kasihan Tante Zelda nanti, perutnya bisa sakit kalau terlalu lelah menemani Della bermain,” sang ibu kembali mengingatkan. “Baik, Ma,” Della mengiyakan ucapan ibunya. “Berangkat sekarang, Nath?” tanya wanita paruh baya yang datang dari arah dapur menghampiri ibu dan anak itu. “Iya, Bi. Tolong jaga Della selama aku bekerja,” pintanya. “Kamu tenang saja. Selama kamu bekerja, Bibi akan selalu menjaga anakmu yang cantik ini,” jawab wanita yang sudah dianggap ibu oleh Nath semenjak kembali ke tanah air. Nath, sapaan ibunda tercinta Della pun hanya tersenyum. “Oh ya, kenapa Donna belum keluar juga, Bi? Katanya cuma mau mengambil dompet.” “Maaf, Kak!” seru gadis belia yang tergesa-gesa keluar dari kamarnya. “Ayo, kita berangkat sekarang,” ajak Donna setelah mencium tangan bibinya dan pipi Della. “Kami berangkat dulu,” pamit Nath sekali lagi sambil melambaikan tangan. “Hati-hati,” teriak Della yang sudah digendong neneknya dan membalas lambaian tangan ibu serta tantenya. *** Senyum wanita yang tengah mengelus perut buncitnya tak henti tersungging, saat melihat laki-laki yang masih berkutat dengan setumpuk berkas sedang mengumpat. Belakangan ini dia sering datang mengantarkan makan siang dan sekadar mengajak sepupunya mengobrol. “Makanlah dulu. Aku sudah membawakan makanan kesukaanmu. Jangan hanya bekerja terus, Dave!” tegur wanita tersebut yang hendak duduk. Laki-laki tersebut memang Davendra. Semenjak kabar istri dan anaknya belum diketahui hingga kini, Dave menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan. Meski demikian, pencarian terhadap kedua belahan jiwanya tetap dilakukan. Tidak ada kata lelah dan menyerah dalam hidupnya mencari keberadaan dua wanita korban dari sikap pengecutnya, bahkan sampai napasnya menipis pun dia tetap akan melakukannya. “Sebentar lagi, Vi,” jawab Dave tanpa mengalihkan perhatiannya. “Hey, sebentar lagi anak-anakku datang, jangan sampai jatah makanmu dihabiskan mereka,” ujar Vivian setelah usai membaca pesan dari suaminya yang mengabarkan sedang dalam perjalanan menjemputnya. “Buat apa kamu bawa mereka ke sini? Kepalaku bisa pecah menanggapi pertanyaan Lyra.” Dave menutup kesal map yang sedang diperiksanya. Melihat sepupunya sangat frustrasi, rasa bersalah dalam diri Vivian pun muncul, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. “Dave, percayalah suatu saat nanti kalian pasti dipertemukan,” ujarnya iba. “Akh!” Dave mengusap kasar wajahnya. “Aku pasti menemukannya, Vi! Awas kamu, Tha! Kalau aku berhasil menemukan kalian, jangan harap kalian bisa keluar rumah lagi,” erang Dave saat kembali teringat dengan anak dan istrinya. Entah apa yang menyebabkan, Vivian malah tertawa mendengar erangan sepupunya. “Dengan kata lain, kamu akan mengurung mereka?” selidik Vivian geli. “Ya, biar mereka tidak pergi lagi dariku,” balas Dave gamang sambil menghela napas. Dia beranjak dari kursi kebesarannya dan menghampiri Vivian di sofa. “Berapa bulan lagi?” tanyanya sambil mengusap perut Vivian. “Empat bulan lagi kamu akan kembali mempunyai keponakan. Semoga saat itu tiba, kamu sudah berkumpul dengan istri dan anakmu. Bersabarlah, Dave. Buah kesabaran itu rasanya sangat manis.” Vivian menggenggam tangan Dave untuk memberikan semangat. “Ehem.” Dave mendengus mendengar dehaman laki-laki yang ternyata sudah berada di dalam ruangannya, bersama dua orang anak di sisi kiri dan kanannya. Vivian menoleh ke arah dehaman. “Eh, kalian sudah datang ternyata. Kalian makan siang di sini saja, temani Om Dave.” Vivian melepaskan genggamannya pada tangan Dave. “Sebaiknya cuci dulu tangan kalian di sana,” suruhnya pada kedua anaknya dan menunjuk letak kamar mandi. “Baik, Ma,” sahut kedua anaknya serempak. Mereka berlari menuju kamar mandi yang ada di sudut ruangan Dave. “Awas bola matamu keluar, Sayang.” Vivian tahu suaminya cemburu saat melihatnya memegang tangan Dave, tapi dia tidak terlalu memikirkannya. Mendengar perkataan Vivian mau tak mau membuat Dave tertawa. “Sadis sekali kamu, Vi. Kalau bola matanya keluar, nanti apa yang digunakannya untuk menatapmu,” Dave mengomentari ucapan sepupunya sambil menatap penuh ejekan ke arah laki-laki yang sudah satu setengah tahun kembali menjadi suami sepupunya ini. “Minggir!” Suami Vivian memisahkan Dave dari istrinya dan duduk di tengah-tengah mereka. “Kamu harus ingat baik-baik bahwa Vivian ini sepupuku, awas kalau kamu berani ingin memisahkan ikatan darah di antara kami! Kamu akan tanggung sendiri akibatnya!” ancam Dave pada laki-laki di sebelahnya. Vivian hanya tersenyum geli melihat reaksi suaminya yang bergeming mendengar ancaman sang sepupu. “Sudah, sudah, malu kalau dilihat anak-anak. Jangan sampai permusuhan kalian di masa lalu terulang dan ditiru oleh mereka,” Vivian menengahi sepupu dan suaminya yang belakangan ini hubungannya kembali kurang akrab. “Kamu mau ikut makan bersama kami, apa mau kembali ke kantor?” tanyanya pada sang suami yang sibuk menyapa calon anaknya. “Kalau makanannya cukup, aku ikut makan di sini saja,” jawab suami Vivian lembut. “Dave, maafkan sikapku,” pintanya sambil menepuk pundak Dave. “Maafkan aku juga. Akh! Melihat keluarga kecil kalian kembali bersatu, membuatku semakin merindukan dan cepat-cepat ingin menemukan istri serta anakku,” Dave berkata sendu. “Secepatnya mereka pasti kamu temukan, Dave.” Sekali lagi suami Vivian menepuk pundak Dave dan memberinya dukungan. Namun matanya memberikan suatu isyarat kepada Vivian. *** Nath menghirup segarnya udara di pagi hari yang cerah ini, seusai memarkirkan motor matic-nya dengan aman. Dia dan Donna bersama-sama menuju gedung yang sudah memberinya nafkah selama dua tahun belakangan ini. Mereka bekerja di gedung yang sama dengan unit yang berbeda, tapi tetap satu management. Gedung yang pengelolaan usahanya dipercayakan sahabatnya kepada dirinya. “Kak, sampai nanti,” ucap Donna yang sudah setengah berlari memasuki gedung. Meski sebagian karyawan mengetahui jika mereka tinggal di atap yang sama, tapi Donna tetap bersikap profesional dalam bekerja, dan menghormati Nath sebagai atasannya. Melihat tingkah Donna, Nath hanya terkekeh dan segera melangkah memasuki gedung. Senyuman ramah dan bersahabat dia tebar kepada semua orang yang menyapanya. Walau jabatan Nath di tempat ini selaku atasan, tapi hal itu tidak membuatnya tinggi hati. Bahkan dia menganggap semua karyawannya itu teman. Nath berprinsip, semasih yang ada di gedung ini dibayar atas kinerjanya, berarti status mereka sama sebagai karyawan. Yang membedakan hanyalah hak, kewajiban, dan tanggung jawab saja. “Pagi, Mbak. Si Kecil tidak ikut?” sapa dan tanya seorang cleaning service yang membawakan kopi hitam ke ruangannya. “Pagi juga,” jawab Nath ramah. “Della tidak ikut,” tambahnya setelah meletakkan clutch di meja kecil dekat kursi kebesarannya. “Nanti tidak rewel ditinggal, Mbak?” tanyanya lagi sambil mengganti bunga yang sudah layu di vas kaca. “Tidak. Biasanya kalau bosan, Della main ke rumah tetangga.” Nath memperbaiki tatanan bunga di dalam vas yang dimasukkan oleh cleaning service tadi. “Maaf, Mbak. Saya belum bisa menata bunga agar terlihat serasi dan cantik,” ujar cleaning service tersebut yang merasa bersalah. “Tidak apa-apa. Lama-kelamaan juga kamu akan bisa, asalkan tidak pernah berhenti belajar dan menerima masukkan,” balas Nath bijak. “Terima kasih, Mbak, beruntung sekali saya bisa diterima di tempat ini, jadi saya bisa belajar banyak walau saya tidak lulus sekolah dasar,” ujarnya penuh syukur. “Oh ya, Mbak, apakah tidak takut jika terjadi apa-apa dengan Della, mengingat kasus kejahatan sekarang tidak pandang bulu?” lanjutnya. “Rasa waspada selalu ada, tapi untuk saat ini kompleks tempat tinggal saya cukup aman. Tetangga tempat Della bermain pun saya kenal betul orangnya, lagi pula di rumah juga ada Neneknya yang menjaga,” sahut Nath tenang. “Syukurlah kalau begitu. Baiklah, Mbak, saya mohon pamit untuk melanjutkan pekerjaan yang lainnya.” Nath mengangguk dan mempersilakan karyawannya kembali melaksanakan tugas. Nath mulai memeriksa pekerjaan yang sudah menanti di atas mejanya. Kemarin sekretarisnya sudah menaruhnya lebih dulu di ruangannya, sebab hari ini sekretarisnya tersebut tidak masuk. Sejauh ini usaha yang dipercayakan sahabatnya untuk dia kelola, perkembangannya semakin bagus dan meningkat, meski persaingan di bidang usaha yang sama semakin ketat. Di tempat yang dia pimpin memang diutamakan pelayanan kepada pelanggan haruslah memuaskan, agar pelanggan tersebut setia dan terus datang untuk menikmati jasa yang ditawarkan. Ketakutan Nath saat kembali menginjakkan kaki di tanah air kini menghilang. Untuk menghapus lukanya dulu meski mustahil, dia memutuskan untuk mengubah nama panggilannya dan anaknya. Titha dan Prisha, nama yang mungkin masih gencar dicari seseorang. Kedua nama tersebut kini telah terganti oleh Nath dan Della, nama yang tidak mungkin dicari keberadaannya. Awalnya Nath ragu mengubahnya, tapi setelah memikirkan dengan matang untuk ke depannya, akhirnya dia pun membulatkan tekadnya. Mengingat perjalanan hidupnya beberapa tahun ke belakang, Nath tidak henti-hentinya bersyukur. Bersyukur karena bertemu orang-orang yang tulus peduli dengan mereka. Bersyukur anaknya tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria, seperti anak-anak pada umumnya, serta bersyukur juga Della tidak rewel saat dia tinggal mencari nafkah untuk membiayai hidup mereka. Nath kadang merasa bersalah karena belum bisa mempertemukan sang anak dengan ayah kandungnya. Apalagi usia Della semakin bertambah, cepat atau lambat anak itu pasti akan mempertanyakan keberadaan ayahnya. Walau dirinya sering mendengar keadaan ayah kandung anaknya, tapi dia belum mempunyai cukup keberanian untuk menemuinya. Bahkan dia sengaja menulikan telinganya agar tidak mengganggu kefokusannya mengurus sang buah hati. Nath selalu meyakini, jika memang berjodoh, pasti ada jalan yang akan mempertemukan mereka. *** Sesampainya di halaman rumah, Nath menepuk keningnya karena melupakan pesanan sang buah hati. “Gawat! Bisa merajuk seharian Della. Kenapa juga aku lupa membelikannya ice cream vanila kesukaannya,” Nath merutuki kelalaiannya sembari memasuki rumah. “Sudah pulang, Nak?” tanya Bi Rani ketika melihat Nath menutup pintu. “Iya, Bi. Della mana?” Nath menanyakan keberadaan putrinya yang tumben tidak menunggunya di teras depan. “Masih di rumah Zelda. Setelah mandi Della kembali ke sana, katanya mau melihat puding buatan Zelda,” beri tahu Bi Rani. “Ya sudah, nanti biar aku yang cari Della ke sana. Bibi masak apa? Wanginya harum sekali.” Nath menikmati wangi masakan yang tercium hidungnya. “Ayam kecap campur telur puyuh, dan kentang balado manis,” jawab Bi Rani tersenyum saat melihat Nath mendengus. “Makanan kebesaran Della lagi. Aku heran dengan anak itu, tidak ada bosan-bosannya makan makanan yang berbahan dasar ayam dan kentang. Tidak beda jauh dengan Papanya,” komentar Nath setelah menghela napas. Bi Rani semakin tersenyum. “Namanya juga ayah dan anak, pasti banyak kesamaannya. Salah satunya dalam hal makanan, Nath.” “Kalau mereka bertemu, siap-siap saja isi kulkas semuanya ayam dan kentang saja,” gerutu Nath. “Ngomong-ngomong kecintaan Tuan Dave akan ikan juga sudah menurun pada Della,” Bi Rani kembali memberi tahu saat matanya menangkap tiga buah aquarium berukuran kecil dan sedang yang penuh berisi ikan, berjajar rapi di ruang keluarga. “Hah! Della, Della, semoga saja besok kamu tidak minta dibuatkan kolam ikan. Bisa-bisa kerjaanmu main air terus.” Bi Rani terkekeh melihat Nath yang kembali mengembuskan napasnya memikirkan kesukaan putrinya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

You're Still the One

read
117.4K
bc

Undesirable Baby (Tamat)

read
1.1M
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
90.9K
bc

PLAYDATE

read
118.8K
bc

Chandani's Last Love

read
1.4M
bc

Bukan Ibu Pengganti

read
526.1K
bc

A Piece of Pain || Indonesia

read
87.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook